Gambaran Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dengan Kolesteatoma pada Pemeriksaan Foto Polos Mastoid Proyeksi Schüller dan Mayer yang Dibandingkan dengan Temuan Saat Operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan

(1)

GAMBARAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN KOLESTEATOMA PADA PEMERIKSAAN FOTO POLOS MASTOID PROYEKSI SCHÜLLER DAN MAYER

YANG DIBANDINGKAN DENGAN TEMUAN SAAT OPERASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh:

Debi Rumondang Siregar

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

GAMBARAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN KOLESTEATOMA PADA PEMERIKSAAN FOTO POLOS MASTOID PROYEKSI SCHÜLLER DAN MAYER

YANG DIBANDINGKAN DENGAN TEMUAN SAAT OPERASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

Debi Rumondang Siregar

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Medan, 14 April 2014 Tesis dengan judul

GAMBARAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN KOLESTEATOMA PADA PEMERIKSAAN FOTO POLOS MASTOID

PROYEKSI SCHÜLLER DAN MAYER YANG DIBANDINGKAN DENGAN TEMUAN SAAT OPERASI

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

NIP: 197008121999031002 dr. Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL

Anggota

Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K)

NIP: 194603051975031001 NIP: 196403251989022001 dr. Netty D. Lubis, Sp.Rad(K)

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K)

NIP. 194711301980031002 NIP. 197906202002122003 Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL


(4)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera, saya sampaikan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian dengan judul Gambaran Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

dr.Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) sebagai anggota pembimbing, serta dr. Netty D. Lubis, Sp.Rad(K) dan Prof. Dr. Albiner Siagian, Msi sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan mereka, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis


(5)

bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberi kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Departemen THT-KL sampai selesai.

Yang terhormat Guru-guru saya di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL, dr.Adlin Adnan, Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Ashri Yudhistira, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto,


(6)

M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL, dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL dan dr. Ramlan Sitompul, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang terhormat Ketua Departemen Radiologi beserta seluruh Staf Pengajar dan para radiografer di Departemen Radiologi RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah banyak membantu, memberikan masukan, perhatian dan bimbingan terutama mengenai pemeriksaan radiologi dalam penulisan tesis ini.

Yang terhormat Ketua Komisi Etik Penelitian bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan surat persetujuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda I. Siregar dan Ibunda St. B.D. Butar-butar, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala doa dan dukungan selama kami mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang tercinta Ayah mertua M. Hutagalung dan Ibu mertua M. Hutabarat, yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada suamiku tercinta dr. Suwirman Hutagalung serta dua buah hati kami yang amat tersayang Rava Ahava Agata Hutagalung dan Dareen Nathan Absalom Hutagalung, tiada kata yang lebih indah yang dapat ibu ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya serta doa kepada ibu selama menjalani pendidikan ini.


(7)

Kepada seluruh keluarga, kerabat dan handai taulan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, saya mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada saya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan, yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, 14 April 2014 Penulis


(8)

GAMBARAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN KOLESTEATOMA PADA PEMERIKSAAN FOTO POLOS MASTOID PROYEKSI SCHÜLLER DAN MAYER

YANG DIBANDINGKAN DENGAN TEMUAN SAAT OPERASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Abstrak

Pendahuluan: Pada kebanyakan kasus OMSK dengan kolesteatoma, proyeksi Schüller dan Mayer seharusnya cukup karena memungkinkan penilaian terhadap kolesteatoma dan pneumatisasi mastoid yang membantu pendekatan operasi. Pada kenyataannya, masih banyak sarana pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang hanya didukung oleh alat-alat radiologi konvensional.

Tujuan: Mengetahui gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional study dengan total sampel 40 orang. Setelah pemeriksaan rutin, penderita diperiksa foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer. Hasil pemeriksaan foto polos mastoid diuji dengan temuan saat operasi sebagai baku emas.

Hasil Penelitian: Dalam mendeteksi kolesteatoma, proyeksi Schüller memiliki akurasi 70,00%, sensitivitas 71,88%, spesifisitas 62,50%, nilai prediksi positif 88,46%, nilai prediksi negatif 35,71%, rasio kemungkinan positif 1,92, rasio kemungkinan negatif 0,45, pre-test probability 80,00%, dan post-test probability 88,48%. Proyeksi Mayer memiliki akurasi 67,50%, sensitivitas 68,75%, spesifisitas 62,50%, nilai prediksi positif 88,00%, nilai prediksi negatif 33,33%, rasio kemungkinan positif 1,84, rasio kemungkinan negatif 0,50, pre-test probability 80,00%, dan post-test

probability 88,04%. Dalam menilai pneumatisasi mastoid yang sklerotik, proyeksi Schüller dan Mayer sama-sama memiliki akurasi 92,50%, sensitivitas 97,22%, spesifisitas 50,00%, nilai prediksi positif 94,59%, nilai prediksi negatif 66,67%, rasio kemungkinan positif 1,94, rasio kemungkinan negatif 0,06, pre-test probability 90,00%, dan post-test

probability 94,58%.

Kesimpulan: Proyeksi Schüller lebih baik dibandingkan Mayer dalam mendeteksi kolesteatoma, namun sama-sama memiliki nilai diagnostik yang tinggi dalam menilai pneumatisasi mastoid.

Kata Kunci: OMSK dengan kolesteatoma, pneumatisasi mastoid, proyeksi Schüller, proyeksi Mayer, temuan saat operasi, uji diagnostik.


(9)

THE DESCRIPTIONS OF CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA (CSOM) WITH CHOLESTEATOMA ON SCHÜLLER’S AND MAYER’S

VIEWS THAT COMPARED WITH SURGICAL FINDINGS AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN ABSTRACT

Introduction: In most cases of CSOM with cholesteatoma, Schüller’s and Mayer’s views should be sufficient as they make it possible to evaluate the cholesteatoma and mastoid pneumatization which determines the surgical approach. In fact, there are many health care facilities on concession that are supported only by conventional radiography.

Purpose: To identify the descriptions of CSOM with cholesteatoma on Schüller’s and Mayer’s views that compared with surgical findings at H. Adam Malik General Hospital Medan.

Method: This cross sectional study used 40 cases. After ENT examinations, the patients were examined by Schüller’s and Mayer’s views. The results of mastoid views were compared with surgical findings as gold standard.

Result: In detecting cholesteatoma, Schuller's view had an accuracy of 70,00%, sensitivity of 71,88%, specificity of 62,50%, positive predictive value of 88,46%, negative predictive value of 35,71%, positive likelihood ratio of 1,92, negative likelihood ratio of 0,45, pre-test probability of 80,00%, and post-test probability of 88,48%. Projection Mayer had an accuracy of 67,50%, sensitivity of 68,75%, specificity of 62,50%, positive predictive value of 88,00%, negative predictive value of 33,33%, positive likelihood ratio of 1,84, negative likelihood ratio of 0,50, pre-test probability of 80,00%, and post-test probability of 88,04%. In assessing the sclerotic of mastoid pneumatization, Schuller’s and Mayer’s views had the same accuracy of 92,50%, sensitivity of 97,22%, specificity of 50,00%, positive predictive value of 94,59%, negative predictive value of 66,67%, positive likelihood ratio of 1,94, negative likelihood ratio of 0,06, pre-test probability of 90,00%, and post-test probability of 94,58%.

Conclusion: Schüller’s view is better than Mayer’s in assessing cholesteatoma, but both had similar diagnostic values to identify mastoid pneumatization.

Key Words: CSOM with cholesteatoma, mastoid pneumatization, Schüller’s view, Mayer’s view, surgical findings, diagnostic test.


(10)

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i v vi vii x xi BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 4

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

2.2. 2.3.

Definisi

Anatomi Telinga Tengah Anatomi Regio Temporal

6 6 10

2.4. Kekerapan 11

2.5. Etiologi 13

2.6. Patogenesis 14

2.7. Histologi 17

2.8. Klasifikasi 18

2.9. Gejala dan Tanda Klinis 19

2.10. Diagnosis 20

2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 2.16. 2.17. Komplikasi Penatalaksanaan

Pemeriksaan Radiologik Mastoid Gambaran Radiologik pada OMSK

Gambaran Radiologik pada Kolesteatoma Diagnosis Banding secara Radiologis Kerangka Teoritis 21 22 25 33 33 34 35 BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian 36

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian 36 3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel 36

3.4. Variabel Penelitian 38

3.5. Definisi Operasional 38

3.6. Bahan dan Alat Penelitian 41


(11)

3.8. 3.9. Analisa Data Kerangka Kerja 42 43 BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil Statistik Deskriptif

4.1.1. Gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi

Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan

temuan saat operasi 44

4.1.2. Keadaan pneumatisasi mastoid pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi

Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan

temuan saat operasi 45

4.1.3. Keadaan kolesteatoma dalam rongga mastoid dan kavum timpani berdasarkan temuan saat

operasi 46

4.1.4. Hubungan tanda klinis retroaurikuler dengan

kolesteatoma berdasarkan temuan saat operasi 46 BAB 5.

5.1.

5.2.

PEMBAHASAN

Gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi

Schüller yang dibandingkan dengan temuan saat operasi

Gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi

48

50 5.3. Keadaan pneumatisasi mastoid pada

pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi

Schüller yang dibandingkan dengan temuan

saat operasi 51

5.4. Keadaan pneumatisasi mastoid pada

pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer

yang dibandingkan dengan temuan saat operasi 52 5.5. Keadaan kolesteatoma dalam rongga mastoid

dan kavum timpani berdasarkan temuan saat

operasi 53

5.6. Hubungan tanda klinis retroaurikuler dengan


(12)

BAB 6. 6.1. 6.2.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

55 55 56 62


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1.

Tabel 4.2.

Gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller yang dibandingkan dengan temuan saat operasi Gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi

44

44 Tabel 4.3. Keadaan pneumatisasi mastoid pada

pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller

yang dibandingkan dengan temuan saat operasi 45 Tabel 4.4. Keadaan pneumatisasi mastoid pada

pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer

yang dibandingkan dengan temuan saat operasi 45 Tabel 4.5. Keadaan kolesteatoma dalam rongga mastoid

dan kavum timpani berdasarkan temuan saat

operasi 46

Tabel 4.6. Hubungan tanda klinis retroaurikuler dengan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Organ-organ penting di sekitar kavum timpani 7 Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani

anterior sebagai permulaan terjadinya

kolesteatoma primer 8

Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian

penting pada regio temporal 11 Gambar 2.4. Radical mastoidectomy, SS, sigmoid sinus; Tm,

tympanic membrane, dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid dan dinding posterior liang

telinga diruntuhkan 24

Gambar 2.5. Gambar 2.6. Gambar 2.7. Gambar 2.8. Gambar 2.9. Gambar 2.10. Gambar 2.11.

Posisi penderita pada proyeksi Schüller, berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300

Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Schüller sefalokaudal

Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak lurus pada film

Posisi penderita pada proyeksi Stenvers, sinar X bersudut 12-140

Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Stenvers

ke kaudal

Posisi penderita pada proyeksi Mayer, sinar X melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 45

Gambaran pneumatisasi mastoid yang diploik pada proyeksi Mayer

0 27 28 29 30 31 32 32


(15)

GAMBARAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN KOLESTEATOMA PADA PEMERIKSAAN FOTO POLOS MASTOID PROYEKSI SCHÜLLER DAN MAYER

YANG DIBANDINGKAN DENGAN TEMUAN SAAT OPERASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Abstrak

Pendahuluan: Pada kebanyakan kasus OMSK dengan kolesteatoma, proyeksi Schüller dan Mayer seharusnya cukup karena memungkinkan penilaian terhadap kolesteatoma dan pneumatisasi mastoid yang membantu pendekatan operasi. Pada kenyataannya, masih banyak sarana pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang hanya didukung oleh alat-alat radiologi konvensional.

Tujuan: Mengetahui gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional study dengan total sampel 40 orang. Setelah pemeriksaan rutin, penderita diperiksa foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer. Hasil pemeriksaan foto polos mastoid diuji dengan temuan saat operasi sebagai baku emas.

Hasil Penelitian: Dalam mendeteksi kolesteatoma, proyeksi Schüller memiliki akurasi 70,00%, sensitivitas 71,88%, spesifisitas 62,50%, nilai prediksi positif 88,46%, nilai prediksi negatif 35,71%, rasio kemungkinan positif 1,92, rasio kemungkinan negatif 0,45, pre-test probability 80,00%, dan post-test probability 88,48%. Proyeksi Mayer memiliki akurasi 67,50%, sensitivitas 68,75%, spesifisitas 62,50%, nilai prediksi positif 88,00%, nilai prediksi negatif 33,33%, rasio kemungkinan positif 1,84, rasio kemungkinan negatif 0,50, pre-test probability 80,00%, dan post-test

probability 88,04%. Dalam menilai pneumatisasi mastoid yang sklerotik, proyeksi Schüller dan Mayer sama-sama memiliki akurasi 92,50%, sensitivitas 97,22%, spesifisitas 50,00%, nilai prediksi positif 94,59%, nilai prediksi negatif 66,67%, rasio kemungkinan positif 1,94, rasio kemungkinan negatif 0,06, pre-test probability 90,00%, dan post-test

probability 94,58%.

Kesimpulan: Proyeksi Schüller lebih baik dibandingkan Mayer dalam mendeteksi kolesteatoma, namun sama-sama memiliki nilai diagnostik yang tinggi dalam menilai pneumatisasi mastoid.

Kata Kunci: OMSK dengan kolesteatoma, pneumatisasi mastoid, proyeksi Schüller, proyeksi Mayer, temuan saat operasi, uji diagnostik.


(16)

THE DESCRIPTIONS OF CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA (CSOM) WITH CHOLESTEATOMA ON SCHÜLLER’S AND MAYER’S

VIEWS THAT COMPARED WITH SURGICAL FINDINGS AT H. ADAM MALIK GENERAL HOSPITAL MEDAN ABSTRACT

Introduction: In most cases of CSOM with cholesteatoma, Schüller’s and Mayer’s views should be sufficient as they make it possible to evaluate the cholesteatoma and mastoid pneumatization which determines the surgical approach. In fact, there are many health care facilities on concession that are supported only by conventional radiography.

Purpose: To identify the descriptions of CSOM with cholesteatoma on Schüller’s and Mayer’s views that compared with surgical findings at H. Adam Malik General Hospital Medan.

Method: This cross sectional study used 40 cases. After ENT examinations, the patients were examined by Schüller’s and Mayer’s views. The results of mastoid views were compared with surgical findings as gold standard.

Result: In detecting cholesteatoma, Schuller's view had an accuracy of 70,00%, sensitivity of 71,88%, specificity of 62,50%, positive predictive value of 88,46%, negative predictive value of 35,71%, positive likelihood ratio of 1,92, negative likelihood ratio of 0,45, pre-test probability of 80,00%, and post-test probability of 88,48%. Projection Mayer had an accuracy of 67,50%, sensitivity of 68,75%, specificity of 62,50%, positive predictive value of 88,00%, negative predictive value of 33,33%, positive likelihood ratio of 1,84, negative likelihood ratio of 0,50, pre-test probability of 80,00%, and post-test probability of 88,04%. In assessing the sclerotic of mastoid pneumatization, Schuller’s and Mayer’s views had the same accuracy of 92,50%, sensitivity of 97,22%, specificity of 50,00%, positive predictive value of 94,59%, negative predictive value of 66,67%, positive likelihood ratio of 1,94, negative likelihood ratio of 0,06, pre-test probability of 90,00%, and post-test probability of 94,58%.

Conclusion: Schüller’s view is better than Mayer’s in assessing cholesteatoma, but both had similar diagnostic values to identify mastoid pneumatization.

Key Words: CSOM with cholesteatoma, mastoid pneumatization, Schüller’s view, Mayer’s view, surgical findings, diagnostic test.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis media supuratif kronis (OMSK), yang istilah awam menyebutnya “congek, torek, teleran, kopokan, budeg, atau telinga berair” adalah peradangan kronis pada telinga tengah. Penyebabnya diduga akibat sumbatan tuba eustachius pada infeksi saluran nafas maupun alergi (Helmi 2005; Djaafar 2007). Menurut Chole & Nason (2009), OMSK terjadi lebih dari tiga bulan dimana pada telinga tengah dijumpai kerusakan permanen membran timpani.

OMSK dapat dibagi dalam kasus-kasus tanpa atau dengan kolesteatoma (Lee 2003; Chole & Nason 2009). Kolesteatoma, yang mayoritas merupakan komplikasi dari OMSK, adalah kista inklusi epidermis dalam pneumatisasi dari tulang temporal. Kolesteatoma dapat diklasifikasikan atas congenital dan acquired cholesteatoma. OMSK dengan kolesteatoma sering disebut sebagai tipe bahaya (Dhingra 2007; Caponetti, Thompson & Pantanowitz 2009; Chole & Nason 2009).

Komplikasi dari OMSK memiliki tanda dan gejala klinis yang khas serta memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi. Karena itu, penting untuk mengidentifikasi telinga dengan komplikasi pada stadium awal, dan mencoba untuk mencegah komplikasi tersebut (Vikram et al. 2008). Tindakan pembedahan pada OMSK dengan kolesteatoma bertujuan menghentikan sekret secara permanen dengan membersihkan semua jaringan patologik, mencegah kerusakan fungsi lebih lanjut akibat infeksi dan menghindari penderita dari komplikasi (Helmi 2005; Browning et al. 2008).

Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya


(18)

prevalensi OMSK pada negara yang sedang berkembang (Aboet 2007; Bhat et al. 2009).

Beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang dengan telinga berair (World Health Organization 2004). Di India dilaporkan terdapat 17,4% penderita dengan otitis media kronis dari seluruh penderita yang berobat, 15% diantaranya dijumpai kolesteatoma, dan 5% mengalami komplikasi (Vikram et al. 2008). Penelitian restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita OMSK, 12,54% diantaranya dengan komplikasi (Mostafa, El Fiky & El Sharnouby 2008).

Menurut survei yang dilakukan pada tujuh propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3,8% dari penduduk Indonesia (Kelompok Studi Otologi PERHATI–KL 2002). Di Departemen THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan dilaporkan 22,6% kasus tipe bahaya dari seluruh kejadian OMSK pada tahun 2008 (Nora 2011).

Bidang radiologi merupakan sarana penunjang dalam menegakkan penyakit kronis telinga tengah ini. Bila dibandingkan dengan tomografi, keuntungan radiologik konvensional (proyeksi Schüller dan Mayer) lebih sederhana, tidak banyak makan waktu dan dapat menggunakan alat radiologi standar yang umumnya tersedia di kebanyakan rumah sakit. Tetapi, tiap titik pada gambaran rontgen mewakili banyak titik yang dilalui oleh tiap gugusan sinar X ketika sinar itu melalui tubuh yang akan diperiksa. Dengan demikian, struktur yang kecil tidak kelihatan karena tumpang tindih dan struktur yang densitasnya tinggi akan menutupi struktur lain yang densitasnya kurang (Valvassori 1997).

Adanya kolesteatoma dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan foto polos mastoid berupa lesi radiolusen yang berbatas tegas. Penelitian Sohar (1991) melaporkan dari 34 kasus OMSK tipe bahaya yang dilakukan operasi mastoidektomi radikal di bagian THT FK UI/RS. Cipto


(19)

Mangunkusumo Jakarta dijumpai bahwa proyeksi Schüller memiliki sensitifitas dalam mendeteksi adanya kolesteatoma mencapai 63,33%, sedangkan nilai spesifisitasnya mencapai 25%.

Penelitian Savitri (2013) di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, melaporkan bahwa nilai prediktif radiografi mastoid cukup tinggi pada proyeksi Schüller dan Stenvers, yaitu 98,2% dalam menilai mastoiditis. Dalam menilai kolestetoma, nilai prediktif 85,7% pada proyeksi

Schüller dan 83,3% pada proyeksi Stenvers.

CT Scan merupakan alat yang sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis kolesteatoma, penilaian perluasan penyakit, menentukan erosi tulang dan destruksi tulang-tulang pendengaran (Kasbekar et al. 2011). Penelitian Prahlada (1995) menyebutkan dari 25 penderita OMSK dengan kolesteatoma usia kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Nehru Chandigarh, India, yang dilakukan tindakan pembedahan dilaporkan High

Resolution CT Scan (HRCT) 95% sensitif dan 75% spesifik dalam menentukan kolesteatoma, namun tidak dapat membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi. Penelitian Berry, Gandotra & Saxena (1998) terhadap 30 penderita OMSK tipe bahaya di India menunjukkan bahwa CT Scan tulang temporal sangat sensitif terhadap terpaparnya lempeng dura, erosi lempeng sinus, erosi kanal fasialis dan keutuhan stapes.

Walaupun di beberapa pusat layanan kesehatan telah tersedia alat-alat tomografi, namun masih banyak sarana pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang hanya didukung oleh alat-alat radiologi konvensional. Peningkatan kemampuan dalam penegakan diagnosis tidak dapat dipisahkan dari tersedianya sarana alat diagnostik yang bertambah canggih, disamping kemampuan manusia penggunanya. Karena itu, peneliti ingin mengetahui manfaat pemeriksaan radiologi konvensional dalam menegakkan OMSK dengan kolesteatoma apabila dibandingkan dengan temuan saat operasi.


(20)

1.2. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan radiologi foto polos mastoid proyeksi

Schüller dan Mayer dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1. Mengetahui gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller yang dibandingkan dengan temuan saat operasi.

1.3.2.2. Mengetahui gambaran OMSK dengan kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi.

1.3.2.3. Mengetahui keadaan pneumatisasi mastoid pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller yang dibandingkan dengan temuan saat operasi.

1.3.2.4. Mengetahui keadaan pneumatisasi mastoid pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi.

1.3.2.5. Mengetahui keadaan kolesteatoma dalam rongga mastoid dan kavum timpani berdasarkan temuan saat operasi.

1.3.2.6. Mengetahui hubungan tanda klinis retroaurikuler dengan kolesteatoma berdasarkan temuan saat operasi.


(21)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Untuk pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan THT-KL, diharapkan pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan

Mayer ini dapat dijadikan penunjang diagnostik dalam penegakan OMSK dengan kolesteatoma, terutama pada daerah-daerah terpencil dengan keterbatasan alat-alat pemeriksaan radiologi. 1.4.2. Untuk pengembangan keilmuan di bidang Radiologi, diharapkan

peneliti mampu memberdayagunakan bagian radiologi terutama di rumah sakit daerah tempat bertugas.

1.4.3. Peneliti juga mampu menguasai teknik pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer sehingga dapat bekerja sama dengan para radiografer terutama di rumah sakit daerah tempat bertugas.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Otitis media supuratif kronis adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga tersebut lebih dari tiga bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang dilapisi oleh

stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang terperangkap dalam rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga terperangkap pada bagian manapun dari tulang temporal yang berpneumatisasi (Helmi 2005; Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009).

2.2. Anatomi Telinga Tengah

Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus, terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan prosesus mastoid (Helmi 2005).

2.2.1. Membran Timpani

Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, pars flaksida yang merupakan bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran ini terdiri atas tiga lapis, yaitu lapisan luar, tengah dan dalam. Lapisan luar merupakan kulit terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga. Lapisan tengah merupakan jaringan ikat yang terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan radier dan lapisan sirkuler. Lapisan dalam merupakan bagian dari lapisan mukosa kavum timpani. Membran timpani


(23)

merupakan struktur yang terus tumbuh yang memungkinkannya menutup bila ada perforasi (Helmi 2005; Gacek 2009).

2.2.2. Kavum Timpani

Kavum timpani merupakan rongga yang dibatasi di sebelah lateral oleh membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan inferior oleh selapis tulang yang membatasinya dengan bulbus jugularis (Gambar 2.1). Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum. Di dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran, yaitu maleus, inkus dan stapes yang menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale. Selain itu terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius (Helmi 2005; Gacek 2009).


(24)

Skutum merupakan lempeng tulang yang membatasi epitimpanum dengan sel mastoid. Ujung bawahnya adalah bagian atas dari tonjolan tulang tempat membran timpani melekat. Skutum relatif cepat tererosi oleh kolesteatoma (Helmi 2005).

Pada telinga tengah dijumpai resesus membran timpani anterior yang disebut juga rongga Prussak (Gambar 2.2). Rongga ini dibatasi di sebelah lateral oleh pars flaksida, di sebelah superior oleh skutum dan ligamentum maleus lateralis, di sebelah inferior oleh prosesus brevis maleus, dan di sebelah medial oleh leher maleus. Kolesteatoma primer biasanya dimulai di daerah ini. Telinga tengah dilapisi oleh mukosa tipis yang terutama berepitel kuboid tak bersilia melapisi periosteum, termasuk tulang-tulang pendengaran dan ligamen-ligamen (Helmi 2005).

Gambar 2.2. Rongga Prussak atau resesus membran timpani anterior sebagai permulaan terjadinya kolesteatoma primer (Dahnert 2007).


(25)

2.2.3. Tuba Eustachius

Tuba eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya konstraksi muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Helmi 2005; Gacek 2009).

2.2.4. Prosesus Mastoid

Prosesus mastoid merupakan suatu tonjolan di bagian bawah tulang temporal yang dibentuk oleh prosesus zigomatikus di bagian anterior dan lateralnya serta pars petrosa tulang temporal di bagian ujung dan posteriornya (Helmi 2005).

Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya, sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal (Helmi 2005; Gacek 2009).

Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater, sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan


(26)

membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Helmi 2005).

2.2. Anatomi Regio Temporal

Regio temporal merupakan rongga sempit dipenuhi oleh berbagai struktur yang letaknya saling berdesakan dan bervariasi (Gambar 2.3). Daerah temporal terdiri atas unsur jaringan lunak dan tulang, yaitu seluruh telinga luar dan telinga tengah, kokhlea, labirin, perjalanan nervus fasialis, arteri karotis, vena jugularis dan sigmoid (Helmi 2005).

Jaringan lunak di luar tulang temporal termasuk daun telinga, retro aurikula, kulit liang telinga dan membran timpani. Jaringan lunak di daerah temporoparietal dari luar ke dalam adalah kulit dan jaringan subkutis. Di sebelah dalamnya dan melekat erat dengan subkutis adalah fasia temporoparietal, sering disebut juga fasia temporalis superfisialis. Di bawah fasia ini terletak jaringan areolar longgar dan relatif avaskuler yang memisahkan fasia temporoparietal dengan fasia muskulus temporalis profunda. Fasia muskulus temporalis profunda membelah dua di sekitar linea temporalis untuk membungkus jaringan lemak. Pendarahan di daerah ini diurus oleh cabang-cabang arteri temporalis berupa arteri temporalis superfisialis (Helmi 2005).

Arteri temporalis superfisialis muncul dari jaringan kelenjar parotis dan memberi cabang arteri temporalis media yang berjalan ke daerah pre aurikula. Arteri aurikularis posterior merupakan arteri yang relatif kecil cabang dari arteri karotis eksterna. Arteri ini melepas tiga cabang penting, yaitu arteri stilomastoideus, cabang aurikularis dan cabang oksipital (Helmi 2005).

Persarafan sensoris daerah temporoparietal diurus oleh saraf aurikulotemporal, saraf sensoris dari nervus mandibularis yang terletak posterior terhadap arteri temporalis superfisialis di dalam fasia temporoparietal. Nervus fasialis, yang merupakan persarafan motorik


(27)

daerah muka, juga lewat di dalam fasia temporoparietal. Cabang frontal nervus fasialis berjalan oblik persis di luar arkus zigomatikus (Helmi 2005).

Gambar 2.3. Spina supra meatum Henle merupakan bagian penting pada regio temporal (Meyer, Strunk & Lambert 2006).

Prosesus zigomatikus ke medial membentuk dinding posterior fossa mandibula dan ke posterior melengkung sedikit ke bawah menuju prosesus mastoid. Bagian itu mempunyai tonjolan yang disebut spina supra meatum Henle yang terletak pada fossa mastoidea sedikit di belakang atas liang telinga. Pada bagian ini juga terletak segitiga imajiner

MacEwen yang berbatas ke superior pada linea temporalis, ke anterior pada tepi posterior liang telinga dan ke posterior dengan garis imajiner yang tegak lurus pada linea temporalis dan menyinggung dinding paling posterior liang telinga (Helmi 2005).

2.4. Kekerapan

Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang


(28)

dengan telinga berair, 60% di antaranya (39-200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (World Health Organization 2004). Vikram et al. (2008) melaporkan, dijumpai 17,43% penderita otitis media kronis dari 7.210 orang yang berobat ke klinik THT di India sejak Juli 2003 hingga Desember 2005. Pada 187 penderita dijumpai kolesteatoma, dimana 62 diantaranya mengalami komplikasi. Penelitian restrospektif selama sepuluh tahun di Departemen THT-KL Universitas Ain Shams Kairo menemukan 28,24% kasus kolesteatoma dari 3.364 penderita OMSK, 12,54% diantaranya dengan komplikasi (Mostafa, El Fiky & El Sharnouby 2008).

Prahlada (1995) melaporkan pada penelitian yang dilakukan selama 18 bulan terhadap 25 penderita OMSK dengan kolesteatoma usia kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Nehru Chandigarh, India. Pada penelitian ini, setiap penderita menjalani pemeriksaan klinis dan mikroskopis sebelum operasi mastoid. Gejala klinis terbanyak adalah telinga berair (100%) diikuti penurunan pendengaran, tinnitus dan vertigo. Lamanya keluhan berkisar 0-3 tahun (32%). Tanda klinis tersering adalah perforasi posterosuperior (48%) disertai kolesteatoma. Semua penderita menjalani pemeriksaan radiologi konvensional (proyeksi Law) dan CT

Scan. Dilaporkan HRCT 95% sensitif dan 75% spesifik dalam menentukan kolesteatoma, namun tidak dapat membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi. Pemeriksaan ini 88% sensitif dan 97% spesifik dalam menilai destruksi tulang-tulang pendengaran, 100% sensitif dan 94% spesifik dalam menentukan erosi kanalis semisirkularis lateral, serta 100% sensitif dan spesifik dalam menilai destruksi lempeng sinus.

Prata et al. (2011) melaporkan, dijumpai 40,24% kolesteatoma dari 82 telinga yang dilakukan mastoidektomi di Brazil sejak Februari 2007 hingga September 2008. CT Scan dilaporkan 72,73% sensitif dalam identifikasi kolesteatoma, 56,67% identifikasi perubahan tulang pendengaran, dan 100% pada erosi kanalis semisirkularis lateral.


(29)

Hal yang serupa dilaporkan Santosh et al. (2011) pada penelitian terhadap 30 penderita yang menjalani operasi mastoidektomi di RS. Bapuji, India. Preoperatif, setiap penderita diperiksa radiografi konvensional (proyeksi Law) dan tomografi. Hasilnya, 86,6% penderita secara akurat didiagnosis kolesteatoma dan sesuai dengan temuan operasi.

Menurut survei yang dilakukan pada tujuh propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan prevalensi OMSK sebesar 3,8% dari penduduk Indonesia (Kelompok Studi Otologi PERHATI–KL 2002). Restuti (2010) melaporkan 217 kasus OMSK dengan kolesteatoma di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari 2004-Desember 2009, terdiri dari 157 (72,35%) penderita dewasa dan 60 (27,65%) penderita anak-anak. Gustomo (2010) di RS dr. Moewardi Surakarta melaporkan 21,13% kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 653 kasus OMSK pada periode Januari 2007-Desember 2009, paling banyak terjadi pada usia 31-40 tahun.

Siregar (2013) melaporkan 119 penderita OMSK tipe bahaya di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010, paling banyak terjadi pada usia 11-20 tahun, 53,78% laki-laki dan 46,22% perempuan. Sebanyak 68,91% akibat riwayat otitis media berulang dan 61,34% dengan keluhan utama telinga berair. Gejala dan tanda klinis yang sering yaitu telinga berair (76,47%) dan perforasi membran timpani (74,79%), baik perforasi atik (0,84%), marginal (1,68%), subtotal (23,53%), dan total (48,74%). Gangguan pendengaran terbanyak adalah tuli konduktif (58,82%). Pada foto proyeksi Schuller, 62,18% dijumpai gambaran mastoiditis kronis dengan kolesteatoma. Dari hasil kultur dijumpai 21,01%

Pseudomonas aeruginosa. 86,55% terjadi komplikasi mastoiditis.

2.5. Etiologi

Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba eustachius (misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring), imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali


(30)

midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah infeksi otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization 2004; Ramakrishnan, Kotecha & Bowdler 2007; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009).

Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang telinga luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui nasofaring, dimana Streptococcus pneumoniae merupakan yang terbanyak dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis, kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebahagian kasus. Kuman aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa,

Streptococcus aureus dan basil gram negatif seperti Escherichia coli,

Proteus species, dan Klebsiella spesies. Kuman anaerobik seperti

Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009).

Selanjutnya jamur dapat pula dijumpai pada otitis media kronis khususnya Aspergillus sp. dan Candida sp., dan ini merupakan suatu pertimbangan dimana jamur mungkin dapat tumbuh berlebihan setelah pemakaian obat tetes antibiotika (Chole & Nason 2009).

2.6. Patogenesis

OMSK dengan kolesteatoma bersifat progresif, dimana kolesteatoma yang semakin luas bisa mendestruksi tulang yang dilaluinya. Infeksi sekunder dapat menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang dilalui kolesteatoma dan mengancam bisa terjadinya komplikasi, berupa komplikasi intratemporal dan intrakranial. Glasscock dan Shambaugh membagi tipe invasi tulang menjadi tiga golongan yaitu (Gopen 2010):


(31)

1. Tipe invasi tulang yang dimulai dengan invaginasi pars flaksida, sehingga terbentuk kantong kecil di atik, kemudian terisi kolesteatoma (primary acquired cholesteatoma).

2. Tipe invasi tulang dengan perforasi marginal atau total membran timpani karena invasi epidermis dan berisi kolesteatoma (secondary acquired cholesteatoma).

3. Tipe invasi tulang dengan osteomielitis kronis atau skuestrum (chronic osteitis).

Patogenesis congenital cholesteatoma masih belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan. Ada beberapa teori patogenesis congenital cholesteatoma (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009):

1. Teori migrasi

Anulus timpanikus mempunyai peranan yang penting dalam mengatur proliferasi dan migrasi dari kulit liang telinga selama masa perkembangan janin. Hilangnya jaringan ikat dari anulus timpanikus menyebabkan lapisan ektodermal bermigrasi dari liang telinga ke telinga tengah dan membentuk kolesteatoma.

2. Teori kontaminasi cairan amnion

Kolesteatoma berkembang dari inokulasi telinga tengah dengan sel-sel epidermal yang ada di cairan amnion, yang memasuki anterosuperior mesotimpanum melalui tuba eustachius.

3. Teori inklusi

Pada kondisi inflamasi yang berulang, terdapat peningkatan risiko terjadinya retraksi, perlekatan dan pelepasan membran timpani dari tulang-tulang pendengaran. Pada proses pelepasan membran timpani, beberapa sel dari membran timpani menjadi terperangkap pada kavum timpani dan membentuk kolesteatoma.

4. Teori pembentukan epidermoid

Penebalan lapisan ektodermal epitel berkembang di dekat ganglion genikulatum, ke arah medial dari leher maleus. Massa epitel ini


(32)

segera mengalami involusi untuk menjadi lapisan telinga tengah yang matur. Jika gagal mengalami involusi, bentuk ini menjadi sumber dari kolesteatoma kongenital.

Beberapa teori patogenesis pada acquired cholesteatoma antara lain (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Chole & Nason 2009; Prinsley 2009):

1. Primary acquired cholesteatoma a. Teori invaginasi

Invaginasi membran timpani dari atik atau pars tensa regio posterosuperior membentuk retraction pocket. Kemudian pada tempat ini terbentuk matriks dari kolesteatoma berupa sel-sel epitel yang tertumpuk pada tempat tersebut.

b. Teori hiperplasia sel basal

Pada teori ini sel-sel basal pada lapisan germinal pada kulit berproliferasi akibat dari infeksi sehingga membentuk epitel skuamosa berkeratinisasi.

c. Teori otitis media efusi

Pada anak dengan retraksi di regio atik, tuba eustachius lebih sering berkonstriksi daripada dilatasi ketika menelan. Tekanan negatif di kavum timpani yang disebabkan oleh disfungsi tuba eustachius dapat menyebabkan retraksi dari pars flaksida dan menyebabkan penumpukan debris deskuamasi.

2. Secondary acquired cholesteatoma a. Teori implantasi

Implantasi iatrogenik dari kulit ke telinga tengah atau membran timpani akibat operasi, benda asing atau trauma ledakan.

b. Teori metaplasia

Infeksi kronis ataupun jaringan inflamasi diketahui dapat mengalami perubahan metaplasia. Perubahan dari epitel kolumnar menjadi

keratinized stratified squamous epithelium akibat dari otitis media yang kronis atau rekuren.


(33)

Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain. Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk. menyatakan bahwa sitokeratin (CK 10), merupakan

intermediate filament protein dan marker untuk epitel skuamosa, dimana ditemukan matriks kolesteatoma pada epidermis liang telinga tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur dinding tulang liang telinga.

Pada kasus otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas penyakit ini. Konsep yang bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor dikontrol oleh dua esensial sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear

Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony Stimulating Factor

(M-CSF). Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole & Nason 2009).

2.7. Histologi

Berdasarkan histologi, kombinasi dari material keratin dan stratified

squamous epithelium merupakan diagnosis patologik untuk kolesteatoma. Adanya epitel skuamosa di telinga tengah adalah abnormal. Pada


(34)

keadaan normal telinga tengah dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia di bagian anterior dan inferior kavum timpani serta epitel kuboidal di bagian tengah dari kavum timpani dan di atik. Tidak seperti yang terdapat pada epidermis kulit, epitel skuamosa ini tidak mempunyai struktur adneksa. Hal ini mungkin karena letaknya berbatasan dengan jaringan granulasi atau fibrosa yang mengalami inflamasi, dan juga reaksi giant cell pada material keratin (Grewal, Hathiram & Saraiya 2007; Caponetti, Thompson & Pantanowitz 2009; Mills 2009).

2.8. Klasifikasi

OMSK dapat dibagi dalam kasus-kasus tanpa atau dengan kolesteatoma (Lee 2003; Chole & Nason 2009).

Nama lain dari OMSK dengan kolesteatoma adalah jenis atikoantral karena biasanya proses dimulai di daerah itu; disebut juga jenis tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Jenis ini melibatkan bagian posterosuperior dari celah telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi marginal. Jenis ini juga dikenal sebagai tipe bahaya atau maligna (Helmi 2005; Dhingra 2007; Browning et al. 2008).

Kolesteatoma berdasarkan patofisiologinya dapat dibagi menjadi (Meyer, Strunk & Lambert 2006; Kutz & Friedman 2007; Vikram et al, 2008):

1. Congenital cholesteatoma

Dua pertiga kolesteatoma kongenital di telinga tengah terlihat sebagai massa putih di kuadran anterosuperior membran timpani, dapat juga berada di membran timpani dan di apeks petrosa.

2. Acquired cholesteatoma

Terdapat dua jenis acquired cholesteatoma, yaitu : a. Primary acquired cholesteatoma

Kolesteatoma yang diakibatkan karena retraksi pars flaksida, disebut juga retraction pocketcholesteatoma.


(35)

b. Secondary acquired cholesteatoma

Kolesteatoma yang muncul karena adanya perforasi membran timpani, biasanya pada kuadran posterosuperior membran timpani.

2.9. Gejala dan Tanda Klinis

2.9.1. Gejala Klinis (Chole & Nason 2009) 1. Telinga berair

OMSK mengakibatkan telinga berair dengan sekret yang kental. Jika disertai dengan kolesteatoma, sekret berbau busuk dan purulen.

2. Gangguan pendengaran

Pendengaran normal ketika rantai tulang pendengaran masih utuh. Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah konduktif namun dapat pula bersifat campuran.

3. Perdarahan

Gejala ini timbul jika terdapat granulasi atau polip dari telinga tengah.

4. Nyeri telinga

Nyeri telinga bisa terjadi akibat komplikasi intrakranial seperti abses di epidural, subdural maupun otak.

5. Sakit kepala

Gejala ini disebabkan oleh komplikasi intrakranial. 6. Hoyong

Hoyong terjadi jika terdapat fistula labirin. 7. Kelumpuhan wajah

Gejala ini merupakan indikasi erosi kanalis fasialis.

2.9.2. Tanda (Chole & Nason 2009) 1. Perforasi

Dijumpai pada atik atau daerah posterosuperior. Perforasi atik kecil bisa tidak terlihat disebabkan adanya sekret telinga. Jika perforasi


(36)

cukup besar atau total, mukosa telinga tengah dan sebagian tulang pendengaran bisa dinilai.

2. Retraction pocket

Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau posterosuperior. Tanda ini mudah terlihat dibawah pemeriksaan mikroskop.

3. Kolesteatoma

Setelah pembersihan dengan suction dan pemeriksaan di bawah mikroskop, tanda ini merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis dan penilaian jenis OMSK.

4. Jaringan granulasi atau polip

Tanda ini terjadi akibat inflamasi mukosa telinga tengah, kadang-kadang meluas hingga ke liang telinga.

Menurut Djaafar (2007), tanda-tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah:

1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.

2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah.

3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum.

4. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma). 5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto rontgen mastoid.

2.10. Diagnosis

Diagnosis OMSK ditegakkan dengan cara (Kimitsuki et al. 2001; Migirov 2003; Dhingra 2007; Lee, Hong, Park & Jung 2007; Trojanowska et al. 2007; Chole & Nason 2009):

1. Anamnesis

Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering dijumpai adalah telinga


(37)

berair dan berbau busuk. Jika terdapat jaringan granulasi atau polip, sekret yang keluar bisa bercampur dengan darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan gangguan pendengaran, sakit kepala, hoyong, bengkak ataupun lubang di belakang telinga, dan mulut mencong.

2. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi akan menunjukkan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.

3. Pemeriksaan audiologi

Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang.

4. Pemeriksaan radiologi

Radiologi konvensional seperti foto polos proyeksi Schüller berguna untuk menilai kasus kolesteatoma. Pemeriksaan CT Scan lebih efektif menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma. CT

Scan merupakan pemeriksaan penting sebelum operasi pada setiap kasus infeksi telinga tengah dengan komplikasi. MRI lebih baik daripada CT Scan dalam menunjukkan kolesteatoma, namun kurang memberikan informasi tentang keadaan pertulangan.

5. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotika yang tepat.

2.11. Komplikasi

Komplikasi OMSK dengan kolesteatoma dapat berupa (Neely & Arts 2006; Browning et al. 2008; Friedland, Pensak & Kveton 2009):

1. Komplikasi kranial a. Mastoiditis


(38)

b. Paralisis nervus fasialis c. Abses subperiosteal d. Petrositis

e. Labirinitis f. Fistula labirin

g. Kebocoran cairan serebrospinal/ensefalokel 2. Komplikasi intrakranial

a. Meningitis

b. Tromboflebilitis sinus lateralis c. Abses epidural

d. Empiema subdural e. Abses otak

f. Hidrosefalus otitis

2.12. Penatalaksanaan

Prinsip terapi OMSK dengan kolesteatoma adalah pembedahan. Ada beberapa prosedur operasi untuk pembedahan kolesteatoma (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

2.12.1. Atikotomi

Kolesteatoma yang terbatas hanya pada regio atik dapat diangkat dengan prosedur atikotomi, yang dikenal sebagai epitimpanotomi atau timpanotomi anterior, dimana kerusakan pada daerah skutum direkonstruksi dengan tandur dari tulang rawan tragus dan tetap menjaga keutuhan dinding liang telinga serta tulang-tulang pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

2.12.2. Canal Wall Down Procedures

Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma, termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum


(39)

mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

1. Radical Mastoidectomy: operasi ini ditujukan untuk eradikasi penyakit sebaik-baiknya. Pada cara ini dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid di sudut sinodura, di daerah segitiga Trautmann, di sekitar kanalis fasialis, di sekitar liang telinga yaitu prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian membuang inkus dan maleus, hanya stapes atau sisa stapes yang dipertahankan, sehingga membentuk kavitas yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan liang telinga. Mukosa kavum timpani juga dibuang seluruhnya, muara tuba eustachius ditutup dengan tandur jaringan lunak (Gambar 2.4). Kerugian cara ini adalah kesulitan rekonstruksi membran timpani, sehingga terdapat kesulitan dalam usaha memperbaiki pendengaran penderita namun dengan teknik ini dapat dicapai suatu safe ear. Untuk kasus kolesteatoma yang lebih lanjut dengan perluasan yang hebat, mastoidektomi radikal perlu dipertimbangkan tanpa melihat kemungkinan mempertahankan fungsi pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

2. Modified Radical Mastoidectomy: adalah operasi untuk eradikasi penyakit sehingga epitimpani, antrum mastoid dan liang telinga menjadi satu rongga yang berhubungan langsung dengan dunia luar melalui meatus akustikus eksternus. Tindakan ini seperti mastoidektomi radikal, kecuali tetap mempertahankan osikel dan membran timpani yang ada untuk mempertahankan fungsi transformasi suara. Teknik operasi ini adalah dengan membersihkan seluruh rongga mastoid, merendahkan dinding posterior liang telinga, dan diikuti dengan tindakan timpanoplasti. Dengan operasi ini fungsi pendengaran dapat dipertahankan. Indikasi utama operasi ini adalah adanya kolesteatoma di atik dan


(40)

antrum dengan mesotimpanum normal dan defek hanya pada pars flaksida (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

Gambar 2.4. Radical mastoidectomy, SS, sigmoid sinus; Tm, tympanic

membrane, dilakukan pembersihan total sel-sel mastoid dan dinding posterior liang telinga diruntuhkan (Meyer, Strunk & Lambert 2006).

2.12.3. Canal Wall Up Procedures

Kolesteatoma dibuang dengan pendekatan kombinasi melalui mastoid dan liang telinga, tanpa menghancurkan dinding posterior liang telinga (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

Intact canal wall pada prinsipnya adalah mengangkat secara komplit matriks kolesteatoma tanpa merusak anatomi liang telinga luar. Pendekatan secara kombinasi transkanal dan transmastoid dapat mengeluarkan massa kolesteatoma yang menerobos facial recess. Kolesteatoma di sinus timpani sulit dikeluarkan karena lapang pandang yang terbatas pada daerah ini. Jansen, Smith, dan Sheehy merupakan


(41)

pelopor operasi mastoidektomi dengan kavitas tertutup yang disebut intact

canal wall tympanoplasty with mastoidectomy atau combined approach

tympanoplasty yang dikatakan mempunyai kemungkinan lebih baik untuk penyembuhan penyakit dan memperbaiki fungsi pendengaran (Helmi 2005; Merchant, Rosowski & Shelton 2009).

2.13. Pemeriksaan Radiologik Mastoid

Pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal memiliki nilai penyaring serta dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan piramid tulang petrosus. Dengan pemeriksaan ini dapat dinilai besar dan perluasan suatu lesi yang berasal dari tulang temporal atau yang merupakan perluasan dari lesi-lesi struktur sekitar tulang temporal. Sedangkan untuk proses yang kecil agak sukar dideteksi, kecuali dengan menggunakan pemeriksaan tomografi (Makes 2005).

Untuk selalu mendapatkan hasil pemeriksaan yang memuaskan, dipakai unit untuk kepala karena kelenturan yang didapatkan pada alat ini. Bagian atas meja pemeriksaan harus sempit, supaya bahu pasien dibawahnya berada dalam posisi tegak selama pemeriksaan, sehingga kepala lebih dekat ke film. Bagian atas meja pemeriksaan yang transparan memudahkan fokus daerah yang akan diperiksa, dengan melihat tempat masuk dan keluarnya pusat pancaran sinar X. Unit itu harus dilengkapi dengan sebuah tabung yang memiliki titik fokus yang kecil (0,3 milimeter) dengan maksud menambah ketajaman (Valvassori 1997).

Ukuran sinar haruslah sesempit mungkin untuk daerah yang akan diteliti, dengan demikian mengurangi sinar yang menyebar, yang bisa membuat film berkabut sehingga kurang tajam. Dengan memakai sinar yang sempit diperlukan posisi kepala pasien dan pengarahan sinar yang tepat. Hal ini dapat terlaksana apabila ahli radiologi memahami anatomi dasar dari daerah yang akan diperiksa (Valvassori 1997).

Proyeksi tertentu sangat diperlukan untuk memeriksa tulang temporal. Tiap proyeksi mempunyai kegunaan khusus untuk


(42)

memperlihatkan satu atau lebih struktur yang dapat terlihat pada sumbu yang tepat dan tidak diragukan oleh bayangan struktur yang menutupinya. Berbagai proyeksi didapatkan dengan memutar kepala pasien atau mengganti arah pusat sinar X. Seleksi proyeksi berdasarkan pada dua prinsip dasar radiografi, yaitu (Valvassori 1997):

1. Struktur yang dekat dengan film lebih tajam dan tidak banyak diperbesar daripada yang jauh dari film. Karena itu sisi yang akan diperiksa harus selalu diletakkan dekat dengan film.

2. Dengan membelokkan sinar X atau kepala, struktur yang saling berhimpitan yang awalnya terletak dalam satu bidang dapat tersingkirkan. Struktur yang dekat dengan permukaan meja pemeriksaan diproyeksikan dalam posisi yang berdekatan pada film sinar X, sedangkan struktur yang lebih jauh dari film dijauhkan dari pancaran tergantung arah pancaran sinar X. Struktur yang sangat berdekatan memerlukan sudut yang lebih besar dibandingkan dengan struktur yang terpisah jauh.

Ada beberapa proyeksi standar pada pemeriksaan foto polos tulang temporal, seperti proyeksi Schüller, Law, Mayer, Owen, Chausse III,

Stenvers, Towne, submentovertikal, dan transorbital (Lee 2003). Saat ini, penggunaan radiologik konvensional terbatas untuk mengevaluasi pneumatisasi mastoid dan penilaian posisi maupun integritas elektroda implan koklea serta evaluasi sendi temporomandibular. Hanya tiga proyeksi yang praktis menarik: proyeksi lateral atau Schüller, frontal atau transorbital, dan proyeksi oblik atau Stenvers (Mafee & Valvassori 2009). Daerah antrum dan atik dapat dinilai dengan proyeksi Schüller, namun kadang sulit dinilai karena bayangan labirin. Hal ini dapat diatasi dengan proyeksi Mayer. Berkas sinar X yang semula ditujukan 300 menjadi 450 pada proyeksi ini. Elevasi ini efektif menilai antrum dan atik tanpa bayangan labirin (Compere 1990).


(43)

2.13.1. Proyeksi Schüller atau Rungstrom

Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Proyeksi foto dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300 sefalokaudal (Gambar 2.5) (Lee 2003; Makes 2005; Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.5. Posisi penderita pada proyeksi Schüller, berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300 sefalokaudal (Yong 2001).

Pada proyeksi ini perluasan pneumatisasi mastoid dan struktur trabekulasi dapat tampak dengan jelas (Gambar 2.6). Posisi ini juga memberikan informasi dasar tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan sinus lateralis (Makes 2005).

Bidang anterior dari bagian vertikal sinus sigmoid (berbatasan dengan bagian yang paling lateral dari bagian posterior piramid petrosus)


(44)

membentuk garis yang hampir vertikal. Pada bagian atas garis ini bergabung dengan garis lain, yang melengkung ke depan dan ke bawah membentuk bagian yang paling lateral dari sudut tulang petrosus yaitu sudut sinodural dari Citelli. Garis yang terakhir ini dibentuk oleh aspek superior dari bagian lateral piramid os petrosus. Bagian yang lebih ke tengah dari tepi petrosus superior, dari eminensia arkuata sampai apeks, dipindahkan ke bawah oleh pembelokan dari gugusan sinar X dan menghilangkan garis yang terletak di depan dan bawah, menyilang daerah epitimpanum dan leher dari kondilum mandibula. Di atas garis ini bagian atas atik bersama kaput maleus biasanya kelihatan. Akhirnya sendi temporomandibular jelas terlihat (Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.6. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Schüller (Yong 2001).

2.13.2. Proyeksi Transorbital

Proyeksi ini dapat dicapai dengan penderita menghadap ke film atau belakang kepalanya ke film (Gambar 2.7). Kepala penderita ditekuk di dagu sehingga garis orbitomeatal tegak lurus pada dasar meja


(45)

pemeriksaan. Untuk rincian yang lebih baik, tiap sisi harus dibuat terpisah dan pusat sinar X diarahkan ke pusat orbita dari sisi yang akan diperiksa, serta tegak lurus pada film (Mafee & Valvassori 2009).

Apeks petrosus jelas batasnya, tetapi diperpendek karena letaknya miring terhadap bidang film. Kanalis akustikus interna kelihatan seluruh panjangnya sebagai pita horizontal yang radiolusen berjalan melalui piramid petrosus. Di ujung medial kanalis, tepi bebas dari dinding posterior sangat jelas dan licin, cekung ke medial. Seringkali kanalis akustikus interna yang berupa pita yang radiolusen tampak memanjang ke arah medial hingga bibir dinding posterior ke dalam apeks petrosus. Gambaran ini bukan disebabkan oleh kanalis akustikus interna, melainkan karena perpanjangan medial bibir atas dan bawah dari porus (pintu) kanalis dan lekuk yang terbentuk. Sebelah lateral dari kanalis akustikus interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis superior maupun horizontal yang radiolusen biasanya dapat terlihat. Lingkaran koklea bagian apikal dan medial terhimpit dengan bagian lateral kanalis akustikus interna, sedangkan lengkungan basiler tampak dibawahnya, demikian juga dengan vestibulum (Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.7. Posisi penderita pada proyeksi transorbital, sinar X diarahkan tegak lurus pada film (Yong 2001).


(46)

2.13.3. Proyeksi Stenvers

Proyeksi ini dibuat dengan penderita menghadap ke film dengan kepala sedikit menekuk dan berputar 450 ke arah sisi yang tidak diperiksa (Gambar 2.8). Tepi lateral orbita pada sisi yang diperiksa terletak dekat sekali dengan permukaan meja pemeriksaan. Gugusan sinar X bersudut 12-140 ke kaudal (Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.8. Posisi penderita pada proyeksi Stenvers, sinar X bersudut 12-140 ke kaudal (Yong 2001).

Seluruh apeks petrosus terlihat lengkap di sebelah lateral rima orbita. Pembukaan kanalis akustikus interna tampak di depan berbentuk lonjong yang radiolusen, terbuka ke medial dan berakhir di sebelah lateral oleh tepi bebas dinding posterior kanalis akustikus interna. Sebelah lateral dari pembukaan, kanalis akustikus interna tampak sangat memendek. Vestibulum dan kanalis semisirkularis, terutama bagian posterior, yang


(47)

dalam proyeksi ini terletak di dalam bidang yang sejajar film, biasanya dapat dikenali. Diluarnya, seluruh mastoid jelas terlihat, dengan prosesus mastoid bebas dari himpitan (Gambar 2.9) (Mafee & Valvassori 2009).

Gambar 2.9. Gambaran pneumatisasi mastoid yang pneumatik pada proyeksi Stenvers (Yong 2001).

2.13.4. Proyeksi Mayer

Proyeksi Mayer dibuat dengan kepala penderita berputar 450 ke arah sisi bawah yang diperiksa dan tabung disesuaikan sehingga sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Gambar 2.10). Proyeksi ini memberikan gambaran aksial dari tulang petrosus dan pneumatisasi mastoid. Antrum mastoid, kanalis akustikus eksterna dan sisi depan kavum timpani jelas terlihat (Gambar 2.11) (Lee 2003).


(48)

Gambar 2.10. Posisi penderita pada proyeksi Mayer, sinar X melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450 (Yong 2001).

Gambar 2.11. Gambaran pneumatisasi mastoid yang diploik pada proyeksi Mayer (Yong 2001).


(49)

2.14. Gambaran Radiologik pada OMSK

Gambaran radiologik pada otitis media kronis terdiri atas perselubungan yang tidak homogen pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid, serta perubahan yang bervariasi pada struktur trabekulasi mastoid. Proses inflamasi pada mastoid akan menyebabkan penebalan struktur trabekulasi diikuti demineralisasi trabekula, pada saat ini yang tampak pada foto adalah perselubungan sel udara mastoid dan jumlah sel udara yang berkurang serta struktur trabekula yang tersisa tampak menebal. Jika proses inflamasi terus berlangsung, maka akan terlihat obliterasi sel udara mastoid dan biasanya mastoid akan terlihat sklerotik. Kadang-kadang lumen antrum mastoid dan sisa sel udara mastoid akan terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat pula sebagai perselubungan (Makes 2005).

Bersamaan dengan progresivitas infeksi, maka akan terjadi demineralisasi diikuti destruksi trabekula dimana pada proses mastoiditis yang hebat akan terjadi penyebaran ke arah posterior dan menyebabkan tromboflebitis pada sinus lateralis (Makes 2005).

2.15. Gambaran Radiologik pada Kolesteatoma

Pada kolesteatoma yang menyebar ke arah mastoid akan menyebabkan destruksi struktur trabekula mastoid dan pembentukan kavitas besar yang berselubung dengan dinding yang licin. Kadang-kadang kolesteatoma dapat meluas ke sel udara mastoid tanpa merusak trabekulasi tulang dan jenis ini sering dijumpai pada anak-anak, dimana gambaran radiologiknya berupa perselubungan pada sel udara mastoid dan sulit dibedakan dengan mastoiditis biasa. Untuk melihat lesi-lesi kolesteatoma yang kecil atau ingin melihat lesi lebih jelas perlu dibuat tomografi tulang temporal (Makes 2005). Pada kebanyakan kasus kolesteatoma, proyeksi Schüller seharusnya cukup karena memungkinkan penilaian terhadap pneumatisasi mastoid yang membantu pendekatan operasi (Zahnert & Offergeld 2010).


(50)

2.16. Diagnosis Banding secara Radiologis

Menurut Zismor dan Novak, gambaran radiolusen pada foto polos mastoid dalam mendeteksi kolesteatoma perlu dipikirkan penyakit-penyakit lain. Beberapa diagnosis banding secara radiologis pada OMSK dengan kolesteatoma antara lain (Sohar 1991):

1. Bentuk variasi dari keadaan normal, dapat menyerupai gambaran radiolusen pada daerah antrum dan mastoid yaitu antrum yang besar dan biasanya simetris atau sinus sigmoid yang prominen yang dapat memanjang ke anterior hingga posterior mastoid.

2. Defek bekas operasi, dapat diketahui dengan anamnesis yang teliti. 3. Destruktif mastoiditis, pada keadaan ini tampak perselubungan

pada telinga tengah dan mastoid. Destruksi yang terjadi biasanya berbatas tidak jelas dan irregular.

4. Tumor-tumor jinak pada telinga tengah, antara lain:

a. Adenoma, biasanya pada bagian hipotimpanum, merupakan massa jaringan lunak dengan bentuk tidak spesifik dan tidak menyebabkan erosi tulang.

b. Kista epidermoid, disebut pula sebagai kolesteatoma kongenital, tampak sebagai massa jaringan lunak yang berbatas tegas dan mendestruksi tulang sekitarnya, tetapi tidak melakukan erosi pada skutum.

c. Hemangioma, tampak sebagai massa jaringan lunak dengan batas tidak tegas, mendestruksi tulang-tulang dan sering mengenai nervus fasialis.

5. Tumor-tumor ganas primer maupun sekunder.

Gambaran yang dominan adalah destruksi tulang yang meluas, tidak beraturan dan tepi yang tidak rata. Tumor ganas primer yang sering terdapat pada telinga tengah antara lain karsinoma sel skuamosa, kista adenoid, dan rhabdomiosarkoma.


(51)

2.17. Kerangka Teoritis

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

TANPA KOLESTEATOMA DENGAN KOLESTEATOMA

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN OTOSKOPI PEMERIKSAAN AUDIOLOGI PEMERIKSAAN RADIOLOGI

PEMBEDAHAN UMUR

PEKERJAAN JENIS KELAMIN

FAKTOR RISIKO - Riwayat otitis media berulang - Infeksi bakteri atau virus - Alergi

- Sumbatan tuba eustachius - Lingkungan

- Sosial ekonomi/imunodefisiensi - Anomali midfasial kongenital - Gangguan fungsi silia


(52)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Desain penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan studi potong lintang (cross sectional study). Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana gambaran kolesteatoma pada pemeriksaan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer yang dibandingkan dengan temuan saat operasi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di SMF THT-KL dan Radiologi FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan sejak bulan Mei 2013-Februari 2014.

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1. Populasi

Seluruh penderita dengan diagnosis OMSK yang datang berobat pada Divisi Otologi SMF THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan sejak bulan Mei 2013 sampai dengan Februari 2014.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi setelah dilakukan pemeriksaan otoskopi dan foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer, kemudian dibandingkan dengan temuan saat operasi. Sampel diambil dengan menggunakan metode

consecutive sampling. 1. Kriteria inklusi

a. Penderita yang didiagnosis OMSK dengan kolesteatoma maupun dicurigai telah terdapat atau akan dapat timbul kolesteatoma, baik laki-laki maupun perempuan.


(53)

b. Penderita OMSK yang tidak sembuh dengan pengobatan dan dijumpai tanda-tanda polip atau jaringan granulasi di telinga tengah, kantong retraksi maupun kolesteatoma yang terlihat pada pemeriksaan otoskopi.

c. Bersedia diikutsertakan dengan menyetujui informed consent. 2. Kriteria eksklusi

a. Penderita dengan penyakit keganasan pada telinga.

b. Penderita dengan riwayat operasi mastoidektomi sebelumnya.

3.3.3. Besar Sampel

Sampel dihitung dengan rumus besar sampel (Madiyono dkk. 2008):

Z2 d

α. P (1 - P)

Keterangan: 2

n : Jumlah sampel.

Z : Nilai standar distribusi statistik pada kesalahan tertentu α error 0,05 = 1,96.

P : Proporsi pada penderita OMSK dengan kolesteatoma yaitu 22,6% (Nora 2011).

d : Tingkat akurasi nilai estimasi dengan nilai sebenarnya = 15% = 0,15.

(1,96)2 (0,15)

. 0,226 (1 – 0,226)

n ≥ 29,86  30 2

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 30 orang. Total sampel pada penelitian ini adalah 40 orang.

n ≥


(54)

3.4. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti adalah foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer, temuan saat operasi, pneumatisasi mastoid, keadaan kolesteatoma, dan tanda klinis retroaurikuler.

3.5. Definisi Operasional

3.5.1. Otitis media supuratif kronis (OMSK) dengan kolesteatoma adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret purulen dari telinga tersebut lebih dari tiga bulan, yang disertai proses-proses erosi tulang (kolesteatoma, granulasi atau osteitis) dan terjadinya komplikasi.

3.5.2. Foto polos mastoid proyeksi Schüller adalah pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal yang dapat menentukan status pneumatisasi mastoid dan piramid tulang petrosus. Proyeksi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid, dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan berkas sinar X ditujukan dengan sudut 25-300

Cara melakukan pemeriksaan: sefalokaudal.

a. Kepala diposisikan true lateral, dengan menempatkan Mid

Sagital Plane kepala sejajar pada bidang film.

b. Inter Pupilary Line tegak lurus dengan bidang film, sedangkan

Inter Orbito Meatal Line sejajar dengan bidang film.

c. Telinga penderita dilipat ke depan supaya obyek tergambar dengan jelas, lakukan fiksasi untuk mencegah pergerakan dari obyek kepala penderita.

d. Berkas sinar X ditujukan 25-300

e. Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai obyek yang akan difoto, tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil.

sefalokaudal

f. Gunakan marker R atau L sebagai penanda obyek kanan atau kiri.


(55)

g. Jika posisi penderita sudah siap seluruhnya, lakukan eksposi dengan faktor eksposi yang sudah ditentukan.

Gambar dinyatakan sesuai kriteria apabila:

a. Tampak bagian os mastoid dengan bagian os petrosum di pertengahan film.

b. Tampak sel udara mastoid di bagian posterior petrous ridge. c. Temporomandibular joint tampak di bagian anterior dari petrous

ridge.

d. Bagian mastoid dan petrosum yang tidak diperiksa terproyeksi di bagian inferior.

e. Tampak kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai dengan obyek yang diperiksa.

f. Tampak marker R atau L sebagai penanda obyek kanan atau kiri.

3.5.3. Foto polos mastoid proyeksi Mayer adalah pemeriksaan radiologik konvensional pada tulang temporal yang dapat menentukan gambaran aksial dari tulang petrosus dan pneumatisasi mastoid. Proyeksi ini dibuat dengan kepala penderita berputar 450 ke arah sisi bawah yang diperiksa dan tabung disesuaikan sehingga sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan sudut 450

Cara melakukan pemeriksaan: .

a. Posisi penderita erect atau supine.

b. Atur dagu sehingga Inter Orbito Meatal Line tegak lurus terhadap bidang film.

c. Rotasikan kepala 450

d. Atur mastoid yang dekat dengan film berada pada pertengahan permukaan meja pemeriksaan, lakukan fiksasi untuk mencegah pergerakan dari obyek kepala penderita.

dengan daerah yang diperiksa dekat bidang film.


(56)

f. Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai obyek yang akan difoto, tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil.

g. Gunakan marker R atau L sebagai penanda obyek kanan atau kiri.

h. Jika posisi penderita sudah siap seluruhnya, lakukan eksposi dengan faktor eksposi yang sudah ditentukan.

Gambar dinyatakan sesuai kriteria apabila:

a. Tampak bagian tepi bawah petrous ridge, yang mencakup tepi bawah sel udara mastoid dan struktur tulang labirin.

b. Tampak kolimasi atau luas lapangan penyinaran sesuai dengan obyek yang diperiksa.

c. Tampak marker R atau L sebagai penanda obyek kanan atau kiri.

3.5.4. Temuan saat operasi adalah keadaan yang dijumpai selama pembedahan, antara lain luasnya kolesteatoma, jaringan granulasi, polip, proses-proses erosi tulang maupun retroaurikuler.

3.5.5. Pneumatisasi mastoid adalah sel-sel udara dalam rongga mastoid, dibagi atas tiga tipe pneumatisasi, yaitu pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh prosesus mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi kurang berkembang.

3.5.6. Keadaan kolesteatoma adalah luasnya kolesteatoma dalam rongga mastoid dan kavum timpani. Derajat perluasan kolesteatoma menurut Kuczkowski et al. (2011) dikelompokkan atas:

• Meliputi satu area : epitimpanum atau mesotimpanum • Meliputi dua area : epitimpanum atau mesotimpanum dan

antrum

• Meliputi tiga area : epitimpanum, mesotimpanum dan antrum.


(57)

3.5.7. Tanda klinis retroaurikuler adalah pengamatan klinis yang dijumpai pada daerah belakang daun telinga akibat komplikasi kolesteatoma seperti terdapatnya abses, fistel dan sikatrik retroaurikuler.

3.6. Bahan dan Alat Penelitian 1. Status penelitian.

2. Formulir persetujuan penelitian.

3. Lampu kepala merk Riester tipe Ri-focus. 4. Spekulum telinga tipe Hartmann.

5. Otoskop merk Reister tipe Pen-scope. 6. Larutan peroksida 3%.

7. Alat penghisap merk Thomas Medipump tipe 1132 GL. 8. Kanul penghisap nomor 6 dan 8 tipe Fergusson.

9. Spekulum hidung merk Renz tipe Hartmann. 10. Spatel lidah tipe Brunnings.

11. Kaca faring dan laring merk Renz.

12. Pesawat sinar X merk Hitachi tipe TV-51/11-155VC11, usia alat 8 tahun, dikaliberasi setiap tahun oleh Badan Pemeriksa Fasilitas Kesehatan (BPFK) dan terakhir dikaliberasi tanggal 1 Juli 2013.

3.7. Cara Kerja

Pemeriksaan awal dilakukan di poliklinik SMF THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Penderita terlebih dahulu dianamnesis untuk mengetahui keluhan utama dan lamanya keluhan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan rutin THT dengan menggunakan lampu kepala, spekulum telinga, otoskop, spekulum hidung, spatel lidah, kaca faring dan kaca laring. Jika dijumpai sekret pada liang telinga, dilakukan pembersihan menggunakan larutan peroksida 3% dan alat penghisap berkanul sehingga lapangan pandang pemeriksaan otoskopi lebih jelas. Apabila diagnosis sementara penderita adalah OMSK dengan


(58)

kolesteatoma ataupun sangkaan kolesteatoma, selanjutnya penderita diperiksa foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer di SMF Radiologi FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan oleh radiografer, Ahli Madya Radiologi (AMR), yang bertugas saat itu. Hasil foto polos dibacakan oleh dokter Netty D. Lubis, Sp.Rad(K). Kemudian penderita direncanakan operasi timpanomastoidektomi oleh Divisi Otologi SMF THT-KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan. Dokter Netty D. Lubis, Sp.Rad(K) tidak diberitahu mengenai klinis penyakit, sedangkan operator timpanomastoidektomi tidak mengetahui pembacaan foto polos mastoid. Hasil temuan saat operasi dibandingkan dengan pembacaan foto polos mastoid.

3.8. Analisa Data

Hasil penelitian berupa uji diagnostik untuk melihat gambaran foto polos mastoid proyeksi Schüller dan Mayer dibandingkan dengan temuan saat operasi dinyatakan dalam tabel 2 x 2 sehingga penilaiannya dapat memberi kemungkinan hasil positif benar (sel a), positif semu (sel b), negatif semu (sel c), dan negatif benar (sel d).

Baku emas

Uji

Positif Negatif Jumlah

Positif a b a+b

Negatif c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Dari tabel 2 x 2 ini dapat diperoleh beberapa nilai statistik (sensitivitas dan spesifisitas) yang memperlihatkan berapa akurat suatu uji diagnostik dibandingkan dengan baku emas yang didapat.

Akurasi (%) = (a+d) : (a+b+c+d) Sensitivitas (%) = a : (a+c)

Spesifisitas (%) = d : (b+d) Nilai prediksi positif (%) = a : (a+b)


(59)

Nilai prediksi negatif (%) = d : (c+d)

Rasio kemungkinan positif = sensitivitas : (1-spesifisitas) Rasio kemungkinan negatif = (1-sensitivitas) : spesifisitas

Pre-test probability (prevalensi) (%) = (a+c) : (a+b+c+d)

Pre-test odds = prevalensi : (1-prevalensi)

Post-test odds = pre-test odds x rasio kemungkinan+

Post-test probability (%) = post-test odds : (post-test odds+1)

3.9. Kerangka Kerja

DENGAN

KOLESTEATOMA OMSK

FOTO POLOS MASTOID

DAN OPERASI KECURIGAAN

KOLESTEATOMA

UJI DIAGNOSTIK


(1)

Atur luas kolimasi atau luas lapangan penyinaran kemudian dilakukan eksposi.

Pada proyeksi Mayer, kepala penderita berputar 450 ke arah sisi bawah


(2)

Sinar utama melewati kanalis akustikus eksterna menuju film dengan


(3)

LAMPIRAN 8.

PERSONALIA PENELITIAN

I. Peneliti Utama

Nama : dr. Debi Rumondang Siregar

NIP : 19800904 200604 2 022

Gol/Pangkat : III-c/Penata

Jabatan : PPDS THT-KL FK-USU

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL Waktu Disediakan : 12 jam/minggu

II. Anggota Peneliti/Pembimbing

A. Nama : dr. Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL

NIP : 19700812 199903 1 002

Gol/Pangkat : III-d/Penata Tk-I

Jabatan : Sekretaris Program Studi Departemen THT- KL FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan Staf Divisi Otologi-Neurotologi

Departemen THT-KL FK USU/

RSUP. H. Adam Malik Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL Waktu Disediakan : 5 jam/minggu


(4)

NIP : 19460305 197503 1 001 Gol/Pangkat : IV-e/Pembina Utama

Jabatan : Guru Besar

Ketua Divisi Otologi

Departemen THT-KL FK USU/

RSUP. H. Adam Malik Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL Waktu Disediakan : 5 jam/minggu

C. Pembimbing Ahli : dr. Netty D. Lubis, Sp.Rad(K)

NIP : 19640325 198902 2 001

Gol/Pangkat : IV-c/Pembina Utama Muda Jabatan : Wakil Kepala Instalasi Radiologi

FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan Staf Pengajar Departemen Radiologi

FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian : Radiologi

Waktu Disediakan : 5 jam/minggu


(5)

LAMPIRAN 9.


(6)

CURRICULUM VITAE

I. IDENTITAS

1. Nama : dr. Debi Rumondang Siregar

2. Tempat/ Tanggal lahir : Medan / 04 September 1980 3. Alamat : Jl. sei Blutu no. 23 Medan 4. No Telp/ HP : 061-4576791 / 085249951316

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1986 - 1992 : SD Methodist 1 Medan 2. 1992 - 1995 : SLTP Methodist 1 Medan 3. 1995 - 1998 : SMU Negeri 11 Medan

4. 1998 - 2005 : Fakultas Kedokteran USU Medan 5. 2009 - sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. 2005 - 2006 : PTT di Puskesmas Batubua

Kab. Murung Raya Kalimantan Tengah 2. 2006 - sekarang : Pegawai Negeri Sipil Kabupaten

Murung Raya

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2005 - sekarang : Anggota IDI Cab. Kab. Murung Raya 2. 2009 - sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL