Penelitian ini hanya akan mengkaji bagaimana sistem Secara kelembagaan, penelitian ini dapat dijadikan Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang yang Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang,

penelitian dan faktor yang mana yang tidak masuk dalam ruang penelitian, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya akan mengkaji bagaimana sistem

presidensial Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen dalam hal ini adalah mengenai kekuasaan Presidendan persamaannya dengan konsep kekuasaan Thomas Hobbes.

2. Pada penelitian ini yang menjadi kajian dari praktik

pemerintahan presidensial itu adalah pada masa pemerintahan Soekarno Demokrasi Terpimpin.

1.5 TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan bagaimana konsep kekuasaan menurut

Thomas Hobbes. 2. Menggambarkan bagaimana kekuasaan Presiden di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen. 3. Menjelaskan apakah persamaan antara konsep sistem presidensial yang dijalankan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen tentang kekuasaan Presiden dengan konsep kekuasaan Thomas Hobbes.

1.6 MANFAAT PENELITIAN 1.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan ilmiah di bidang politik dan memberikan sumbangan pemikiran dan referensi tentang teori kekuasaan.

2. Secara kelembagaan, penelitian ini dapat dijadikan

landasan dalam membenahi kekuasan dalam sebuah pemerintahan.

3. Bagi penulis sendiri, penelitian ini memiliki manfaat dalam

mengembangkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk menulis karya ilmiah dan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian program Strata Satu di Departemen Ilmu Politik.

1.7 KERANGKA TEORI Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian ini,maka

diperlukan suatu kerangka teori maupun konsep-konsep sebagai landasan berfikir untuk menjelaskan dan menganalisis secara gamblang tentang sistem presidensial di Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen dan persamaannya dengan konsep kekuasaan Thomas Hobbes sehingga mampu menjadi gagasan yang bermanfaat. Adapun kerangka teori maupun konsep yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.7.1 Kekuasaan Kekuasaan adalah salah satu dari sekian banyak konsep politik yang banyak dibahas dan dipermasalahkan,oleh karena itu tidak mengherankan konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya dan dalam ilmu politik khususnya 22 22 Ibid, hlm 59 . Bahkan banyak orang awam yang mengartikan politik itu adalah kekuasaan itu sendiri. Hal tersebut tidak mengherankan oleh karena Machiavelli,seorang pemikir filsafat politik dari Florence,Italia, pernah mengatakan bahwa , “Politik adalah sejumlah sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan,mempertahankan kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal 23 Bila didefinisikan,akan banyak defenisi-defenisi kekuasaan yang telah diutarakan oleh para ahli. Akan tetapi kebanyakan sarjana berpangkal tolak dari perumusan sosiolog Max Weber dalam bukunya Wirtschaft and Gesselshaft 1992 ”. 24 Sarjana yang kira-kira sama dengan pemikiran ini adalah Harold D.Laswell dan Abraham Kaplan yang defenisinya sudah menjadi rumusan klasik : Kekuasaan adalah kemampuan untuk,dalam suatu hubungan sosial,melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan,dan apapun dasar kemampuan ini Macht beduetet jede chance innerhaibeiner soziale Beziehug den eignen Willen durchzusetchen auch gegen Widerstreben durchzustzen,gleichviel worauf diese chance beruht. 25 Kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama Power is a relationship in which one person or group is able to determine the action of another in the direction of the former’s own ends : 26 23 Leo Agustino, Op.Cit, hlm 71 24 Miriam Budiardjo, Op.Cit hlm 60 25 Ibid, hlm 60 26 Lihat Harold D.Laswell dan Abraham Kaplan, Power and Society New Heaven : Yale University Press,1950, hlm.74 . Defenisi Laswell dan Kaplan sejalan juga dengan defenisi yang ditawarkan oleh Charles Andrain di mana ia mengatakan bahwakekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya aset,kemampuan untuk memperoleh kepatuhan tingkah laku meyesuaikan dari orang lain 27 . Hal serupa atas defenisi di atas dapat kita temukan dari scolar lain, Ramlan Surbakti misalnya,yang mengatakan bahwa kekuasaan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber berpengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain,sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi 28 Kekuasaan menurut Inu Kencana, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan terentu. Kekuasaan yaitu kemampuan untuk mmempengaruhi pihak lain untuk kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan jadi, . 27 Leo Agustino, Op.Cit. hlm 72 28 Ibid, hlm 72 kekuasaan dapat didefenisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan seseorang atau sekelompok orang. 29 Kemudian ada juga beberapa hal yang melekat dalam konsep kekuasaan tersebut yaitu legitimasi dan wewenang. Legitimasi secara umum diartikan sebagai keyakinan anggota masyarakat bahwa kekuasaan yang ada pada seseorang,kelompok,atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati Dari berbagai defenisi yang sudah disebutkan di atas dapat kita artikan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain tersebut berperilaku seperti yang dikehendaki oleh pihak yang mempengaruhi tersebut. Artinya memang dalam kekuasaan tersebut ada suatu hubungan perilaku antara pihak yang memiliki kekuasaan penguasa dengan yang dikuasai. 30 29 Inu kencana, Ilmu Politik, Jakarta: Rineke Cipta, 2000, hal. 53. 30 Ibid, hlm 73 . Sedangkan otoritas merupakan suatu legitimasi hak atas dasar suatu kepercayaan untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu. Jadi kewenangan adalah merupakan suatu bentuk kekuasaan yang sah atau memiliki legitimasi 31 Legitimasi sedemikian penting maknanya sebagai dasar daripada kekuasaan. Hal ini berlaku di semua lingkungan masyarakat tanpa terkecuali,dalam lembaga-lembaga yang diakui secara sah oleh masyarakat seperti dalam keluarga kekuasaan orangtua atas anak,agama kekuasaan moral,kekuasaan lembaga fungsional kekuasaan atas dasar hubungan kerja dan kekuasaan dalam negara kekuasaan politik adalah kekuasaan yang timbul karena legitimasi politik dan inilah yang mendasari kekuasaan dalam suatu negara untuk melaksanakan kehendak negara pada rakyatnya Wahidin,2007 : 2 . Dalam bahasa lain Laswell dan Kaplan menyebut otoritas sebagai kekuasaan formal formal power. 32 Pada akhirnya ada beberapa karakteristik yang muncul ketika kita membahas tentang konsep kekuasaan yaitu . 33 31 P.Anthonius Sitepu, Op.Cit . hlm 52 32 Ibid, hlm 52 33 Leo Agustino, Op.Cit, hlm 74-75 : • Kekuasaan baru akan muncul ketika terjadi interaksi antar aktor baik itu aktor individu,kelompok,institusi,ataupun negara. Kekuasaan baru akan terkuak manakala subjek dan objek melakukan interaksi. Oleh karenanya,tidak akan pernah berlaku konsep kekuasaan antar aktor manakala mereka tidak pernah melakukan interaksi. Kekuasaan memerlukan periodisasi waktu di mana satu aktor akan terlihat begitu mendominasi atau menghegemoni dibandingkan aktor lainnya. • Pemegang kekuasaan adalah aktor yang memiliki sumber kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang diperintah. • Pemegang kekuasaan akan mempengaruhi aktor lain untuk melakukan kehendaknya dengan menggunakan kekuasaan yang dimilkinya tersebut. Secara konseptual bahwa kekuasaan adalah kemampuan aktor untuk mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti perintahkeinginannya,maka jelas bahwa kekuasaan akan sangat berhubungan dengan upaya pengaruh influence,manipulasi,ancaman,tekanan fisik dan lain sebagainya. Ada 6 enam sumber daya kekuasaan menurut Wahidin khususnya secara formal adminsitratif sebagaimana yang dikutip oleh Antonius Sitepu dalam bukunya yang berjudul Teori-teori Politik, yaitu sebagai berikut: • Kekuasaan balas jasa reward power yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif uang, perlindungan, perkembangan karier,janji positif dan sebagainya yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketudukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan. • Kekuasaan paksaan coercive power berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi motivasi bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan. • Kekuasaan legitimasi legitimate power kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berangkat dari nilai-nilai intern yang sah untuk memengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seseorang lain ditentukan sebagai pimpinannya petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bias juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang yang beruntung memperoleh legitimasi suatu kekuasaan. • Kekuasaan pengendalian atas informasi control of information powerkekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan di mana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yangdibutuhkan orang lain maka mau tidak mau harus tunduk secara terbatas pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaraninformasi, atas legitimasi kekuasaan yang dimilikinya. • Kekuasaan panutan refent power, kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek kultural yang biasanya muncul dari pemahaman religiositas direflekssikan pada charisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaanya. • Kekuasaan keahlian expert power, kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempahan yang lama dan muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam keahliannya itu, seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batas-batas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiiknya karena ada kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin.

1.7.2 Pemisahan Kekuasaan Secara teoritis, pemisahankekuasaan negara berdasarkan

fungsi lembaganya didasarkan pada asumsi, bahwa adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, maka dapat terjadi pengelolaan sistem pemerintahan secara absolut atau otoriter, misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada pada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pemisahan kekuasaan, sehingga diharapkan adanya kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Negara mempunyai kekuasaan yang secara normatif dicerminkan dari batasan, pedoman dan aturan lain yang dituangkan dalam konstitusi. Di dunia Barat ada dikenal dengan pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, diantaranya: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. John Locke sebagai pencetus pertama kali tentang pembagian kekuasaan dengan melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties on Civil Government”. Dia menolak pendapat bahwa kekuasaan itu sifatnya turun temurun. Hal ini akan senderung untuk melaksanakan kekuasaan itu dengan tidak memperhatikan aspirasi atau kehendak rakyat. John Locke memisahkan kekuasaan kedalam tiga bidang, yaitu 34 2 Kekuasaan eksekutif ialah wewenang mempertahankan dan melaksanakan Undang-Undang serta mengadili perkara. Wewenang mengadili perkara ini menurut John Locke dianggap : 1 Kekuasaan legislatif ialah wewenang membuat Undang- Undang. 34 Christin S.T Kansil, Ilmu Negara, Jakarta: Pradnya Paramita ,2007, hal. 140. sebagai Uithvoering atau pelaksanaan, karena merupakan bagian dari wewenang eksekutif. 3 Kekuasaan federatif ialah wewenang yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. Yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan absolut dalam suatu negara.Dan kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sekitar beberapa tahun berikutnya muncullah Montesquieu yang mencetuskan teori pemisahan kekuasaan atau yang lebih dikenal dengan “Trias Politica” ke dalam tiga bidang.dalam bukunya yang berjudul L ‟esprit des Louis pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Dengan adanya pemisahan kekuasaan diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Kekuasaan yang dimaksud adalah:

1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang yang

nantinya dijadikan sebagai patokan untuk berinteraksi baik secara kelembagaan maupun individual di dalam negara.

2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang,

yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan penerapan Undang-Undang tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakan. 3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar untuk menegakkan Undang-Undang serta mengadili pelanggaran Undang-Undang dengan segala konsekuensinya. Menurut Montesquieu, dengan adanya pemisahan kekuasaan ini diharapkan kemerdekaan bagi setiap individu dijamin terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan bila kekuasaan tersebut terpusat pada satu orang. Oleh karena itulah dibutuhkan pemisahan kekuasan untuk mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. Bisa dilihat hampir diseluruh negara menerapkan konsep Trias Politica dalam kehidupan berpolitik. Dalam suatu negara bisa dikatakan negara berdemokrasi dalam kehidupan berpolitik apabila diterapkannya konsep ini. Karena pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik atau satu lembaga independen saja melainkan harus terpisah dengan lembaga-lembaga negara yang berbeda. Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances saling koreksi dan saling mengimbangi. Biarpun dalam prakteknya, jalanya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. Di Indonesia sendiri menurut UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebelum diamandemen terdapat pembagian kekuasaan negara:

1. MPR memegang kekuasaan konstitutif.