49
tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan
cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga
catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.
12
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, diantaranya:
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik
yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika
mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi
telah tidak ada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari. 3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda
tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
12
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri Nikah Urfi? Antara Hukum Syari Undang Undang Negara, artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http:abiubaidah.com
50
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta
penghalang-penghalangnya sebelum melakukan pernikahan.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja
sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya
karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
13
Dalam, kiprahnya di masyarakat selama 35 tahun sepertinya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sepertinya tidak mengena langsung di
masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari penemuan penulis disini dimana masih ditemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.
Untuk dewasa ini sepertinya diperlukan revisi terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 1974, mengingat adanya pro kontra mengenai pemidanaan pelaku nikah sirri.
Sebagian masyarakat yang kontra merasa keberatan dengan hal ini, karena menurutnya hal ini tidak dilarang dalam agama.
Dewan Dakwah Islam Indonesia DDII menilai berlebihan jika kemudian nanti orang yang menikah siri dihukum pidana. Menurutnya lebih baik pemerintah
mengurusi saja masalah perzinahan. Maraknya perzinahan di negeri ini. Jangan kemudian orang yang sudah sah menikah secara agama Islam kemudian dibayang-
bayangi dengan pidana.
13
. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, h.74-75
51
Sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan dengan pembinaan secara baik. Ini bisa dilakukan melalui para tokoh-tokoh dan pemuka agama Islam di negeri ini.
Karena sebenarnya kesadaran umat untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA juga sudah sangat tinggi. Jangan kemudian pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
hukum pidana.
14
Di satu sisi, bisa saja mereka yang menikah siri adalah karena terkendala masalah dana, jika pernikahannya dicatatkan di KUA. Dikatakan dalam Undang-
undang biaya untuk menikah di KUA murah. Tapi menurut masyarakat kenyataannya di lapangan tidak demikian. Mereka yang tidak memiliki dana cukup untuk ke KUA,
lebih memilih nikah siri. Nikah siri dalam artian nikah yang sah secara agama Islam.
Masih menurut kelompok yang kontra terhadap pemidanaan pelaku nikah sirri, pasangan yang menikah siri tentunya juga harus mengetahui konsekuensi yang
harus dihadapi. Dalam artian, mereka tentu juga sudah siap menanggung resikonya. Jika kelak dikemudian hari ada sengketa hukum, tentunya tidak bisa diproses secara
hukum nasional.
Jadi sekali lagi, peran negara tidak bisa mencampuri terlalu jauh. Daripada mengurusi orang yang sudah nikah secara sah namun sirri, urus saja masalah
maraknya perzinahan, aksi pornografi dan pornoaksi yang marak di negeri ini dan sangat merusak.
14
MUI : “Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
52
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan mengatur terlalu dalam tentang formalitas
perkawinan terkait dengan Rancangan Undang-Undang RUU Peradilan Agama. Yang harus menjadi prioritas Negara manurutnya adalah Negara harusnya hanya
melegalkan perkawinan dengan melakukan pencatatan dan tidak terlalu mengatur tentang masalah formalitasnya.
15
Pengaturan formalitas perkawinan yang berlebihan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pihak negara. Ifdhal
mencontohkan, bila terdapat pengaturan yang berlebihan maka pemerintah bisa saja mengkriminalisasikan banyak orang hanya karena mereka tidak mencatat pernikahan
yang telah mereka lakukan.
16
Persoalan perkawinan tersebut dinilai bisa dikategorikan termasuk dalam bagian privasi dari seseorang. Untuk itu, pemerintah harus dapat bersikap pasif
dengan tujuan antara lain untuk menghormati nilai-nilai HAM dari warga negaranya.
Miris memang mendengar penuturan diatas, namun inilah yang terjadi di Negara ini. Mereka lupa akan manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, padahal
15
Krisman, “Komnas HAM : Pemerintah Jangan Terlalu Mengatur Perkawinan”, diakses pada 10 Maret 2010 dari http:www.antaranews.comberita1266186453komnas-ham-pemerintah-
jangan-terlalu-mengatur-perkawinan.
16
Ibid.,
53
hal ini merupakan politik syar’i
17
yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak
dan khawatir adanya pengingkaran.
18
Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelekan pada zaman
sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at
kita yang indah.
Jadi apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi
rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:
… ْ ﻜ ﺮْ ﻷْا ﻰﻟْوأو لﻮ ﺮﻟا اﻮ ﻴﻃأو ﷲا اﻮ ﻴﻃأ اﻮ اء ﺬﻟا ﺎﻬ أﺎ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
Nya, dan ulil amri diantara kamu.” QS. an-Nisaa’: 59
17
Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syariat, bukan haya yang diperintahkan syariat. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan
kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syariat maka itulah politik syar’i Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-lati Yuriduha
Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman
18
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri Nikah Urfi? Antara Hukum Syari Undang Undang Negara, artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http:abiubaidah.com
54
Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”.
19
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.
Bukankah menjaga kehormatan dan nasab manusia adalah maslahat yang besar. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah pemerintah terbagi
menjadi tiga macam;
1. Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardlu, maka wajib menaatinya.
2. Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya.
3. Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu-lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak
bertentangan dengan syari’at, maka wajib ditaati juga, bila tidak menaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
20
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada
19
Hasan Ali, AL-Ahkam As-Sulthoniyyah, Mekah, 450 Hh,30
20
Abu Ubaidah as-Sidawi, Hukum Menikah Sirri Nikah Urfi? Antara Hukum Syari Undang Undang Negara, artikel diakses pada 3 maret 2010 dari http:abiubaidah.com
55
dalam perintah syari’at maka tidak wajib menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
21
RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan siri,
perkawinan mut’ah kontrak, dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dapat diancam
dengan hukuman berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun.
Masyarakat yang pro menanggapi hal ini sebagai suatu kemajuan. Menurut mereka, perlu diadakan revisi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 terutama bagian
pasal 7 ayat 2 tentang batas usia menikah. Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA Ahmad Sofian SH, MA Undang-Undang UU Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan harus lebih sensitif peka-red terhadap persoalan anak.
22
Yaitu dengan memberikan perlindungan yang komperehensif terhadap anak. Terutama sekali masalah pernikahan dini yang cenderung dijadikan modus eksploitasi
seksual komersial anak.
21
Mustofa Said Al Khin, Mustofa Al Buqho, Imam Nawawi, Syarh Riyadhus Sholihin, Penerjemah Muhil Dhofir dan Faria Dhofir, Jakarta: Al I’tishomCahaya Umat, 2006, h.726
22
Krisman, “Direktur PKPA : Revisi UU Perkawinan Harus Sensitif terhadap Anak” diakses pada 10 Maret 2010 dari http:www.antaranews.comberita1266186454direktur-pkpa-revisi-uu-
perkawinan-harus-sensitif-terhadap-anak
56
Kementrian Agama RI dan DPR harusnya segera dapat mempertimbangkan batas usia enambelas tahun bagi perempuan untuk diperbolehkan menikah karena hal
itu salah satu pemicu terjadinya pernikahan dini dan bisa menjurus kearah pernikahan sirri.
Masih menurut direktur PKPA, UU Perkawinan itu juga perlu disempurnakan dengan memasukkan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan pelarangan
pernikahan dini, termasuk pemidanaan bagi pelaku demi mendukung perangkat hukum kita dalam melindungi hak anak-anak.
Batas usia yang dianut oleh UU perkawinan belum singkron dengan Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Perdagangan Orang,
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU lain yang berkaitan dengan melindungi anak dari perlakuan salah.
Saat ini Kementrian Agama yang sedang mempersiapkan revisi mengenai pasal pemidanaan bagi pihak yang melakukan perkawinan siri atau perkawinan di
bawah tangan.
Menurut keyakinan kementrian agama, perkawinan siri banyak menimpa perempuan yang belum dewasa. Beberapa diantaranya masih berusia di bawah 14
57
tahun seperti yang terjadi dalam kasus Sheikh Puji di Semarang dan H Azka di Rantauprapat-Sumut.
23
Alhasil hal ini menjadi perbincangan sengit di mata masyarakat dalam berbagai versi pandangan berbeda. Ada yang menyaksikan miris dan adapula yang
jusru pro terhadap kelakuan mereka. Padahal masyarakat bisa menilai bahwa hal ini diluar batas kewajaran.
Terobosan terbaik telah dilakukan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Amidhan mengatakan, bahwa pelaku pernikahan yang menurut undang-undang tidak
sah, seperti pernikahan siri bisa dikenai sanksi. Sesuai dengan fatwa yang diputuskan di Padangpanjang, Sumatra Barat, Januari 2009, dengan mengacu pada undang-
undang perkawinan tahun 1974, sebuah pernikahan harus sah secara agama dan Negara.
24
Kalau secara agama sah tapi negara tidak, maka bertentangan dengan undang- undang, ada sanksinya. Nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh
seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Undang-undang perkawinan memang tidak memuat aturan khusus tentang pernikahan siri namun
ketentuan itu mewajibkan warga negara yang menikah melaporkan pernikahannya ke instansi terkait.
23
Taufik Rachman, “Kawin Siri Rugikan Perempuan”, diakses pada 10 Maret 2010 dari http;www.antaranews.comberita126635845kawin-siri-rugikan-perempuan
24
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
58
Meski secara agama sah, pernikahan siri tidak dicatatkan atau dilaporkan ke lembaga pencatatan negara. Apabila tidak ada laporan mengenai pernikahan, maka
pernikahan ini dianggap tidak sah dan menyalahi aturan Undang-undang yang bisa dikenakan sanksi.
Aturan yang seperti ini sudah diterapkan sejak lama namun tidak ditegakkan pelaksanaannya. Berkenaan dengan hal itu Ketua Komisi VIII DPR RI Abdul Kadir
Karding mengatakan pihaknya masih mengkaji pokok-pokok aturan dalam Rancangan Undang Undang RUU Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang
antara lain membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak tersebut. Namun anggota DPR Komisi VIII berhati-hati mengambil sikap dalam hal ini karena nikah
siri memang tidak dilarang agama.
25
Anggota DPR Komisi VIII juga akan membahas dampak peraturan semacam itu terhadap kehidupan perempuan dan anak mengingat selama ini perempuan dan
anak paling dirugikan dalam pernikahan siri. RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010 antara lain memuat ketentuan pidana
terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mut’ah kontrak, dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang
ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun.
25
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi”, Republika, 16 Februari 2010, h.23
59
Kawin sirri kalau dilihat secara umum masih banyak mudarat dampak buruk karena merugikan istri atau perempuan dan anaknya. Hal ini diutarakan oleh
ketua Majealis Ulama Kabupatean Bangka, Yubahar Hasan, secara administrasi pemerintahan, kawin `sirri` tidak tercatat di Kantor Urusan Agama KUA sebagai
lembaga yang sah mengeluarkan surat nikah.
26
Menurut dia, dengan tidak terdaftarnya di KUA, maka pasangan suami istri yang melakukan nikah sirri sudah pasti tidak mempunyai surat nikah sebagai
dokumen administarsi penting untuk keluarga. Dan jika tidak ada surat nikah maka seorang istri dan anaknya tidak bisa menuntut haknya dari suaminya karena memang
tidak bisa dibuktikan secara hukum pernikahan.
Dalam ketentuan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, katanya, pelaku kawin sirri bisa dijatuhi hukum pidana, karena
undang-undang itu mengatur bahwa laki-laki dan perempuan harus menikah menurut agama dan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Mengacu dari penjelasan UU itu, masalahnya sekarang dikembalikan kepada masing-masing orang untuk dapat menerjamahkan yang lebih mendalam dan secara
operasional tentang makna pernikahan dan hak-hak mereka.
26
Ibid.,
60
Secara legalitas, kawin siri dengan kawin kontrak tetap akan merugikan pihak perempuan karena tidak bisa menuntut hak dan tidak mempunyai surat bukti nikah
yang sah dari KUA.
Praktik nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 Tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana. Untuk itu rencana
kriminalisasi praktik nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan.
27
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Sosial eLSAS Dr Asrorun Niam Sholeh dalam perbincangan di Jakarta, Rabu17210. Masalah
pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya, ujar Niam.
28
Beliau menegaskan setuju terhadap keharusan pencatatan pernikahan, untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak atau motif negatif dalam
pernikahan. Kata dia, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan, bahkan bisa jadi hukumnya wajib. Walau demikian Niam mengingatkan perlunya sikap
proporsional pada kasus nikah siri.
Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana. Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam,
27
Dwi, “DDII: Berlebihan, Jika Nikah Siri Dipidana,” Republika, 20 February 2010, h.24
28
MUI : Pelaku Nikah Sirri Bisa Kena Sanksi, Republika, 18 februari 2010, h.24
61
merupakan tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini dinilainya bertentangan dengan prinsip
kehidupan bernegara.
Warga Rw 10 kelurahan kebon sirih mungkin hanya sebagian kecil median penelitian. Berpenduduk lebih dari 2500 jiwa, daerah sempit namun padat. Terdapat
berbagai perbedaan pandangan mengenai peran pemerintah menjalankan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Pemuka-pemuka berdasarkan ‘urf, berpendapat bahwa pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan dalam syariah
islam. Dilihat disini yang menjadi prioritas disini adalah faktor keagamaan, mengesampingkan ospek pemerintahan.
Kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia membuat bermacam-macam pandangan mengenai banyak hal. Tidak terlepas pula mengenai hal bersangkutan
masalah ‘urf yang ada di masyarakat. Dalam banyak masalah pasti akan kembali dan bersandingan dengan ‘urf.
Dalam konteks pembahasan dalam masalah ini, al ‘urf atau mudahnya disebut adat kebiasaan, menjadi “buku pedoman” yang tak tertandingi di masyarakat
Indonesia. Segala hal pasti dikaitkan dengan adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang sudah di laksanakan dari dulu. Hingga demikian akan sulit untuk
menghapuskan secara permanen.
62
Pernikahan sebagai suatu kegiatan yang dianggap sakral pun tak lepas dari kondisi ini. Adanya bermacam-macam kebiasaan yang sepertinya harus dilakukan
masyarakat, untuk merubahnya butuh keberanian. Pemerintah sebagai pengatur masyarakat mengupayakan segala yang terbaik
buat kelangsungan hidup bermasyarakat. Menciptakan berbagai aturan hukum yang di upayakan sebesar-besarnya demi kepentingan masyarakat. Namun dalam
perjalanannya sering kali bertabrakan dengan adat kebiasaan yang ada di masyarakat. Dalam kesempatan ini, penulis mencoba mendalami esensi Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan didalam masyarakat, khususnya daerah perkotaan yang mudah mendapat komunikasi dan berita-berita teraktual mengenai
segala yang terjadi dinegara ini. Pemerintah, dalam hal ini perumus Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan mempunyai maksud yang sangat baik yaitu menciptakan masyarakat yang lebih teratur dan peduli hukum. Karena setiap perundang-undangan
yang dikeluarkan pastinya adalah untuk kesejahteraan masyarakat pula. Pernikahan sebagai sesuatu yang dianggap sakral diatur dengan sedemikian
rupa dengan maksud agar tidak sembarangan dan terkesan asal-asalan. Pencatatan pernikahan dimaksudkan sebagai penguat di depan hukum yang berlaku di Negara
ini. Jadi, sebagai warga yang baik dan patuh hukum, kita diharuskan mengikuti aturan ini.
Adanya sebab akibat yang ditimbulkan pernikahan bisa dipertanggung jawabkan dengan adanya peraturan ini. Menjamin hak-hak istri, anak, harta, juga hak
63
suami tanpa mengesampingkan kewajiban yang mengikutinya. Semuanya sudah diatur dengan rapi di dalam Undang-Undang ini.
Daerah perkotaan, sebagai asal mula mengalirnya berita pertama sebelum dijalarkan ke belahan daerah kecil lainnya di Indonesia ini mendapat kesempatan
pertama untuk menjalankan peraturan ini. Mustahil kota-kota besar ketinggalan berita. Hal ini menjadi tolok ukur dengan daerah pelosok atau pesdesaan yang
mungkin agak telat mendapatkan informasi terkini Ditambah lagi dengan merosotnya moral bangsa ini memungkinkan hal-hal
negatif akan mudah terjadi. Orang yang di tuakan yang seharusnya menjadi suri teladan dan percontohan, malah mengajarkan keburukan-keburukan yang ditiru
generasi penerus. Segala sesuatu di Negara ini menjadi mudah dan tidak akan dipersulit asalkan
ada “uang”. Tidak peduli itu legal ataupun illegal, boleh atau tidak, semua itu tidak akan berpengaruh. Keinginan dan uang menjadi penguasa di negeri ini.
Masyarakat selama berdirinya Negara ini malah tidak mengalami kemajuan. Bisa dibilang justru mengalami kemunduran. Belum ada kemajuan-kemajuan berarti
di Negara ini. Kemorosotan semakin terasa dengan terjadinya korupsi, suap menyuap, seperti mendarah daging dan sulit dihapuskan. Sepertinya masyarakat sudah termakan
sifat alaminya sendiri yakni serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang telah ia dapatkan selama ini.
Hal-hal negatif yang memudahkan dengan “uang pelicin” telah membodohi bangsa ini sendiri. Tak terlepas dengan pernikahan bawah tangan, hal ini dengan
64
sangat mudah dilaksanakan. Dengan alasan apapun tindakan ini tidak bisa dibenarkan.
Dalam penelitian dilapangan, penulis menemukan bahwa pelaku nikah bawah tangan lebih disebabkan karena tidak adanya biaya untuk menikah secara legal. Saat
penulis mengkonfirmasi kepada pihak terkait ternyata pernikahan itu tidak membutuhkan biaya yang mahal. Bahkan bila dihitung-hitung jumlahnya tidak lebih
daripada pernikahan bawah tangan yang juga memerlukan biaya. Dilain responden lainnya, penulis menemukan alasan pernikahan bawah
tangan hanya agar tidak repot. Padahal pernyataan ini jelas salah. Lebih repot justru apabila pernikahan tidak dilakukan dengan seharusnya. Karena pernikahan legal itu
sendiri untuk menjamin hak-hak mereka, bukan untuk merepotkan mereka. Ini adalah pemikiran yang salah.
Disisi lain para pelaku poligami akan mendapat angin segar. Bagaimana tidak, dengan mudahnya mendapatkan sesuatu yang ilegal maka semua akan lebih mudah,
misalnya dalam hal pembuatan kartu tanda pengenal, pemohon harus melampirkan kartu kerluarga yang masih berlaku plus surat pengantar pejabat terkait di lingkungan.
Dengan adanya “uang pelican” tidak perlu-lah menyiapkan yang seperti itu. Di dalam ataupun instansi terkait banyak sekali oknum-oknum “pembantu” mereka. Tinggal
tawar-menawar lalu besoknya jadilah kartu tanda pengenal itu. Bayangkan apabila satu warga memiliki lebih dari satu kartu tanda pengenal.
Bukankah dia akan mudah berpoligami. Semua ini karena kurangnya kepedulian kita terhadap hak-hak kita sendiri apalagi hak orang lain.
65
Dan selanjutnya, mengenai anak-anak hasil pernikahan bawah tangan pun mudah sekali untuk mendapatkan kelegalan di Negara ini. Mereka tinggal melakukan
hal seperti halnya pelaku poligami yakni menhubungi calo-calo terkait. Walaupun ada hal-hal yang sulit mereka raih dan justru akan sangat
merepotkan. Seperti waris. Sampai kapanpun mereka akan sulit memperjuangkan hal ini. Karena apa, karena mereka bukanlah anak yang legal dari bapaknya. Mungkin
kalau bapaknya tidak poligami, tapi apabila poligami bahkan dia adalah anak dari istri kedua dengan pernikahan bawah tangan pula, bisa dibayangkan dia akan sulit sekali
mendapat hak warisnya karena pengadilan tidak akan menganggap dia anak sah si bapak.
Dengan sulitnya langkah waris dalam poligami membuat beberapa pelaku yang mungkin sudah lihai, pintar. Mereka akan hibahkan jauh hari sebelum terjadi
apa-apa terhadap dirinya. Mereka memberikan terlebih dahulu harta-harta mereka kepada sang anak agar tidak ada sengketa setelah mereka meninggal.
Penulis juga sempat berbincang-bincang dengan pemuka agama di masyarakat ini yang mana sering dimintai pertolongan untuk menjadi “amil” dari pernikahan
bawah tangan yang terjadi disini. Bahwasanya mereka masih berpegang teguh bahwa pernikahan bawah tangan itu dilegalkan oleh pemerintah. Tapi menurut sumber yang
dimintai keterangan, sebelumnya mereka mendapat arahan dulu dari pemuka agama ini untuk menikah melalui KUA. Dengan alasan yang kuat barulah mereka akhirnya
bisa menikah bawah tangan.
66
Menurut para pelaku nikah bawah tangan, prosedur pernikahan bawah tangan tak jauh beda dengan nikah legal. Yang membedakan hanya dalam pernikahan bawah
tangan tidak ada pencatatan dari pegawai pencatat nikah. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan administrasi biasanya sama saja. Para saksi dan walinya
pun sama. Dalam pernikahan legal, disyaratkan agar para mempelai mengisi formulir
N1, N2, N3 dan N4 diisi orang tua. Itu semua adalah keterangan dari kelurahan tentang asal-usul, persetujuan wali dan kedua mempelai. Dan yang terakhirnya adalah
surat pendaftaran pernikahan.
29
B. Analisa Permasalahan