Hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian menurut undang-undang no.23 th.2002 tentang perlindungan anak : ( analisis putusan perkara mahkamah agung no.349 K/AG/2006 )

(1)

HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 )

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh: Diana Yulita Sari

106043201329

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika Suatu saat terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 September 2010

Diana Yulita Sari 106043201329


(3)

ii

KATA PENGANTAR











Alhamdulillah dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan naskah skripsi ini. Semoga rahmat dan karunianya menyertai setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda Muhammad SAW dan para pengikutnya yang selalu istiqomah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.

3. Bapak DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum.


(4)

iii

4. Bapak Nahrowi, SH., MH., dan Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni M.Ag selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, serta memotivasi penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tak kenal lelah mentranformasi ilmunya disetiap saat.

6. Bapak Muh. Muslih, S.HI., M.H., dan Drs. Afdal Zikri, SH., MH., selaku pengacara yang telah memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan oleh penulis.

7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitasnya bagi penulis.

8. Ayahanda tercinta Yusrizal (alm) dan Ibunda Rusmiyati, beliaulah yang membesarkan, mendidik, memberikan semangat, memberikan kasih sayangnya serta doa’anya agar penulis dapat cepat selesai dalam menyusun skripsi.

9. Kepada abang-abangku yang selalu memotivasi dan membantu penulis dalam segi materi dan non materi.

10.Kepada teman-teman seperjuangan Perbandingan Hukum Angkatan 2006 yang telah memberikan warna hidup dan selalu kompak selama menempuh perkuliahan bersama penulis.


(5)

iv

11.Kepada teman-teman KKS Naringgul yang selam 1 bulan penuh selalu bersama-sama dalam suka dan duka, yang tanpa hentinya memberikan yang terbaik untuk Naringgul.

12.Kepada seluruh pihak yang tidak tertulis, penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya dan terima kasih atas segala bantuannya.

Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja, oleh karena itu penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya yang diterima penulis akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amien

Jakarta, 22 September 2010


(6)

v DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

D. Metode Penelitian 9

E. Review Studi Terdahulu 11

F. Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian 15

B. Macam-macam Perceraian 21

C. Akibat Hukumnya 28

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASUH ANAK (HADHANAH) A. Pengertian Hadhanah 35

1. Menurut Hukum Islam 35


(7)

vi

B. Dasar Hukum Hadhanah 50

C. Syarat-Syarat hadhanah 52

D. Pihak-Pihak Yang Berhak Atas Hadhanah 54

E. Masa Hadhanah 56

BAB VI ANALISIS PUTUSAN PERKARA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 349 K/AG/2006 TENTANG HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR A. Posisi Kasus dalam Persidangan 58

B. Proses Putusan Hakim 61

1. Proses Pemeriksaan 61

2. Pertimbangan Majelis Hakim 69

3. Putusan Majelis Hakim 71

C. Analisis Putusan hakim tentang hak asuh anak 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 77

B. Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 82


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.1 Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan yang sah. Perceraian mempunyai akibat terhadap anak yang masih di bawah umur, yakni kekuasaan orang tua dapat berubah menjadi perwalian. Karena itu jika perkawinan diputuskan oleh hakim maka harus diatur pula tentang perwalian terhadap anak yang masih di bawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun pihak ibu yang erat hubungannya dengan anak tersebut.

Generasi muda atau anak-anak merupakan generasi penerus dan pengganti orang tua sekaligus generasi harapan bangsa. Jika orang tua dapat mendidik anak-anak tersebut dengan baik, maka anak-anak tersebut dapat diharapkan menjadi penerus bangsa. Orang tua baik secara jasmani maupun rohani bertanggung jawab mendidik dan memelihara anak sampai tumbuh menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berkemampuan untuk meneruskan cita-cita berdasarkan Pancasila.

1


(9)

2

Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga tidak harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna memperbaiki kehidupan perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan dilakukan perceraian antara suami dan istri.2

Putusnya suatu perkawinan akibat perceraian sebisa mungkin hanya sebagai pintu darurat yang dilakukan, jika saja perceraian menjadi jalan terakhir maka sepatutnya proses-proses perdamaian telah dilakukan baik oleh inisiatif pasangan tersebut maupun oleh usaha keluarga yang disebut “hakamain” atau juru damai maupun yang selalu diupayakan oleh hakim di Pengadilan sebelum bersidang, hendaklah upaya damai tersebut menjadi pertimbangan yang memang harus diresapi oleh pihak yang ingin bercerai.

Hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (selanjutnya akan disebut UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhananYang Maha Esa.3

Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk

2

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.2, h. 30. 3


(10)

3

kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami-istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak. Selain itu tujuan Perkawinan adalah untuk menghasilkan keturunan yang baik guna meneruskan perjuangan keluarga dan mengharumkan.4

Dalam pandangan Islam, tujuan dari perkawinan antara lain adalah agar suami istri dapat membina kehidupan yang tentram lahir dan batin dan saling cinta mencintai dalam satu rumah tangga yang bahagia. Disamping itu, diharapkan pula kehidupan rumah tangga dapat berlangsung kekal, oleh karena itu, Islam telah memberi petunjuk atau jalan yang harus ditempuh bila sewaktu-waktu terjadi perselisihan dalam rumah tangga.5

Akan tetapi pada kenyataannya berdasarkan pengamatan, tujuan dari perkawinan itu banyak yang tidak tercapai secara utuh. Hal yang baru tercapai mengenai pembentukan rumah tangga, sedangkan bahagia dan kekal belum tercapai karena banyak perceraian.

Pertimbangan dari pasal tersebut adalah bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila pertama adalah keTuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama, bukan hanya unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan

4

Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta,1992), Cet. Ke-1 h. 4.

5

Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT.Hecca Utama, 2005), h. 135


(11)

4

penting.6 Dengan terjadinya perceraian maka akan berakibat bahwa kekusaan orang tua berakhir dan berubah menjadi hak asuh. Oleh karena itu jika perkawinan diputus oleh hakim maka perlu diatur tentang hak asuh terhadap anak-anak yang masih di bawah umur.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya akan disebut UU Perlindungan Anak) hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut bila diketahui orang tua menelantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak.

Dalam UU Perkawinan pasal 41, disebutkan mengenai hal-hal yang harus dilakukan pihak istri maupun pihak suami setelah perceraian sebagai berikut:

1. Baik ibu maupun bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusan.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bilamana dalam kenyatannya bapak tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.7

6

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996), Cet. Ke-2, h. 2-3.

7


(12)

5

Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan bahwa jika suami-istri telah bercerai, maka kewajiban untuk mengasuh dan merawat anak-anak tetap menjadi kewajiban mereka, dengan kata lain bukan hanya merupakan kewajiban dari suami saja atau istri saja.

Majelis hakim bebas untuk menetapan ayah atau ibu yang berhak memelihara anak tersebut, tergantung dari siapa yang paling cakap atau yang paling baik mengingat kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi sering kali pertikaian masih sering berlanjut sampai ke tingkat Pengadilan yang lebih tinggi dikarenakan salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, akan tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan belum sesuai dengan aturan tersebut karena masih ada sebagian ibu yang merasa berhak untuk mengasuh anak-anaknya namun hak tersebut jatuh kepada sang ayah sesuai dengan putusan majelis hakim. Berkaitan dengan apa yang akan penulis kemukakan dalam skripsi ini terhadap perkara di Mahkamah Agung (MA) dengan Nomor Perkara 349 K/AG/2006 pada kasus Tamara Bleszinski dan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan pengasuhan Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya (Teuku Rafly Pasya).

Seorang hakim memutuskan bahwa sang ayah yang berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut walaupun usia si anak masih belum mumayyiz atau di bawah umur. Jika dilihat dari UU Perlindungan Anak, antara suami dan istri mempunyai


(13)

6

kedudukan untuk mengasuh anak tersebut tergantung kepada hakim yang memutuskan perkara tersebut.

Sedangkan istilah fikih pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian disebut Hadhanah. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya perceraian. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan ibunya.8

Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa terdapat perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dan tanggung jawab yang bersifat pengasuhan. Tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat materil dalam konsep Islam merupakan kewajiban ayah, sedangkan tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat pengasuhan adalah tanggung jawab ibu. Dalam berbagai literatur fikih yang paling berhak atas pengasuhan anak diberikan kepada ibu selama anak tersebut belum mumayyiz. Dan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak tersebut disuruh memilih kepada siapa di antara ayah dan ibunya.

Yang ingin penulis analisis adalah mengapa seorang hakim memberikan hak asuh kepada ayah, karena sangat bertolak belakang pada Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang isinya jelas mengatur tentang hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibu. Dan apa alasan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah hakim dalam memutuskan perkara sudah memperhatikan

8

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta, Kencana: 2006), Cet. Ke-1, h. 327-328.


(14)

7

ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan problematika kasus ini dan mencoba untuk mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak” (Studi Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006).

B. Pembatasan dan Perumusan Permasalahan

Untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dan memperoleh gambaran yang lebih jelas dari tulisan ini, serta mengingat akan meluasnya permasalahan ini. Maka penulis membuat rumusan masalah dengan menitik beratkan pada hak asuh anak di bawah umur dan hukum yang terkait tentang hak seorang anak akibat perceraian.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis membatasi rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana putusan hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak di Bawah Umur?


(15)

8

3. Apakah hakim dalam putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak di Bawah Umur tidak menyalahi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam skripsi ini penulis memiliki tujuan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang penulis uraikan di atas, sesuai dengan ke-akademisan suatu pengetahuan yang di mana hasil penulisan ini dapat ditinjau kembali oleh siapapun, dan penulisan skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin penulis capai dalam penelitian ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian kedua orang tuanya menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Untuk mengetahui hasil putusan majelis hakim dalam memutuskan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 yang berkaitan tentang hak asuh anak.

c. Untuk mengetahui apakah hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan hak asuh anak akibat perceraian sudah memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


(16)

9 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya bagi pengembang konseptual secara akademis.

b. Manfaat Praktis: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana hak asuh anak akibat perceraian sehingga jika terjadi perceraian orang tua harus berfikir matang-matang bahwa anaklah yang akan menjadi korban.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sebuah metode untuk menemukan kebenaran yang juga merupakan sebuah pemikiran kritis (critical thinking). Metode penelitian hukum terbagi atas dua jenis metode penelitian yaitu: Penelitian hukum normatif atau kepustakaan dan penelitian hukum sosiologi atau empiris.9

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

a. Penelitian Lapangan (field research) yaitu untuk memperoleh informasi yang akurat dari tempat penelitian baik dengan wawancara maupun mengumpulkan data-data dari Pengadilan Agama.

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2004), Cet Ke-8, h. 51.


(17)

10

b. Penelitian Kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menguji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainya atau yang ada hubunganya dengan judul skrpisi ini.

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripisi ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Data primer yang penulis peroleh berasal dari Sidang Putusan Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, serta melihat bahan Peraturan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang akan digunakan penulis sebagai tinjauan terhadap analisis putusan tersebut dan buku-buku yang membahas langsung mengenai hadhonah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ialah merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.10 Data ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang ditulis langsung oleh penulis maupun berupa analisis dari penulis lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data, metode yang di pergunakan sebagai berikut:

10


(18)

11 a. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.11Dalam hasil wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan atau Pengacara dari tergugat dalam perkara ini.

b. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan, taranskip, surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya.12

Agar penelitian menjadi kajian yang baik, maka penulis menggunakan literatur yang ada, baik berupa berita-berita dan artikel dari internet yang berkaitan dengan permasalahan ini, catatan, maupun laporan hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang di teliti.

E. Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut:

Penulis : Irwan Hermawan Fakultas : Syariah dan Hukum Tahun : 2006

11

Ibid. h. 205. 12


(19)

12

Judul : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN HAK

PEMELIHARAAN ANAK

Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah skripsi yang ditulis Irwan Hermawan hanya membatasi tulisannya pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan hak asuh terhadap putusan Nomor 674/Pdt.G/2002/PA.JS. Dalam perkara tersebut,dalam perkara tersebut, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur jatuh ketangan bapak (ayah).

Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Irwan Hermawan dengan penulis ialah sama-sama membahas tinjuaun umum tentang hadhanah. Selanjutnya:

Penulis : Firman Sulaeman Fakultas : Syariah dan Hukum Tahun : 2005

Judul : HAK PEMELIHARAAN ANAK YANG BELUM MUMAYYIZ

AKIBAT PERCERIAN (Studi kritis terhadap pasal 105 point A Kompilasi Hukum Islam)

Persamaan dalam skripsi ini yang ditulis oleh Firman Sulaeman dengan penulis ialah sama-sama membahas tentang syarat-syarat hadhanah, siapa saja yang berhak memelihara anak yang belum mumayyiz. Perbedaan dengan skripsi penulis, adalah skripsi yang ditulis oleh Firman Sulaeman fokus terhadap efektifitas pasal 105 point a Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman hukum bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di lingkungan peradilan agama.


(20)

13 F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap bab dibagi dalam beberapa sub-bab.

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan mengawali rangkaian pembahasan skripsi ini. Di awal pembahasan ini akan berisikan mengenai gambaran umum dari permasalahan yang akan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan bab berikutnya. Pada pendahuluan ini terdapat sub-bab yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan yang mempunyai maksud untuk mengetahui mengenai suatu cara yang telah teratur dan dipikirkan secara baik yang bertujuan agar penyusunan skripsi ini sesuai dengan penyusunan karya ilmiah sebagaimana dikehendaki berdasarkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya review studi terdahulu yang berisikan sebagai patokan dalam penyusun skripsi dan sistematika penulisan berisikan tentang kerangka permasalahan skripsi secara berurutan yang di awali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup.

Bab kedua membahas tentang perceraian dan akibat hukumnya, di bab ini menerangkan pengertian perceraian, macam-macam perceraian dan akibat perceraian terhadap anak, terhadap hubungan suami-istri, dan masa iddah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Bab ketiga membahas tentang tinjauan umum tentang hak asuh anak (hadhanah), pengertian hadhanah menurut Islam dan hak asuh menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang-Undang-Undang


(21)

14

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Maupun dasar hukum dari hadhanah, syarat-syarat hadhanah, pihak-pihak yang mendapatkan hadhanah, serta masa hadhanah dan upah hadhanah.

Bab keempat yakni membahas dan menganalisa putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang Hak Asuh Anak, membahas posisi kasus dalam persidangan, proses pemeriksaan, pertimbangan majelis hakim dan putusan majelis hakim dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Bab kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran yang mungkin dapat membantu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.


(22)

15 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Perceraian

Dalam ajaran agama Islam pernikahan itu berguna untuk membina suatu kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam, Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi dalam perkawinan tersebut.

Di dalam mengaruingi bahtera rumah tangga terkadang sering terjadi percecokan atau terjadi keributan-keributan kecil antara suami isteri. Percecokan tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan pihak isteri ataupun suami menuntut untuk bercerai. Ajaran Islam dalam hal ini merupakan agama yang memberikan solusi atas setiap permasalahan-permasalahan yang menerpanya. Sehingga problematika-problematika yang menimpa keluarga seseorang dapat terselesaikan.


(23)

16

Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, dan kebahagian namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga berujung pada perceraian.

Perceraian adalah merupakan akibat dari suatu hubungan yang disebabkan oleh adanya hubungan perkawinan. Keduanya (antara perkawinan dan perceraian) saling berhubungan di mana perceraian hanya dapat terjadi karena adanya sebuah ikatan perkawinan. Dalam KHI, disebutkan pula bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena perceraian dan dapat terjadi karena thalak atau gugatan perceraian. Sebagaimana ketentuan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 1 bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang bersangkutan berusaha dengan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Ini adalah aturan yang pantas dalam masyarakat yang berbudaya menuju masyarakat yang modern. Disamping menghindarkan persoalan-persoalan yang sewenang-wenang terutama dari pihak suami, yang dengan sesuka hatinya tanpa prosedur apapun dapat melemparkan istri tanpa alasan hukum yang sah.13

Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah berarti bercerai lawan dari berkumpul. Perkataan “talaq” dan “furqah” dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum adalah segala

13

M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading, 1975), Cet. 1, h.133.


(24)

17

macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalkan salah satu dari suami atau isteri, sedangkan arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.14

Kata thalaq dapat diartikan melepaskan atau meninggalkan. Dalam al-munawir kamus Arab-Indonesia, thalaq berarti meninggalkan seperti dalam kalimat thalaqa zaujatahu.15 Sedangkan menurut istilah thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan (suami-istri) dengan mengucapkan secara sukarela ucapan thalaq kepada istrinya dengan kata-kata yang jelas dan dengan sendiri.16

Definisi talak menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali memdefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara

langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang di maksud “di

masa akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh sesuatu hal.17

14

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2, h.156.

15

A. W. Munawir, Al-munawir: Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya : pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14, h. 861.

16

Ahmad Shidik, Hukum Talak dalam Agama Islam, (Surabaya : Putera Pelajar,2001), cet. 1, h.9. 17

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, “talak” Ensiklopedi Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru an Hoeve, 1994), cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.


(25)

18

Mazhab Syafi’i mendefiniskan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Sedangkan Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.18

Prof. Subekti SH mengatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.19 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 tentang perkawinan, hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu:

a. Karena Perkawinan b. Karena perceraian dan c. Karena putusan pengadilan

Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian dalam istilah fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, talak merupakan pemutusan hubungan suami isteri serta hilanglah pula hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan lafal-lafal tertentu, namun penekananya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk berpisah antara suami istri, dalam artian putusnya perkawinan.

18

Ibid., 19


(26)

19 2. Dasar Hukum Perceraian

Pada prinsipnya pernikahan dalam agama Islam mengadung dasar kelanggengan, namun pada prateknya dalam menjalankan kehidupan rumah tangga terkadang terjadi ketidakcocokan di antara masing-masing kedua belah pihak. Kondisi tersebut bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak yang negatif dan sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, waramah. Untuk mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi yang terakhir digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum talak dinyatakan dalam beberapa surat di antaranya sebagai berikut:

a. Q.S. Thalaq ayat 1:

















































































































































Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.


(27)

20

kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.

b. Q.S Al-Baqarah ayat 231:





























































































































































































Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.


(28)

21

Pada dasarnya talak merupakan yang tidak disukai oleh Allah SWT, Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (Perceraian).

Talak tidak selalu dibenci sebagaimana yang dikemukakan, tergantung dalam situasi dan kondisi tertentu talak tidak tercela bahkan bisa berubah menjadi langkah yang baik. Terlebih lagi jika mempertahankan rumah tangganya akan menimbulkan permusuhan dan menanamkan kebencian antara keduanya bahkan antar kerabat mereka. Sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak menemukan titik tentu, sehingga tidak ada jalan lain selain talak (perceraian) menjadi alternatif akhir yang ditempuh sebagai jalan terbaik.

Meskipun talak dianggap dapat menjadi jalan yang terbaik, hal ini tidak boleh seenaknya dalam menjatuhkan, karena akan menimbulkan suatu akibat hukum. Karena menurut ajaran Islam perceraian diakui setelah pertimbangan-pertimbangan secara matang, serta dengan alasan-alasan yang bersifat darurat atau sangat mendesak.

B. Macam-Macam Perceraian

Secara umum perceraian itu ada dua macam, yaitu cerai talaq dan cerai gugat. Cerai talaq diajukan oleh suami dan cerai gugat diajukan oleh isteri. Sedangkan dalam hukum islam cerai itu sama dengan talaq, adapun macam-macamnya yaitu: 1. Talak


(29)

22 A. Talak Sunni

Dalam KHI pasal 121, talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu sucinya tersebut. Dengan kata lain talak dijatuhkan ketika isteri telah suci dari haidnya, dan belum dicampuri. Sejak saat berhentinya dari haid ini, maka ia telah masuk ke dalam iddahnya. Pada saat ini suaminya boleh menjatuhkan talaq bila hendak menceraikaanya.

B. Talak Bid’i

Talak bid’i (pasal 121 KHI) adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang

dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci

tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.Talak bid’i adalah talak yang bertentangan dengan sya’ra yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam

keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut atau seorang mentalak tiga kali dalam satu kali ucap atau mentalak tiga kali secara terpisah dalam satu tempat.

Adapun jika talak ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami rujuk kembali pada isterinya sebagai berikut:

1) Talak Raj’i

Dalam (pasal 118 KHI) Talak raj’I adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah. Thalaq Raj’i ialah suatu thalaq dimana suami memiliki hak untuk merujuk istrinya tanpa


(30)

23

kehendaknya. Dan thalaq raj’i ini diisyaratkan pada istri yang telah digauli.20Thalaq Raj’i tidak melarang bekas suami berkumpul dengan bekas istrinya sebab akad perkawinannya tidak mempengaruhi hubungannya hak (kepemilikan) dan tidak mempengaruhi hubungan yang halal (kecuali persetubuhan).

2) Talak Ba’in

Talak Ba’in adalah talak yang memberi hak ruju bagi bekas suami

terhadap bekas isteri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami, jika ingin kembal bersama harus dengan akad nikah yang baru.

Talak Ba’in ada dua macam:

a) Talak ba’in sughra (pasal 118 KHI) talak yang tidak boleh dirujuk

tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya.

b) Talak ba’in kubra (pasal 119 KHI) adalah talak yang terjadi untuk

ketiga kalinya. Talak ini tidak boleh dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isterinya

menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad -dukhul dan habis masa iddahnya.

2. Khulu

Khulu atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami isteri, yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami atas persetujuan suami istei, yaitu dengan jahtunya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta

20

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar,


(31)

24

atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu tersebut.21Khulu yang dibenarkan dalam Agama Islam tersebut berasal dari kata bahasa arab artinya meninggalkan pakaian.22 Karena perceraian sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki pun pakaian perempuan. Menurut ahli fiqh, Khulu adalah istri memisahkan dari suami dengan ganti rugi kepadanya.23

Firman Allah dalam Al-Qur’an tentang Khulu, yakni surat Al-baqarah 229:























































































Artinya : tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.

Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan penerimaan iwadh. Khulu yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadh

21

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta:UIP, 1974), cet. Ke-2. h. 115. 22

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Kamaludin A. Marzuki, h.95. 23


(32)

25 3. Fasakh

Fasakh berarti mencabut atau mengahpus maksudnya ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.24

Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan.25

Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penguggat dalam perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.

4. Li’an

Li’an adalah perkataan suami sebagai berikut, “saya persaksikan kepada Allah

bahwasannya benar tuduhan saya kepada isteri saya bahwa ia telah berzina”.26

Adapun Li’an ialah saling menyatakan bahwa bersdia dilaknat allah setelah

mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah yang dilakukan oleh suami isteri karena salah satu pihak bersikeras

24

Ibid., h. 212. 25

Sayuti Thalib, h. 117. 26


(33)

26

menuduh pihak lain melakukan perbuatan barzina, atau suami tidak mengakui bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya dan pihak yang lain bersikeras menolak tudauhan tersebut, sedangkan masing-masing tidak mempunyai alat bukti yang dapat diajukan hakim.27

Sebagaimana terdapat firman Allah:



































































Artinya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

5. Il’a

Il’aartinya sumpah si suami tidak akan mencampuri isterinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya. Apabila seorang suami bersumpah tersebut hendaklah ditunggu sampai 4 bulan, kalau dia kembali baik kepada isterinya sebelum sampai 4 bulan, maka dia wajib membayar denda sumpah kafarat saja. Tetapi sampai 4 bulan dia tidak kembali baik dengan isterinya, hakim berhak menyuruhnya memeilih diantara 2 perkara : membayar kafaraat sumpah serta kembali baik kepada isterinya, atau mentalak isterinya, kalau suami itu tidak mau menjalankan salah satu dari kedua perkara tersebut, maka hakim berhak menceraikan mereka dengan paksa.

27


(34)

27 6. Zihar

Dzihar ialah seorang laki-laki menyerupakan isterinya dengan ibunya sehingga itu haram atasnya.28Seperti kata suami kepada isteriny, “engkau tampak

olehku seperti punggung ibuku.”

Jika seorang laki-laki mengatkan demikian dan tidak diteruskannya kepada talak, maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan isterinya sebelum membayar kafarat itu. Zihar ini pada zaman jahiliyah dianggap menjadi talak. Kemudian diharmkan oleh agama islam serta diwajibkan membayar denda (kafarat)

Seorang suami yang melakukan zihar maka ia harus membayar denda (kafarat) zihar antara lain:

1. Memerdekakan hamba sahaya

2. Kalau tidak memerdekakan hamba sahaya, maka puasa 2 bulan berturut-turut. 3. Kalau tidak kuat puasa, maka member makan 60 orang iskin tiap=tiap orang

¼ sa’fitrah (3/4)liter.

Tingkatan ini perlu berturut-turut sebagaimana tersebut di atas, berarti yang wajib dijalankan adalah yang pertama lebih dahulu, kalau yang pertama tidal dapat dijalankan baru boleh dengan yang kedua, begitu juga kalu tidak dapat yang kedua baru boleh yang kedua boleh yang ketiga.

28


(35)

28 C. Akibat Hukum Perceraian

Dengan terjadinya perceraian bukan berarti masalah perceraian ini selesai, akan tetapi masih ada akibat-akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut UU Perkawinan berdampak kepada misalnya, mengenai hubungan suami istri menjadi bekas suami, bekas istri, tempat tingal dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting mengenai nasib anak-anak kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih kecil-kecil atau di bawah umur.

Hukum merupakan salah satu saran untuk mengatur, menertibkan, dan menyelesaikan berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat di samping sarana dan pranata sosialnya, perihal landasan yuridis legal formal dari akibat hukum putusnya perkawinan di mana orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya sampai anak tersebut berrumah tangga atau baligh sehingga dikemudian hari tidak terjadi penderitaan atas diri anak baik secara fisik maupun batin.

Namun antara aturan Undang-Undang dan realita di lapangan jauh berbeda karena banyak ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan salah satu pihak tidak dapat menjalani apa yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Sehingga Pengadilan dapat menentukan bahwa kedua orang tua turut andil dalam pemeliharaan dan pembiayaan terhadap anak-anaknya, Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adapun putusnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat di dalam pasal 41 yaitu:


(36)

29

a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, bila mana dalam kenyatannya bapak tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa istri ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ialah bapak.29

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 menyatakan bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

29


(37)

30

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 Tahun)

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Namun apabila diurai lebih lanjut mengenai akibat-akibat dari perceraian yaitu:

1. Akibat Terhadap Anak

Suami yang menjatuhkan thalak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus menerus sampai anak baliq dan berakal serta mempunyai


(38)

31

penghasilan, apabila bercerai dua orang suami istri sedangkan mereka mempunyai anak yang belum mumayyiz, maka istrilah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu, sampai anak itu memahami kemaslahatan dirinya, meskipun anak tersebut ditinggalkan bersama ibunya, tetapi belanjanya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.

Sabda Rasullah SAW.

seorang perempuan telah datang mengadu halnya kepada Rasululah SAW perempuan itu berkata : saya telah diceraikan oleh suami saya, dan anak saya akan diceraikan dari saya. Kata rasullah kepada perempuan itu : engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum kawin dengan orang lain”. (H.R.Abu Daud dan Hakim).30

Apabila suami istri yang bercerai mempunyai anak maka yang akan memelihara anak itu hendaklah dirembukkan dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu Pengadilan dapat memberikan putusannya, yang harus dijadikan dasar pikiran antara lain adalah, siapakah di antara keduanya yang pemeliharaan akan paling menguntungkan bagi anak tersebut.

Kewajiban orang tua dan anak menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baik, kewajiban tersebut sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban tersebut berlaku terus meskipun antara kedua orang tua putus.

30


(39)

32

Dalam KHI pasal 105, dijelaskan bahwa pemeliharaan anak belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, untuk anak yang sudah mumayiz hak pengasuhan diserahkan kepada anak tersebut. Untuk memilih di antara ayah atau ibunya, selain itu biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 2. Akibat Terhadap Hubungan Suami Istri

Bagi pasangan telah bercerai, maka haram bagi mereka untuk melakukan hubungan suami istri. Selain itu mantan suami juga berkewajiban untuk

memberikan mut’ah yang pantas kepada mantan istrinya tersebut. Mut’ah yang

diberikan oleh mantan suami tersebut dapat berupa barang atau uang.

KHI juga telah mengatur masalah ini secara mendalam yang dimuat dalam pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau

benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.


(40)

33 3. Akibah Terhadap Masa Iddah

Bagi seorang istri yang putus perkawinan berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul dan perkawinanya putus bukan kerena kematian suami.

KHI pasal 153 ayat (2)

Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tunggang waktu dihitung sejak kematian suaminya.

Kemudian bentuk-bentuk iddah itu ada bermacam-macam yaitu: a) Iddah istri yang berhaid, masa tempo menunggu tiga kali haid. b) Iddah istri yang tidak lagi haid, masa tempo menunggu tiga bulan.

c) Iddah istri yang kematian suami, masa tempo menunggu empat bulan sepuluh hari.

d) Iddah istri yang hamil, yaitu masa tempo menunggu sampai melahirkan anak.31

Ketentuan iddah ini, mempunyai beberapa hikmah yang sangat tinggi bagi kehidupan kekeluargaan, yaitu antara lain:

a) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang istri dari kehamilan, sehingga tidak tercampur keturunan seseorang dengan yang lainya.

31


(41)

34

b) Memberi kesempatan kepada suami istri yan bercerai untuk kembali rukun seperti semula, jika mereka menganggap hal itu adalah baik.

c) Untuk menjunjung tinggi ikatan perkawinan sebagai ikatan suci, sehingga memberi kesempatan kepada suami istri berpikir panjang untuk memutuskan perceraian secara pasti. Sebabnya jika tidak ada masa ddah ini, tak ubahnya seperti anak-anak kecil bermain, sebentar dia menyusun permainannya, kemudian sebentar lagi dirusaknya.32

32


(42)

35 BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK ASUH (HADHANAH)

A. Pengertian Hadhanah 1. Menurut Hukum Islam

Pemeliharaan anak disebut juga pengasuhan anak dalam Islam dinamakan

“hadhanah.” Secara etimologi hadhanah berarti disampingkan atau berada di bawah ketiak.33 Hadhanah berasal dari kata

نضح

yang memiliki arti mengasuh atau memeluk anak.34

Dalam literatur fiqih, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologi, diantaranya:

a. Menurut Sayyid Sabiq:

“Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan dan menjaganya dari sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikkan dan menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakan, mendidik serta mengasuhnya baik fisik,

33

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe, 1999), Jilid. 2, h.415.

34

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. Ke 8, h.104.


(43)

36

mental maupun akal, agar mampu menegakkan kehidupan yang sempurna dan bertangung jawab.”35

b. Menurut Muhammad Ibnu Ismail As Shan’ani

“Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri, dan

menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan.”

c. Menurut Wahbah Zuhaili

“Mendidik anak yang mempunyai hak hadhanah, yaitu mendidik dan

menjaga orang yang tidak kuasa atas kebutuhan dirinya dari hal-hal yang membahayakannya karena ketidakmampuannya untuk memilih, seperti anak

kecil dan orang gila.”

d. Menurut Imam Abi Zakaria An-Nawawi

“Menjaga anak yang belum mummayiz, dan belum mampu mengurus kebutuhannya, mendidiknya dengan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan menjaganya dari hal-hal yang membahayakannya.”

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpullkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayyiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab. Disamping itu hadhanah berbeda maksudnya dengan “pendidikan” (tarbiyah). Dalam hadhanah terkandung pengertian pendidikan terhadap anak.36

35

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Jil.8, h.228. 36

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-1, h. 138.


(44)

37

Sedangkan menurut istilah fiqh hadhanah ialah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak lahir sampai mampu menjaga atau dapat mengatur dirinya sendiri. Anak yang sah nasabnya berarti tugas hadhanah akan dipikul oleh kedua orang tuanya sekaligus.37

Menurut Peunoh Daly, mengemukakan definisi hadhanah ialah pekerjaan yang berhubungan dengan memelihara, merawat dan mendidik anak yang masih kecil, bodoh atau lemah fisik.38

Dalam buku hukum perdata Islam di Indonesia, di katakan bahwa hadhanah adalah memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.39 Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.40

2. Menurut Peraturan Perundang-Undangan

a. Hak Asuh Anak Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

37

Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h.237. 38

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 399-400. 39

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006), h.67. 40

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia “Antara Fikih Munakahat dan UU Perkawinan”, h. 328.


(45)

38

Walaupun kata “Hak Asuh” telah biasa dipergunakan dalam membahas hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika pasangan suami istri yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah akan tetapi kata hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU Perlindungan Anak yang terkait dalam hukum keluarga.

Kosa kata yang identik dengan itu adalah Kuasa Asuh sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemanpuan, bakat, serta minatnya.41

Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut

dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengasuh. Pemahaman demikian dapat memberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki kewenangan terhadap anak di pihak lain. Namun demikian halnya apabila

menafsirkan kata “Kuasa Asuh” seperti halnya rumusan UU Perlindungan Anak

yang dikutip di atas karena kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan dalam mengasuh, mendidik, memelihara, membina dan melindungi serta kewenangan untuk menumbuh kembangkan anak dengan catatan bahwa cara dan arah pengembangan harus disesuaikan dengan Agama yang dianut serta kemampuan, minat dan bakatnya, dengan kata lain kuasa asuh merupakan hak dari orang tua untuk menjalankan kewajiban dalam hal-hal tersebut.

41


(46)

39

Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang perlindungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang kondisi orang tua yang bercerai atau tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak mempermasalahkan apakah anak memiliki kejelasan orang tua atau tidak. Makna lain yang terlihat adalah, adanya fenomena kekhususan dan ketegasan UU Perlindungan Anak dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Tanggung jawab perlindungan anak berdasarkan UU ini, secara tegas dikontruksikan dengan pelibatan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara yang terbaik bagi anak.

UU Perlindungan Anak dapat dikatakan memiliki nilai Universal yang tinggi. Sebab prolog kelahiran Undang-Undang ini setelah lebih dulu melalui fase-fase keprihatian masyarakat Internasiaonal. Khususnya berkaitan dengan nasib anak sebagai penerus peradaban manusia.42

b. Hak Asuh Anak Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Disahkannya UU Perkawinan dapat dikatakan melalui suatu proses dengan kadar sensitivitas tinggi. Kenyataan ini dapat dimaklumi mengikat persoalan perkawinan, selain memiliki dimensi perikatan keperdataan, juga sangat lekat dengan dimensi keagamaan. Produk hukum belanda yang hendak digantikan ketika itu, dianggap sama sekali tidak memiliki kesepahaman dalam memberikan makna terhadap perkawinan.

42 United nations children’s fund,

Dunia yang layak bagi anak-anak : konveksi hak anak-anak 1989.


(47)

40

Pemahaman terhadap perkawinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa perdata menurut hukum belanda, mengalami perubahan signifikan di mana sahnya perkawinan harus berdasarkan norma Agama. Setelah pengesahan perkawinan secara Agama selanjutnya baru dicatatakan di dalam register Negara, sebagai wujud dari aspek administratif sipil. Oleh karena itu validasi anak yang dihasilkan, memiliki keabsahan dengan berpedoman pada keabsahan perkawinan orang tuanya secara Agama.

Validasi perkawinan akan sangat menentukan validasi perceraian manakala terdapat pihak-pihak yang menghendaki adanya perceraian. Sedangkan validasi perceraian akan menentukan validasi kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian. Di dalam proses perceraian tersebut, sekaligus akan ditentukan persoalan kekuasaan orang tua terhadap anak. Dengan demikian kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian, akan selalu di dalam satu rangkaian validasi perkawinan dan perceraian orang tua.

Interprestasi dan kontruksi kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian orang tua di dalam UU Perkawinan, pada dasarnya mengarah pada tanggung jawab orang tua dalam bentuk seperangkat kewajiban guna memenuhi hak-hak anak. Pengutamaan kewajiban orang tua dari pada hak orang tua terhadap anak, di dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak, pada akhirnya melahirkan suatu rumusan bahwa jaminan atas kepentingan anak merupakan keutamaan yang harus direalisasikan. Orang tua yang bercerai diwajibkan berbuat sesuatu yang terbaik bagi anak.


(48)

41

Kontruksi demikian telah menujukan bahwa sebenarnya UU Perkawinan

memiliki pradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Bahwa adanya perceraian

orang tua tetap menutut tangung jawab penuh atas kepentingan anak hasil perkawinan mereka. Perceraian orang tua tidak memberikan ruang bagi orang tua untuk bertindak yang dapat merugikan kepentingan anak.

Kendati demikian, secara global sebenarnya UU Perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan putusnya sebuah perkawinan di dalam pasal 41 UU Perkawinan, pasal tersebut menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah berada dalam kekuasaan orang tua selama tidak dicabut kekuasaanya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak mereka. Pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah terjadinya perceraian, mereka mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan segala kepentingan pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahteraan anak-anak tersebut.43

Menurut UU Perkawinan, bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi kepada 2 bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tua itu telah putus.

43

M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading, 1975) Cet, 1 h. 159.


(49)

42 1. Dasar Kewajiban Pemeliharaan Anak

Sebagai landasan Hukum tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut di dalam UU Perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2.

2. Tujuan Pemeliharaan Anak

Kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya adalah semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Hal ini dilaksanakan demi untuk mempersiapkan masa depan anak, agar mempunyai kemampuan dalam hidup setelah lepas dari kekuasaan orang tua.

3. Orang Yang Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak Dalam pasal 41 (a) UU Perkawinan

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.

Pada prinsipnya, baik ibu maupun bapak diberikan hak yang sama untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anaknya setelah terjadi perceraian. Oleh karena itu keduanya dapat mufakat siapa akan anak tersebut. Akan tetapi apabila terjadi perselisihan, maka persoalan diserahkan kepada Pengadilan.

Pengadilanlah yang harus memilih dan menetapkan siapa di antara kedua orang tua yang sama-sama berhak akan melaksanakan pemeliharaan,


(50)

43

untuk itu Pengadilan harus memeriksa dengan teliti siapakah di antara mereka yang lebih baik mengurus kepentingan anak.44

4. biaya pemeliharaan anak

Mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan anak diatur dalam pasal 41 (b) dan 49 ayat 2 UU Perkawinan.

Dalam pasal 41 (b) UU Perkawinan.

(b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

Dalam pasal 49 ayat 2 UU Perkawinan, meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

Dari bunyi ketentuan tersebut dapat kita simpulkan, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu, maka yang menjamin jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ialah bapak. Mengenai jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, dan ketentuan tersebut diselaraskan dengan keadaan ekonomi orang tua. Apabila orang tua dalam keadaan kuat ekonominya, maka ia wajib memberikan biaya sesuai dengan kebutuhan anak. Sebaliknya apabila keadaan ekonomi orang tua dalam

44


(51)

44

keadaan lemah, maka kewajiban orang tua itu harus sesuai dengan kebutuhannya.

Hal ini memang patut sebagai lanjutan prinsip, bahwa bapak (suami) mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana yang ditentukan pasal 34 ayat 1.

5. Batas Kewajiban Pemeliharaan Anak.

Batas kewajiban Pemeliharaan dan pendidikan anak diatur pula, dalam pasal 45 ayat 2 UU Perkawinan:

Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Jadi pokok-pokok batas kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya tidak ditentukan sampai batas umur tertentu, tetapi dilihat dari keadaan anak itu, Apabila anak dianggap telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin, maka terlepaslah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidiknya walaupun anak baru berumur 17 tahun, sebaliknya anak yang telah berumur 25 tahun tetapi belum mampu berdiri sendiri maka orang tua masih berkewajiban memelihara dan mendidik.

c. Hak Asuh Anak Dalam Kompilasi Hukum Islam

Di dalam tinjauan fikih, pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah yang mengandung makna merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz.


(52)

45

Subtansi dari merawat dan medidik tersebut adalah karena yang bersangkutan tidak atau belum dapat memenuhi keperluan sendiri. Para ulama fikih menyatakan wajib hukumnya untuk merawat dan mendidik, namun berbeda pendapat di dalam persoalan hak.

Pengasuhan atau pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak. Dan konsep dalam Islam tanggung jawab ekonomi berada di puncak suami sebagai kepala rumah tangga.

Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan istri dalam memelihara anak dan mengantarkan hingga anak tersebut dewasa.

Pasal-pasal KHI tentang hadhanah tersebut menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan materal dan non material merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu KHI malah menangani tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap di asuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.

KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak

dengan mempergunakan istilah “pemeliharaan anak” di dalam pasal 98 sampai


(53)

46

perwalian. Beberapa pasal di dalam konteks kekuasaan orang tua dan perwalian di dalam KHI, dapat dikutipkan sebagai berikut.

Pasal 1 huruf (f) : Pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 105

Dalam hal terjadi perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.


(54)

47 Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal 107

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 109

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah


(55)

48

gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

KHI mengatur tentang kekuasan orang tua terhadap anak pasca perceraian dengan kriteria 12 tahun, karena usia ini anak dianggap telah akil baliq. Berdasarkan kriteria 12 tahun ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada di dalam kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah tetap ikut ibu atau ikut ayah. Namun demikian angka 12 tahun ini ternyata bukan angka mati berdasarkan kriteria manfaat dan mudarat. Artinya, meskipun usia anak belum mencapai 12 tahun, tetapi situasi dan kondisi membuktikan bahwa anak ternyata lebih mendapat jaminan perkembangan dan pemeliharaan dari ayah, maka kekuasaan orang tua akan berada pada ayah.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat ketentuan yang terdapat di dalam KHI maka dalam konteks kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian memiliki korelasi erat dengan validasi perkawinan, dan validasi percerian dari orang tuanya.

2. Kekuasaan orang tua terhadap anak diungkapkan dengan istilah “

pemeliharaan ” atau “ hadhanah ”. Kenyataan ini sesuai dengan konsep

kewajiban pengasuhan anak yang dikonstruksikan sebagai tidak terdapat pemisahan antara pengasuhan materil dan non materil.


(56)

49

3. Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak pada dasarnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban orang tua secara bersama-sama dengan mendidik dan memelihara anak, dengan ketentuan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun berada pada kekuasaan ibunya.

4. Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak dapat diinvestasikan oleh Pengadilan Agama, dan Pengadilan Agama dapat memutuskan kepada siapa kekuasaan orang tua terhadap anak dijatuhkan. Pengadilan Agama di dalam memutuskan perkara, semata-mata akan mendahulukan pada jaminan kepentingan anak.

Sebenarnya KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan, di mana secara umum tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun telah bercerai. Kekuasaan orang tua terhadap anak dijabarkan melalui perangkat ketentuan hak dan kewajiban anak, dan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak adalah berdasarkan prinsip pemberian yang terbaik bagi anak.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa subtansi dan semangat KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut ketentuan kedua UU adalah sejalan, dan harus dianggap logis mengingat makna kekuasan orang tua terhadap anak sangat berkorelasi terhadap makna perkawinan dan perceraian sebagaimana diatur oleh KHI dan UU perkawinan. Pemaknaan yang terdapat di dalam kedua UU ini ternyata juga sejalan dengan pemaknaan perlindungan anak sebagaimana diatur di dalam UU


(1)

76

2. Bahwa masa kanak-kanak lebih dikonstruksikan kepada pemberikan hak-hak anak yang berkorelasi dengan kewajiban orang tua. Dengan demikian kekuasaan orang tua terhadap anak diwujudkan dalam perangkat hak dan kewajiban anak, dan perangkat hak dan kewajiban orang tua.

3. Bahwa apabila Negara memandang jaminan kepentingan anak terancam akibat adanya perceraian orang tua, pada dasarnya Negara memiliki otoritas mengambil alih persoalan dan sekaligus mengambil suatu kebijakan semata-mata demi melindungi kepentingan anak.

4. Bahwa di dalam konteks hukum nasional dan kepentingan anak, maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dapat diperkirakan menjadi landasan rujukan utama bagi para hakim dalam memutuskan perkara.


(2)

77 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari skripsi Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (Analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006) yaitu:

1. Hadhanah atau pemeliharaan anak dalam hukum perkawinan yang ada di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan perihal siapakah yang lebih berhak dalam hal mendapatkan hak pemeliharaan anak. Hal tersebut kembali kepada kepentingan anak yang didasari pada putusan pengadilan.

2. Majelis Hakim memutuskan perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006 tentang hak asuh anak, hak pemeliharaan anak diberikan kepada ayah karena:

a. Ibu dari anak tersebut adalah seorang selebriti/publik figur yang sangat sibuk dengan pekerjaanya,

b. Sering berangkat pagi pulang sore, bahkan sampai malam, sehingga jika anak ditetapkan di bawah hadhanah ibu, maka anak akan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibu.

3. Siapapun yang memegang hadhanah harus bisa menjamin kebutuhan anak baik pendidikan, ekonomi, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak. Apabila seorang ibu dinyatakan cacat artinya tidak layak dalam memenuhi kewajibannya yaitu sering melantarkan anaknya maka demi kepentingan anak baik secara


(3)

78

mental maupun fisik, hak pemeliharaan itu lebih berada ditangan bapak. Pada prinsipnya ada hal yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak salah satunya adalah:

a. Yang terbaik untuk anak (best interest or the child). Artinya segala tindakan yang menyangkut kepentingan anak maka yang terbaik untuk anak haruslah menjadi kepentingan utama

b. Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for view of the child). Maksudnya bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambil keputusan.

B. Saran

1. Di dalam materi hak asuh atau hadhanah perlu dikaji lebih luas lagi kepada mahasiswa dengan cara berdiskusi di dalam perkuliahan maupun di luar perkuliahan.

2. Perlu diadakannya sosialisasikan melalui pidato, khutbah jumat dan ceramah Agama, mengenai betapa pentingnya menjaga ikatan perkawinan, sehingga tidak terjadi perceraian dan anak hasil perkawinan tersebut dapat merasakan cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

3. Kepada remaja yang belum menikah hendaknya berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, agar kelak menikah nanti dapat terwujud tujuan dari pernikahan yaitu mencapai keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.


(4)

79

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-karim

Abdurahman I Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rinek Cipta,1992), Cet. Ke-1.

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoepe, 1999), Jilid. 2.

Ahmad Shidik, Hukum Talak dalam Agama Islam, (Surabaya : Putera Pelajar,2001), cet. 1.

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghaayatil Ikhtishaar, Penerjemah Achmad Zainudin dan A. ma’ruf Asrori.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, “Antara Fikih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, (Jakarta, Kencana: 2006), Cet. Ke-1.

A. W. Munawir, Al-munawir: Kamus Arab- Indonesia, (Surabaya : pustaka Progresif, 1997), cet. Ke-14.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia “Antara Fikih Munakahat dan

UU Perkawinan”.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, “talak” Ensiklopedi Islam, (Jakarta :PT. Ichtiar Baru an Hoeve, 1994), cet. Ke-3, jilid 5.

H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: Pt bina ilmu 1995).

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1996), Cet. Ke-2.

Jainul Bahry, Kamus Umum “Khusus Bidang Hukum dan Politik”, (Bandung: Angkasa, 1996).

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet.2. J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-13.


(5)

80

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2.

Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), Cet. Ke 8.

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), cet. K-I.

Muhammad Ali Ash Shabuni, shafwatut tafasir, I-III, (Daar al Quran al Kariem, Bairut, 1981).

M. Yahya Harahap SH, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahir Trading, 1975), Cet. 1.

Neng Djubaedah Dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT.Hecca Utama, 2005).

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).

Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Internusa, 1994), Cet. XXVI. Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta:UIP, 1974), cet. Ke-2.

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-sunnah, (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Jil.8.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2004), Cet. Ke-8.

Suharsimi Arikonto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1995), cet. Ke-27. Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. Ke-27. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2006).


(6)

81

Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. United nations children’s fund, Dunia yang layak bagi anak : konveksi hak anak-anak 1989.


Dokumen yang terkait

Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Orangtua(Studi Kasus 4 (empat) Putusan Pengadilan di Indonesia)

18 243 107

HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN PADA PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

0 5 16

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 13

HAK-HAK ANAK DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NO. 23 TAHUN 2002 UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN DALAM Hak-hak anak dalam undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 untuk memperoleh pendidikan dalam perspektif islam.

0 2 23

SINKRONISASI HAK-HAK ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 16

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

0 0 27

HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN ORANGTUA

0 0 9

PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA PIHAK KETIGA SELAIN KELUARGA AKIBAT PERCERAIAN BERDASAR- KAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN - Pelimpahan hak asuh anak di bawah umur kepada pihak ketiga selain keluarga akibat perceraian berdasar-kan undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak - Repository

0 0 21

KAJIAN TERHADAP PUTUSAN HAK ASUH ANAK AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang) - Unika Repository

0 0 13