Pengertian Nikah Bawah Tangan

28 bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Q.S. An Nisa Ayat 7 2. Al Musaharah Atau hubungan perkawinan. Perkawinan secara tak langsung menimbulkan waris, perkawinan yang dimaksud disini adalah perkawinan yang sah menurut agama dan Negara. 3. Al Wala’ Adalah hubungan kewarisan yang timbul akibat memerdekakan hamba sahaya atau melalui perjanjian tolong menolong.

D. Pengertian Nikah Bawah Tangan

Di dalam masyarakat Indonesia mengenal beberapa jenis perkawinan. Diantaranya pernikahan bawah tangan. Nikah bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan pernikahan tetapi dianggap sah menurut agama karena sudah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan pernikahan itu sendiri menurut hukum agama. Walau agama menyatakan perkawinan ini sah namun menurut hukum perdata BW belum dianggap sah karena belum dicatatkan di catatan sipil. Masyarakat indonesia umumnya masih mengikuti adat kebiasaan yang berlaku dahulu, yaitu dengan menganggap bahwa perkawinan itu sudah cukup dilakukan hanya melalui para pemuka agama. Tapi sebenarnya kalau kita mau mengkaji lebih 29 dalam bahwa itu semua belumlah cukup. Kita ingin maju, oleh karena itu kita perlu peraturan. Pencatatan pernikahan itu sebenarnya sangatlah penting untuk mendapatkan hak-hak kita sebagai warga Negara Indonesia. Selain hak-hak kita itu juga berpengaruh terhadap hak-hak keturunan kita. Bisa bayangkan apabila perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah menurut Negara berarti anak hasil perkawinan kita tidak akan dipandang oleh Negara. Nikah bawah tangan atau islam menyebutnya nikah sirri yang dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan KUA. Disebut nikah ‘urfi adat karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka. 23 Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh 23 Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, cet.I, KSA: Darul Ashimah, 1426 H h.21 30 pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat”. 24 Dalam pendapat lain pernikahan siri diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama ; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia siri dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga , pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. 25 Namun yang lebih tepat disini adalah pernikahan sirri, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; 24 Ibid., h.22 25 Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, “Hukum Islam Tentang Nikah Siri”, artikel diakses pada 3 Maret 2010 dari http:hizbut-tahrir.or.id20090314hukum-islam-tentang-nikah-siri 31 sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni 1 hukum pernikahannya; dan 2 hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara. 26 Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga tidak berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akhirat. Untuk itu, seorang qadhi tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh. 27

E. Faktor-faktor Pendorong Nikah Sirri