66
Menurut para pelaku nikah bawah tangan, prosedur pernikahan bawah tangan tak jauh beda dengan nikah legal. Yang membedakan hanya dalam pernikahan bawah
tangan tidak ada pencatatan dari pegawai pencatat nikah. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan administrasi biasanya sama saja. Para saksi dan walinya
pun sama. Dalam pernikahan legal, disyaratkan agar para mempelai mengisi formulir
N1, N2, N3 dan N4 diisi orang tua. Itu semua adalah keterangan dari kelurahan tentang asal-usul, persetujuan wali dan kedua mempelai. Dan yang terakhirnya adalah
surat pendaftaran pernikahan.
29
B. Analisa Permasalahan
Masih banyaknya pernikahan bawah tangan membuat kita harus kembali lagi meneliti apakah masih relevan Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan itu. Bila berkaca kepada ide-ide pembuat Undang-Undang ini adalah kalangan ulama-ulama islam. Tapi kenyataanya setelah Undang-Undang ini digodok
kemudian disahkan sebagai Undang-Undang malah turun pamor dari maksud Undang-Undang ini sendiri. Karena kurangnya sarana pendukung dari para pemimpin
umat islam itu sendiri. Semua pernikahan bawah tangan melibatkan mereka yamg notabenenya adalah pencetus Undang-Undang ini. Hal ini sangat merugikan
masyarakat muslim.
29
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Dahlan PPN Kecamatan Menteng Jakarta Pusat. Jakarta, 8 Agustus 2007
67
Sebagai sebuah masyarakat yang ingin hidup tentram dan nyaman maka sepatutnya Negara membentuk kewajiban tanpa terkecuali kepada masyarakat
mengikuti Undang-Undang ini. Galakkan kembali atau bisa juga adakan kembali penyuluhan-penyuluhan mengenai peran KUA sebagai pencatat pernikahan dan
berikan masukan kepada masyarakat tentang kerugian melakukan pernikahan bawah tangan.
Dari hasil data yang peneliti dapatkan hanya sample dari satu RW. Dan kebanyakan atau semua mengatakan tidak tahu kalau ada Undang-Undang yang
mengatur masalah pencatatan pernikahan untuk memenuhi semua sebab akibat pernikahan. Akan tetapi apabila ditinjau kembali sebenarnya pernikahan bawah
tangan mulai berkurang terhadap tahun kelahiran 1975 ke bawah. Hal ini bisa dilihat pada responden kelahiran dibawah tahun 1974 dapat dikatakan sukses karena hanya
satu orang yang melakukan pernikahan bawah tangan, itupun dengan factor yang sangat meninjau karena wali enggan untuk menikahkan. Walaupun ini salah karena
dia tidak tahu kalau instansi pencatat pernikahan mengenal adanya wali hakim sebagai pengganti orang tua apabila tidak mau menikahkan dengan alasan-alasan
yang jelas. Lainnya penikahan yang dilakukan dibawah tahun 1974 memang masih
melakukan pernikahan bawah tangan karena pada tahun iti belum disahkan Undang- Undang pernikahan. Tapi masih dibilang salah lagi karena dalam Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 dicantumkan isbath nikah atau pencatatan pernikahan yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini keluar.
68
Bila diteliti dengan lebih seksama faktor pernikahan kurang perhatian masyarakat terhadap pencatatan perkawinan lebih banyak dari ketidaktahuan,
kebiasaan di daerah itu dan kurangnya kesadaran amil akan hal ini. Faktor lainnya dimungkinkan dengan rendahnya pendidikan yang mereka emban sehingga kurang
memperdulikan hal yang terlihat ringan tetapi menimbulkan dampak yang sangat besar.
Faktor pertama dan kedua masih bisa dimaklumi. Tapi faktor ketiga ini perlu diluruskan karena melihat ke awal lagi bahwa Undang-Undang ini adalah cita-cita
pemimpin muslim sendiri. Amil sendiri tidak bisa disalahkan. Mungkin sosialisasi pemerintah terhadap mereka ini yang menyebabkan hal ini masih terus terjadi sampai
sekarang. Baiknya apabila ingin menyelesaikan permasalahan ini menurut hemat penulis adalah dengan melakukan pengarahan-pengarahan kepada tokoh masyarakat,
amil, tentang pentingnya masalah pernikahan karena menyangkut banyak hal dalam hal ini di fokuskan terhadap hak anak.
Lembaga pemerintah terkait juga perlu diluruskan. Seperti yang terjadi pada kasus yang pertama, bagaimana mungkin KK keluar apabila tidak di dukung oleh
akta nikah. Hal ini perlu diselidiki. Kepada badan yang berwenang agar lebih waspada lagi terhadap hal-hal seperti ini.
Bila dilihat dari hasil perolehan data tidak dapat atau tidak ada data yang menyebutkan bahwa mereka tahu akan hilangnya hak-hak anak mereka terhadap hasil
dari pernikahan mereka. Andai mereka ada kepedulian terhadap nasib anak-anak mereka kelak. Tapi ini wajar karena toh semua pelaku nikah bawah tangan tidak
69
mengetahui tentang keharusan pencatatan perkawinan yang menimbulkan hak-hak anak mereka hidup.
Permasalahan akan kembali timbul ketika anak-anak mereka tumbuh dewasa. Karena saat mereka berhubungan dengan pemerintah sekolah tidak bisa menuntut
haknya karena tidak memiliki kewarganegaraan yang jelas dikarenakan tidak mempunyai akta kelahiran. Hilanglah hak-hak mereka.
Kepedulian para orang tua akan kerugian pernikahan ini setidaknya dapat mencegah hal itu terjadi. Oleh karenanya pemerintah sangat mengharapkan peran
serta masyarakat untuk mensukseskan program ini. Semua ini diharapkan kerjasama antar pihak.
Namun penulis juga tidak menyangkal bahwa pengetahuan masyarakat tentang pernikahan harus di KUA itu sudah menyeluruh. Hanya saja menurut penulis
masyarakat masih kurang keperdulian terhadap hal ini. Karena dalam perjalananya di masyarakat, masyarakat yang hendak melakukan pernikahan sudah mengetahui peran
KUA sebagai amil pernikahan, tapi mahalnya biaya dan alasan lainnya menjadi alternatif mengapa mereka melakukan pernikahan bawah tangan.
Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa para pelaku nikah bawah tangan tidak mengetahui hak-hak yang akan mereka dapatkan dalam pernikahan legal.
Dengan alibi mahalnya biaya pernikahan dan ribetnya proses nikah di KUA, mereka membuang hak-hak mereka sebagai suami istri. Hal ini tentunya akan merugikan diri
sendiri. Inilah yang harus kita tekankan kepada mereka bahwa pernikahan di KUA itu tidak mahal dan mudah.
70
Untuk itu diharapkan agar kedepan tentunya peran pemerintah terkait bisa mensosialisasikan peran KUA kepada masyarakat. Setidaknya ada konseling ke
kelurahan atau RW mengenai hak-hak pasangan suami istri yang menikah di KUA. Serta memasyarakatkan biaya pernikahan hingga masyarakat tidak lagi mnenganggap
nikah yang sah itu mahal. Adanya kedekatan pemerintah dengan masyarakat juga penting agar hal-hal
seperti ini bisa terhindar. Dari beberapa pelaku yang terwawancara kebanyakan masih menganggap hal-hal seperti pernikahan bawah tangan lumrah. Ini adalah hal yang
salah dan harus diperbaiki. Perjalanan waktu diharapkan bisa mengubah pemikiran masyarakat. Dari pemikiran yang sempit menjadi pemikiran yang luas.
Dimasyarakat tidak hanya perkotaan namun sampai pedesaan harus dimajukan pola fikirnya. Jangan lagi ada pemikiran-pemikiran yang berasal dari
dokrin para pendahulunya. Kurangnya pemikiran ini juga merugikan para anak-anak yang notabenenya tidak tahu apa-apa. Akan sangat memilukan jika kita saksikan
mereka jadi susah akibat pola fikir orang tuanya yang masih jauh dari kemajuan. Bisa dipastikan, pola fikir ini akan menurun kepada anak-anaknya. Karena
para orang tua yang jadi suri tauladan tidak bisa memaksimalkan perannya sebagai pendidik anak-anak. Peran pemerintah sungguhlah amat penting. Karena dapat kita
lihat uraian diatas semua kemajuan masyarakat tak terlepas dari peran pemerintah juga. Namun yang terpenting tetaplah dari diri masyarakat itu sendiri.
71
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang telah di sampaikan di bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan, yaitu :
1. Masyarakat kalipasir gang tembok, berdasarkan hasil penelitian yang penulis
lakukan rata-rata hanya berpendidikan maksimal SMA. Bahkan responden yang penulis dapatkan pun hanya berpendidikan menengah. Pengetahuan
mereka tentang adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sangat minim sekali. Hal ini dibuktikan dari para pelaku
pernikahan bawah tangan umumnya hanya mengetahui nikah sah tidak harus melalui lembaga terkait. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengetahui hak-
hak mereka yang timbul akibat pernikahan, hak-hak anak mereka juga harta mereka yang telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan. 2.
Dampak dari ini akan menyebar ke berbagai aspek. Khusus bagi anak-anak hasil pernikahan bawah tangan akan sulit mendapatkan hak-haknya. Anak-
anak ini tidak mempunyai tanda pengenal sebagai warga Negara. Bisa dianggap sebagai penduduk gelap. Para pelaku nikah bawah tangan umumnya
“menembak” tanda pengenal anak-anak mereka melalui oknum-oknum yang duduk di pemerintahan. Disini hal itu dianggap lumrah dan hal biasa. Alasan