Pengaruh Kurs Rupiah – USD, Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap indeks Harga saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia

(1)

TESIS

Oleh

A M B O E N R E

097017034/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

A M B O E N R E

097017034/Akt

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

HARGA SAHAM SEKTORAL DI BURSA EFEK INDONESIA

Nama Mahasiswa : A m b o E n r e Nomor Pokok : 097017034

Program Studi : Akuntansi

Menyetujui Komisi pembimbing

( Dr. B a s t a r i, MM, Ak ) ( Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak ) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. B a s t a r i, MM, Ak

Anggota : 1. Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak

2. Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA 3. Dra. Sri Mulyani, MBA, Ak


(5)

“Pengaruh Kurs Rupiah – USD, Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap indeks Harga saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia’

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan , 22 November 2011

Yang Membuat Pernyataan,


(6)

Tujuan penelitian ini adalah meneliti pengaruh Kurs Rupiah-USD, Tingkat

Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia periode Januari 2007 sampai Desember 2010.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, metode pemilihan sampel adalah purposive sampling. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan metode analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap data dengan uji asumsi klasik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kurs Rupiah-USD dan Tingkat Suku Bunga SBI sama-sama berpengaruh negatif signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate, sedangkan Inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate.

Kata Kunci : Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi dan Indeks Harga Saham Sektoral


(7)

The purpose of this study was to analyze the Influence of IDR – USD exchange rate, SBI interest rate and Inflation on the movement of Sectoral Share Price Index of Property and Real Estate sectors at the Indonesia Stock Exchange within the period of Januari 2007 to December 2010.

The data used in this study were secondary data obtained from Bank Indonesia and the Indonesia Stock Exchange. The samples for this study were selected through purposive sampling technique. Before the hypothesis was analyzed through multiple regression analysis method, the data were first tested by means of classic assumption test.

The result of this study revealed that simultaneously IDR – USD exchange rate and SBI interest rate had negative influence on the movement of Sectoral Share Price Index of Property and Real Estate Sectors, while Inflation did not have significant influence on the movement of Sectoral Share Price index of Property and Real Estate Sectors.

Keywords : IDR – USD Exchange Rate, SBI Interest Rate, Inflation, Sectoral Share


(8)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Allah SWT, yang mana berkat Rahmat dan petunjuk-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral di Bursa Efek Indonesia.

Dalam penulisan tesis ini penulis telah banyak memperoleh bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kemudahan dalam proses pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA, selaku ketua Program Studi Magister Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Anggota komisi pembanding, yang telah banyak memberikan bimbingan dan kemudahan dalam proses pendidikan di Program Studi Ilmu Akuntansi Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara, serta masukan yang berguna untuk perbaikan tesis ini. 4. Bapak Dr. Bastari, MM, Ak, sebagai pembimbing Utama, dan Bapak Arifin

Akhmad, M.Si, Ak, sebagai anggota pembimbing, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai.


(9)

5. Ibu Dra, Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, AK, dan Ibu Dra. Sri Mulyani, MBA. Ak selaku Anggota Komisi Pembanding yang telah banyak memberikan masukan yang berguna untuk perbaikan tesis ini.

6. Bapak Andri Hidayat, M.Kes, Apt, selaku Regional Head I PT. Prodia Widyahusada, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi sehingga selesai penulisan tesis ini.

7. Seluruh Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu proses administrasi dan kelancaran kegiatan akademik, khususnya rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Akuntansi. 8. Keluarga Besar (Alm) H. Sahabuddin dan Ibunda Hj. Hamdana serta Keluarga

(Alm) Yose Rizal dan Nurhaedah Harahap yang telah banyak memberikan doa serta dukungan moril sehingga selesai penulisan tesis ini.

9. Isteri tersayang Yenni Sari, S.Pd yang dengan segala ke ikhlasannya memberikan dukungan, waktu dan perhatian kepada penulis, serta anak-anakku tersayang Debby Tamara Enre dan Ricky Irfan Enre yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10.Rekan-rekan Angkatan XVII khususnya Razali, Aston, Sigit, Eky, Uswa, Fitri dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasi dan semangat dalam penulisan ini.

Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada semua yang telah memberikan bantuan dan perhatian kepada penulis ketika masa kulliah dan saat penulisan tesis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini belum


(10)

sempurna, namun diharapkan akan berguna bagi semua pihak khususnya bagi pengembangan serta penelitian di bidang Pasar Modal.

Medan, 22 November 2011

Penulis


(11)

vi N a m a : A m b o E n r e

Tempat dan Tanggal Lahir : Maros, SulSel. 09 Mei 1964 Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : Islam Status Perkawinan : Menikah Nama Orang Tua

- A y a h : H. Sahabuddin - I b u : Hj. Hamdana

Alamat Rumah : Jl. Bajak I ( Komp. Perumahan Suka Cipta ) No. 7 Medan

Pendidikan

1. Tahun 1971-1976 : SD Negeri No. 1 Camba – Maros 2. Tahun 1977-1981 : SMP Negeri Camba – Maros 3. Tahun 1981 – 1984 : SMA Ampera Ujungpandang 4. Tahun 1984 – 1987 : AKPER Depkes RI Ujungpandang 5. Tahun 1989 -1994 : Fakultas Ekonomi UMA

6. Tahun 2009 – 2011 : Sekolah Pasca Sarjana USU Program Studi Ilmu Akuntansi


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB.1 PENDAHULUAN ...…... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Rumusan Masalah ...…. 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Originalitas... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Landasan Teori ... 12

2 .1.1. Indeks Harga Saham Gabungan ...…… 12

2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan Harga Saham... 17

. 2.1.3. Pengaruh Kurs Rupiah-USD, tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham....….... 24

2.2. Tinjauan Penelitian Terhadahulu ... 27

BAB III. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ... 29

3.1. Kerangka Konsep ………...…... 29

3.2. Hipotesis Penelitian ………...…...…... 31

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 32


(13)

4.2. Lokasi Penelitian ... 32

4.3. Populasi dan Sampel penelitian ... 32

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 34

4.5. Defenisi Operasional dan Metode Pengukuran variabel ..……….. 34

4.6. Metode Analisa Data... 36

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …...………... 41

5.1. Deskripsi Variabel Penelitian...………...……..…. 41

5.1.1. Statistik Deskriptif………...……..… 48

5.1.2. Analisa Data ………...….. 49

5.1.2.1. Uji Asumsi Klasik………...……. 49

5.1.2.2. Uji Statistik hasil Estimasi Model ………... 54

5.2. Pengujian Hipotesis………...…………... 55

5.3. Pembahasan Hasil Penelitian... 57

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ………....………... 60

6.1. Kesimpulan ………...………….. 60

6.2. Keterbatasan penelitian………...………... 60

6.3. Saran... ………...………. 61


(14)

1.1. Perkembangan Indeks harga saham gabungan tahun 1994-2009... 4

1.2. Perubahan Indeks Sektoral dari Desember 2008 ke Tahun 2009... 7

2.1. Tinjauan Penelitian terdahulu... 28

3.1. Imdeks harga Saham gabungan Lima Negara Asean Tahun 2005-2009.... 30

4.1 Daftar Perusahaan Sampel ... 33

4.2. Defenisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel... 35

5.1. Perkembangan Kurs Rupiah – USD Januari 2007 – Desember 2010 ... 42

5.2. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI Januari 2007–Desember 2010. 44

5.3. Perkembangan Tingkat Inflasi januari 2007 – Desember 2010... 46

5.4. Perkembangan IHS Sektoral Sektor Properti dan Real Estate Januari 2007 Sampai Desember 2010... 47

5.5. Descriptive Statistics... 48

5.6. Hasil Uji Multikolinieritas Coefficientsa... 49

5.7. Hasil Uji Multikolonieritas Colrelation... 50


(15)

1.1. Perkembangan Indeks Sektor Properti dan Real Estate1977-2009.... ... 8 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 29 5.1. Perkembangan Kurs Rupiah– SD Januari 200 –Desember 2010... 41 5.2. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI Januari 2007 – Desember 2010 43 5.3. Perkembangan Tingkat Inflasi januari 2007 – Desember 2010... 45 5.4. Perkembangan IHS Sektoral Sektor Properti dan Real Estate Januari 2007 Sampai Desember 2010... 47 5.5. Hasil Uji Heterkedastisitas... 51 5.6. Grafik Uji Normalitas ... 53


(16)

1. Daftar Populasi dan Perusahaan sampel... 65

2. Data Indeks Harga Saham Sektor Properti dan Real Estate... 67

3. Data Kurs Rupiah Bank Indonesia... 68

4. Data Suku Bunga SBI... 69

5. Data Inflasi dari Bank Indonesia... 70


(17)

Tujuan penelitian ini adalah meneliti pengaruh Kurs Rupiah-USD, Tingkat

Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia periode Januari 2007 sampai Desember 2010.

Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, metode pemilihan sampel adalah purposive sampling. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis dengan metode analisis regresi berganda, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap data dengan uji asumsi klasik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kurs Rupiah-USD dan Tingkat Suku Bunga SBI sama-sama berpengaruh negatif signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate, sedangkan Inflasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate.

Kata Kunci : Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi dan Indeks Harga Saham Sektoral


(18)

The purpose of this study was to analyze the Influence of IDR – USD exchange rate, SBI interest rate and Inflation on the movement of Sectoral Share Price Index of Property and Real Estate sectors at the Indonesia Stock Exchange within the period of Januari 2007 to December 2010.

The data used in this study were secondary data obtained from Bank Indonesia and the Indonesia Stock Exchange. The samples for this study were selected through purposive sampling technique. Before the hypothesis was analyzed through multiple regression analysis method, the data were first tested by means of classic assumption test.

The result of this study revealed that simultaneously IDR – USD exchange rate and SBI interest rate had negative influence on the movement of Sectoral Share Price Index of Property and Real Estate Sectors, while Inflation did not have significant influence on the movement of Sectoral Share Price index of Property and Real Estate Sectors.

Keywords : IDR – USD Exchange Rate, SBI Interest Rate, Inflation, Sectoral Share


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

Di era globalisasi, hampir semua negara menaruh perhatian besar terhadap pasar modal karena memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Di beberapa negara, pasar modal telah menjadi sumber kemajuan negara sehingga dengan berkembangnya pasar modal akan mendorong kemajuan ekonomi. Pasar modal tidak hanya dimiliki negara industri, bahkan banyak negara-negara sedang berkembang yang juga memiliki pasar modal. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah membuka diri bagi para investor asing.

Perkembangan pasar modal di Indonesia mengalami peningkatan yang semakin pesat sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan nilai IHSG dan nilai transaksi yang ditampilkan pada tabel 1.1 halaman 4, Nilai IHSG pada mengalami peningkatan hingga 402 persen dan tahun 2000 (IHSG = 703,483), hingga 2008 ( IHSG 2.830,263) Kondisi ini juga diikuti nilai transaksi yang terus semakin meningkat. Nilai IHSG yang semakin tinggi merupakan bentuk kepercayaan investor atas kondisi Indonesia yang semakin kondusif.

Ada dua pengaruh langsung krisis finansial global terhadap perekonomian di negara Indonesia. Pertama pengaruh terhadap keadaan indeks bursa saham Indonesia. Kepemilikan asing yang masih mendominasi dengan porsi 60 % kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia, mengakibatkan bursa saham rentan terhadap keadaan sosial


(20)

global karena kemampuan finansial para pemilik modal tersebut (Tempo Interaktif, 2008), Kedua di bidang Ekspor Impor, Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor nomor dua setelah Jepang dengan porsi 20 % - 30 % dari total ekspor (Deppenin, 2008). Dengan menurunnya kinerja ekonomi Amerika Serikat secara langsung akan mempengaruhi Ekspor Impor negara Indonesia juga.

Dampak lain krisis finansial global adalah dari sisi tingkat suku bunga. Dengan naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, suku bunga akan naik karena Bank Indonesia akan menahan rupiah sehingga akibatnya inflasi akan meningkat. Pengaruh gabungan antara kurs dollar tinggi dan suku bunga yang tinggi akan berdampak pada investasi dan sektor rill, dimana investasi sektor rill seperti properti dan Real Estate serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam hitungan semesteran akan sangat terganggu. Pengaruhnya pada investasi di pasar modal, krisis global ini akan membuat orang tidak lagi memilih pasar modal sebagai tempat yang menarik untuk berinvestasi karena kondisi makro yang kurang mendukung (Adiwarman, 2008).

Dampak merosotnya rupiah terhadap pasar modal memang dimungkinkan mengingat sebagian besar perusahaan yang go publik di BEJ mempunyai hutang luar negeri dalam bentuk Valuta Asing. Disamping itu produk yang dihasilkan oleh perusahaan publik banyak menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor tinggi dan kepemilikan saham di bursa efek Indonesia masih didominasi asing. Merosotnya rupiah di mungkinkan menyebabkan jumlah utang perusahaan dan biaya produksi menjadi bertambah besar jika dinilai dengan rupiah.


(21)

Kenaikan tingkat suku bunga akan berdampak negatif terhadap setiap emiten, karena akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan laba bersih perusahaan. Kenaikan tingkat suku bunga pada Tahun 2008 sebesar 5,66 % dari 8,63 pada tahun 2007 menjadi 9,12 tahun 2008 berakibat turunnya IHSG terendah tahun 2007 = 1.678,044 menjadi 1.111,390 tahun 2008.

Reaksi tingkat Inflasi yang terjadi pada tahun 2008, tidak berdampak langsung terhadap perkembangan IHSG, inflasi yang terjadi pada tahun 2008 sebesar 4,9 % atau terjadi penurunan dari tahun 2007 (inflasi = 5,2 %) sebesar -5,77 % tidak berdampak terhadap perbaikan IHS menjadi lebih baik, begitu juga dengan inflasi yang terjadi tahun 2009 yang cukup tinggi 10,3 %, terjadi penurunan ISHG sebesar -10,45 % dari IHSG tertinggi tahun 2008 = 2.830,263 turun menjadi 2.534,356 pada Tahun 2009.

Krisis ekonomi moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998, menunjukkan hubungan antara kondisi makro ekonomi terhadap kinerja, dimana dengan melemahnya nilai tukar rupiah telah berdampak besar terhadap pasar modal di Indonesia., Setyorini dan Supriadi (2000) mengungkapkan bahwa sejak minggu kedua bulan Juli 1997, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai tertekan ke bawah dan di luar perkiraan pada tanggal 1 September1997 melemah sampai 458,97 poin. Penurunan indeks tersebut terus berlangsung seiring dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dan mencapai titik terendah pada tanggal 15 Desember 1997 sebesar 339,536 poin yang berarti turun sebesar 401,29 poin (54 %) sejak tanggal 8 Juli 1997 dan lebih rendah lagi pada tahun 1998. IHSG hanya 256,834 poin (tabel 1.1 halaman 4).


(22)

Perkembangan IHSG di Indonesia pada tabel 1.1 (halaman 4), menunjukkan bahwa pasar modal mulai menunjukkan peningkatan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Pada akhir tahun 1994, IHSG masih berada pada level 469,640. Meskipun sempat mengalami penurunan -14,46 % pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 di bandingkan tahun 1994, akan tetapi pada era tahun 2000- an IHSG mengalami pertumbuhan yang luar biasa, sejak tahun 2004 yaitu 112,98 % dan mengalami level tertinggi pada tahun 2008 sebesar 2.830,263 atau meningkat sebesar 502,65 % di bandingkan penutupan tahun 1994, dan pada tanggal 9 Desember 2010 IHSG di bursa efek Indonesia

Tabel 1.1. Perkembangan Indeks Harga Saham GabunganTahun 1994-2009

Rata-rata transaksi hasrian Indeks Harga Saham Gabungan Tahun Volume (Juta) Nilai (Rp. Miliar) Frek (Ribu X)

Tertinggi Terendah Akhir

Kapitalisasi Pasar (Rp. Triliun) Jumlah Emiten 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 21,6 43,3 118,8 311,4 366,9 722,6 652,9 603,2 698,8 967,1 1.708,6 1.653,8 1.805,5 4.225,5 4.282,7 6.089,9 104,0 131,5 304,1 489,4 403,6 598,7 513,7 396,4 492,9 518,3 1.024,9 1.670,8 1.841,8 4.268,9 4.435,5 4.046,2 1,5 2,5 7,1 12,1 14,2 18,4 19,4 14,7 12,6 12,2 15,1 16,5 19,9 48,2 55,9 87,0 612,888 519,175 637,432 740,833 554,107 716,460 703,483 470,229 551,607 693,033 1.004,430 1.192,203 1.805,523 2.810,962 2.830,263 2.534,356 447,040 414,209 512,478 339,536 256,834 372,318 404,115 342,858 337,475 379,351 668,477 994,770 1.171,709 1.678,044 1.111,390 1.256,109 469,640 313,847 637,432 401,712 389,038 676,919 416,321 392,036 424,945 691,895 1.000,233 1.162,635 1.805,523 2.745,826 1.355,408 2.534,356 104 152 215 160 176 452 260 239 168 460 680 801 1.249 1.988 1.076 2.019 217 238 253 282 288 277 287 316 331 333 331 336 344 383 396 398


(23)

mencapai level tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia yaitu di tutup pada level 3.786,097 (BEI, 2010). Hal tersebut di dorong suku bunga perbankan yang terus menurun, sehingga investor mencari alternatif lain dalam menginvestasikan dana yang dimilikinya agar memperoleh return yang lebih besar, dan salah satunya adalah dengan berinvestasi dalam pasar modal.

Pasar modal merupakan salah satu alternatif pilihan investasi yang dapat menghasilkan tingkat keuntungan optimal bagi investor. Investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menempatkan dana pada satu atau lebih dari satu asset selama periode tertentu dengan harapan dapat memperoleh penghasilan dan atau peningkatan nilai investasi ( Suad Husnan, 1998). Investasi dapat berasal dari dalàm dan luar negeri yang berupa investasi langsung maupun tidak langsung dan mempunyai tingkat resiko yang lebih besar dibandingkan dengan alternatif investasi lainnya, seperti obligasi, deposito, dan tabungan. Apabila kesempatan investasi mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi, maka investor akan mengisyaratkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi pula. Dengan kata lain, semakin tinggi resiko suatu kesempatan investasi maka akan semakin tinggi pula tingkat keuntungan (return) yang disyaratkan oleh investor (Jogianto, 2000). Saham perusahaan yang go public sebagi komoditi investasi tergolong beresiko tinggi, karena sifat komoditinya sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan di luar negeri maupun dalam negeri. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif terhadap nilai saham yang ada di pasar saham.

Setiap investor di pasar saham sangat membutuhkan informasi untuk mengetahui perkembangan transaksi di bursa hal ini sangat penting untuk dijadikan


(24)

bahan pertimbangan dalam menyusun strategi dan pengembalian keputusan investasi di pasar modal. Menurut Cheng (1997), dalam melakukan pemilihan investasi di pasar modal dipengaruhi oleh informasi fundamental dan tehnikal. Informasi Fundamental adalah informasi kinerja dan kondisi internal perusahaan yang cenderung dapat dikontrol, sedangkan informasi teknikal adalah informasi kondisi makro seperti tingkat pergerakan, suku bunga, nilai tukar mata uang, inflasi, indeks saham di pasar dunia, kondisi keamanan dan politik. Informasi teknikal sering digunakan sebagai dasar analisa pasar modal. Jika kondisi indikator makro ekonomi mendatang diperkirakan jelek, maka kemungkinan besar refleksi Indeks harga saham menurun, demikian sebaliknya (Robbert Ang, 1977).

Secara garis besar ada tiga faktor utama yang berpengaruh terhadap pergerakan Indeks Harga Saham yaitu faktor domestik, faktor asing dan faktor aliran modal ke Indonesia. Faktor domestik yang mempengaruhi IHSG berupa faktor fundamental yaitu inflasi, pendapatan nasional, jumlah uang yang beredar, suku bunga, maupun nilai tukar Rupiah. Berbagai faktor fundamental tersebut dianggap dapat berpengaruh terhadap Investor yang akhirnya berpengaruh pada pergerakan indeks (Pasaribu, Tobing, Manurung, 2008) Faktor asing merupakan salah satu implikasi dan bentuk globalisasi dan semakin terintegrasi pasar modal di seluruh dunia, Kondisi ini memungkinkan timbulnya pengaruh dari bursa-bursa yang maju (developed) terhadap bursa yang sedang berkembang. Selama tiga periode terakhir, jumlah investor asing mendominasi kepemilikan saham di Bursa Efek Indonesia. Walaupun demikian kepemilikan investor lokal mengalami peningkatan pada dua


(25)

periode terakhir. Kondisi ini yang membuat pasar modal Indonesia rentan atas aliran dana yang masuk-keluar Indonesia.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor-faktor di atas terhadap Indeks Harga Saham. Selain itu, pasar modal Indonesia yang termasuk kategori berkembang (emerging) sangat dipengaruhi oleh kinerja indeks saham pada negara maju (Amerika Serikat dan Cina), sehingga perlu dilihat pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan termasuk didalamnya adalah Indeks Sektoral. Indeks sektoral adalah bagian dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Bursa Efek Indonesia memiliki beberapa indeks sektoral. Kesemua indeks saham sektoral yang tercatat di BEI di klasifikasi kedalam sembilan sektor, menurut klasifikasi industri. Kesembilan sektor tersebut adalah Pertanian, Pertambangan, Industri dasar dan kimia, Aneka Industri, Industri Barang Konsumsi, Properti dan

Tabel 1.2. Perubahan Indeks Sektoral Dari Desember 2008 Ke Tahun 2009

No Indek Tertinggi Terendah Penutup

perubahan dari Des.

2008

Persentase (%) 1 Pertanian 1.931,65 918,87 1.753,09 834,32 90,81 2 Pertambangan 2.328,78 871,00 2.230,18 1.325,80 151,06 3 Industri Dasar 237,93 121,80 273,93 138,95 102,93 4 Ragam Industri 604,60 212,50 601,47 386,53 179,84

5 Konsumsi 671,31 326,84 671,31 344,46 105,39

6 Properti & real estate

166,19 95,17 46,80 43,31 41,85 7 infraktuktur 745,02 444,31 728,53 23,18 48,57

8 Keuangan 318,82 145,59 301,42 125,09 0,94

9 Perdagangan 283,81 143,00 275,76 127,43 85,91


(26)

Real Estate, Infrastruktur Utilitas dan Transportasi, Keuangan, Perdagangan Jasa dan Investasi.

Perkembangan sembilan sektor dari bulan Desember 2008 ke tahun 2009 seperti terlihat pada tabel 1.2. bahwa perubahan terbesar terjadi pada sektor ragam Industri yaitu sebesar 179,84 %, dan perubahan yang paling sedikit adalah sektor properti dan real estate yaitu sebesar 41,85 %. Sektor properti dan real estate sebagai salah satu sektor yang penting karena merupakan indikator penting untuk menganalisis kesehatan ekonomi suatu negara. Industri properti juga merupakan sektor yang pertama memberikan sinyal jatuh atau sedang bangunnya perekonomian sebuah negara (Santoso, 2005).

Perkembangan indeks saham sektor properti dan real estate mulai tahun 1996 - 2009 dapat terlihat pada gambar 1.1. di bawah ini.

Gambar 1.1. Perkembangan Indeks Sektor Properti dan real Estate tahun 1997 - 2009


(27)

Sektor properti dan real estate adalah salah satu sektor yang perubahannya paling sedikit diantara sembilan sektor yaitu sebesar 41,85 %. Serta cakupan indeks sektoral ada 9 sektor, maka peneliti membatasi pada sektor properti dan real estate yang akan di teliti, begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut di batasi tiga faktor yaitu kurs rupiah terhadap US Dollar, tingkat suku bunga SBI dan inflasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut terhadap investasi yang dilihat dari pergerakan nilai indeks di bursa Efek Indonesia. Sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan maka dipilih judul dan penulisan ini adalah Pengaruh Kurs Rupiah - USD, Tingkat Suku Bunga SBI, dan Inflasi terhadap Indeks Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

Apakah ada pengaruh perubahan Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI, dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh perubahan Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI, dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia.


(28)

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan yang hendak diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti, Hasil penelitian dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral terutama pengaruh Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI, dan Inflasi terhadap Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate.

2. Bagi peneliti lain, sebagai bahan tambahan referensi dan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

3. Sebagai pertimbangan bagi perusahaan, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam mengambil kebijakan mengenai kebijakan yang akan ditempuh sehubungan dengan pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate.

4. Bagi Investor, dapat memberikan informasi dan masukan yang dibutuhkan oleh pemegang saham, kreditur dan pihak-pihak yang terkait lainnya.

1.5. Originalitas

Sampai saat ini penelitian tentang hubungan Kurs Rupiah-USD, Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi terhadap Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia, masih sangat terbatas, seperti penelitian tentang faktor fundamental telah dilaksanakan oleh:

1. Suciwati dan Machfoedz (2002) telah meneliti tentang “ Pengaruh resiko nilai tukar rupiah terhadap return saham; Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur


(29)

yang terdaftar di BEJ”, menyimpulkan bahwa nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan positif terhadap return saham sebelum terjadi depresiasi dan berpengaruh signifikan negatif terhadap nilai tukar rupiah setelah terjadi depresiasi.

2. Muji dan Mudjilah (2003) telah meneliti tentang “Peranan Profitabilitas, suku bunga, inflasi dan nilai tukar dalam mempengaruhi pasar modal Indonesia selama krisis ekonomi, menyimpulkan bahwa Profitabilitas, suku bunga, inflasi dan nilai tukar secara bersama-sama mempengaruhi harga saham badan usaha secara signifikan.

3. Almilia, (2004) telah meneliti tentang “Analisis Faktor-fàktor yang mempengaruhi kondisi financial distress suatu perusahaan yang terdaftar di BEJ, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara inflasi dan financial distress.

4. Suyanto, (2007) telah meneliti tentang” Analisa pengaruh nilai tukar uang, suku bunga dan inflasi terhadap return saham sektor properti tahun 2001 - 2005” menyimpulkan bahwa nilai tukar rupiah dan suku bunga berpengaruh negatif, sedangkan inflasi berpengaruh positif terhadap return saham.

Peneliti-peneliti yang dikemukakan tersebut, memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian ini, diantaranya tahun penelitian, variabel dependen yang digunakan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Indeks Harga Saham Gabungan

Indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk melihat perubahan mengenai harga dalam waktu dan tempat yang sama ataupun berlainan. Indeks adalah ukuran statistik yang biasanya digunakan menyatakan perubahan perubahan perbandingan nilai suatu variabel tunggal atau nilai sekelompok variabel.

Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi (BEI, 2008) yaitu:

1. Sebagai indikator trend pasar, 2. Sebagai idikator tingkat keuntungan,

3. Sebagai tolak ukuran (brandmark) kinerja suatu portofolio, 4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif, 5. Memfasilitasi perkembangan produk derivatif.

Ada beberapa macam pendekatan atau metode perhitungan yang digunakan untuk menghitung indeks, yaitu (1) menghitung rata-rata (arithmetic mean) harga saham yang masuk dalam anggota indeks, (2) menghitung (geometric mean) dan indeks individual saham yang masuk anggota indeks, (3) menghitung rata-rata tertimbang nilai pasar. Umumnya semua indeks harga saham gabungan


(31)

(composite) menggunakan metode rata-rata tertimbang termasuk di Bursa Efek Indonesia (BEJ, 2008).

Sekarang ini PT. Bursa Efek Indonesia memiliki 8 macam harga saham yang secara terus menerus disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, sebagai salah satu pedoman bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal (BEJ, 2008). Ke delapan macam indeks tersebut adalah:

1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), menggunakan semua emiten yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks.

2. Indeks Sektoral, menggunakan semua emiten yang termasuk dalam masing-masing sektor.

3. Indeks LQ 45, menggunakan 45 emiten yang dipilih berdasarkan kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 4. Jakarta Islamic Index (JlI), menggunakan 30 emiten yang masuk dalam kriteria

syariah dan termasuk saham yang memiliki kapitalisasi besar dan likuiditas tinggi. 5. Indeks Kompas 100, menggunakan saham yang dipilih berdasarkan kriteria

likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 6. Indeks Papan Utama, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan

utama.

7. Indeks Papan Pengembangan, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan pengembangan.

8. Indeks Individual, yaitu harga saham masing-masing emiten.

Seluruh indeks yang ada di BEJ menggunakan metode perhitungan yang sama, yaitu metode rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat.


(32)

Perbedaan utama yang terdapat pada masing-masing indeks adalah jumlah emiten dan nilal dasar yang digunakan untuk perhitungan indeks. Misalnya untuk indeks LQ 45 menggunakan 45 saham untuk perhitungan indeks sedangkan Jakarta Islamic Index (JII) menggunakan 30 saham untuk perhitungan indeks melalui display wall di lantai bursa dan disebarkan ke masyarakat luas oleh data vendor melalui data feed

Indeks Sektoral merupakan bagian dari IHSG. Semua perusahaan yang sektor tercantum di BEJ di klasifikasikan ke dalam sembilan sektor yang didasarkan pada klasifikasi industri yang ditetapkan oleh BEJ yang disebut JESICA (Jakarta Stock

Exchange Indurtrial Classification).

a. Kesembilan sektor tersebut adalah Sektor Utama (industri yang menghasilkan bahan-bahan baku yaitu:

1. Sektor l. Pertanian 2. Sektor 2, Pertambangan

b. Sektor kedua (Industri pengolahan/Manufaktur) 3. Sektor 3, Industri Dasar dan Kimia

4. Sektor 4, Aneka Industri

5. Sektor 5, Industri Barang Konsumsi c. Sektor ketiga (jasa)

6. Sektor 6, Properti dan Real Estate 7. Sektor 7, Transportasi dan Inftrastruktur 8. Sektor 8, Keuangan


(33)

Indeks sektoral diperkenalkan pada tanggal 2 Januari 1996 dengan Nilai Dasar 100 untuk setiap sektor dan menggunakan Hari Dasar tanggal 28 Desember 1995. Disamping kesembilan sektor tersebut, BEI menghitung indeks industri manufaktur/pengolahan yang mempresentasikan kumpulan saham yang diklasifikasikan ke dalam sektor 3, sektor 4 dan sektor 5.

Pergerakan indeks akan menunjukkan perubahan situasi pasar yang terjadi, sehingga dijadikan barometer kesehatan ekonomi di suatu Negara dan Juga sebagai landasan ana1isis statistik pasar terakhir. Fenomena ekonomi tersebut meliputi mikro dan makro ekonomi. Fenomena makro ekonomi diantaranya perubahan nilai tukar, suku bunga, tingkat inflasi. Perubahan harga saham setiap hari perdagangan akan membentuk IHS angka indeks dibuat sedemikian rupa hingga dapat digunakan untuk mengukur kinerja saham yang dicatat di bursa efek, dimana return dan risiko pasar tersebut dihitung, Return portofolio diharapkan meningkat jika IHS cenderung meningkat, demikian sebaliknya return tersebut menurun jika IHS cenderung menurun.

Dasar perhitungan indeks adalah jumlah nilai pasar dari total saham yang tercatat dengan metologi perhitungan menggunakan rata-rata tertimbang nilai pasar (market value weighted average index) dengan rumus sebagai berikut:

100 x perdana harga x Tercatat Saham Jumlah Dasar NIlai terakhir Harga x harga X Tercatat Saham Jumlah pasar Nilai ndeks = + = I


(34)

Keterangan:

Indeks = Indeks Harga Saham hari ke INilai Pasar = Rata-rata

tertimbang nilai pasar (jumlah lembar tercatat di bursa efek dikali dengan harga pasar perlembarnya) dan saham umum dan saham preferen pada hari ke-1

Nilai Dasar = Sama dengan nilai pasar tetapi dimulai dan tanggal 10 Agustus 1982 Untuk mengeliminir pengaruh faktor-faktor yang bukan harga saham, nilai dasar selalu disesuaikan bila terjadi corporate action seperti split saham, dividen saham, saham bonus, penawaran terbatas dan sebagainya. Dengan demikian indeks akan benar-benar mencerminkan pergerakan saham saja.

Formula untuk mengukur Nilai dasar adalah

Lama Dasar Nilai Lama

Pasar Nilai

Baru Saham Pasar Nilai + lama Pasar Nilai Baru

Dasar

Nilai = x

Perhitungan Indeks dilakukan setiap hari, yaitu setelah penutupan perdagangan setiap hari. Indeks Harga Saham yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dam Real Estate yang nilainya diambil dan Monthly Statistic Bursa Efek Indonesia dari bulan Januari 2007 sampai Desember 2010.


(35)

2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan Harga Saham 2.1.2.1. Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar Rupiah atau disebut juga Kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukar sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008).

Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variable-variabel makro ekonomi yang lain. Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai tukar mata uang yaitu pendekatan moneter dan pendekatan pasar. Dalam pendekatan moneter, nilai tukar mata uang di definisikan sebagai harga dimana mata uang asing diperjual belikan terhadap mata uang domestik dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang.

Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dollar AS memiliki pengaruh negatif tehadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).

Nilai tukar yang naik turun secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya kepasar ekspor oleh karena itu pengolahan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah


(36)

satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro. Naik turunnya nilai tukar mata uang atau kurs valuta asing bisa terjadi dengan berbagai cara yakni bisa dengan cara dilakukan secara resmi oleh pemerintah suatu Negara yang menganut system managed foating exchange rate, atau bisa juga karena tarik menariknya kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan di dalam pasar (market

mechanism).

Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank central terhadap pasar uang. Nilai tukar uang lazim disebut nilai kurs, mempunyai peranan penting dalam rangka stabilitas monoter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing, khusunya pada saat terjadinya gejolak yang berlebihan.

Ada beberapa sistem kurs mata uang yang berlaku di perekonomian internasional, (Kuncoro, 2001) Yaitu:

1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate),, sistem kurs ini di tentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilitas oleh otoritas moneter. Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs mengambang, yaitu: a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan sepenuhnya

oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. Sistem ini disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini cadangan devisa tidak diperlakukan karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan atau memanipulasi kurs.

b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating echange rate) dimana otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi pergerakan kurs.


(37)

2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu Negara mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner dagang yang utama “menambatkan” ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambahannya. Jadi sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya berfluktuasi terhadap mata uang lain mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya.

3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs). Dalam system ini, suatu negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs tertambat Oleh karena itu sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat revaluasi yang tiba-tiba dan tajam.

4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata uang. Keuntungan dari system ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam “Keranjang” umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai perdagangan negara tertentu. Mata uang yang berlainan diberi bobot yang berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara tersebut. Jadi sekeranjang mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dan beberapa mata uang yang berbeda dengan bobot yang berbeda.

5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu negara mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit.

2.1.2.2. Suku Bunga

Suku bunga merupakan harga atas dana yang dipinjam (Reelly and Brown, 1997). Pada waktu perusahaan merencanakan pemenuhan kebutuhan modal sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga yang berlaku saat itu. Apakah akan menerbitkan sertifikat ekuitas atau hutang. Karena penerbitan obligasi atau penambahan hutang hanya dibenarkan jika tingkat bunganya lebih rendah dari earning power dan penambahan modal tersebut (Riyanto, 1995). Suku bunga yang rendah akan menyebabkan biaya peminjaman yang lebih rendah. Suku bunga yang rendah akan


(38)

merangsang investasi dan aktivitas ekonomi yang akan menyebabkan harga saham meningkat.

Dalam dunia Industri, suku bunga berperan dalam meningkatkan aktivitas ekonomi sehingga berdampak kuat pada kinerja perusahaan yang berakibat langsung pada meningkatnya return saham. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia sering diidentikkan dengan aktiva yang bebas resiko artinya aktiva yang resikonya nol atau paling kecil. Hasil penelitian Haryanto (2007) membuktikan bahwa besarnya suku bunga SBI mempengaruhi resiko sistematik saham Suku bunga Bank Indonesia merupakan patokan dalam menentukan besarnya bunga kredit dan tabungan. Suku bunga SBI yang tinggi tidak menggairahkan perkembangan usaha-usaha karena mengakibatkan suku bunga bank yang lain juga tinggi. Sehingga rendahnya suku bunga SBI mengandung risiko lesunya ekonomi. Hal ini mengakibatkan tingginya risiko berinvestasi di pasar modal.

SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. Dalam operasi pasar terbuka, Bank Indonesia dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI bertujuan menjaga kestabilan nilai rupiah dengan mengurangi jumlah uang promer yang berlebihan dipasar.

Besarnya tingkat suku bunga SBI akan berpengaruh pada besarnya tingkat suku bunga perbankan yang dapat diakses langsung oleh masyarakat, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga pinjaman. Suku bunga perbankan dianggap


(39)

Dalam penelitian suku bunga yang digunakan adalah nilai suku bunga SBI dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2010.

2. 1.2.3. Inflasi

Inflasi adalah peningkatan secara umum dari harga-harga barang dan jasa, yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, atau pengurangan daya beli dari mata uang negara tersebut. Salah satu peristiwa yang sangat penting dan dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah inflasi. Didalam perekonomian ada kekuatan tertentu yang menyebabkan tingkat harga melonjak sekaligus, tetapi ada kekuatan lain yang menyebabkan kembali harga berlangsung terus menerus secara perlahan.

Peristiwa yang cenderung mendorong naiknya tingkat harga disebut gejolak inflasi (Lipsey. 1992). Secara keseluruhan, laju inflasi yang sedang berlangsung tergantung pada (i) permintaan, seperti yang ditujukan oleh senjang inflasi atau senjang resesi, (ii) kenaikan biaya yang diharapkan, (iii) serangkaian kekuatan luar yang datang terutama dari sisi penawaran. Laju inflasi dapat dipisahkan menjadi tiga komponen yaitu inflasi inti, inflasi permintaan dan inflasi gejolak (Nopirin, 2000). Inflasi Inti adalah inflasi yang komponen harganya dipengaruhi oleh faktor fundamental, Inflasi permintaan yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah seperti kebijakan harga BBM Listrik, air minum, dan lainnya, sedangkan inflasi bergejolak adalah inflasi yang dipengaruhi oleh kelancaran produksi dan distribusi barang dan jasa.

Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi serta pruduk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity


(40)

effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional

masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000), yaitu 1. Efek terahadap Pendapatan (Equity Effect)

Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang mendapatkan keutungan dengan inflasi adalah mereka yang memperoleh kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang dimana nilainya naik dengan prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan kekayaan masyarakat.

2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects).

Inflasi dapat pula mengubah pola alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi permintaan akan barang tertentu mengalami kenaikan yang lebih besar dan barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang tertentu.


(41)

3. Efek terhadap Output (Output Effects).

Inflasi mungkin dapat menyebabkan terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik. Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju inflasi ini cukup tinggi (hyper Inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya, yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi nilai uang riil turun dengan drastis masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi mengarah ke barter dan biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara inflasi dan output, tetapi bisa dibarengi dengan kenaikan output, dan juga dibarengi dengan punurunan output.

Tingkat inflasi yang tinggi akan menyebabkan investor mengharapkan tingkat return yang lebih tinggi untuk mendapatkan real return yang tetap, dimana real return adalah selisih dari return yang didapat oleh investor dengan inflasi yang terjadi di negara tersebut. Bila return yang didapat di negara tersebut dianggap sudah tidak lagi menguntungkan bagi investor maka akan menimbulkan kemungkinan larinya modal keluar negeri yang tentunya akan merugikan kondisi di dalam negeri. Ada juga investor yang beranggapan bahwa investasi di Pasar Modal adalah perlindungan nilai uangnya terhadap inflasi, sehingga kenaikan inflasi akan meningkatkan investor tersebut dalam berinvestasi di Pasar Modal.


(42)

2.1.3. Pengaruh Kurs Rupiah -USD, Tingkat Suku Bunga SBI, dan Inflasi terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham

2.1.3.1. Pengaruh Kurs Rupiah-USD terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham

Fluktuasi nilai rupiah terhadap mata uang asing yang stabil akan sangat mempengaruhi iklim investasi di dalam negeri, khususnya pasar modal. Hubungan antara nilai tukar mata uang Rupiah dengan pasar modal terjadi karena adanya

operating exposure dan perusahaan domestik yang menggunakan mata uang USD

sebagai bagian dari kegiatan usahanya. Pada kondisi tertentu yang mencerminkan aktivitas ekonomi riil, perubahan harga saham menyebabkan peningkatan permintaan uang riil dan nilai mata uang domestik. Disamping itu harga saham dapat mencerminkan variabel makro ekonomi, karena menunjukkan ekpektasi pasar terhadap aktivitas ekonomi riil (Ibrahim, 2000). Nilai tukar mempengaruhi harga saham, tapi pertumbuhan pasar saham juga mendesak pengaruh positif dari nilai tukar. Indeks SCC (Structural Contagion Coefficient) yang negatif juga menunjukkan bahwa hubungan antara harga saham dan nilai tukar adalah positif. yang berarti ketika dollar Hongkong terdepresiasi, harga saham juga turun dan begitu juga pula sebaliknya. Mok (1993) menemukan bahwa nilai tukar (FOREX) dan harga saham merupakan dua variabel yang independent tetapi ada kualitas dua arah antana FOREX dan harga saham penutupan dan pembukaan saham. Perubahan dalam harga saham dapat menyebabkan efek dan nilai tukar. Ibrahim (2000) juga menemukan hubungan positif yang lemah antara perbedaan return saham (domestik dikurangi luar negeri) dengan perubahan dalam nilai tukar.


(43)

Menurut Damele dkk (2004), pergerakan pasar dan juga merupakan hasil dari

market contagion (penularan dan pasar lain). Dalam kondisi asimetri informasi

tethadap harga pasar, perubahan harga pada satu segmen pasar dapat bergantung dari perubahan harga dalam segmen lain melalui SCC. Pada kondisi ini, pasar tidak menyerap seluruh informasi secara simultan dari pergerakan harga menunjukkan lead/lag struktur korelasi., Amain dan Hook ( Damele dkk, 2004) meneliti tukar di Kuala Lumpur Stock Exhange, menemukan bahwa return saham nampak mengkuti pergerakan nilai tukar selama periode ini. Sementara itu Ang (1997) dalam damele dkk (2004) menemukan bahwa harga saham bergerak secara cepat mengikuti pergerakan nilai tukar. Karmarkar dan Kawadia ( Damele dkk., 2004) menemukan hubungan yang kuat antara nilai tukar dollar AS terhadap Rupee dengan India Stock Market. India dengan menggunakan Indeks sektoral yang berbeda, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Rupee terdepresiasi maka stock market terapresiasi begitu pula sebaliknya.

2.1.3.2. Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham

Pada waktu perusahaan merencanakan pemenuhan kebutuhan modal sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga yang berlaku saat itu. Ketika suku bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia naik, maka pada dasarnya akan menaikkan suku bunga kredit yang dikeluarkan oleh Bank. Suku bunga merupakan harga atas dana yang dipinjam (Reilly and Brown, 1997). Dengan meningkatnya suku bunga kredit maka akan mempengaruhi permintaan akan kredit sehingga nantinya akan mempengaruhi kinerja perusahaan yang terdaftar pada pasar saham.


(44)

Pengaruh signifikan dan suku bunga terhadap harga saham sebagaimana yang ditemukan Granger (Mok, 1993) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif antar suku bunga dan harga saham. Pengaruh antara suku bunga terhadap harga saham dikemukakan pula oleh Boedie dkk (1995) yang menyatakan bahwa perubahan harga saham dipengaruhi oleh Utami dan Rahayu (2003) yang menemukan secara empiris pengaruh negatif bunga terhadap harga saham selama masa krisis di Indonesia.

2.1.3.3. Pengaruh Inflasi Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham

Inflasi menunjukkan arus harga secara umum (Samuelson, 1992). Inflasi sangat terkait dengan penurunan kemampuan daya beli, baik individu maupun perusahaan. Penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan harga saham seperti yang dilakukan oleh Widjojo (Almilia, 2003) yang menyatakan bahwa makin tinggi inflasi akan semakin menurunkan tingkat profitabilitas perusahaan. Turunnya profit perusahaan adalah informasi yang buruk bagi para trader di bursa saham dan dapat mengakibatkan turunnya harga saham perusahaan tersebut.

Pada penelitian lain yang dikemukakan oleh Utami dan Rahayu (2003) membuktikan secara empiris pengaruh return saham. Penelitian tersebut juga dilakukan oleh Adams dkk (2004) yang menemukan secara signifikan pengaruh return saham. Inflasi yang tinggi bagi perusahaan sehingga return saham pun dapat dipengaruhi. Sangkyun Park (1997) yang meneliti kaitan antara Variabel makro harga konsumen, GDP, tingkat infiasi, suku bunga terhadap return saham menemukan


(45)

bahwa hanya GDP yang berpengaruh positif terhadap return dan variable lainnya tidak berpengaruh.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu tentang pengaruh variable makro ekonomi terhadap kinerja indeks harga saham menunjukkan hasil yang berbeda sebagaimana yang di temukan oleh Suciwati dan Machfoedz (2002) hasilnya menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap UD dollar berpengaruh positif terhadap saham. Hardiningsih (2001), mengatakan bahwa ROA, PBV, Inflasi berpengaruh positif dengan return saham, sedangkan nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap return saham.

Utami dan Rahayu (2003), menyimpulkan bahwa profitabilitas suku bunga, inflasi dan nilai tukar secara bersama-sama mempengaruhi harga saham badan usaha secara signifikan. Selanjutnya penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan return saham seperti yang dilakukan oleh Widjojo (Almilia, 2003) menyatakan bahwa makin tinggi inflasi akan semakin menurunkan tingkat profitabilitas perusahaan. Park (2000) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubunga negatif saham dan inflasi. Demikian juga. Adams dkk (2004) menyatakan bahwa berita mengenai inflasi mempunyai dampak pada return saham. Sedangkan Suyanto, (2007), menyatakan bahwa secara signifikan kedua variabel bebas nilai tukar uang dan suku bunga berpengaruh secara negatif terhadap return saham. Dari uraian penelitian terdahulu dapat dirangkum dan disajikan secara sistematis, seperti tercatum pada tabel 2.1. halaman 28.


(46)

Tabel 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu N o Nama Penelitian/ Tahun

Penelitian Variabel Model Hasil

1 Suyanto, (2007)

Analisa pengaruh nilai tukar uang, suku bunga dan inflasi terhadap return saham sektor properti tahun 2001-2005 Variabel independen adalah nilai tukar, tingkat suku bunga dan inflasi variabel. dependen adalah return Saham

Regresi linear

Nilai tukar rupiah dan suku bunga berpengaruh negatif, sedangkan inflasi berpengaruh positif terhadap return saham 2 Almilia, Luciana Spica (2004) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi financial distress suatu perusahaan yang terdaftar di bursa efek jakarta Variabel independen yaitu inflasi, sedangkan financial distress sebagai variabel dependen Regresi berganda Inflasi terdapat hubungan positif dengan financial distress

3 Utami dan Rahayu (2003) Peranan profitabilitas, suku bunga, inflasi dan Nilai tukar dalam mempengaruhi pasar Modal Indonesia selama krisis Ekonomi. Variabel independen yaitu profitabilitas, suku bungan, inflasi dan nilai tukar sedangkan harga saham sebagai variabel dependen Regresi berganda Profitabilitas, suku bunga, inflasi dan nilai tukar secara bersama-sama

mempengaruhi

harga saham badan usaha secara signifikan 4 Suciwati dan Machfoed (2002) Pengaruh resiko nilai tukar rupiah terhadap return saham : studi empiris pada perusahaan

manufaktur yang terdaftar di BEJ

Nilai tukar dan return saham

Regresi berganda

Nilai tukar rupiah berpengaruh signifikan positif terhadap return saham sebelum terjadi despresiasi dan berpengaruh signifikan negatif terhadap nilai tukar rupiah setelah terjadi despresiasi


(47)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori dan rumusan masalah penelitian, peneliti

mengidentifikasi 3 independen variabel yaitu kurs rupiah-USD (X1), tingkat suku

bunga SBI (X2) dan inflasi (X3), yang diperkirakan mempengaruhi pergerakan Indeks

Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Eastate (Y). Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 3.1.

Ha

Gambar 3.1. Kerangka Konseptual

Faktor Fundamental yang bergejolak, sangat berpengaruh terhadap kinerja pasar modal yang diperlihatkan dengan pergerakan dan Indeks Harga Saham Gabungan naik turun tidak menentu seiring dengan perkembangan prekonomian suatu Negara seperti yang di gambarkan pada tabel 3.1. dari tahun 2005 sampai tahun 2009.

Penilaian kinerja saham perusahaan dari luar perusahaan dilakukan oleh pasar melalui pola perilaku pergerakan harga saham dari waktu ke waktu. Harga saham (market prie) merupakan nilai pasar ( market value) dari setiap lembar saham perusahaan.

-Kurs Rupiah-USD (X1) -Suku Bunga SBI (X2) -Inflasi (X3)

Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti


(48)

Tabel 3.1. Indeks Harga Saham Gabungan Lima Negara Asean Tahun 2005-2009 Akhir periode Indonesia (IHSG) Sungapure (STI) Malaysia (KLSE) Thailand (SETI) Phlipina (PSE) 2005 2006 2007 2008 2009 1.162,63 1.805,52 2.745,83 1.355,41 2.534,36 2.347,34 2.985,83 3.445,82 1.761,56 2.837,70 899,79 1.096,24 1.447,04 876,75 1.263,24 713,73 679,84 858,10 449,96 730,41 209,04 2.982,54 3.621,60 1.872,85 3.024,33

Penilaian kinerja saham perusahaan dari luar perusahaan dilakukan oleh pasar melalui pola perilaku pergerakan harga saham dari waktu ke waktu. Harga saham (market prie) merupakan nilai pasar ( market value) dari setiap lembar saham perusahaan. Pergerakan harga saham ditentukan oleh dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand). Banyak hal yang mempengaruhi naik turunnya kinerja saham, diantaranya faktor ekonomi seperti inflasi, nilai tukar uang, dan suku bunga sebagaimana yang ditemukan oleh Tirapat dan Nitayagasetwat (1999).

Menurut Ang (1977), berbagai variabel ekonomi akan memberikan pengaruh kepada pasar modal, khususnya ekuitas Variabel ekonomi yang mempengaruhi indeks harga saham adalah pertumbuhan Gross Domestic Product, keuntungan perusahaan, pertumbuhan produksi industri, inflasi, tingkat suku bunga, kurs mata uang rupiah, pengangguran dan jumlah uang beredar, Tadelilin (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor ekonomi makro secara emfirik telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap kondisi pasar modal di beberapa negara, faktor-faktor tersebut


(49)

yaitu pertumbuhan produk domestik bruto, laju inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang (exchange rate).

Berdasarkan landasan teoritis tersebut maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 3.1. halaman 28.

3.2. Hipotesis Penelitian (Ha)

Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka konseptual pada gambar 3.1 halaman 28, hipotesis penelitiannya sebagai berikut :

“Ada pengaruh perubahan Kurs Rupiah – USD, Tingkat Suku bunga SBI dan Inflasi terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia”


(50)

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan adalah penelitian deskriftif kuantitatif untuk memperkirakan secara kuantitatif pengaruh variabel independen yaitu kurs rupiah-USD, tingkat suku bunga SBI dan Inflasi terhadap variabel dependen Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder.

4.2. Lokasi Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di bursa efek Indonesia melalui situs www.bei.co.id sedangkan waktu penelitian dimulai bulan Maret 2011 sampai dengan selesai. Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Sektoral sektor Properti dan Real Estate, dan faktor-faktor tersebut yaitu nilai kurs rupiah-USD, tingkat suku bunga, dan inflasi. Jangka waktu penelitian selama 4 tahun, dimulai tahun 2007 sampai tahun 2010.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang go public di sektor properti dan Real Esate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode penelitian 48 bulan yaitu mulai bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2010 sebanyak 50 perusahaan (lampiran 1 halaman 63). Metode pemilihan sample yang


(51)

tertentu terhadap sample yang akan diteliti (Indriantoro, 1999), dan sample harus memenuhi kriteria:

1. Emiten secara rutin setiap bulan terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari bulan Januari 2007 sampai Desember 2010

2. Data Emiten tersedia lengkap untuk dianalisis

Tabel 4.1. Daftar Perusahaan Sampel

No Perusahaan 1 Bakrie Land Development, Tbk

2 Bhuwanatala Indah Permai, Tbk 3 Ciputra Development, Tbk Bakrie 4 Ciputra Raya, Tbk

5 Duta Anggada Relaty, Tbk 6 Duta Pertiwi, Tbk

7 Fortuna Male Indonesia, Tbk 8 Gowa Makasar Tourism, Tbk 9 Indonesia Prima Properti, Tbk 10 Jaya Real Properti, Tbk

11 Kawasan Industri Jabotabek, Tbk 12 Lamicitra Nusantara, Tbk

13 Lippo Cikarang, Tbk 14 Lippo Karawaci, Tbk

15 Moderland Realty, Ltd, Tbk. 16 New Century Development, Tbk 17 Pakuwon Jati, Tbk

18 Panca Wiratama Sakti, Tbk 19 Ristia Bintang Mahkotasejati, Tbk 20 Sentul City, Tbk

21 Summarecom Agung, Tbk 22 Surya inti Permata, Tbk 23 Surya Mas Datamakmur, Tbk Sumber : Lampiran 1, halaman 65

Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh perusahaan sampel penelitian sebanyak 23 emiten yang dapat dianalisis dalam kurung waktu dari bulan Januari


(52)

2007 sampai dengan Desember 2010. Adapun sampel penelitian yang memenuhi kedua kriteria seperti yang disajikan pada tabel 4.1. halaman 33.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder yang diambil untuk diteliti/diproses meliputi kurs rupiah-USD, suku bunga, inflasi dan Indeks Harga Saham Sektoral sektor properti dan real estate yang bersumber dari Bursa Efek Indonesia, Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2010.

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder rata-rata bulanan dari 23 emiten perusahaan sampel untuk mendapatkan Indeks Harga Saham Sektoral sektor properti dan real estat setiap bulannya dari bulan Januari 2007 sampai dengan Desember 2010.

4.5. Defenisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel

Berdasarkan pada masalah dan hipotesis yang akan diuji. Maka variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel kurs rupiah-USD adalah harga mata uang dollar Amerika Serikat dalam mata uang domestik yaitu Rupiah. Variabel ini diukur dengan menggunakan kurs tengah Dollar US terhadap rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia setiap bulannya. Satuannya adalah indeks.

2. variabel suku bunga adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). SBI adalah surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan utang jangka pendek dengan sistem diskonto. SBI yang diambil adalah SBI dengan jangka waktu satu bulan. Suku bunga diukur dalam persen


(53)

3. Variabel Inflasi adalah ukuran aktivitas ekonomi yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi nasional, yaitu tentang pengingkatan harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi sistem perekonomian. Variabel ini diukur dengan mencatat data laju inflasi indeks harga konsumen nasional yang dari diterbitkan Bank Indonesia setiap bulan. Inflasi diukur dalam persen 4. Indeks harga saham merupakan suatu indikator yang menunjukkan

pergerakan harga saham secara bulanan. Sektor yang diambil adalah sektor properti dan real estate yang merupakan salah satu dan sembilan indeks sektoral yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Satuannya adalah basis point.

Tabel 4.2. Defenisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel Variabel Defenisi operasional Formula pengukuran Skala Indeks harga

saham sektor properti

(Y)

Satuan Indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham, saham secara bulanan, satuan basis point.

Indeks harga saham sektoral sektor properi dan real estate, penutupan yang telah dihitung oleh Bursa Efek Indonesia

Indeks

Kurs Rupiah-USD (X1)

Nilai tukar yang digunakan adalah nilai dollar Amerika serikat terhadap rupiah secara bulanan, satuan Rp/$

Nilai tengah antara kurs jual dan beli yang digunakan oleh bank indonesia yang diterbitkan bulanan

Rasio

Suku bunga SBI (X2)

Surat berharga yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan untang jangka pendek dengan sistem diskonto, satuan persen

Rata-rata SBI 1 bulanan

Rasio

Tingkat Inflasi

(X3)

Kenaikan harga barang secara umum terhadap nilai mata uang suatu negara yang dijuwudkan dengan meningkatkan kebutuhan impor luar negeri, satuan persen

Tingkat inflasi yang

tercatat dan diterbitkan oleh Bank Indonesia tiap bulannya


(54)

Adapun variabel-variabel Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel terangkum dalam tabel 4,2. (halaman 35)

4.6. Metode Analisa Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Metode Regresi Berganda (multiple regression analysis). Hal ini digunakan untuk melihat elastisitas Variabel Dependen (Indeks harga saham sektoral sektor properti dan real estate). Analisis untuk mengolah data adalah dengan menggunakan program SPSS.

Untuk melihat seberapa besar pcngaruh kurs rupiah-USD, tingkat suku bunga SBI, dan inflasi terhadap Indeks harga saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate selama kurun waktu 48 bulan dari bulan Januari 2007 sampai Desember 2010, dianalisis dengan menggunakan Regresi Berganda (multiple regression analysis); Analisis berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel terikat terhadap variabel bebas. Persamaan model regresi berganda sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + e

Dimana : Y = Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate

a = Konstanta

b1b2b3 = Koefisien regresi X1 = NilaitukarUS$ X2 = Tingkat suku bunga X3 = Inflasi


(55)

4.6.1. Uji Asumsi klasik

Uji asumsi klasik digunakan dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk mengetahui apakah penggunaan model regresi linier berganda dalam menganalisis telah memenuhi asumsi klasik yang dipersyaratkan.

Asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variable-variabel dalam model regresi. Interprestasi dan persamaan regresi linier secara emplisit bergantung bahwa variable-variable beda dalam persamaan tidak saling berkolerasi. Uji Multikoliniritas terjadi jika korelasi antara variabel independen yang dilibatkan dalam model. Jika terjadi gejala multikolinearitas yang tinggi, standar error koefisien regresi akan semakin besar dan mengakibatkan confidence interval untuk pendugaan parameter semakin besar, dengan demikian terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan terhadap hipotesa. Uji multikolinearitas dapat dilakukan dengan meregresikan model analisis dan melakukan uji korelasi antar independen variabel dengan menggunakan Variance Inflating Factor (VIF). Batas VIF adalh 10 apabila nilai VIF lebih besar dari 10 maka terjadi multikoliniearitas, (Ghozali, 2002).

b. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antara residual (anggota) pada serangkaian observasi tertentu dalam satu periode tertentu. Dalam model regresi linier berganda juga harus bebas dan autokorelasi. Ada berbagai


(56)

metode yang digunakan untuk menguji ada tidaknya gejala autokorelasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode Durbin Watson. Menurut Durbin Watson, besarnya koefisien Durbin Watson adalah 0-4, kalau koefisien Durbin Watson sekitar 2, maka dapat dikatakan tidak ada korelasi, kalau besarnya mendekati 0, maka terdapat autokorelasi positif dan jika besarnya mendekati 4 (empat) maka terdapat autokorelasi negatif (Gujarati, 2006).

c. Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas terjadi karena perubahan situasi yang tidak tergambarkan dalam spesifikasi model regresi yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan tingkat keakuratan data. Dengan kata lain, heteroskedastisitas terjadi jika residual tidak memiliki varian yang konstan. Dalam model regresi diharapkan tidak terjadi heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas dapat diuji dengan menggunakan uji metode Grafik, yaitu dengan melihat ada tidaknya pola tertentu yang tergambar pada csatterplot, (Umar, 2008).

Dasar pengambilan keputusan adalah:

1) Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada membentuk pola teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit) maka telah terjadi heterokedastisitas.

2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 (nol) pada sumbu Y maka tidak terjadi heterokedastisitas, (Umar, 2008)


(57)

d. Uji Normalitas Data

Sebelum dilakukan pengolahan data dengan menggunakan uji regresi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Uji normalitas data dilakukan untuk menganalisis apakah syarat persamaan regresi sudah dipenuhi atau belum. Output dan uji normalitas data adalah berupa gambar visual yang menunjukkan jauh dekatnya titik-titik pada gambar tersebut dengan garis diagonalnya.

4.6.2. Uji Hipotesis Penelitian

Pengujian hipotesis menggunakan analisa regresi berganda karena ada tiga independen variabelnya. Pengujian hipotesis ditujukan untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari varibel bebas secara keseluruhan terhadap variabel dependen.

4.6.2.1. Pengujian dengan Koefisien Regresi Parsial (Uji t)

Pengujian koefisien regresi secara parsial dilakukan dengan menggunakan uji t. Pengujian ini untuk mengetahui signifikansi secara parsial antara variabel independen terhadap variabel dependen dengan mengasumsikan bahwa variabel independen lain dianggap konstan. Dengan tingkat signifikansi sebesar 95 %, nilai thitung dari masing-masing koefisien regresi kemudian dibandingkan dengan nilai ttabel. Jika hitung > t-tabel atau prob-sig < α = 5 % berarti bahwa masing-masing variabel independen berpengaruh secara positif terhadap variabel dependen.

4.6.2.2. Pengujian terhadap koefisien Regresi Secara Simultan (Uji F)

Pengujian terhadap koefisien regresi secara simultan dilakukan dengan uji F. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen yang


(58)

terdapat di dalam model secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen. Dengan tingkat signifikansi sebesar 5 % nilai F ratio dari masing-masing koefisien regresi kemudian dibandingkan dengan nilai ttabel/. Jika Frasio > Ftabel atau prob-sig <

α = 5 % berarti bahwa masing-masing variabel independen bepengaruh secara positif terhadap dependen.

4.6.2.3. Pengujian terhadap koefisien Determinasi (R2)

Merupakan besaran yang memberikan informasi goodness of fit dari persamaan regresi, yaitu memberikan proporsi atau persentase kekuatan pengaruh variabel yang menjelaskan (X1, X2 dan , X3) secara simultan terhadap variasi dari variabel dependen (Y), Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara 0 dan 1, Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi dependen amat terbatas ( Ghozali 2002). Nilai yang mendekati 1 (satu) berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variasi dependen.


(59)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Variabel Penelitian

Pengolahan hasil penelitian ini menggunakan SPSS dan Microsoft Excel. Data

yang diolah adalah data rata-rata bulanan dari indeks harga saham sektoral sektor properti dan real estate dari 23 perusahaan yang memenuhi syarat kelengkapan data selama 48 bulan dari Januari 2007 sampai dengan Desember 2010, kurs rupiah – USD, tingkat suku bunga SBI dan tingkat inflasi data dari Januari 2007 sampai dengan Desember 2010.

Perkembangan kurs rupiah-USD, tingkat suku bunga SBI, tingkat Inflasi dan indeks harga saham sektoral sektor properti dan real estate dapat dilihat pada gambar 5.1 - gambar 5.4 dan tabel 5.1 – tabel 5.4.

Gambar 5.1. Perkembangan Nilai Kurs Rupiah – USD Januari 2007 – Des 2010

0

5000

10000

15000

JA

N

FE

B

MA

R

AP

R

ME

I

JU

N

JU

L

I

AG

S

SE

P

T

OK

T

NO

V

DE

S

2007

2008

2009

2010


(60)

Tabel 5.1. Perkembangan Kurs Rupiah – USD Januari 2007 – Desember 2010 TAHUN

NO.

URT BULAN 2007(Rp) 2008(Rp) 2009(Rp) 2010(Rp)

1 Januari 9.112 9.453 11.223 9.322

2 Februari 9.113 9.227 11.912 9.395

3 Maret 9.210 9.231 11.909 9.220

4 April 9.143 9.255 11.080 9.072

5 Mei 8.888 9.337 10.445 9.229

6 Juni 9.029 9.342 10.258 9.194

7 Juli 9.112 9.209 10.162 9.094

8 Agustus 9.414 9.195 10.028 9.017

9 September 9.357 9.387 9.950 9.021

10 Oktober 9.153 10.099 9.530 8.973

11 November 9.311 11.770 9.517 8.983 12 Desember 9.380 11.382 9.505 9.067

Rata-rata 9.185 9.741 10.460 9.132

Semasa Pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap atau fixed exhange rate, sedangkan pemerintahan berikutnya sampai sekarang sistem yang dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang, sehingga dengan sistem ini nilai tukar rupiah bergantung pada supply dan demand dipasar.

Pada tabel 5.1 terlihat perkembangan kurs rupiah di Indonesia secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan september 2008, hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, namun pada bulan Oktober 2008


(61)

akibat krisis global yang terjadi telah memberikan efek depresiasi terhadap mata uang, kurs rupiah melemah menjadi Rp. 10.099,- dan yang paling tertinggi terjadi di bulan Februari 2009 sebesar Rp. 11.920,-, hal ini terjadi akibat keuangan global yang melanda Amerika Serikat dan dunia yang menyebabkan menurunkan berbagai indikator ekonomi termasuk Indonesia seperti pasar saham, dan turunnya ekspor impor Indonesia dan tahun 2010 kembali menguat dengan titik tertinggi selama empat tahun terakhir yaitu Rp. 9.132,-, hal ini diakibatkan kondisi ekonomi dalam negeri semakin baik.

Gambar 5.2. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI Januari 2007 – Desember2010

Perkembangan tingkat suku bunga SBI terlihat pada tabel 5.2; terlihat bahwa pertumbuhan tingkat suku bunga SBI dari tahun 2007 – 2010; terlihat bahwa tingkat suku bunga mulai ada perbaikan sejak tahun 2009, mengalami penurunan sebesar 19.70 % dari tahun 2008 ke tahun 2009 dan terendah di tahun 2010 sebesar 6.29 %

0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 JA N FE B MA R AP R ME I JU N JU LI AG S SEPT OK T NO V DE S 2007 2008 2009 2010 0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 JA N FE B MA R AP R ME I JU N JU LI AG S SEPT OK T NO V DE S 2007 2008 2009 2010 0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 JA N FE B MA R AP R ME I JU N JU LI AG S SEPT OK T NO V DE S 2007 2008 2009 2010 0,000 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 JA N FE B MA R AP R ME I JU N JU LI AG S SEPT OK T NO V DE S 2007 2008 2009 2010 PERKEMBANGAN TINGKAT SUKU BUNGA SBI


(62)

atau turun sebesar 14.70 % dari tahun 2009, ini diakibatkan peranan pemerintah mengendalikan tingkat suku bunga monoter terkendali dengan stabilnya tingkat suku bunga SBI, sehingga tingkat suku bunga pada tahun 2010 kecenderungan stabil pada 6,25 %.

Tabel 5.2. Perkembangan Tingkat Suku Bunga SBI Januari 2007 – Desember 2010

TAHUN NO.

URT BULAN 2007(%) 2008(%) 2009(%) 2010(%)

1 Januari 9,550 8,000 10,060 6,450

2 Februari 9,250 7,940 8,780 6,430

3 Maret 9,000 7,950 8,260 6,360

4 April 9,000 7,980 7,840 6,200

5 Mei 8,800 8,260 7,290 6,300

6 Juni 8,560 8,590 6,970 6,250

7 Juli 8,310 9,030 6,770 6,250

8 Agustus 8,250 9,270 6,590 6,250

9 September 8,250 9,530 6,520 6,250

10 Oktober 8,250 10,700 6,480 6,250

11 November 8,250 11,210 6,480 6,250

12 Desember 8,080 10,940 6,460 6,250

Rata-rata 8,629 9,117 7,375 6,291

Tingkat inflasi di Indonesia, pada tabel 5.3; terlihat bahwa inflasi paling tinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 10,308 %, hal ini disebabkan karena adanya kenaikan jumlah uang beredar, tingkat suku bunga mulai membaik dan permintaan masyarakat akan barang juga meningkat, sehingga nilai uang akan menurun, pergerakan harga-harga yang secara terus menerus mendorong terjadinya inflasi. Tahun 2010 tingkat


(63)

inflasi mulai membaik dengan adanya penurunan dari tahun 2009. Tingkat inflasi di Indonesia pada tabel 5.3; terlihat bahwa inflasi paling tinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 10,308 %, hal ini disebabkan karena adanya kenaikan jumlah uang beredar, tingkat suku bunga mulai membaik dan permintaan masyarakat akan barang juga meningkat, sehingga nilai uang akan menurun, pergerakan harga-harga yang secara terus menerus mendorong terjadinya inflasi. Tahun 2010 tingkat inflasi mulai membaik dengan adanya penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 37,87 %, hal ini diakibatkan karena kondisi ekonomi cenderung stabil pasokan kebutuhan pokok masyarakat yang terpenuhi dan daya beli yang pada signifikan mengalami peningkatan, sehingga inflasi mulai membaik sebagai efek membaiknya konsidi ekonomi dalam permintaan dan penawaran barang relatif membaik

Gambar 5.3. Perkembangan Tingkat Inflasi Januari 2007-Desember 2010

0,000

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

2007

2008

2009

2010

Perkembangan Tingkat Inflasi


(64)

Tabel 5.3. Perkembaangan Tingkat Inflasi Januari 2007 – Desember 2010 TAHUN

NO.

URT BULAN 2007(%) 2008(%) 2009(%) 2010(%)

1 Januari 3,720 9,170 7,360 6,260

2 Februari 3,810 8,600 7,400 6,300

3 Maret 4,160 7,920 8,170 6,520

4 April 3,910 7,310 8,960 6,290

5 Mei 4,160 6,040 10,380 6,010

6 Juni 5,050 3,650 11,030 5,770

7 Juli 6,220 2,710 11,900 6,060

8 Agustus 6,440 2,750 11,850 6,510

9 September 5,800 2,830 12,140 6,950

10 Oktober 5,670 2,570 11,770 6,880

11 November 6,330 2,410 11,680 6,710

12 Desember 6,960 2,780 11,060 6,590

Rata-rata 5,186 4,895 10,308 6,404

Pada tabel 5.4. perkembangan indeks harga saham sektoral sektor properti dan real estate dari tahun 2007 – 2010 terlihat bahwa tahun 2008 mengalami penurunan indeks sebesar -22,47 % dari tahun 2007 sebesar 116,065 menjadi 89,984 pada tahun 2008, dan kembali menurun pada tahun 2009 sebesar -12,04 % dari tahun 2008 ke tahun 2009, dan indeks kembali membaik di tahun 2010 dengan indeks 121,063 atau meningkat sebesar 52,96 % seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, dan termasuk suku bunga SBI cenderung membaik.


(65)

Gambar 5.4. Perkembangan Indeks Harga Saham Sektoral Sektor Properti dan Real Estate januari 2007 – Desember 2010

Tabel 5.4. Perkembangan IHS Sektoral sektor Properti dan Real Estate Januari 2007 – Desember 2010

TAHUN NO.

URT BULAN 2007 2008 2009 2010

1 Januari 85,905 118,856 53,400 95,956

2 Februari 89,734 116,206 57,619 98,674

3 Maret 89,002 103,063 59,737 109,715

4 April 104,784 95,088 68,075 119,357

5 Mei 122,349 95,501 73,127 105,459

6 Juni 118,126 90,328 82,170 113,976

7 Juli 139,526 93,326 90,581 114,900

8 Agustus 133,135 91,267 91,722 120,251

9 September 138,890 84,266 97,217 140,543

10 Oktober 136,735 65,239 94,617 147,264

11 November 130,627 62,403 91,617 143,922

12 Desember 103,970 64,266 89,882 142,734

Rata-rata 116,065 89,984 79,147 121,063

0,000 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000

2007 2008 2009 2010

Perkembangan IHS Sektoral Sektor Properti dan Real Estate


(1)

Coefficientsa

Correlations Collinearity Statistics Model

Zero-order Partial Part Tolerance VIF (Constant)

KURS -.758 -.606 -.469 .578 1.729 SBI -.484 -.290 -.187 .360 2.781 1

INFLASI -.014 -.118 -.073 .416 2.404 a. Dependent Variable: IHS

Collinearity Diagnosticsa

Variance Proportions Model Dimensi

on Eigenvalu e

Condition

Index (Constant) KURS SBI

INFLAS I 1 3.848 1.000 .00 .00 .00 .00

2 .142 5.200 .00 .00 .02 .29

3 .007 23.919 .51 .01 .67 .48 1

di me nsi on 1

4 .003 36.583 .49 .99 .31 .23

a. Dependent Variable: IHS

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 46.7209 122.7625 101.5647 19.77468 48 Residual -19.71599 33.43812 .00000 15.49210 48 Std. Predicted

Value

-2.773 1.072 .000 1.000 48 Std. Residual -1.231 2.088 .000 .968 48 a. Dependent Variable: IHS


(2)

Lanjutan lampiran 6


(3)

Runs Test

Unstandardiz ed Residual Test Valuea -3.86980 Cases < Test Value 24 Cases >= Test

Value

24 Total Cases 48 Number of Runs 14

Z -3.064

Asymp. Sig. (2-tailed)

.002 a. Median

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

KURS SBI

INFLAS

I IHS

N 48 48 48 48

Mean 9629.4347 7.8529 6.6983 101.564 7 Normal Parametersa,b

Std. Deviation

818.08142 1.40080 2.75703 25.1205 7 Absolute .298 .171 .129 .090 Positive .298 .171 .129 .090 Most Extreme

Differences

Negative -.190 -.119 -.088 -.079 Kolmogorov-Smirnov Z 2.067 1.181 .893 .620 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .123 .403 .836 a. Test distribution is Normal.


(4)

Lanjutan lampiran 6

One-Sample Statistics

N Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean KURS 48 9629.4347 818.08142 118.07988 SBI 48 7.8529 1.40080 .20219 INFLA

SI

48 6.6983 2.75703 .39794 IHS 48 101.5647 25.12057 3.62584

One-Sample Test

Test Value = 0 95% Confidence Interval

of the Difference t df

Sig. (2-tailed)

Mean

Difference Lower Upper KURS 81.550 47 .000 9629.43471 9391.8886 9866.9808 SBI 38.840 47 .000 7.85292 7.4462 8.2597 INFLA

SI

16.832 47 .000 6.69833 5.8978 7.4989 IHS 28.011 47 .000 101.56473 94.2705 108.8590

Coefficient Correlationsa

Model INFLAS

I KURS SBI INFLA

SI

1.000 -.561 .758 KURS -.561 1.000 -.638 Correlations

SBI .758 -.638 1.000 INFLA

SI

1.725 -.003 2.767 1


(5)

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation KURS 48 8888.48 11912.15 9629.4347 818.08142

SBI 48 6.20 11.21 7.8529 1.40080

INFLASI 48 2.41 12.14 6.6983 2.75703 IHS 48 53.40 147.26 101.5647 25.12057 Valid N

(listwise)

48 a. Dependent Variable: IHS

Correlations

IHS KURS SBI

INFLAS I IHS 1.000 -.758 -.484 -.014 KURS -.758 1.000 .395 .154 SBI -.484 .395 1.000 -.627 Pearson

Correlation

INFLA SI

-.014 .154 -.627 1.000 IHS . .000 .000 .463 KURS .000 . .003 .148 SBI .000 .003 . .000 Sig. (1-tailed)

INFLA SI

.463 .148 .000 .

IHS 48 48 48 48

KURS 48 48 48 48

SBI 48 48 48 48

N

INFLA SI


(6)

Lanjutan lampiran 6

Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 46.7209 122.7625 101.5647 19.77468 48 Std. Predicted Value -2.773 1.072 .000 1.000 48 Standard Error of

Predicted Value

2.668 8.005 4.474 1.173 48 Adjusted Predicted

Value

41.4948 122.4742 101.5856 20.23962 48 Residual -19.71599 33.43812 .00000 15.49210 48 Std. Residual -1.231 2.088 .000 .968 48 Stud. Residual -1.280 2.118 -.001 1.001 48 Deleted Residual -21.30545 34.39276 -.02090 16.59608 48 Stud. Deleted Residual -1.290 2.209 .007 1.014 48 Mahal. Distance .325 10.769 2.938 2.222 48 Cook's Distance .000 .107 .018 .018 48 Centered Leverage

Value

.007 .229 .062 .047 48