Analisis pengaruh suku bunga SBI, Fluktuasi kurs dollar AS dan tingkat inflasi terhadap penerimaan pajak penghasilan

(1)

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SBI, FLUKTUASI KURS DOLLAR

AS DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP PENERIMAAN PAJAK

PENGHASILAN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE)

Oleh :

RANDY AL SAFASSI

NIM : 106084002754

JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Randy Al Safassi

2. Tempat/Tanggal Lahir: Payakumbuh 6 April 1988

3. Alamat : Jl.PT Kandis No. 1 RT/RW:001/004 Bangko, Jambi

4. Kebangsaan : Indonesia 5. Handphone : 085711441147 6. Email :Alsaf_id@yahoo.com 7. Jenis Kelamin : Pria

8. Agama : Islam

9. Status : Belum Menikah

10. Hobby : Olahraga dan Membaca Buku II. PENDIDIKAN FORMAL

Tempat Waktu

1.SD NEGERI 188 1994 - 2001

2.MTs USWATUN HASANAH 2001– 2003

3.MA DARUNNAJAH 2003– 2006

4.UIN SYARIF HIDAYATULLAH Jakarta

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan


(7)

Abstract

Tax revenue is a one the development financing source wich we hope could be fully maximize its contribution in the future so that the independent of the state financing will be accomplished. In view of that, the diversification and improvement om tax-revenue should be an effort through variety policy goverment supported.

This study aims to determine how the variables influence SBI. USD Exchange Rate, and inflation on income Tax Receipts in Indonesia. Data used in this research is time series data using multiple regression analysis method is OLS

Seconcary data processing result using regression analysis shows that there is significant in influence between SBI, USD Exchange Rate, and Inflation on income Tax Receipts in Indonesia


(8)

Abstrak

Penerimaan pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang pada masa depan diharapkan kontribusinya semaksimal mungkin, agar tercapai kemandirian dalam pembiayaan keuangan negara. Menyadari hal ini, penggalian dan usaha peningkatan penerimaan pajak terus diupayakan melalui berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk mendukung hal tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan menggunakan metode analisis regresi berganda.

Hasil pengolahan data sekunder dengan menggunakan analisis regresi ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Indonesia.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robill ‘Alamin, Segala puji dan syukur kepada Sumber dari Suara-suara hati yang bersifat mulia, Sumber Ilmu Pengetahuan, Sumber segala Kebenaran, Sang Maha Cahaya, Penabur Cahaya Ilham, Pilar Nalar Kebenaran dan Kebaikan yang Terindah, Sang Kekasih Cinta yang Tidak Terbatas Pencahayaan Cintanya yaitu Allah SWT yang menguasai semesta alam dan yang tela melimpahkan rahmat taufik dan hidayatnya kepada hamba-hambanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

Shalawat serta salam yang selalu tercurah kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW sebagai tauladan terbaik bagi keluarga, sahabat dan para pengikutnya, yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menjadi zaman yang terang benderang ini dengan adanya agama islam serta dengan ilmu pengetahuan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya besok dihari kiamat. Amin

Tujuan penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pengaruh Suku bunga SBI, Kurs USD, dan Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan”, dengan tujuan untuk memnuhi salah satu persyaratan meraih gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami hambatan dan kesulitan dalam penulisan ini. Namun, berkat rahmatnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari beberapa pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan selesai. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pihak-pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini dan ”semoga allah memberikan balasan yang terbaik”, terutama kepada:

1. Orang tua (Ayah dan Almarhumah Ibu),Paman-Paman dan Bibi-bibi saya yang tidak pernah henti-henti mengiringi langkahku dengan doanya yang penuh dengan keikhlasan, selalu memberikan kasih sayang, bimbingan, serta


(10)

dukungan baik materiel maupun spiritual dalam kebaikan dan keberhasilan untuk anak-anaknya.

2. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bekerja keras mengembangkan FEIS menjadi FEB.

3. Dr. Lukman, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), yang telah memberikan dukungan terbaik untuk IESP dan mahasiswanya.

4. Utami Baroroh, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada setiap mahasiswa.

5. Dr. Yahya Hamzah, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, tuntunan, motivasi, pengarahan, menyempatkan waktunya untuk membaca dan mengoreksi skripsi dan penulis ajukan, serta dukungan yang tidak henti dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Zuhairan Yunmi Yunan, SE M.Sc selaku dosen pembimbing II yang banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan baru, serta dukungannya yang tidak henti dalam memberi semangat kepada penulis. 7. Untuk orang yang spesial dihidupku yang tidak pernah henti memberikan

dukungan dan motivasi untuk selalu tetap berjuang dan semangat menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Rinde dan rezy, adek-adekku yang selalu aku sayangi, semoga kalian bisa terus berbakti kepada keluarga.

9. Sahabat-sahabat seperjuangan di IESP angkatan 2006, khususnya kosentrasi Ekonomi Pembangunan A, tanpa mengurangi rasa persaudaraan penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan memohon maaf apabila selama ini banyak melakukan kesalahan dan kekurangan. Semoga persahabatan kita tetap terjaga.


(11)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan penulis dalam mencapai kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Terima kasih

Jakarta, 14 Februari 2011


(12)

DAFTAR ISI

Keterangan Halaman

Daftar Riwayat Hidup ... i

Abstract... ii

Abstrak... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi...……… vii

Daftar Tabel... x

Daftar Gambar... xi

Daftar Grafik... xii

Daftar Lampiran... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Permasalahan...……….. 1

B. Permasalahan Pokok...………. 9

C. Pembatasan Masalah...………. 10

D. Tujuan Penelitian...……….... 10

E. Manfaat Penelitian...……… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

A. Pengertian Dasar... 12

1. Pengertian Pajak dan Pajak Penghasilan... 12

1.1 Definisi Pajak...……… 12

1.2 Pengertian Pajak Penghasilan……… 13

1.3 Fungsi Pajak...……… 14

1.4 Sistem Pemungutan Pajak...……… 15

1.5 Pengelompokan Pajak...……… 17

1.6 Asas Pemungutan Pajak...……… 18

1.7 Hambatan Pemungutan Pajak……… 21


(13)

1.9 Fungsi Dasar Perpajakan di Indonesia……… 23

2. Suku Bunga SBI... 29

2.1 Pengertian Suku Bunga...……… 29

2.2 Sertifikat Bank Indonesia (SBI)...……… 32

3. Inflasi... 35

3.1 Pengertian dan sebab inflasi...……… 35

3.2 Penggolongan Inflasi ...……… 39

3.3 Dampak Inflasi....…………...……… 41

3.4 Kebijakan Anti Inflasi...……… 42

4. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing...……… 46

4.1 Pengertian Nilai tukar Valta Asing....……… 46

4.2 Sistem Nilai Tukar...……… 49

4.3 Faktor-faktor yang mempengarhi nilai tukar mata uang….... 52

4.4 Teori yang berkaitan dengan pengukuran nilai tukar valuta... 54

4.5 Pengelompokan mata uang asing...……… 55

B. Penelitian Terdahulu...……….……… 57

C. Kerangka Pemikiran...……… 69

D. Hipotesis Penelitian...……… 73

BAB III METODE PENELITIAN... 75

A. Ruang Lingkup Penelitian...………...……… 75

B. Metode Penentuan Sampel...……… 75

C. Metode Pengumpulan Data...……… 76

D. Metode Analisis... 76

1. Uji Linearitas...……… 77

a. Uji Asumsi Klasik... 77

1. Uji Normalitas... 78

2. Uji Multikolinearitas... 78

3. Uji Heterokedastisitas... 79

4. Uji Autokorelasi... 80


(14)

a. Uji Parsial (Uji-t)... 81

b. Uji Fisher (Uji F)... 82

3. Uji Koefisien Determinasi ((R²)... 83

E. Definisi Operasional Variabel... 83

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 85

A. Deskripsi Data Penelitian... 85

B. Analisis Dan Pembahasan... 90

1. Uji Asumsi Klasik... 90

a. Uji Normalitas... 90

b. Uji Multikolinearitas... 90

c. Uji Heterokedastisitas... 92

d. Uji Autokorelasi... 93

2. Uji Statistik... 94

a. Uji Parsial (Uji-t)... 94

b. Uji Fisher (Uji-F)... 95

3. Koefisien Determinasi (R²)... 96

4. Interpretasi... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

A. KESIMPULAN... 100

B. SARAN... 101


(15)

Daftar Tabel

Nomor Keterangan Halaman

1.1 Penerimaan Dalam Negeri Tahun 1969-1997... 2

1.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Pajak 2005-2009... 6

2.1 Contoh Hasil Lelang SBI... 34

4.1 Output Regresi untuk Penerimaan PPh... 89

4.2 Uji Normalitas... 90

4.3 Uji Multikolinearitas... 91


(16)

Daftar Gambar

Nomor Keterangan Halaman

1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2005-2009... 6 2.1 Diagram Kerangka Pemikiran... 71


(17)

Daftar Grafik

Nomor Keterangan Halaman

4.1 Perkembangan Suku Bunga SBI Tahun 2005-2009... 84 4.2 Perkembangan Kurs USD Tahun 2005-2009... 86 4.3 Perkembangan Inflasi Tahun 2005-2009... 87 4.4 Perkembangan PPh Tahun 2005-2009... 88


(18)

Daftar Lampiran

Nomor Keterangan Halaman

1 Data Variabel... 106

2 Regresi Awal... 108

3 Uji Normalitas... 109

4 Uji Multikolinearitas... 110

7 Uji Heterokedastisitas... 111


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Indonesia merupakan Negara berkembang yang sedang giat melaksanakan pembangunan. Dalam pelaksanan pembangunan ini diperlukan strategi yang tepat agar tercapai pemerataan perekonomian sehingga hasil-hasil pembangunan yang dapat dicapai dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap usaha pembangunan akan selalu membutuhkan dana yang besar. Kebutuhan dana untuk membiayai pembangunan diupayakan agar terus meningkat seirama dengan laju perkembangan pembangunan itu.

Pembangunan nasional merupakan kegiatan yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan yang memerlukan banyak dana yang cukup. Untuk mendapatkan dana pembangunan, pemerintahan dalam memenuhi dana pembangunannya memanfaatkan 2 (dua) sumber dana pokok, yaitu sumber dana dalam negeri dan sumber dana luar negeri. Sumber dana dalam negeri dapat diperoleh dari hasil penerimaan bukan pajak (ekspor migas) dan penerimaan pajak, sedangkan sumber dana luar yang berasal dari luar negeri berasal dari pinjaman luar negeri.

Penerimaan dalam struktur APBN merupakan sumber utama pembiayaan rutin pemerintahan (current expenditures) dan pengeluaran pembangunan


(20)

(investasi) sektor pemerintah atau pengeluaran modal (capital expenditures). Penerimaan dalam negeri terdiri dari beberapa unsur penerimaan, seperti yang terurai disetiap nota keuangan pemerintahan yaitu :

a. Penerimaan Migas.

Unsur penerimaan berupa hasil penjualan penerimaan minyak bumi dan gas alam. b. Penerimaan Non Migas

Unsur penerimaan berupa permintaan yang berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Sebagai gambaran besarnya jumlah penerimaan dalam negeri dalam struktur APBN dapat disajikan dalam tabel berikut ini :

Tabel 1.1

PENERIMAAN DALAM NEGERI 1969/1970 -1996/1997 (dalam miliaran rupiah)

Tahun Penerimaan minyak bumi dan gas alam Penerimaan perpajakan penerimaan bukan pajak Penerimaan dalam negeri REPELITA I

1969/1974 154,76 307,80 50,56) 513,10 REPELITA II

1974/1979 1609,20 1195,80 143,01 2928,00 REPELITA III

1979/1984 7826,46 3334,44 344,98) 11513,88 REPELITA IV

1984/1989 9930,48 8376,12 1571,70 15968,10 REPELITA V

1989/1994 14805,20 25954,10 3491,38 44250,98 REPELITA V

1994/1997 14168,73 49616,53 5744,28) 52059,53 Sumber : Nota Keuangan APBN 1996/1997


(21)

dibandingkan penerimaan minyak bumi dan gas alam. Hal ini disebabkan pembiayaan Negara masih dapat mengandalkan penerimaan ekspor migas tersebut. Baru pada akhir Repelita II, tepatnya mulai pada tahun anggaran 1974 hingga tahun 1979, jumlah penerimaan migas melampaui besarnya penerimaan pajak.

Penerimaan pajak kembali melebihi jumlah penerimaan migas pada akhir Repelita IV tepatnya pada tahun anggaran 1988/1989 hingga sekarang. Hal ini disebabkan oleh penerimaan migas yang tidak lagi menjadi primadona dalam struktur penerimaan APBN, selain itu juga kebutuhan dana untuk pembiayaan Negara yang lebih besar disebabkan pengeluaran pembangunan yang semakin meningkat.

Dengan melihat perkembangan penerimaaan pajak diatas maka dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak telah menjadi suatu yang sangat penting bila pemerintahan saat ini tidak ingin dikatakan gagal dalam melaksanakan fungsinya khususnya fungsibudgeter.

Dalam perkembangannya, penerimaan pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan nasional yang cukup dominan. Besarnya peningkatan penerimaan pajak, akan menjamin mantapnya kemandirian dalam pembiayaaan pembangunan nasional. Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara disamping dari sumber migas dan non migas, dengan posisi yang demikian itu pajak merupakan sumber penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik agar keuangan Negara dapat berjalan dengan lancar dan baik. Dalam struktur keuangan Negara, tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh direktorat


(22)

jendral pajak dibawah departemen keuangan yang salah satu fungsinya adalah membuat dan melaksanakan kebijakan fiskal.

Direktorat Jendral Pajak sebagai instansi yang bertanggung jawab atas realisasi penerimaan pajak, oleh pemerintah dibebani dengan penetapan target penerimaan pajak yang dari tahun ke tahun belakangan ini selalu meningkat demi menutupi anggaran kebutuhan belanja pemerintah (APBN) dan juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Potensi yang muncul dari penetapan target penerimaan pajak yang terus meningkat juga disertai suatu kecemasan dan rasa pesimis akan pencapaian target penerimaan pajak yang akan berimbas pula pada besaran belanja Negara.

Penetapan target penerimaan pajak yang tidak realistis karena tidak memperhitungkan kondisi atau indikator makro ekonomi dapat menyebabkan kegagalan dalam proses pencapaian target penerimaan pajak yang dapat dijadikan bukti kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya khususnya dalam kebijakan ekonominya yaitu pembiayaan Negara atau fungsinya budgeter. Hal ini disebabkan pencapaian penerimaan pajak secara umum dan pencapaian penerimaan pajak penghasilan secara khusus, sangat dipengaruhi oleh kinerja bisnis perusahaan (corporate bussines) baik swasta maupun BUMN serta sektor individu/perseorangan dalam menghasilkan laba atau keuntungan yang dapat dikenakan pajak. Kondisi makro ekonomi yang tidak baik akan sangat dipengaruhi iklim dunia usaha dengan terciptanya iklim usaha yang tidak kondusif yang menyebabkan sulit tercapainya suatu keuntungan/profit perusahaan yang akan secara langsung menurunkan pembayaran pajak penghasilan kepada Negara.


(23)

Telah terjadi perkembangan yang sangat signifikan pada kondisi perekonomian nasional dan internasional, yang membawa implikasi sangat besar terhadap pelaksanaan APBN beberapa tahun terakhir ini. Berdasarkan perkembangan terakhir, berbagai indikator ekonomi nasional dan internasional memberi dampak pada asumsi dasar ekonomi makro yang dipakai sebagai dasar perhitungan APBN sering dipandang sudah kurang realistis, sehingga perlu dilakukan beberapa penyesuaian, khususnya terhadap nilai tukar (kurs), inflasi dan tingkat suku bunga SBI.Adanya bentuk revisi atau perubahan dalam penyusunan APBN menunjukkan upaya dari pemerintah untuk lebih mendekatkan struktur dalam APBN kepada kondisi yang paling realistis bila dihubungkan dengan kondisi perekonomian makro pada tahun berjalan. Dengan adanya revisi tersebut akan mempengaruhi langsung besarnya perkiraan penerimaan pajak, seperti diuraikan dalam nota keuangan dan RAPBN-perubahan tahun 2005 bahwa faktor-faktor yang mempangaruhi perkiraan penerimaan perpajakan dalam tahun 2005 antara lain meliputi : (I) perkembangan variabel asumsi ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat, serta tingkat suku bunga; (2) berbagai kebijakan dibidang perpajakan, dan (3) langkah-langkah administrasi perpajakan yang dilaksanakan (RAPBN, 2005).

Terkait dengan variabel asumsi pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu asumsi dasar penyusunan APBN, dalam lima tahun terakhir yaitu tahun 2005 hingga tahun 2009 angka realisasi menunjukkan peningkatan yang relatif pesat terutama ditahun 2007 sebesar 6,3 %. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5%


(24)

terdapat penurunan sebesar 2%, hal ini menunjukkan sinyal yang positif bagi peningkatan penerimaan pajak bagi Negara. Untuk lebih lengkapnya dalam tabel 1.2 disajikan data pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan pajak dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu tahun 2005 hingga 2009.

Tabel 1.2

Pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, dan pajak penghasilan tahun 2005-2009 :

Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Penerimaan pajak (miliar Rp)

Penerimaan Pajak Penghasilan (miliar Rp)

2005 5.7 347.031,1 175.541,2

2006 5.5 409.203,0 208.833,1

2007 6.3 490.988,6 238.430,9

2008 6.0 658.700,8 327.497,7

2009 4,5 725.843,0 357.400,5

Sumber : Data APBN

Gambar 1.1

Perkembangan Penerimaan Pajak Tahun 2005 - 2009

0,00 100.000,00 200.000,00 300.000,00 400.000,00 500.000,00 600.000,00 700.000,00 800.000,00

2005 2006 2007 2008 2009

Pener imaan Pajak Pener imaan Pajak Penghasilan

Sumber : Data Diolah

Dari tabel dan gambar diatas, dapat dilihat adanya pertumbuhan ekonomi yang naik turun dan diikuti dengan kenaikan besarnya penerimaan pajak secara umum dan berpengaruh pula pada kenaikan pajak penghasilan secara khusus. Hal


(25)

ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu variabel makro perekonomian dengan jumlah realisasi penerimaan pajak secara umum dan penerimaan pajak secara khusus. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa ada upaya pemerintah menjalankan kebijakan fiskal dengan mendasari pada kondisi makro ekonomi yang lebih realistis.

Namun ada hal yang perlu dicermati mengenai pergerakan dari unsur dalam tabel diatas, pada tahun 2005 dan 2006 terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 2 % akan tetapi diikuti dengan kenaikan permintaan pajak sebesar Rp. 62171,9,- Hal ini bila dilihat secara sekilas, terdapat kenyataan yang sifatnya kontradiktif bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dimana kenaikan pertumbuhan ekonomi selalu diikuti dengan kenaikan realisasi penerimaan pajak dan pajak penghasilan.

Seperti diuraikan diatas bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang menjadi dasar asumsi pemerintah dalam penyusunan APBN dimana didalamnya terdapat kebijakan mengenai penetapan target penerimaan pajak. Masih ada variabel lainnya yang ikut menjadi dasar asumsi tersebut dan secara langsung ikut mempengaruhi tingkat penerimaan pajak seperti ; tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan tingkat suku bunga.

Variabel-variabel tersebut diasumsikan cukup mempunyai pengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan, karena menyentuh langsung aktivitas dunia usaha. Implikasi dari perubahan-perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi besarnya harga barang dan jasa di masyarakat yang kemudian


(26)

akan mempengaruhi besarnya pendapatan dan biaya yang dibukukan oleh wajib pajak dan badan usaha yang mencari keuntungan, seperti kenaikan suku bunga, kurs valuta asing dan inflasi. Kenaikan suku bunga yang dipicu oleh kenaikan suku bunga the fed, menyebabkan meningkatnya beban usaha perusahaan. Disamping itu memburuknya kondisi perekonomian juga dapat dilihat aksi redemption (aksi jual) yang dilakukan oleh pemodal pada media investasi reksadana pendapatan tetap, akibat kenaikan suku bunga.

Kebijakan pemerintah dalam menaikan harga bahan bakar minyak, berdampak pada kenaikan harga-harga sejumlah kebutuhan pokok, serta melemahkan daya beli masyarakat. Akibatnya nilai uang yang dimiliki menurun. Turunnya nilai uang tersebut akan menurunkan pula hasil investasi, sehingga akan mempengaruhi pajak yang harus di bayar.

Dipihak lain, pergerakan tingkat inflasi juga perlu menjadi perhatian, karena berdampak pada seluruh sektor usaha. Tingginya tingkat inflasi dapat menambah angka kerugian yang berakibat meningkatnya tingkat pengangguran akibat PHK yang dilakukan perusahaan dalam upaya mempertahankan usahanya agar tetap eksis.

Dampak inflasi yang tinggi juga akan berimbas pada gejolaknya nilai tukar rupiah atau dolar amerika. Nilai rupiah menjadi turun, akibat naiknya permintaan masyarakat terhadap dolar sementara penawaran terhadap dolar menurun. Tingginya permintaan dolar untuk membiayai barang-barang impor berakibat meningkatnya beban perusahaan dalam melaksanakan aktivitas produksinya,


(27)

sehingga mengurangi penghasilan bersih perusahaan dan berakibat menurunkan pembayaran pajak kepada Negara.

Selain itu faktor lain yang ikut mempengaruhi penerimaan pajak adalah kebijakan dibidang perpajakan dan langkah-langkah administrasi perpajakan yang dilaksanakan oleh pemerintah khususnya direktorat jendral pajak. Penambahan target penerimaan pajak ditangah iklim usaha yang tidak begitu kondusif, membuat realisasi penerimaan pajak dengan sendirinya berimbas pula. Disisi lain kebijakan intensif pajak baru ini, lagi-lagi mengakibatkan potensi penerimaan pajak juga menjadi berkurang. Permintaan insentif ini muncul sebagai tuntutan masyarakat wajib pajak akibat perubahan iklim usaha.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa terdapat variabel selain tingkat pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi tingkat penerimaan pajak penghasilan. Seperti diuraikan dalam penjelasan mengenai APBN 2005 yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak, maka perlu dikaji bagaimana pengaruh variabel lainnya terhadap tingkat penerimaan pajak. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian dalam skripsi ini, untuk melihat bagaimana pengaruh variabel-variabel makro lain terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan kondisi tersebut diatas skripsi ini akan dianalisis variabel ekonomi lainnya seperti : (I) tingkat suku bunga SBI, (2) nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika serikat, dan (3) tingkat inflasi, dengan melihat bagaimana


(28)

pengaruhnya terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan. Dari analisis ini dapat dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan?

2. Bagaimanakah pengaruh Kurs Dollar AS terhadap penerimaan Pajak Penghasilan?

3. Bagaimanakah pengaruh Tingkat Inflasi terhadap penerimaan Pajak Penghasilan?

C. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini adalah data yang akan dianalisis adalah data variabel suku bunga SBI, Kurs Dollar AS, dan tingkat inflasi yang mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan dari Januari 2005 -Desember 2009.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan maksud mendapatkan data dan informasi yang berhubungan dengan latar belakang permasalahan dan pokok permasalahan. Sedangkan penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari perubahan suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak penghasilan.

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dari perubahan kurs dollar AS terhadap penerimaan pajak penghasilan.


(29)

3. Untuk menguji dan menganalisi pengaruh dari perubahan tingkat inflasi terhadap enerimaan pajak penghasilan.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat Penelitian yang diharapkan bisa dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagi penulis sebagai wujud penerapan ilmu-ilmu yang selama ini telah diperoleh selama kuliah yang diinginkan sebagai syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Strata satu (S-1).

2. Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya ekonomi pembangunan sehingga dapat memperkaya penelitian sejenis yang telah ada dan juga dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

3. Memberikan referensi sebagai data penelitian lebih lanjut untuk lebih dikembangkan.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dasar.

1. Pengertian Pajak dan Pajak Penghasilan a. Definisi Pajak

Numantu (2003:12) memberikan arti pajak dalam istilah asing yang disebut dengan tax (Inggris) ; import contribution taxe (Perancis) ; Steuer, Abgabe, Gebuhr (Jerman) ; Impuesto contribution, tribute, gravemen, tasa (Spanyol) danbelasting(belanda).

Pengertian dan definisi pajak menurut PJ.A.Adriani adalah “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintah”(Numantu, 2003:12)

Dengan demikian, pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah, dan pemerintah baru dapat memungut pajak kalau ada undang-undangnya serta peraturan pelaksananya. pajak merupakan kewajiban bagi masyarakat yang bila diabaikan akan terkena sanksi sesuai dengan undang-undang pajak tersebut.


(31)

b. Pengertian Pajak Penghasilan.

Gunadi (1999:14) menyatakan, “mendefinisikanpajak penghasilan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambahkan kekayaan wajib pajak” Dari pengertian tersebut

terdapat empat unsur : (1) pengakuan (income recognition), (2) cakupan geografis (geographical source of income), (3) pemanfaatan, (4) sifat pengertian. Pajak penghasilan hanya dipungut pada tingkat nasional (Negara), oleh karena itu pajak ini termasuk kelompok pajak Negara atau pajak pemerintahan pusat.

Pajak penghasilan tergolong sebagai pajak subyektif yaitu yang mempertimbangkan keadaan pribadi wajib pajak sebagai faktor utama dalam pengenaan pajak. keadaan pribadi wajib pajak, yang tercermin pada kemampuannya untuk membayar pajak atau daya pikulnya, ikut dipertimbangkan dan dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan berapa besarnya jumlah pajak yang dapat dibebankan kepadanya (Rusjdi,2004:01-2).

Pajak penghasilan tergolong sebagai pajak langsung. John Stuart Mills (1860-1873) (Rusjdi, 2004), seorang ahli ekonomi inggris, mempelopori pembedaan pajak atas pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pembedaan ini dilakukan dengan memperhatikan unsur yang mempunyai arti ekonomis yang ada pada pengertian pajak. pajak langsung didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan terhadap orang yang harus menanggung dan membayarnya.


(32)

c. Fungsi pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi Negara/pemerintah, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi, maupun kombinasi antara keempatnya.

Rosdiana (2004;32) menyimpulkan bahwa pada hakekatnya, fungsi pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ;

1. FungsiBudgetair

Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas Negara (to raise government’s revenue). fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi penerimaan (revenue function), karena itu suatu pemungutan pajak yang sudah seharusnya memenuhi asasrevenue productivity.

2. FungsiRegulerend

Pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrument untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. pajak, seperticustom duties (bea masuk) digunakan untuk mendorong atau melindungi (memproteksi) produksi dalam negeri, khususnya untuk melindungi infant industry dan atau industri-industri yang dinilai strategis oleh pemerintah. tetapi pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan, misalnya disaat terjadi kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah juga dapat melakukan pengenaan excise (cukai) terhadap barang atau jasa tertentu yang mempunyai eksternalitas negative dengan tujuan mengurangi atau membatasi produksi dan konsumsi barang atau jasa tersebut.


(33)

Dengan demikian pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur (regulating/regulerend) guna tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. sekali lagi, kebijakan pajak tersebut tidak terlepas dari kerangka teori fungsi-fungsi ekonomi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.

d. Sistem Pemungutan Pajak

Secara umum system pemungutan pajak yang berlaku, adalah :

1) Self Assessment Syatem, adalah suatu sistim pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menetukan sendiri besarnya pajak terutang.

Definisi Self Assesment yang ada dalam International Tax Glossary adalah sebagai berikut :

“Under self assessment is meant the system wich the tax payer is required not only

to declare his basis of essesment (e.g taxable income) but also to submit a calculation with payment of the amount he regards as due”

Dalam sistem ini, fiskus hanya berperan untuk mengawasi, seperti misalnya melakukan penelitian apakah surat pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah diikut sertakan, juga meneliti kebenaran penghitungan dan penulisan. meskipun demikian, untuk mengetahui kebenaran material data yang ada dalam SPT, fiskus akan melakukan pemeriksaan. Di Indonesia pajak penghasilan badan dan orang pribadi serta pajak pertambahan nilai menggunakan sistem ini.


(34)

2) Official Assesment System, adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, wajib pajak membayar pajak yang terutang tersebut. Di Indonesia, pajak bumi dan bangunan menganut sistem ini.

3) With Holding System, adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ide pemungutan pajak dengan cara withholding, pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1943 dalam rangka mengakselerasi pengumpulan/ pemungutan pajak selama perang dunia ke II, karena terbukti efisien dan efektif sehingga sistem ini dengan cepat diadopsi oleh Negara-negara lainnya.

“Menurut Thomas G. Vitez keuntungan dan kerugian dalam system withholdingini adalah :

Keuntungannya :

1. Dapat digunakan untuk kepatuhan sukarela ditingkatkan karena pembayar harus melaporkan penghasilan yang pajak telah dipotong, ia akan diidentifikasi oleh laporan pembayar.


(35)

3. Metode ini mempromosikan keadilan pajak, dia sudah membayar pajak jika ia berutang.

4. Mengurangi atau menghilangkan masalah pengumpulan formulir departemen pajak.

5. Cara yang nyaman bagi wajib pajak untuk membayar pajaknya. Sedangkan kerugiannya adalah :

1. Hal itu akan membuat kesulitan bagi wajib pajak tertentu karena efek-pemotongan

2. Akan membawa biaya untuk agen koleksi yang harus mengelola pembayar pajak. (Numantu, 2003:112).

e. Pengelompokan Pajak 1 ) Menurut golongannya

a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain

Contoh : Pajak Penghasilan

b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2) Menurut sifatnya

a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan diri wajib pajak.


(36)

b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikn keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang mewah 3) Menurut lembaga pemungutnya

a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahn Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.

b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah, terdiri :

1. Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan kendaraan di atas air, dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor.

2. Pajak kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.

f. Asas Pemungutan Pajak

Azas-azas pemungutan pajak menurut Adam smith dalam bukunya “an Inguiry into the nature and causes of the wealth of nations” yang disebut” the four maxims” atau’ the four canons’ yaitu : (suandy, 2000;19)

1. Asas keadilan (Equality), pembenan pajak diantara subyek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuan, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah, tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi sesama wajib pajak.


(37)

2. Asas lepastian hukum (certainty), pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary), kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subyek pajak, obyek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya.

3. Asas ketetapan waktu pemungutan (convenience of payment), pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat -dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan / keuntungan yang dikenakan pajak.

4. Asas pemungutan pajak yang sehemat mungkin (economic of collection), pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.

Dora Hancock E. Stighlitz dalam bukunya “Economic of the public sector”

(Haula Rosdiana ; 2004;68) menekankan pada efisiensi yang lebih luas dengan mengatakan bahwa ada lima karakteristik yang diharapkan dalam suatu sistem perpajakan, yaitu :

1. Economically efficient : ‘it should not have an impact on allocation of resources’ sistem perpajakn sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi yang efisien.

2. Administrastively simple : ‘it should be easy and inexpensive to administer’. Sistem perpajakan harus mudah, sederhana dan relatif berbiaya murah dalam pengadministrasiannya.


(38)

3. Flexible : ‘it should be easy for the system to respond to changing economic circumstance’. Sistem perpajakan haruslah sedemikian fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu Negara.

4. Politically accountable : ‘taxpayers should be also to determine what they are actually paying so that the political system can more accurate reflect the preferences of individuals’. Sistem perpajakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga terdapat kepastian tentang seberapa besar pajak yang harus ditanggung oleh wajib pajak yang merefleksikan keinginan masing-masing individu dalam masyarakat.

5. Fair : ‘it should be seen to be fair in its impact on all individuals’. Sistem perpajakan harus mencerminkan keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat.

E.R.A Seligman, dalam bukunya the shifting dan Incidence of Taxation (1892) danthe Income Tax (1911) merumuskan empat prinsip pemungutan pajak yakni ;

1. PrinsipFiscal

Prinsip Fiscal berhubungan dengan dua hal, yaitu ; Adequacy (kecukupan) dan elasticity (keluwesan), artinya bahwa pemungutan pajak harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran Negara dan harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan, perubahan serta perkembangan kondisi perekonomian.


(39)

Prinsip ini meliputi prinsip certainty, convenience dan economy yakni bahwa ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perpajakan haruslah jelas.

3. Prinsipeconomic

Prinsip ini mengatakan bahwa biaya-biaya untuk memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut.

4. PrinsipEthical

Prinsip ini meliputi dua hal yaitu ; Uniformity dan Universality. Prinsip Uniformity menggambarkan kesamaan atas perilaku yang sama terhadap para pembayar pajak.

Prinsip universality menghendaki supaya setiap wajib pajak yang dikenakan pajak harus memikul beban pajaknya, dan tidak satupun wajib pajak yang memikul beban pajak yang lebih besar dari semestinya.

g. Hambatan pemungutan pajak

Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi : (Devano dan Rahayu ; 2006)

1) Perlawan pasif

Perlawan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu Negara, dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan tekhnik itu sendiri. Yang dapat disebabkan antara lain :

a) Perkembangan intelektual dan moral masyarakat


(40)

c) Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik 2) Perlawanan aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan, yang secara usaha langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain :

a) Tax Avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang

b) Tax Evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak)

h. Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu : (Setyawan dan Suprapti) ; 2004).

1) Stelsel Nyata (riel stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah menghasilkan riil diketahui)

2) Stelsel Anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Penghasiloan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang


(41)

terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhhnya.

3) Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatun anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

i. Fungsi Dasar Perpajakan di Indonesia

Fungsi utama kebijakan perpajakan di Indonesia adalah sebagai alat bagi pemerintah dalam menjalankan fungsi budgeteir, yang terkait langsung dengan pengelolaan keuangan Negara yang tertuang dalam setiap penyampaian nota keuangan APBN. Secara spesifik fungsi ini direlisasikan dalam bentuk suatu tanggung jawab dalam hal pemungutan pajak yang merupakan sumber penerimaan dalam negeri yang dalam struktur APBN menjadi sumber utama pembiayaan rutin pemerintah(current expenditure).

Untuk menjalankan fungsi tersebut diperlukan suatu kebijakan yang mengarah pada optimalisasi pemasukan dana ke kas Negara melalui pajak dengan meminimalisir akses negatif yang mungkin muncul dalam proses pemungutan


(42)

pajak tersebut. Tujuan kebijakan perpajakn pada dasarnya sama dengan kebijakan publik pada umunya, mempunyai tujuan pokok yaitu : (Mansury, 2000:5)

1. Alokasi sumber daya (Alocation of Resources)

Penggunaan sumber daya yang terkumpul itu untuk pembentukan barang modal public dan pengeluara belanja Negara lainnya yang berhubungan dengan pembangunan serta penignkatan kesejahteraan dan kemakmuran.

2. Distribusi penghasilan (redistribution of income) yang lebih adil.

Pertumbuhan ekonomi dilihat pertama – tama sebagai fungsi “ investment Rate” yang perlu didukung tabungan. Tabunganadalah lebih banyak diaharapkan dari orang-orang kaya berpenghasilan tinggi, seperti mengenakan PPN atas barang dan jasa mewah, dan merupakan bibit subur untuk pertumbuhan ekonomi. 3. Stabilitas (stabilization)

Sistem perpajakan harus mengakomodasi faktor-faktor kondisi ekonomi, politk, administratif dan tujuan kebijakan publik serta tersedianya instrumen-instrumen kebijakan.

Untuk tujuan optimalisasi penerimaan pajak tersebut maka pemerintah dituntut untuk menciptakan kebijakan yang bermuara pada peningkatan penerimaan pajak, hal ini diwujud kan dalam bentuk menata ulang sistem perundangan pemungutan pajak di Indonesia. Reformasi perpajakan di bidang perundangan dilakukan dalam rangka menegakkan asas keadilan, serta mengoptimalkan penerimaan pajak melalui langkah-langkah intensifikasi dan ekstensifikasi.


(43)

Direktorat jendral pajak sejak tahun 2001, menggulirkan reformasi administrasi perpajakan jangka menengah (3-5 tahun). Secara garis besar, ada tiga tujuan yang secara spesifik hendak dicapai oleh reformasi administrasi perpajakan jangka menengah ini, yaitu : (Purnomo,2004)

1. Tercapai tingkat kepatuhan perpajakan yang tinggi.

2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan 3. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.

Untuk mencapai tujuan tersebut disusun program-program yang bersifat komprehensif dan mencakup semua operasi DPJ sehingga diharapkan perbaikan administrasi dalam jangka menengah akan membawa dampak positif serta bersifat sustainable. Tentu saja modernisasi administrasi perpajakan akan membutuhkan biaya-biaya serta fasilitas dan prasarana yang baru sehubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi terkini secara luas, perbaikan pelayanan kepada wajib pajak maupun penggunaan teknik dan metode baru untuk menggali potensi pajak. Namun dampak modernisasi perpajakan ini terhadap penerimaan pajak diyakini akan jauh melampaui biaya investasi yang ditanamkan. Oleh karena itu, program reformasi ini adalah program yang tepat untuk membantu kemandirian pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan dilaksanakan dengan biaya minimal.

Cakupan kebijakan reformasi perpajakan lebih mendetail dikemukakan oleh Machfud Sidik, “ Strategi perpajakan dalam upaya pemulihan ekonomi, harian bisnis Indonesia, 5 Aguatus 2000”:


(44)

 Wajib pajak tetap mendapatkan kepercayan penuh untuk melaksanakan kewajibannya dibidang perpajakan melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan melaporkan sendiri pajak terutang. Melalui sistem ini, administrasi perpajakan diharapkan dapat terlaksan lebih rapi, terkendali, sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh wajib pajak.  Penyederhanaan prosedur pelaksaan administrasi yang berbelit-belit dan prosedur yang terlalu birokratis justru akan menghambat pelaksanan system self assessment secara optimal. Sejalan debirokratisasi perpajakan, maka wewenang direktur Jendral pajak yang bersifat teknisadministrative dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya dalam upaya meningkatkan pelayanan wajib pajak.

2. Keadilan

 Terhadap surat keputusan keberatan atau putusan banding yang diterima sebagian atau seluruhnya atas surat ketetapan pajak kurang bayar dan surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKB dan SKPKBT) yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2 persen.

 Wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan udaha ataau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan. Namun demikian terhadap wajib pajak tertentu diperkenenkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang lebih sederhana. 3. Kepastian hukum


(45)

 Menegaskan bahwa jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan tahunan (SPT) yang disampaikan oleh wajib pajak adalah jumlah yang terutang menurut undang-undang perpajakan, kecuali ditemukan bukti sebaliknya.

 Kepastian hukumjuga tercermin dalam langkah menaikkan sanksi asas keterlambatan SPT masa dan SPT tahunan

4. Efisiensi

 Tahapan wajib pajak tertentu yang ditetapkan oleh menteri keuangan dimungkinkan mempunyai masa pajak lebih dari satu bulan takwin.

 Menyederhanakan prosedur restitusi dan menghapuskan kewajiban membuat faktur pajak dengan menetapkan faktur komersial yang juga berfungsi sebagai faktur pajak.

5. Pelayanan

 Bagi wajib pajak tertantu yang telah terbukti kepatuhannya dapat diberikan restitusi (pembayaran pendahuluan kelebihan pembayaran pajak) dengan pos audit.

 Penyusunan atau amortisasi dihitung dengan basis bulan. 6. Ektensifikasi

 Pengertian SPT (surat pemberitahuan tahunan) dipertegas dengan mencantumkan obyek pajak atau bukan obyek pajak serta harga dan kewajiban.

 Mengatur kembali intercorporete dividen sebagai bukan obyek pajak dengan syarat antara lain kepemilikan saham sebesar 25 persen atau lebih.


(46)

 Pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak sehingga atas penyerahannya dikenakan pajak pertambahan nilai. Namun terhadap barang-barang tertentu yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, diberikan pembebasan PPN, dan hanya kepada produk akhir.

Prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela, yang merupakan tulang punggung system self assaament dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya.

Menurut Ismaean, (2000), kepatuhaan sukarela sebagai pondasisystem self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif, yaitu :

A. Program pelayanan yang baik terhadap wajib pajak. B. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak C. Program pemantauan kepatuhan verifikasi yang efektif D. Pemantauanlaw enforcement secara tegas dan adil

Administrasi perpajakan dianggap berhasil apabila tercapai suatu keseimbangan antara pelayanan terhadap wajib pajak dan penerapan hukum serta peraturan pajak, administrasi perpajakan dapat mengkosentrasikan sumber dayanya dalam mengindentifikasikan informasi yang berhubungan dengan wajib pajak yang gagal memenuhi kewajiban pajak.


(47)

2. Suku Bunga SBI

a. Pengertian Suku Bunga

Suku bunga merupakan instrument konvensional untuk mengendalikan atau menekan laju pertumbuhan tingkat inflasi. Suku bunga yang tinggi akan mendorong orang untuk menanamkan dananya di bank daripada menginvestasikan pada sektor produksi atau industri yang resikonya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan menanamkan uang di bank terutama dalam bentuk deposito. Suku bunga yang tinggi menyerap jumlah uang yang beredar di masyarakat. Namun disisi lain, tingginya suku bunga akan meningkatkan nilai uang selain menyebabkan besarnya opportunity cost pada sektor industri atau sektor riil (Mamduh Hanafi ; 2003).

Jika tingkat suku bunga dinaikkan, jumlah uang yang beredar akan berkurang karena orang lebih senang menabung daripada memutarkan uangnya pada sektor-sektor produktif. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga terlalu rendah, jumlah uang yang beredar dimasyarakat akan bertambah karena orang lebih senang memutarkan uangnya pada sektor-sektor yang dinilai produktif.

Dengan demikian tingkat inflasi dapat dikendalikan melalui kebijakan tingkat suku bunga bank yang dalam hal ini merupakan tugas dari bank Indonesia (bank sentral).

Terjadinya kesenjangan antara investasi dan tabungan merupakan penyebab tingginya tingkat suku bunga, terutama jika dilihat dari sudut indikator ekonomi makro. Kesenjangan antara investasi dan tabungan atau antara dana


(48)

masyarakat yang berhasil dihimpun sektor perbankan dan kredit yang disalurkan telah menyebabkan kesenjangan yang sangat menyolok sejak tahun 1990.

Dalam realitas sehari-hari terdapat 4 (empat) macam suku bunga yaitu : (Mamduh Hanafi ; 2003).

a. Suku Bunga Dasar

Suku bunga dasar (bank rate) adalah tingkat suku bunga yang ditentukan oleh bank sentral oleh kredit yang diberikan kepada perbankan dan tingkat suku bunga yang ditetapkan bank sentral untuk mendiskonto surat-surat berharga yang ditarik atau yang ditarik atau diambil alih oleh bank sentral.

b. Suku bunga efektif

Suku bunga efektif (effective rate) adalah suku bunga yang sesungguhnya dibebankan kepada debitur dalam jangka waktu 1 tahun, bila suku bunga nominal sama dengan suku bunga efektif.

c. Suku bunga nominal (nominal rate) adalah tingkat suku bunga yang ditentukan berdasarkan jangka waktu 1 tahun.

d. Suku bunga padanan (equivalent rate) adalah suku bunga yang besarnya dihitung setiap hari (bunga harian), setiap minggu ( bunga mingguan), setiap bulan (bunga bulanan) atau setiap tahun (bunga tahunan) untuk sejumlah pinjaman (kredit) atau investasi selama jangka waktu tertentu yang apabila dihitung secara anuitas (bunga berbunga) akan membirikan penghasilan bunga dengan jumlah yang sama.

Kebijakan suku bunga tinggi, selain mengakibatkan kesenjangan antara dana yang diterima masyarakat dan dana yang berhasil disalurkan kembali dalam


(49)

bentuk pemberian kredit kepada masyarakat yang jumlahnya jauh melebihi dana yang masuk, mengakibatkan pula kesenjangan antara investasi dan tabungan selama suku bunga masih terus tinggi. Kebijakan tingkat suku bunga tinggi dapat pula digunakan untuk mancegah terjadinya pelarian modal (capital flight) ke luar negeri secara besar-besaran yang bila terjadi akan memperburuk industri perbankan. Industri perbankan merupakan sektor ekonomi yang paling menderita jika terjadi capital flight, terutama bagi bank-bank yang modalnya banyak mengandalkan pinjaman luar negeri. Pertumbuhan industri akan terpengaruh pula, yang pada akhirnya akan menambah angka pengangguran, defisit transaksi berjalan, dan bahakan tidak mustahil pula akan memicu meningkatnya tingkat inflasi yang semakin lama akan semakin sulit dikendalikan.

Seseorang investor akan melihat apakah suku bunga riil negatif atau positif, dengan formulasinya sebagai berikut ; (Berlianta ; 2004).

Suku Bunga Riil = Suku Bunga Nominal-Inflasi

Suku bunga riil yang negatif merupakan kerugian bagi investor yang mendepositokan uangnya, karena tingkat bunga nominal yang diterimanya lebih rendah daripada tingkat inflasi. Tinggi rendahnya suku bunga berimplikasi langsung terhadap tinggi rendahnya tingkat inflasi, menurut teori moneter klasik, di mana penurunan suku bunga bank sentral akan diikuti oleh penurunan suku bunga bank komersial. Ini akan memicu pertumbuhan kredit perbankan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.


(50)

Dalam teori ekonomi konvensional, investasi sangat tergantung pada tingkat bunga (interest) sebagai ukuran biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi tersebut. Itulah sebabnya jika suku bunga tinggi, maka investasi atau proyek-proyek lebih sedikit dibandingkan dengan pada saat suku bunga rendah (Amri Amir, 2007), apabila investasi meningkat maka akan menaikkan pajak dan sebaliknya.

b. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Dalam melaksanakan tugasnya membantu pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kstabilan nilai rupiah, BI mengggunakan beberapa piranti moneter yuang terdiri dari Giro Wajib Minimum (Reserve requirement), Fasilitas Diskonto, Himbauan Moral dan Operasi Pasar Terbuka. Dalam Operasi Pasar Terbuka BI dapat melakukan transaksi jual beli surat berharga termasuk sertifikat bank Indonesia. Beberapa uraian penting tentang SBI dijelaskan sebagai berikut:

1). Pengertian SBI

SBI adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan oleh BI sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto. 2). Tujuan Penerbitan SBI

Sebagai otoritas moneter, BI berkewajiban memelihara kstabilan nilai rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang kartal + uang giral di BI) yang berlebihan dapat mengurangi kstabilan nilai rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh BI untuk mengurangi kelebihan uang primer tersebut.


(51)

3). Karakteristik SBI

Terdapat beberapa karakteristik SBI, antara lain; (Siamat; 2004)

1). Jangka waktu maksimum 12 bulan dan sementara diterbitkan untuk jangka waktu 1dan 3 bulan.

2). Denominasi : dari yang terendah Rp 50 juta sampai yang tertinggi Rp 100 miliar.

3). Pembelian SBI oleh masyarakat minimal Rp 100 juta, dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50 juta.

4). Pembelian SBI di dasarkan pada nilai tunai yang diperoleh dari rumus berikut ini :

Nilai Nominal x 360

360 + (tingkat Diskonto x Jangka Waktu)

5). Pembelian SBI memperoleh hasil serupa berupa diskonto yang dibayar dimuka. Besarnya diskonto adalah nominal dikurangi dengan nilai tunai.

6). Pajak Penghasilan (PPh) atas diskonto dikenakan secara final sebesar 15%. 4). Tata cara transaksi penjualan SBI

1). Penjualan SBI dilakukan melalui lelang. Jumlah SBI yang akan dilelang diumumkan setiap hari selasa.

2). Lelang dilakukan setiap hari rabu dan dapat diikuti oleh seluruh bank umum, pialang pasar uang dan pialang pasar modal dengan penyelesaian transaksi hari kamis.


(52)

3). Dalam pelaksanaan lelang, masing-masing peserta mengajukan penawaran jumlah SBI yang ingin dibeli beserta tingkaat diskontonya. Pemenang lelang akan di prioritaskan pada peserta yang mangajukan penawaran tingkat diskonto yang relatif rendah, dengan batasan atas jumlah SBI yang dilelang. Contoh ada 6 peserta lelang, dan jumlah SBI yang dilelang adalah Rp 5 miliar. Peserta A, B dan C sudah dinyatakan sebagai pemenang dengan jumlah total penawaran Rp 4,5 miliar dan tingkat diskonto yang lebih randah dari peserta DEF. Sisanya Rp 500 juta diperebutkan oleh peserta DEF, dan pemenangnya adalah D karena tingkat diskontonya lebih randah dari peserta EF. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table dibawah ini :

Table 2.1 Contoh hasil lelang SBI Target Lelang Rp 5 Miliar

Peserta

Jumlah penawaran suku bunga

Suku

bunga Jumlah kumulatif A Rp.1.500.000.000 20% Rp.1.500.000.000 B Rp.1.000.000.000 26% Rp.2.500.000.000 C Rp.2.000.000.000 30% Rp.4.500.000.000 D Rp.2.000.000.000 34% Rp.5.000.000.000

E Rp. 750.000.000 37%

F Rp.1.250.000.000 40%

Sumber : Data diolah

Keterangan :

Peserta A,B dan C menang lelang

Peserta D menang sebagian (Rp 500 juta) Peserta E dan F kalah lelang


(53)

3. Inflasi

a. Pengertian dan sebab inflasi

Menurut Boediono (2000) inflasi adalah kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Ini tidak berarti bahwa harga berbagai macam barang itu naik dengan persentase yang sama. Mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah bersamaan. Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi.

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus-menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.

Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi, (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan inflasi.


(54)

Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai Inflasi.

Inflasi menyebabkan harga barang impor lebih murah dari pada barang yang dihasilkan di dalam negeri. Maka pada umumnya inflasi akan menyebabkan impor berkembang lebih cepat tetapi sebaliknya perkembangan ekspor akan bertambah lambat. Di samping itu aliran modal yang keluar akan lebih banyak dari pada yang masuk ke dalam negeri. Berbagai kecenderungan ini akan memperburuk keadaan neraca pembayaran, defisit neraca pembayaran yang serius mungkin berlaku. Hal ini seterusnya akan menimbulkan kemerosotan nilai mata uang (Sukirno, 2000).

Kenaikan harga-harga menyebabkan barang-barang yang diproduksikan di negara itu tidak dapat bersaing dengan barang yang sama di pasaran luar negeri. Oleh sebab itu ekspor negara tersebut akan turun dan tidak berkembang. Sebaliknya kenaikan harga-harga dalam negeri menyebabkan barang-barang dari negara lain menjadi relatif lebih murah dan ini akan mempercepat pertambahan impor. Inflasi berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor, maka selanjutnya inflasi akan menyebabkan impor menjadi lebih besar dari ekspor. Apabila cadangan devisa negara itu cukup besar, kelebihan impor ini dapat dibayar dari cadangan itu. Tetapi apabila cadangan devisa tidak cukup besar, pemerintah akan berusaha


(55)

untuk mengurangi impor dengan menaikkan pajak impor dan membatasi jumlah barang yang diimpor.

Tindakan ini akan menimbulkan kenaikan harga-harga lebih lanjut. Jadi inflasi berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor dan berpengaruh positif terhadap nilai impor.

Tingkat inflasi yang terjadi di dalam suatu negara akan sangat mempengaruhi impor negara tersebut. Apabila barang-barang dari luar negeri mutunya lebih baik, dan harganya lebih murah daripada barang-barang yang sama dihasilkan di dalam negeri, maka akan terdapat kecenderungan bahwa negara tersebut akan mengimpor lebih banyak barang dari luar negeri (Sukirno, 2002).

Definisi inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang berlangsung secara terus-menerus. Kenaikan harga satu atau dua barang tidak dapat disebut inflasi kecuali kenaikan harga tersebut meluas kemana-mana. (Abimanyu, 2004;13). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kenaikan satu atau beberapa barang pada saat tertentu dan hanya “sementara” belum tentu menimbulkan inflasi.

Menurut Murni (2006 :203) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kejadian yang menunjukkan kenaikan tingkat harga secara umum dan berlangsung secara terus-menerus. Berdasarkan definisi ini ada tiga kriteria yang perlu diamati untuk melihat telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga, bersifat umum dan terjadi terus menerus.

Inflasi merupakan bagian dari keadaan perekonomian yang akan dialami oleh suatu Negara, hanya saja setiap Negara memiliki tingkat inflasi yang


(56)

berbeda-beda. Untuk mengukur tingkaat inflasi dapat menggunakan indeks harga konsumen.

Selain itu dalam beberapa istilah penggunaan inflasi digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang, yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Beberapa ekonom (dari beberapa sekolah di Austria) masih menggunakan arti ini dan bukan peningkatan harga-harga.

Inflasi yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda-beda. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan Negara, sektor pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut (Murni, 2006):

a. Inflasi disebabkan oleh sektor ekspor-impor, jika ekspor suatu Negara lebih besar daripada impor akan mengakibatkan terjadinya tekanan inflasi, tekanan inflasi terjadi karena semakin besar jumlah uang yang beredar didalam negeri akibat penerimaan devisa.

b. Inflasi disebabkan oleh sektor penerimaan dan pengeluaran Negara, sektor penerimaan dan pengeluaran suatu Negara yang deficit menjadi penyabab inflasi. Karena pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaannya, maka untuk menutupi keadaan tersebut dilakukan dengan mengeluarkan uang baru yang akan menimbulkan tekanan inflasi.

c. Inflasi disebabkan oleh sektor swasta pengeluaran kredit dalam jumlah yang cukup besar untuk memenuhi permintaan kredit swasta dapat juga menyebabkan terjadinya inflasi.


(57)

Dengan demikian pengendalian jumlah uang beredar di masayarakat dan keseimbangan antara permintaan dan penawaran barang merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat inflasi.

b. Penggolongan inflasi

Penggolongan inflasi dapat dibedakan atas beberapa kelompok (Murni,2006), yaitu :

1. Berdasarkan sumber dan penyebabnya, maka inflasi dapat dikelompokan menjadi;

a. Inflasi dari segi permintaan (demand full inflation).

Inflasi ini disebabkan oleh bertambahnya permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang menyebabkan bertambahnya permintaan faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintan permintan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Oleh karena itu inflasi terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total yang berlebihan sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga.

b. Inflasi dari segi desakan biaya (Cost Push Inflation)

Kenaikan harga pada inflasi jenis ini disebabkan adanya kenaikan biaya/ongkos produksi (input) sehingga mengakibatkan harga-harga produk (output) yang dihasilkan ikut naik. Terjadinya kenaikan ongkos produksi ini dapat disebabkan karena buruh menuntut kenaikan upah (wages push inflation) maupun


(58)

karena perusahaan menghendaki kenaikan keuntungan yang melebihi kemampuan berproduksi (profit push inflation)

2. Berdasarkan asal timbulnya inflasi.

Apabila ditinjau dari asalnya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua macam ; a. Inflasi dari dalam negeri (domestic inflation). Kenaikan harga terjadi karena

ada pengaruh kejutan (shock) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat non-pemerintah maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga. Misalnya sebagai akibat terjadinya defisit anggran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.

b. Inflasi dari luar negeri (imported inflation). Kenaikan harga umum dapat dipengaruhi tidak saja oleh harga dalam negeri tetapi juga oleh harga-harga barang diluar negeri yang tercermin pada harga-harga barang-barang impor yang berpengaruh langsung pada kenaikan indeks harga umum (IHU) dan dengan sendirinya akan mempengaruhi laju inflasi. Selain itu imported inflation juga dapat disebabkan adanya kenaikan tarif impor barang.

3. Berdasarkan cakupan pengaruh kenaikan harga, inflasi digolongkan menjadi ; a. Inflasi tertutup (closed inflation). Inflasi ini terjadi jika kenaikan harga

secara umum hanya berkaitan dengan beberapa barang tertentu secara kontinyu.

b. Inflasi terbuka (Open inflation). Inflasi ini terjadi jika kenaikan harga terjadi secara keseluruhan.


(59)

c. Inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflation). Inflasi ini terjadi apabila serangan inflasi demikian hebatnya dan setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama yang disebabkan nilai uang terus merosot.

4. Berdasarkan parah atau tidaknya inflasi, digolongan menjadi ;

a. Inflasi ringan, yaitu inflasi yang lajunya lebih kecil dari 10% pertahun b. Inflasi sedang, yaitu inflasi yang lajunya antara 10 % sampai 30%

pertahun

c. Inflasi berat, yaitu inflasi yang lajunya antara 30 % sampai 100% pertahun d. Inflasi tidak terkendali, yaitu inflasi yang lajunya lebih dari 100% pertahun

c. Dampak inflasi

Inflasi yang tingginya tingkatannya akan menurunkan perkembangan ekonomi suatu Negara (Murni : 2006) hal-hal yang mungkin timbul antara lain sebagai berikut ;

1. Ketika biaya produksi naik akibat inflasi, hal ini akan sangat merugikan pengusaha dan ini menyebabkan kegiatan investasi beralih pada kegiatan yang kurang mendorong produk nasional, seperti tindakan para spekulatif yang ingin mencari keuntungan sesaat.

2. Pada saat kondisi harga tidak menentu (inflasi) para pemilik modal lebih cenderung menanamkan modalnya dalam bentuk pembelian property. Pengalihan investasi ini akan menyebabkan investasi produktif berkurang dan kegiatan ekonomi menurun.


(60)

3. Inflasi menimbulkan efek yang buruk pada perdagangan dan mematikan pengusaha dalam negeri. Hal ini dikarenakan kenaikan harga menyebabkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk Negara lain sehingga kegiatan ekspor menurun dan impor malah meningkat.

4. Inflasi menimbulkan dampak yang buruk pula dalam neraca pembayaran. Karena menurunnya ekspor dan meningkatnya impor menyebabkan ketidakseimbangan terhadap aliran dana yang masuk dan keluar negeri sehingga posisi neraca pembayaran akan memperburuk.

Inflasi bukan berarti bertujuan untuk menghilangkan inflasi sampai pada titik nol, karena bila ini sampai terjadi tidak memacu pertumbuhan ekonomi dan justru akan menimbulkan stagnasi. Kebijakan inflasi akan sangat berarti bagi kegiatan ekonomi bila pemerintah bisa menjaga laju inflasi berada di tingkat yang sangat rendah yaitu sekitar dibawah 5 persen.

d. Kebijakan anti inflasi

Upaya-upaya untuk mengendalikan inflasi dapat berupa penerapan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh dua lembaga yang berbeda. Kebijakan fiskal dilaksanakan oleh departemen ekonomi dan keuangan, sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral. (Murni, 2006 : 207-208)


(61)

1. Kebijakan Fiskal meerupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan mengendalikan penerimaan dan pengeluarkan pemerintah melalui APBN dengan maksud untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Kebijakan ini dapat dibagi menjadi :

Bentuk kebijakan fiskal jangka pendek, berupa ;

a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran pemerintah.

b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan sistem perpajakan dan jumlah pajak yang ditetapkan.

Bentuk kebijakan fiskal jangka panjang, berupa ;

a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem perpajakan yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional.

b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus membuat perubahan terhadap sistem yang ada. Misalnya membuat undang-undang, peraturan-peraturan baru dibidang penerimaan pemerintah khususnya penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah.

2. Kebijakan Moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral dalam mengatur dan mengendalikan jumlah uang yang beredar. Kebijakan bank sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif.

Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :

a. Kebijakan operasi pasar terbuka (open market operation) yaitu membeli atau menjual obligasi pemerintah.


(62)

b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam rangka dalam menetapkan tngkat suku bunga. Misalnya SBI.

c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requitment) yaitu kebijakan dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga keuangan lainnya.

Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara selektif dan moral situation yaitu membujuk/ menghimbau secara moral kepada masyarakat pengguna jasa bank.

Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral suatu Negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak luar bank sentral, termasuk oleh pemerintah itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen salah satunya disebabkan oleh intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian justru akan berakibat mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Bank sentral pada umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation


(63)

targeting banyak diterpakan oleh bank sentral diseluruh dunia, termasuk oleh bank Indonesia.

Reaksi terhadap kebijakan antiinflasi berupa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang digunakan untuk menekan laju inflasi, harus diperhitungkan sebagai salah satu biaya inflasi yang merupakan dampak yang ditimbulkan oleh inflasi dan menyebabkan beban-beban ekonomi secara tidak efisien yang ditanggung oleh masyarakat(Murni, 2006 : 213).

Oleh sebab itu diperlukan kebijakan antiinflasi yang berbiaya rendah, yaitu kebijakan-kebijakan yang berusaha menurunkan inflasi tanpa terjadinya kenaikkan beban ekonomi bagi masyarakat. Kebijakan antiinflasi yang berbiaya rendah ini disebut juga kebijakan pendapatan yaitu tindakan pemerintah yang berusaha membuat yang berusaha membuat inflasi yang rendah (moderat) melalui langkah-langkah langsung, baik melalui persuasi verbal, pengawasan hukum atau intensif-intensif lain. Tindakan-tindakan langsung pemerintah dapat berupa : (Murni, 2006 : 213)

1. Kebijakan pengendalian harga dan upah dipasar produk dan pasar tenaga kerja.

2. Kebijakan pendapatan berbasis pajak berupa kebijakan pemerintah untuk menaikkan pajak penghasilan secara perlahan agar tidak mempengaruhi lonjakan harga barang di pasar.

3. Kebijakan strategi pasar yang menekankan kekuatan pengendalian ketersediaan barang di pasar, sehingga dapat memperkuat daya tahan pasar terhadap kenaikan harga.


(64)

4. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing dan Sistem Nilai Tukar. a. Pengertian Nilai Tukar Valuta Asing (Foreign Exchange Rate).

Nilai tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antarnegara di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008).

Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).

Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan kuat. apabila transaksi autonomus kredit lebih besar dari transaksi autonomus debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing (Nopirin, 2000).

Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama


(65)

bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008).

Menurut (Sukirno, 2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional. Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.

Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2006). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini: QS .P/P*


(66)

Di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).

Dalam sistem kurs mengambang, depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan ke atas ekspor maupun impor. Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri menurun dan berarti nilai mata uangasing bertambah tinggi kursnya (harganya) akan menyebabkan ekspor meningkat dan impor cenderung menurun. Jadi kurs valuta asing mempunyai hubungan yang searah dengan volume ekspor. Apabila nilai kurs dollar meningkat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2002).

Dalam ekonomi international penting diperhatikan tentang konvertabilitas uang (currency convertability), yaitu penggunaan mata uang (valuta asing) yang dapat dengan mudah ditukarkan dengan mata uang Negara lain yang biasa disebut dengan istilahInternationally Convertible Currency (Tajul, 2000:6).

Mata uang yang kurang konvertibel rentan terhadap inflasi. Sedang mata uang yang konvertibel mempunyai derajat kebebasan yang tinggi untuk dikonversikan ke dalam mata uang Negara lain, kecuali mata uang dari Negara-negara yang menganut sisitem perencanaan terpusat dan sistem pengawasan devisa. Negara-negara yang menganut sistem perencanan terpusat dan sistem


(67)

pengawasan devisa akan mengenakan restriksi terhadap mata uangnya, sehingga tidak mudah dikonversikan ke dalam mata uang Negara lain.

Sedangkan Tajul (2000 : 4-5) dalam bukunya, inflasi dan solusinya, menjelaskan pengertian nilai tukar valuta asing (foreign exchange) sebagai berikut:

“Foreign exchange (forex) atau foreign currency, adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transkasi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral”.

Jadi nilai tukar valuta asing adalah nilai tukar dari satu mata uang dalam unit terhadap mata uang lainnya, misalnya nilai tukar mata uang rupiah (IDR) terhadap mata uang US Dolar.

b. Sistem Nilai Tukar (Exchange Rate System).

Sistem nilai tukar sangat tergantung pada kebijaksanan moneter suatu Negara. Bentuk sistem nilai tukar dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu : (Berlianta, 2004)

1. Fixed Exchange Rate System

Merupakan sistem yang menganut nilai tukar yang tetap suatu mata uang yang dapat dipertahankan terhadap mata uang asing. Dan bila tingkat nilai tukar mata uang tersebut bergerak terlalu besar maka pemerintah malakukan intervensi untuk mengembalikannya.


(68)

Sistem ini mulai diterapkan pada pasca perang dunia kedua yang ditandai dengan digelarnya konferensi mengenai sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods, New Hampshire pasa tahun 1944.

2. Floating Exchange Rate System

Setelahnya runtuhnya Fixed exchange Rate System maka timbul konsep baru yaitu Floating Exchange Rate System. Dalam konsep ini nilai tukar valuta dibiarkan bergerak bebas. Nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran valuta tersebut di pasar uang.

Dalam praktek terdapat dua jenisFloating Exchange Rata System, yaitu : 1. Free Floating Exchange System

Dalam sistem ini nilai tukar dibiarkan bergerak bebas. Pergerakannya sepenuhnya tergantung dari kekuatan penawaran dan permintaan di pasar. Bank sentral tidak melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi nilai tukar mata uangnya. Pada sistem ini perubahan nilai tukar tidak akan mempengaruhi cadangan devisa Negara karena begitu ada perubahan penawaran atau permintaan akan berdampak langsung pada naik-turunnya nilai tukar valuta.

2. Managed (Dirty) Floating Exchange Rate System

Pada sistem ini bank sentral dapat melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi pergerakan nilai tukar valuta. Bank sentral melakukan intervensi ini biasanya disebabkan karena pergerakan kurs valuta dipandang tidak menguntungkan bagi perekonomian Negara tersebut sehingga perlu dilakukan intervensi untuk mencegah akibat yang lebih buruk lagi. Pada sistem ini naik


(69)

turunnya cadangan devisa ditentukan oleh ada tidaknya intervensi bank sentral ke pasar.

Selama periode tiga dekade terakhir Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbeda-beda. Pada periode Agustus 1971 sampai dengan November 1978 menganut sistem nilai tukar tetap, November 1978 sampai dengan Agustus 1997 menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali, dan Agustus 1997 hingga kini menganut sistem nilai tukar mengambang bebas.

Sedangkan menurut (Abimayu, 2004), terdapat enam sistem nilai tukar valuta asing, yang dipakai oleh banyak Negara didunia, yaitu ;

a. SistemFixed(pegged)

Dimana otoritas moneter selalu mengintervensi pasar uang untk mempertahankan nilai tukar uang mata using sendiri terhadap mata uang asing tertentu. Intervensi ini memerlukan cadangan devisa yang relatif besar.

b. SistemAdjustable peg.

Dimana otoritas moneter terikat untuk memepertahankan nilai valuta asing. Namun otoritas monoter berhak mengubah kurs apabila terjadi perubahan kebijakan.

c. SistemCrawling Peg

Dimana otoritas monoter mengaitkan mata uang dalam negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase yang kecil.


(1)

Feb 8.59 9244.00 11.03 6154536.60

M ar 9.27 9294.00 11.68 6237727.70

Apr 10.94 11652.00 11.90 9361460.00

M ei 9.03 9249.00 11.06 6217681.30

Jun 7.98 9135.00 8.17 5648095.10

Jul 9.53 9359.00 11.77 6769487.30

Agu 7.95 9117.00 7.40 5183512.30

Sep 8.00 9139.00 8.96 5785349.30

Okt 8.26 9163.00 10.38 5796533.10

Nov 10.70 9998.00 11.85 7438815.10

Des 11.21 11268.00 12.14 24851019.60

Jan-09 10.06 11111.00 9.17 26981284.40

Feb 8.26 11790.00 7.92 10191936.10

M ar 7.29 10340.00 6.04 7183627.20

Apr 6.59 9928.00 2.78 6555041.70

M ei 7.84 10970.00 7.31 7183473.80

Jun 8.78 11793.00 8.60 10704258.80

Jul 6.97 10155.00 3.65 6794002.50

Agu 6.52 9851.00 2.71 6546477.10

Sep 6.46 9411.00 2.41 5733919.70

Okt 6.48 9435.00 2.75 6459767.50

Nov 6.77 10061.00 2.83 6566367.10


(2)

108

Regresi

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .812a .660 .640 .28426

a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Regression 7.844 3 2.615 32.358 .000a

Residual 4.040 50 .081

1

Total 11.884 53

a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI b. Dependent Variable: LNPPH

Coefficientsa

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) -57.922 8.580 -6.751 .000

LNSBI -1.115 .374 -.490 -2.977 .004

LNKURS 8.195 .928 .734 8.833 .000

1

LNINFLASI .513 .143 .590 3.597 .001


(3)

Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

LNSBI LNKURS LNINFLASI LNPPH

N 54 54 54 54

Mean 2.1982 9.1463 2.0652 15.6380

Normal Parametersa,,b

Std. Deviation .20826 .04244 .54426 .47353

Absolute .114 .171 .142 .107

Positive .114 .171 .082 .107

Most Extreme Differences

Negative -.097 -.105 -.142 -.047

Kolmogorov-Smirnov Z .837 1.256 1.044 .786

Asymp. Sig. (2-tailed) .486 .085 .226 .568

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.


(4)

110

Uji Multikolinearitas

Coefficientsa

Collinearity Statistics

Model Tolerance VIF

LNSBI .251 3.989

LNKURS .984 1.017

1

LNINFLASI .253 3.958


(5)

Uji Heterokedastisitas

Coefficientsa

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

(Constant) 1.273E7 2.703E7 .471 .640

SBI -1212031.869 623154.457 -.432 -1.945 .057

KURS 242.976 2874.984 .012 .085 .933

1

INFLASI 281491.700 276078.482 .231 1.020 .313 a. Dependent Variable: PPH


(6)

112

Uji Autokorelasi

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .812a .660 .640 .28426 1.416

a. Predictors: (Constant), LNINFLASI, LNKURS, LNSBI b. Dependent Variable: LNPPH