Kebangkitan Umat Nasrani FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DISINTEGRASI
87
bangkitlah rasa harga diri mereka, yang dimanifestasikan dalam bentuk kemarahan. Tentu saja, mereka memandang orang Islam yang menguasai
Negri Andalusia itu, telah merendahkan martabat mereka, yaitu martabat orang-orang bangsawan Visigoth. Mungkin itulah sebabnya mengapa kaum
bangsawan Visigoth selalu menunjukkan sikap tidak mau diperintah dan suka menghasut.
Keadaan semacam itu mendorong Al-Hakam 350-366 861-976 mengangkat gubernur baru non Arab asal Spanyol, yang Muslim. Pilihan itu
jatuh pada Amrus Ibn Yusuf. Ia memulai debutnya sebagai seorang pemain yang berbakat pada 807. Dan berusaha membujuk kaum bangsawan Visigoth
untuk menerima dirinya, yang pada dasarnya adalah sama dengan mereka, yaitu sama-sama membenci orang Arab dan khalifah Bani Umayyah.
Percaya kepada buah percakapan Amrus Ibn yusuf kaum bangsawan Visigoth menerima baik kehadirannya. Di Toledo. Dan Amruspun
merencanakan sebuah jebakan maut, untuk menghentikan perlawanan dan pemberontakan yang tidak pernah kunjung selesai dari mereka. Amrus
mengirimkan undangan kepada semua kaum bangsawan Visigoth untuk meng- hadiri jamuan makan, menghormat kehadiran putera mahkota ‘Abd al-
Rahman, yang pada waktu itu baru berusia empat belas tahun. Penerimaan tamu diatur sedemikian rupa sehingga setiap orang masuk satu demi satu.
Pasukan pengawal yang dipersiapkan sebelumnya, telah menanti para tamu dengan pedang terhunus. Maka satu demi satu di antara tamu itu, dipenggal
lehernya. Dan dilemparkan ke dalam lobang yang telah dipersiapkan
88
sebelumnya. Maka setelah peristiwa tersebut Toledo menjadi aman.
124
Berapa jumlah korbannya sulit diperhitungkan, tetapi ada sumber yang menyebutkan
tujuhratus orang. Dan ada sumber lain menyebutkan jumlah limaribu orang.
125
Rasanya jumlah tujuhratus Lebih realistis karena pembantaian itu terjadi dalam beberapa jam saja. Apalagi yang diundang itu terbatas pada orang-
orang tertentu yang diyakini menjadi biang keladi setiap kerusuhan. Bahkan rencana pembantaian ini direncanakan, justru setelah tercium adanya usaha
untuk memberontak terhadap al-Hakam. Dan sungguhpun cara ini menghendaki pembantaian yang bertaraf wajar, dan kelihatan amat licik, serta
tidak sportif, nampaknya pengikut mereka, rakyat kecil tidak menjadi korban. Sumber yang adapun tidak menyebutkan tentang ada atau tidak adanya para
isteri atau anak mereka yang ikut dalam pesta tersebut. Demikianlah setiap pembantaian terjadi sepanjang sejarah, dan dilakukan oleh mereka yang
melakukannya atas nama politik, seperti tersebut di atas, atau nama rasialisme seperti Hitler membantai umat Yahudi pada abad keduapuluh. Atau atas nama
apa saja sebagai yang terjadi terhadap umat Palestina di Syatila Libanon oleh orang-orang Israel. Atau manusia itu bersepakat untuk membunuh diri secara
bersama-sama, sebagai yang terjadi di Amerika dan Korea, pada abad duapuluh ini. Dan bahwa manusia suka menumpahkan darah, tidak hanya
tersebut dalam al-Quran,
126
tetapi juga dalam kenyataan.
124
Ibn Khaldun, Kitab al-
’
Ibar wa Diwan al- mubtada’ wal-khabar Fi Ayyam Wal’Ajam
wal – Barbar,., j. iv, h. 126;
125
Dozy, Reinhart. Spanish Islam.
126
Lihat al- Qur’an, 2:30
89
Pemberontakan umat Katolik tersebut di atas, mempunyai latar belakang keagamaan, sebagai yang dilakukan oleh mereka yang mencari
syahid, ada pula yang berlatarbelakang politik, sebagai yang dilakukan kaum bangsauan Visigoth di kota Toledo. Ada lagi motif rasialisme, sebagai yang
ditunjukkan oleh Ibn Hafsun. Ia memeluk Islam dan mendapat kepercayaan dari bahagian ketenteraan Bani Umayyah di Kordoba. Dan ketika keadaan
umat Islam kacau balau, pada masa antara pemerintahan Abd al-Rahman al- Awsat dan al-Nasir Ibn Hafsun memimpin pemberontakan melawan
pemerintah, dan sempat menjadi pemimpin yang berpengaruh di wilayah selatan Spanyol, serta membangun sebuah benteng di Basytar atau Bobastro.
Dalam pertempuran yang berlangsung di antara pasukan Ibn Hafsun dengan pihak pemerintahan di kedua belah pihak banyak berjatuhan korban.
127
Umar Ibn Hafsun dapat memikat hati orang-orang asli Spanyol, baik yang beragama Islam maupun Katolik, dan pernah ia mencoba menarik
perhatian Bani Abbas yang berkuasa di Afrika, yang pada waktu itu di bawah Bani Aghlab, meminta bantuan untuk menguasai Spanyol.
128
Usaha tersebut tidak mendapat tanggapan baik. Barangkali karena Bani Aghlab
memperhitungkan tidak akan mempu menghadapi kekuatan Bani Umayyah di daratan Andalusia. Mungkin juga karena mempertimbangkan kredibilitas
Umar Ibn Hafsun, sebagai Muslim yang diragukan kejujurannya. Kemudian pada tahun 299 H. ia mengumumkan kenasraniannya kembali, dengan nama
127
Al-Khatib, Akhbar Majmu’ah Fi Fath al-Andalus, Lafuente Alcantara. Madrid:
1867 j. h 150 sebagai dikutip Syalabi, Ahmad. Mausu’ah At-Tarikh Al-Islami wal hadzarah Al-
Islamiyah ., j. v. h. 58
128
Ibn Khaldun, Kitab al-
’
Ibar wa Diwan al- mubtada’ wal-khabar Fi Ayyam Wal’Ajam
wal – Barbar., ia mengharapkan Bani Abbas mengakui kedudukannya sebagai seorang Amir, di
Adalus
90
baptis Samuel, yang selama ini disembunyikannya.
129
Kasus Ibn Hafsun yang tersebut di atas, bersifat rasial dan bukan semata-mata agama. Karena yang ikut berjuang di pihak Ibn Hafsun itu,
termasuk sebahagian dari umat Islam juga, tetapi berasal Iberia. Dan dengan sikap memurtadkan dirinya dari Islam, nampak bahwa keislamannya itu
mempunyai motifasi untuk menarik saudaranya sebangsa, agar memberontak kepada pemerintah Islam. Dan setelah ia melihat kegagalan, ia kembali ke
agama asalnya. Bagaimanapun juga, pemberontakan tersebut, melambangkan ketidak puasan dan protes keras dari kalangan umat penguasa. Dan
ketidakpuaan masyarakat, dalam sebuah Negara, adalah milik segala zaman pada semua bangsa di dunia. Dan bahwa sebuah pemberontakan yang timbul
akibat sentimen keagamaan, bukan sesuatu yang luar biasa. Hal itu dapat terjadi setiap saat, terutama jika penguasa mengambil jalan yang menyinggung
perasaan keagamaan rakyatnya. Ini Barangkali bisa dijadikan dasar, mengapa umat Katolik merasa tidak puas terhadap penguasa Islam Andalusia; kurang-
kurangnya dapat diduga sebagai penyebabnya. Konsili keduabelas Toledo, kaum gerejawan merasa dipermalukan dan
merasa amat sedih, atas pembatasan-pembatasan yang ditetapkan pemerintah terhadap hak untuk memanggil summoning councils, dan terhadap lembaga
pengangkatan dan pemberhentian Bishop, tidak diizinkan ditangani oleh raja- raja Visigoth, tetapi diserahkan kepada sultan-sultan Arab. Demikian juga ada
kantor-kantor Bishop yang tidak dipakai lagi, dijual kepada pihak lain yang
129
Ibn ‘Izari, Al-bayan al-Maghrib fi Akhbar al-Maghrib j.ii, h. 143
91
tinggi penawarannya.
130
Selanjutnya semua gereja di ibu-kota Islam Andalus dimusnahkan kecuali sebuah Katedral S. Vincent, yang pada tahun 747
diserahkan kepada umat Katolik melalui sebuah perjanjian. Tetapi setelah Kordoba menjadi padat oleh pendatang dari Syria, dan mesjid yang ada tidak
mampu menampung jamaah lagi, maka setengah dari gereja dipakai menjadi mesjid. Beberapa tahun berselang Abd al-Rahman I membeli yang separo lagi
dengan harga 400.000 dinar, dan mengizinkan umat Kristen Katolik membangun gereja baru untuk mereka di tempat lain.
131
Peristiwa penghancuran gereja dan pengambilalihan katedral menjadi mesjid, sebagai tersebut di atas, nampaknya memang sulit diterima.
Sungguhpun barangkali kordoba yang telah menjadi ibu-kota keamiran, dipenuhi kaum Muslimin, baik pendatang maupun penduduk aslinya. Dengan
demikian umat Katolik relatif menjadi ciut jumlahnya, sehingga banyak nya gereja tidak bermanfaat lagi.
132
Banyak pula kantor-kantor Bishop yang tidak dipakai lagi oleh pemiliknya, dan kemudian dilelang oleh pemerintah. Ini
menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan, dalam hal ini agama Katolik, tidak berjalan sebagaimana sebelumnya. Disebut sulit diterima karena katedral yang
dibeli Abd al-Rahman al-Dakhil, secara hukum masih terikat dengan perjanjian yang dibuat peda tahun 747, saat Yusuf b. Abd al-Rahman al-Fihri
746-56 memegang kendali pemerintahan. Boleh jadi perjanjian tersebut
130
Dozy, Reinhart. Spanish Islam h. 238-9
131
Ibid. Barangkali karena mesjid bagi umat Islam adalah pusat kegiatan kemasyarakatan, dan lambang supremasi pemerintahannya, maka dipandang tidak layak ada lambang agama lain
yang menyainginya. Sebagaimana mesjid Kordoba menjadi gereja setelah Islam terusir dari sini.
132
Sebagai halnya di Eropa dewasa ini, banyak gereja yang tidak lagi berfungsi sebagai rumah ibadah, sehingga dijual untuk dimanfaatkan bagi kepentingan lain. Ada yang di jadikan
gudang, tempat hiburan, dan juga mesjid.
92
dibuat untuk menarik dukungan umat Katolik bagi kekuasaannya. dan apapun yang menjadi latar belakangnya, sebuah perjanjian tetap harus dihormati,
sungguhpun ditandatangani oleh saudaranya yang lain.
133
Kebijaksanaan politik Abd al-Rahman menyangkut gereja Katolik, di ibu-kota Kordoba sungguhpun dapat dipahami, tetapi memang untuk umat
Katolik cukup menyakitkan. Dan sentimen keagamaan berkembang menjadi semacam dendam kesumat yang sulit dihilangkan, dan kadang-kadang
menimbulkan sikap yang aneh-aneh, sebagai halnya sikap mencari mati syahid dengan menghina kaum Muslimin. Rasa tertekan dan ingin melawan, tetapi
kekuatan amat terbatas, berbaur menjadi satu. Hal ini dapat menimbulkan trauma dalam jiwa mereka, terutama yang fanatik terhadap agama. Di samping
itu timbul pula sikap nekad dan tidak lagi memikirkan akibat dari kenekatannya. Dan itulah yang diterima oleh kaum Muslimin pada masa itu.
Kebijaksanaan politik dari sebuah pemerintahan yang dimotori oleh agama, menghasilkan sikap yang bernafas keagamaan. Kebijaksanaan politik
sekuler yang non agamis, menghasilkan sikap yang sesuai dengan itu pula. Maka jika Abd al-Rahman I menghancurkan gereja-gereja Katolik di ibu kota
keamirannya, tentu saja karena ia seorang amir dari sebuah negara yang berdasarkan Islam, sebagai yang dipahaminya. Dan tidak mustahil ada orang
lain pada masa itu yang tidak menyetujui kebijaksanaan tersebut, tetapi juga
133
Hal ini dipandang dari sudut agama,misalnya: Al-Quran, 2:177; 17: 34; 3:76; dll. Juga Huzaifah b. Yaman berjanji dengan orang Quraisy, tidak akan memerangi mereka, artinya tidak
bergabung dgn nabi untuk melawan Quraisy, sehingga ia dan anaknya diizinkan hijrah ke Madinah. Ketika keduanya mendaftarkan diri untuk ikut Perang Badar, nabi melarang mereka
berdua untuk ikut memerangi orang Quraisy dgn alasan terikat janji. Al-Hufi Min Akhlaq al-Nabi, Kairo: Al-Syuun al-Islamiyyah, 1968 , h. 297.
93
mendasarkan pemikirannya kepada Islam sebagai agama. Bagi umat Katolik di Spanyol pada waktu itu, menerima atau memolak mengandung resiko dan
berdampak negatif. Menerima berarti melepaskan sebahagian dari sarana keagamaan, dan menolak berarti menentang keputusan penguasa; serba salah.