yang diakukan oleh pemerintah dan badan-badan kesehatan lainnya. Tidak adanya mata pelajaran yang secara khusus mengajarkan dan memberikan informasi bagi
murid sekolah menengah atas, terutama siswi, juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian infeksi menular seksual di kalangan remaja.
Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian yang dapat menggambarkan pengetahuan siswi sekolah menengah atas akan infeksi
menular seksual. Penulis memilih SMKN 1 Medan sebagai tempat penelitian karena mayoritas muridnya ialah siswi, sehingga dapat mewakili siswi sekolah
menengah atas secara umum.
1.2. Rumusan Masalah
Karena tingginya angka kejadian infeksi menular seksual di kalangan remaja sekolah menengah atas diperlukan suatu penelitian deskriptif terhadap
siswi sekolah menengah atas untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu bagaimanakah gambaran pengetahuan siswi SMKN 1 Medan tentang infeksi
menular seksual.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran pengetahuan siswi SMK Negeri 1 Medan tentang
infeksi menular seksual.
1.3.2. Tujuan Khusus, Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Memperoleh informasi tentang pengetahuan siswi SMK Negeri 1
Medan terhadap infeksi menular seksual. 2.
Mengetahui tingkat pengetahuan siswi SMK Negeri 1 Medan berdasarkan usia.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai: 1.
Memberikan gambaran pada siswi sekolah menengah atas tentang bahayanya infeksi menular seksual dan cara- cara pencegahannya.
2. Memberikan informasi bagi pemerintah akan gambaran pengetahuan
remaja siswi terhadap infeksi menular seksual. 3.
Menjadi sumber informasi bagi pemerintah dan praktisi- praktisi kesehatan untuk dapat menjalankan program- program penyuluhan ke
sekolah- sekolah tentang bahayanya IMS. 4.
Menambah pengetahuan bagi peneliti mengenai IMS dan dalam hal melakukan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Menular Seksual 2.1.1. Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual
Penyakit kelamin veneral diseases sudah lama dikenal dan beberapa di antaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin
majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai
lagi dan diubah menjadi sexually transmitted disease STD atau Penyakit Menular Seksual PMS Hakim, 2009; Daili, 2009.
Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok
penyakit kelamin VD yaitu sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk uretritis non gonore UNG, kondiloma
akuminata, herpes genitalis, kandidosis, trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis, dan lain-lain. Sejak tahun
1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI Sexually Transmitted Infection, agar dapat menjangkau penderita asimtomatik Hakim, 2009; Daili, 2009.
Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa
pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insiden IMS atau paling tidak insidennya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar
negara, insiden IMS relatif masih tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain kemandulan, kecacatan, gangguan
kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan penanggulangan, sehingga hal ini akan meningkatkan biaya kesehatan. Selain itu
pola infeksi juga mengalami perubahan, misalnya infeksi klamidia, herpes genital, dan kondiloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibanding
uretritis gonore dan sifilis. Beberapa penyakit infeksi sudah resisten terhadap
Universitas Sumatera Utara
antibiotik, misalnya munculnya galur multiresisten Neisseria gonorrhoeae, Haemophylus ducreyi dan Trichomonas vaginalis yang resisten terhadap
metronidazole. Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya Hakim, 2009; Daili, 2009.
Menurut Hakim 2009 dalam Daili 2009, perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor
yang mempengaruhinya, yaitu: 1.
Faktor dasar a
Adanya penularan penyakit b
Berganti-ganti pasangan seksual 2.
Faktor medis a
Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis b
Pengobatan modern c
Pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko
penyebaran infeksi. 3.
Alat kontrasepsi dalam rahim AKDR dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat
digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan IMS. 4.
Faktor sosial a
Mobilitas penduduk b
Prostitusi c
Waktu yang santai d
Kebebasan individu e
Ketidaktahuan Peningkatan insidens tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko
tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya,
sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4
pasangan seksual Daili, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Hakim 2009 dalam Daili 2009, yang tergolong kelompok risiko tinggi adalah:
1. Usia
a 20-34 tahun pada laki-laki
b 16-24 tahun pada wanita
c 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin
2. Pelancong
3. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila
4. Pecandu narkotik
5. Homoseksual
2.1.2. Penyebab Infeksi Menular Seksual
Menurut Handsfield 2001, infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan menurut agen penyebabnya, yakni:
a. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema
pallidum, Chlamydia trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium granulomatis, Ureaplasma urealyticum,
Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus grup B., Mobiluncus sp.
b. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya. c.
Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus tipe 1 dan 2, Herpes Simplex Virus tipe 1 dan 2, Human Papiloma Virus
banyak tipe, Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum contagiosum virus, dan virus-virus enterik lainnya.
d. Dari golongan ekoparasit, yakni Pthirus pubis, Sarcoptes scabei.
Sedangkan menurut Daili 2009, selain disebabkan oleh agen-agen diatas, infeksi menular seksual juga dapat disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida
albicans
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Cara Penularan Infeksi Menular Seksual
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena
hubungan seksual vaginal, oral, anal.
Penularan IMS juga dapat terjadi dengan cara lain, yaitu : Melalui darah :
1. transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV.
2. saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba.
3. tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja tidak sengaja.
4. menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril.
5. penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama khususnya jika terluka dan
menyisakan darah pada alat. 6.
dari ibu kepada bayi: saat hamil, saat melahirkan, dan saat menyusui. Menurut Depkes RI 2006, penularan infeksi menular seksual dapat
melalui beberapa cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis iatrogenik, dan bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi
endogen adalah infeksi yang berasal dari pertumbuhan organisme yang berlebihan secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan melalui hubungan seksual.
Sedangkan infeksi menular seksual akibat iatrogenik disebabkan oleh prosedur- prosedur medis seperti pemasangan IUD Intra Uterine Device, aborsi dan proses
kelahiran bayi.
2.1.4. Gejala Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual
Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pria maupun wanita. Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan gejalanya
berminggu-minggu, berbulan-bulan, maupun bertahun-tahun setelah terinfeksi Lestari, 2008. Mayoritas infeksi menular seksual tidak memberikan gejala
asimtomatik pada perempuan 60-70 dari infeksi gonore dan klamidia. Pada perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan kadang-kadang
Universitas Sumatera Utara
bersifat fatal misalnya kanker serviks, kehamilan ektopik, dan sepsis. Konsekuensi juga terjadi pada bayi yang dikandungnya, jika perempuan tersebut
terinfeksi pada saat hamil bayi lahir mati, kebutaan Kesrepro, 2007. Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret di
sekitar alat kelamin, benjolan atau lecet disekitar alat kelamin, bengkak disekitar alat kelamin, buang air kecil yang lebih sering dari biasanya, demam, lemah, kulit
menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh, kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada wanita bisa keluar darah diluar masa menstruasi, rasa panas seperti
terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan disekitar alat kelamin, rasa sakit pada perut bagian bawah pada wanita diluar masa menstruasi, dan adanya
bercak darah setelah berhubungan seksual WHO, 2001. Diagnosis infeksi menular seksual dilakukan melalui proses anamnesa,
diikuti pemeriksaan fisik, dan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium Daili, 2009.
2.1.5. Komplikasi Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher
rahim, menular pada bayi, rentan terhadap HIV, dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian Dinkes Surabaya, 2009.
2.1.6. Pencegahan Infeksi Menular Seksual
Menurut WHO 2006, pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan
primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan
pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian
pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular seksual
dan HIV.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Depkes RI 2006, langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual adalah menghindari kontak langsung dengan cara berikut:
a. Menunda kegiatan seks bagi remaja abstinensia.
b. Menghindari bergonta-ganti pasangan seksual.
c. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.
Selain pencegahan diatas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa
kebersihannya dari mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati- hati dalam menangani segala sesuatu yang berhubungan dengan darah segar,
mencegah pemakaian alat-alat yang tembus kulit jarum suntik, alat tindik yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi sehingga meminimalisir
penularan Dinkes Surabaya, 2009.
2.2. Bahaya dan Dampak Sosial Terhadap Penderita Infeksi Menular Seksual
Sepuluh tahun terakhir, IMS terutama HIV AIDS meningkat jumlahnya dan sangat mempengaruhi kehidupan berjuta-juta orang di seluruh dunia. Pada
beberapa orang dan rumah tangga, efek dari HIV AIDS menjadi berlipat ganda. Selain meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, juga mengakibatkan
kelumpuhan total yang dapat mengancam produktivitas di sektor ekonomi keluarga maupun secara makro.
Secara garis besar, dampak sosial terhadap penderita IMS Infeksi Menular Seksual terutama HIV AIDS terbagi beberapa kategori, yaitu:
Ekonomi dan Demografi, produktivitas pembangunan dan produksi pertanian, penekanan pada sektor kesehatan, rumah tangga dan keluarga, anak-anak, wanita,
diskriminasi HIVAIDS serta dampak HIVAIDS terhadap seseorang Kader Karang Taruna Jatim, 2001.
1. Ekonomi dan demografi
Dampak ekonomi dari IMS dan HIV AIDS dapat memberikan kerugian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung
melalui kegiatan pencegahan, pengobatan, dan penelitian. Sedangkan kerugian
Universitas Sumatera Utara
secara tidak langsung antara lain kehilangan harapan hidup yang diakibatkan oleh IMS AIDS itu sendiri.
Upaya untuk menilai kerugian yang ditimbulkan oleh IMS serta HIV AIDS sangat luar biasa, dimana hal ini perlu dilakukan seiring dengan
kebutuhan akan pengukuran “value of person’s life” terhadap pendapatan seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa dampak dari IMS serta HIV AIDS
adalah kehilangan pendapatan. 2.
Produktivitas Dampak dari IMS, HIV AIDS terhadap tingkat produktivitas tidak hanya
meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, tetapi juga meningkatkan ketidakhadiran pekerja karena kesakitan. Pada beberapa kasus AIDS
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan dan otomatis menjadi member atau langganan dari pusat pelayanan
kesehatan tersebut. Selain itu IMS AIDS dapat menurunkan produktivitas. Adanya
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, tidak hanya akan meniadakan pendapatan pekerja tersebut, tetapi juga kesempatan
berkontribusi di sektor ekonomi, diskriminasi di tempat kerja. Hal ini dilaporkan hampir terjadi di semua bagian.
3. Pembangunan dan produksi pertanian
Seperti juga di sektor-sektor lain diatas, perusahaan dan sumber mata pencaharian di bidang pertanian juga terkena dampak dari terjadinya penyakit
menular seksual seperti HIV AIDS, antara lain dapat mengakibatkan kemiskinan seseorang maupun masyarakat pertanian di seluruh sistem ekologi
yang ada serta kerugian sosial yang tidak terukur dengan nilai.
2.3. Upaya Pengendalian IMS