Perempuan Jawa KAJIAN PUSTAKA
2010 menuliskan bahwa jelas setiap lingkungan budaya memiliki pembagian gender yang dapat diamati, ditiru, dan diperkenalkan baik
kepada laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya sendiri, ada konsepsi yang pantas bagi perempuan atau laki-laki.
Feminisme yang akan digunakan sebagai landasan pembahasan dalam penelitian ini merupakan feminisme aristokrat. Aristokrat dalam
KBBI menunjuk pada penganut cita-cita kenegaraan yang berpendapat bahwa negara harus diperintah oleh kaum bangsawan orang kaya dan
orang-orang yang tinggi martabatnya. Sedangkan kaum aristokrat adalah orang dari golongan bangsawan atau ningrat. Feminisme aristokrat dalam
penelitian ini menekankan pada kultur Jawa sebagai penguasa, secara konsep psikologis ekspresi kekuasaan ini cenderung bersifat feminin,
seperti mengutamakan harmoni, bertutur kata halus, kalem, dan tenang. Ada dua padangan dalam budaya Jawa mengenai peran dan
kedudukan wanita. Pertama, wanita dipandang mempunyai kedudukan sama setara dengan pria sehingga wanita dipandang sangat besar
sumbangan perannya di dalam keluarga maupun masyarakat. Pandangan kedua adalah menyangkal bahwa wanita mempunyai kedudukan ataupun
kekuasaan yang sama dengan pria. Wanita dipandang sebagai subordinasi dalam keluarga ataupun masyarakat, sehingga wanita lebih pasif dan sulit
untuk mendapatkan kedudukan setara dengan pria. H.B. Nugroho, M.Hum: 1999
Pandangan mengenai kedudukan wanita yang setara dengan laki- laki dipengaruhi feminisme Barat. Ternyata pandangan yang pertama
dalam kehidupan masyarakat Jawa sudah tergeser. Masyarakat Jawa akhirnya terkungkung oleh pandangan kedua yang dikembangkan oleh
kaum feodalisme aristokrasi yang mengutamakan kepentingan pria. Pandangan untuk memposisikan kedudukan pria dalam melestarikan
keturunan diformalkan dalam kehidupan sosial maupun budaya yang melemahkan posisi kaum wanita. Wanita dipandang hanya mampu
mengurus rumah tangga, sehingga wanita berkedudukan sebagai second sex. H.B. Nugroho, M.Hum, 1999
Dalam pandangan kaum feminis pada umumnya, kultur Jawa adalah sebuah kultur yang tidak memberi tempat pada kesejajaran antara
laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kultur Barat modern yang masih memberikan posisi yang lebih baik bagi perempuan. Konsepsi Jawa
tentang feminisme dipengaruhi oleh konsepsi Jawa tentang kekuasaan. Dalam konsepsi Barat, kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan
kehendak pada orang lain, untuk membuat orang lain melakukan tindakan- tindakan yang dikehendaki. Sedangkan dalam kultur Jawa, kekuasaan
adalah kemampuan untuk memberikan kehidupan, kemampuan untuk mengolah ketegangan secara lembut dan untuk bertindak seperti magnet
yang menggabungkan besi-besi yang tersebar. Masyarakat Jawa menuntut seseorang untuk selalu dapat mengontrol diri, membawa diri dengan
rukun, tenang dan halus. Alus berarti murni, berbudi halus, halus pula
tingkah lakunya, sopan, lembut, beradap, dan ramah Christina Handayani dan Novianto: 2002. Dengan demikian kekuasaan kaum perempuan yang
menunjukkan feminisme aristokrat terlihat dari sikap dan tindakan perempuan yang bermartabat.