Jenis Aktivitas Fisik Olahraga Pembahasan

Universitas Sumatera Utara Tabel 5.15. Gambaran Indeks Massa Tubuh Responden Berdasarkan Frekuensi Berolahraga Berdasarkan tabel 5.15. dapat diperoleh keterangan bahwa dari 5 orang yang obesitas, 3 orang 60 diantaranya berolahraga 1-3 kali per bulan dan 2 orang 40 sisanya berolahraga 2-3 kali per minggu. Lalu pada responden yang memiliki berat badan berlebih, 6 orang 46,2 diantaranya berolahraga setiap 2- 3 kali per minggu, 4 orang 30,8 1-3 kali per bulan, dan 3 orang 23,1 berolahraga setiap hari. Selanjutnya pada 27 orang 57,4 responden dengan IMT normal paling banyak berolahraga setiap 2-3 kali per minggu, 15 orang 31,9 berolahraga 1-3 kali per bulan, 3 orang 6,4 berolahraga setiap hari, sedangkan 2 orang 4,3 sisanya mengaku tidak pernah berolahraga. Dan terakhir, responden dengan berat badan kurang berolahraga setiap 2-3 kali per minggu.

b. Jenis Aktivitas Fisik Olahraga

Jenis aktivitas fisik atau olahraga yang sering dilakukan oleh responden penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini: IMT Frekuensi berolahraga Total Setiap hari 2-3 kali per minggu 1-3 kali per bulan tidak pernah Berat Badan Kurang N 1 1 100 Normal N 3 27 15 2 47 6.4 57.4 31.9 4.3 Berat Badan Berlebih N 3 6 4 13 23.1 46.2 30.8 Obesitas N 2 3 5 40.0 60.0 Universitas Sumatera Utara Tabel 5.16. Distribusi Jenis Aktivitas Fisik Responden Penelitian No. Pertanyaan dan Jawaban Ya Tidak N Jenis aktivitas fisikolahraga n n 1. Jogging 28 42,4 38 57,6 66 100 2. Senam 16 24,2 50 75,8 66 100 3. Berenang 23 34,8 43 65,2 66 100 4. Sepak bola 25 37,9 41 62,1 66 100 5. Gym 4 6,1 62 93,9 66 100 6. Lainnya 7 10,6 59 89,4 66 100 Dari tabel 5.16. dapat diperoleh keteranngan bahwa jogging adalah jenis olahraga yang paling sering dilakukan oleh responden penelitian ini, yaitu dipilih oleh 28 orang 42,4, selanjutnya 25 orang 37,9 memilih sepak bola, 23 orang 34,8 memilih berenang, 16 orang 24,2 memilih senam, sedangkan gym dipilih oleh 4 orang 6,1 responden. Terdapat pula 7 orang responden memilih olahraga jenis lain, seperti bersepeda, tenis meja, dan menari.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa sebagian besar remaja di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan memiliki indeks massa tubuh IMT yang normal yaitu 71,2 responden. Selanjutnya terdapat pula responden yang memiliki berat badan berlebih overweight sebanyak 19,7 dan obesitas 7,6 serta 1 orang responden yang memiliki berat badan kurang underweight dari keseluruhan total responden. Dapat dilihat dari hasil tersebut bahwa masalah gizi masih menjadi masalah utama di Indonesia, tidak hanya berat badan berlebih dan obesitas, namun banyak pula masyarakat Indonesia yang masih memiliki berat badan yang kurang atau underweight. Data Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional obesitas umum pada penduduk umur diatas 15 tahun adalah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19,1 8,8 berat badan lebih dan 10,3 obesitas, menurut jenis kelamin menunjukkan, bahwa prevalensi nasional obesitas umum pada laki-laki umur diatas 15 tahun adalah 13,9, sedangkan pada perempuan adalah 23,8 Riskesdas, 2007. Prevalensi obesitas meningkat pada tahun 2010 menjadi 21,7 10,0 berat badan lebih dan 11,7 obesitas Riskesdas, 2010. Para ahli percaya jika kecenderungan ini terus berlangsung pada tahun 2015 sekitar 2,3 miliar orang dewasa akan kelebihan berat badan dan lebih dari 700 juta akan obesitas. Skala masalah obesitas memiliki sejumlah konsekuensi serius bagi individu dan sistem kesehatan pemerintah Soeria, 2013 yang diacu dalam Damopolii, dkk, 2013. Sedangkan secara nasional menurut Riskesdas, 2010 prevalensi kekurusan pada remaja umur 16-18 tahun adalah 8,9 persen terdiri dari 1,8 persen sangat kurus dan 7,1 persen kurus. Selanjutnya, dapat dilihat bahwa dari 38,5 remaja dengan berat badan berlebih dan 60 remaja dengan obesitas sangat sering mengonsumsi fast food yaitu 2-3 kali per minggu. Hal ini sesuai pula dengan penelitian Virgianto, 2005 bahwa semakin besar asupan kalori total, semakin besar pula kemungkinan terjadinya obesitas. Ini memperkuat pernyataan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa peningkatan masukan energi dan konsumsi makanan memberikan kontribusi besar untuk terjadinya obesitas. Walaupun kejadian obesitas ini turut berhubungan dengan ada atau tidaknya aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur oleh remaja tersebut. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan. Pertumbuhan remaja, meningkatnya partisipasi dalam kehidupan sosial, aktivitas remaja dapat menimbulkan dampak terhadap apa yang dimakan remaja tersebut Worthiton-Robert, 1996. Biasanya remaja lebih suka makanan serba instan yang berasal dari luar rumah, seperti fast food. Uang saku merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya beli, terutama daya beli terhadap pangan. Uang saku yang besar akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli Suryaalamsah, 2009. Dari tabel 5.3. dapat diketahui bahwa sebagian besar responden 57,6 mendapatkan uang saku di bawah Rp30.000,00 per hari dan 39,4 responden Universitas Sumatera Utara mendapatkan uang saku antara Rp30.000,00 sampai Rp50.000,00 per hari. Sedangkan berdasarkan tabel 5.5. dapat dilihat bahwa 61,8 responden yang mengonsumsi fast food dua sampai tiga kali per minggu memiliki uang saku dibawah Rp30.000,00 per hari dan 38,2 sisanya memiliki uang saku memiliki uang saku antara Rp30.000,00 sampai Rp50.000,00 per hari. Uang saku tersebut dapat digunakan untuk memenuhi keinginan responden dalam mengonsumsi apa yang mereka inginkan, salah satunya yaitu konsumsi makanan cepat saji pola barat fast food. Menurut Pratiwi 2011, besarnya uang saku yang diberikan kepada siswa dan kurangnya kontrol dari orang tua mengakibatkan siswa sering mengonsumsi makanan cepat saji yang dapat berdampak tidak baik terhadap kesehatan mereka di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini, 51,5 responden mengonsumsi fast food dua sampai tiga kali per minggu. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ratna 2008 didapatkan hasil frekuensi konsumsi fast food remaja SMA Depok lebih dari dua kali per minggu sebanyak 36,1 dan didukung pula oleh hasil penelitian Risa, dkk 2009 pada remaja di Palembang bahwa sebagian besar 52,2 dari remaja tersebut mengonsumsi fast food bisa lebih dari tiga kali per minggu. Kecenderungan dalam mengonsumsi fast food terlalu sering dapat menimbulkan ketidakseimbangan gizi yang berakibat terjadinya gizi berlebih atau obesitas Asmika, dkk, 2011. Selanjutnya dalam penelitian ini tidak ditemukan responden yang tidak pernah mengonsumsi makanan cepat saji, ini mengindikasikan bahwa makanan cepat saji masih menjadi makanan yang paling digemari dikalangan remaja, mungkin karena para remaja tersebut belum memahami dampak dari seringnya mengonsumsi makanan tersebut. Fried chicken menjadi yang paling banyak dipilih oleh responden 69,7 serta chicken nugget 57,6 sebagai jenis makanan cepat saji yang paling sering dikonsumsi. Sesuai dengan penelitian Suryaalamsah 2009 bahwa fried chicken juga dipilih sebagai jenis fast food yang paling sering dikonsumsi pada 58,3 responden dengan berat badan normal maupun gemuk. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh bahan baku dan proses pengolahannya. Fried chicken berbahan baku ayam broiler dan diolah dengan cara digoreng. Jenis fast food yang diolah Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dengan cara digoreng akan lebih banyak menyerap minyak daripada yang diolah dengan cara dipanggang, lalu penambahan tepung terigu dan bumbu-bumbu membuat fried chicken memiliki cita rasa yang lebih gurih dan renyah, tetapi tinggi kalori, lemak, kolesterol dan garam serta sangat miskin serat, sehingga diduga dapat mempengaruhi profil lipidnya, walaupun hal ini tidak diteliti dalam penelitian ini. Oleh karena itu diperlukan konsumsi serat sebagai tambahan untuk mengimbangi tingginya kolesterol dalam darah Virgianto, 2005. Walaupun demikian, masih dalam penelitian Virgianto tahun 2005 menyatakan bahwa variasi jenis makanan cepat saji bukanlah faktor risiko untuk terjadinya obesitas, ini disebabkan yang mempengaruhi obesitas adalah jumlah masukan kalori, bukan jenis makanannya. Berbeda dengan yang ditemukan Padmiari dan Haman Hadi 2001 bahwa ada hubungan antara jenis makanan cepat saji yang dikonsumsi dengan kejadian obesitas pada kelompok umur yang berbeda. Ini mungkin disebabkan karena sumbangan kalori sangat bervariasi terhadap asupan total harian yang bergantung pada jenis makanan cepat saji tersebut. Pada tabel 5.10. dapat dilihat bahwa saat paling sering responden mengonsumsi fast food adalah saat berkumpul bersama teman-temannya, sehingga teman merupakan pengaruh terbesar pada remaja dalam hal memilih jenis makanan. Hal ini sesuai dalam penelitian Patterson 2011 diperoleh lebih dari dua pertiga responden dalam penelitian tersebut setuju bahwa salah satu alasan mereka mengonsumsi fast food adalah karena teman-temannya. Remaja adalah masa transisi antara kehidupan anak menjadi dewasa, mereka sudah memasuki tahap independensi kebebasan dalam berinteraksi dan bergaul dengan lingkungan sosial yang menyebabkan remaja menjadi lebih senang menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Dari hasil penelitian ini didapatkan 75,8 responden mempertimbangkan untuk mengonsumsi makanan cepat saji karena praktis dan 71,2 responden memilih karena rasanya yang enak. Rasa yang enak ini diduga karena kandungan lemak dan garam yang tinggi dari bahan-bahan penyusun fast food. Makanan cepat saji merupakan makanan yang lebih cepat dan praktis sehingga tidak lama menunggu untuk dikonsumsi. Hasil ini serupa dengan penelitian Sihaloho 2012 Universitas Sumatera Utara yang sebagian besar dari respondennya 75,4 memilih hal yang sama dengan penelitian ini. Dengan pengolahan yang cenderung cepat dan bersih karena menggunakan tenaga mesin, restoran yang mudah ditemukan serta pelayanannya yang selalu ada setiap saat, bagaimanapun cara memesannya, menjadikan fast food atau ready-to-eat-food sebagai pilihan utama orang tua yang sibuk atau konsumsi ketika menghabiskan waktu bersama keluarga pada masyarakat modern. Informasi sangat menentukan bagi konsumen menjatuhkan pilihan pada produk yang akan dibelinya. Sumber informasi yang berkenaan dengan makanan dapat berupa iklan dan promosi di media cetak maupun media elektronik, pengalaman masa lalu, dan pengaruh lingkungan sosial terdekat yang sering dijumpai. Dalam penelitian ini, responden memilih televisi 80,3 dan internet 57,6 sebagai sumber informasi terbanyak mengenai makanan cepat saji. Menonton televisi merupakan kegiatan di saat santai yang disukai oleh semua orang dari mulai balita, anak-anak, sampai orang dewasa. Iklan-iklan yang ditampilkan di sela-sela acara televisi disajikan sedemikian rupa agar menarik penontonnya Suryaalamsah, 2009. Sesuai dengan penelitian Budiono dan Mardiana 2006 diperoleh rata-rata remaja yang melihat televisi lebih dari 5 jam sehari, sebagian dari mereka memiliki 10 asupan kalori yang lebih tinggi daripada orang yang telah menghabiskan waktu kurang dari 2 jam sehari ditelevisi. Sedangkan dalam penelitian Risa, dkk 2009 disalah satu SMA di Palembang didapatkan data 77,2 siswa menggunakan media elektronik sebagai sumber informasi iklan dan 22,8 sisanya menggunakan media cetak sebagai sumber informasi melihat iklan. Menurut Triwinarto 2007 dalam Allo 2013 aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka sebagai suatu pegeluaran tenaga dinyatakan kilo-kalori, yang meliputi pekerjaan, waktu senggang dan aktivitas sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut memerlukan usaha ringan, sedang atau berat yang dapat menyebabkan perbaikan kesehatan bila dilakukan secara teratur. Pada tabel 5.14. diperoleh bahwa laki-laki lebih sering melakukan aktivitas fisik dibanding wanita, yaitu sekitar 58,8 responden laki-laki berolahraga setiap 2-3 kali per minggu, dan tidak ada responden laki-laki yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara tidak pernah berolahraga. Hal ini diduga bahwa laki-laki lebih bersifat atletis dan lebih gemar berolahraga dibanding perempuan sehingga laki-laki memiliki massa otot yang lebih besar dan massa lemak yang lebih sedikit dibanding perempuan. Pada tabel 5.16. dapat dilihat bahwa responden yang memiliki berat badan berlebih dan obesitas cenderung memiliki aktivitas fisik lebih sedikit dibanding dengan responden dengan IMT yang normal. Enam puluh persen dari responden yang obesitas jarang berolahraga yakni hanya setiap 1-3 kali per bulan. Sedangkan jika asupan energi berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik yang sesuai maka secara berkelanjutan dapat mengakibatkan obesitas. Kemudian dapat disimpulkan pula olahraga yang paling sering dipilih oleh responden adalah jogging, hal ini mungkin disebabkan oleh jogging yang merupakan olahraga termudah dan paling efisien untuk dilakukan oleh para remaja, karena jogging tidak memerlukan alat olahraga apapun. Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja, berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden terdapat 27,3 responden yang mengalami obesitas dan berat badan berlebih, dan 38,9-nya jarang sekali melakukan aktivitas fisik yaitu hanya berkisar 1-3 kali per bulan sedangkan yang melakukan aktivitas fisik setiap hari hanya 16,7 responden dari keseluruhan responden yang obesitas dan memiliki berat badan berlebih. Selain aktivitas fisik, terdapat juga banyak bukti yang menunjukkan bahwa komponen genetik turut berperan dalam kejadian obesitas dalam keluarga, seperti adanya mutasi pada gen yang mengode leptin, leptin receptor, melanocortin-4 receptor, dan proopionelanocortin Echwald, et al, 2002. Dalam penelitian yang sama Echwald, et al, 2002, menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara isoenzim HSD11B1 11 β-hydroxysteroid dehydrogenase, yang mengkatalisasikan perubahan secara hormonal pada kortisol cortisol yang aktif dan kortison cortisone yang inaktif, dengan gen-gen lain yang menjadikannya faktor predisposisi terhadap fenotip obesitas sentral, walaupun peran HSD11B1 ini bukanlah faktor utama dalam kerentanan genetik untuk obesitas. Dari data didapatkan hubungan lokus HSD11B1 dalam meningkatkan rasio W:H waist to Universitas Sumatera Utara hip ratio, terutama pada wanita, dan ini mendukung peran aktivasi glukokortikoid melalui 11 β-HSD1 tersebut untuk meregulasi distribusi jaringan adiposit dalam tubuh. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) dengan Obesitas pada siswa Kelas V dan VI SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan

8 93 83

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Fast Food Dan Aktivitas Fisik Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Remaja Di SMA Santo Thomas 1 Medan

4 62 87

Hubungan Arus Puncak Ekspirasi dengan Indeks Massa Tubuh pada Siswa-Siswi Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 28 57

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 14

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 2

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 4

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 19

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 4

Gambaran Indeks Massa Tubuh Remaja Usia 15-17 Tahun yang Mengonsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) Pola Barat di SMA Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 21

Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food) dengan Obesitas pada siswa Kelas V dan VI SD Shafiyyatul Amaliyyah Medan

0 0 28