Pemberdayaan kewirausahaan terhadap santri di pondok pesantren: Studi kasus Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor

(1)

PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP

SANTRI

DI PONDOK PESANTREN

(Studi kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh :

Deden Fajar Badruzzaman NIM : 104046101576

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP

SANTRI


(2)

DI PONDOK PESANTREN

(Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Oleh :

Deden Fajar Badruzzaman NIM : 104046101576

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd NIP 150 238 774 NIP 150 204 484

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP SANTRI DI PONDOK PESANTREN (Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

Jakarta, 10 Maret 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150 210 422

Panitia Ujian

1. Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (………)

NIP. 150 289 264

2. Sekertaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag.,M.H (………)

NIP 150 318 308

3. Pembimbing I : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA (………)

NIP 150 238 774

4. Pembimbing II : Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd (………)

NIP 150 204 484

5. Penguji I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA (………) NIP 150 294 015

6. Penguji II : Drs. H. Burhanuddin Yusuf, MM (………) NIP 150 203 012


(4)

PROGRAM STUDI MUAMMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1430 H / 2009 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Maret 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan hidayah, taufik, dan inayah-Nya, penulis dapat nenyelesaikan skripsi yang berjudul "PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP SANTRI DI PONDOK PESANTREN (Studi kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor) "

Selanjutnya shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya Muhammad SAW beserta sahabat, keluarganya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Keberhasilan menyelesaikan skripsi ini walaupun setelah melalui lika-liku perjuangan, dengan beraneka ragam kendala, tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih, kepada :

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dalam proses pendewasaan intelektual.

2. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

4. Bapak AH. Azharudin Latif, M. Ag., selaku sekertaris Program Studi Muamalat Ekonomi Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Drs. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA. Sebagai pembimbing I, yang dengan

ikhlas di tengah-tengah kesibukan beliau yang sangat padat, masih berkenan meluangkan waktu untuk mengarahkan penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. H. Zainul Arfin Yusuf, M.Pd sebagai pembimbing II, yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini terwujud menjadi kenyataan.

7. Teristimewa penulis persembahkan untuk ayahanda tercinta DR. KH. Ahmad Dimyati Badruzzaman, MA dan ibunda tercinta Tois Yoyoh Rokayah, yang senantiasa mendoakan penulis dan memberikan motifasi, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan taufik-Nya serta melimpahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Amin. 8. kepada seluruh Dosen/Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang telah

mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta semua karyawan/karyawati yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini dari awal hingga akhir.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan, motifasi, bantuan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan studi penulis terutama penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya ganjaran dan pahala yang berlipat ganda.


(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, masukan dan saran selalu penulis harapkan untuk kesempurnaannya.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi umat Islam umumnya. Amin.

Jakarta 25 Februari 2009 M 29 Shafar 1430 H

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN…... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian... 10

E. Kerangka Konsep ... 14

F. Tinjauan Pustaka ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : TINJAUAN TEORITIS A. Pemberdayaan Kewirausahaan... 19

1. Pengertian Pemberdayaan ... 19

2. Pengertian Kewirausahaan ... 24

3. Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan ... 27


(9)

B. Pondok Pesantren ... 34

1. Pengertian Pondok Pesantren ...34

2. Fungsi dan Peran Pondok Pesantren...36

BAB III : GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN A. Sejarah Singkat dan Perkembangan Pondok Pesantren... 38

B. Program Pengembangan ... 42

C. Visi dan Misi ... 43

D. Struktur Organisasi... 44

E. Sarana dan Prasarana ... 45

F. Sumber Dana ... 47 G. Sektor Usaha di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul

Iman ... 48

H. Peran Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan

Kewirausahaan Santri ... 57

BAB IV : PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN TERHADAP SANTRI DI PONDOK PESANTREN


(10)

A. Analisa Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor ... 60

B. Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Lain . 75

C. Faktor Pendukung dan Penghambat ... 78

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1: Tahapan Pemberdayaan ... 15

Tabel 3.1: Struktur Organisasi ... 45

Tabel 3.2: Nama Donatur dan Kegunaan Sumbangan ... 48

Tabel 3.3: Hasil Pertanian... 50

Tabel 4.1: Jenis Usaha dan Pelatih... 67

Tabel 4.2: Rancangan Program Pemberdayaan Kewirausahaan... 68

Tabel 4.3: Potensi Ekonomi Kyai-Ulama... 72

Tabel 4.4: Potensi Ekonomi Santri-Murid... 73


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah mendasar yang hingga kini menjadi tantangan terbesar bangsa Indonesia adalah masalah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi akan memberikan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi suatu bangsa. Namun demikian, Indonesia tengah menghadapi problem yang sangat kompleks dalam masalah pembangunan ekonomi, yang berimplikasi pada munculnya kesenjangan ekonomi di berbagai sektor. Hal ini disebabkan karena pembangunan tidak mampu menyerap potensi ekonomi masyarakat, termasuk angkatan kerja sebagai kontributor bagi percepatan pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi tersebut.

Problem yang dimiliki bangsa Indonesia itu antara lain adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan kesempatan tenaga kerja yang merata, sementara angka produktif penduduk Indonesia tidak berbanding lurus dengan besarnya jumlah peluang usaha dan investasi di Indonesia. Ditambah lagi banyaknya peluang dan kesempatan investasi tersebut tidak banyak didukung oleh kemampuan sumber daya manusia yang kualified. Akibatnya timbul kesenjangan antara kebutuhan

lapangan pekerjaan dengan kesempatan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada angkatan kerja, yang pada akhirnya menyebabkan timbul dan banyaknya pengangguran.

Departemen Tenaga Kerja mencatat pada 2008 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia 10.547.917 orang, sedangkan target pertumbuhan ekonomi yang


(13)

ditetapkan pemerintah adalah 6%. Jika diasumsikan setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 265.000 lapangan kerja baru, berarti dengan pertumbuhan ekonomi 6% negara ini hanya bisa menambah jumlah lapangan kerja untuk 1.590.000 orang saja. Ini berarti masih kekurangan 8.957.917 lapangan kerja.

Lebih mengkhawatirkan lagi, 50% dari total penganggur di negeri ini adalah sarjana. Padahal mereka inilah yang diharapkan menjadi agent of change yang bisa

membawa kemajuan bagi bangsa ini. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan karena hanya 6% sarjana kita yang berwirausaha, selebihnya (80%) memilih menjadi karyawan.1

Pola pikir yang diwujudkan dalam bentuk cita-cita menjadi pegawai sebenarnya sudah terjadi di berbagai belahan dunia sejak puluhan tahun yang lalu. Max Gunther, seorang penulis buku motivasi, pernah mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat tahun 70-an yang katanya hanya akan melahirkan lulusan “sanglarstik” yang artinya mereka mempunyai mental buruh, yaitu menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta.2 Mereka kurang mau dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Bahkan untuk kasus di Indonesia, hal itu masih terjadi sampai sekarang.

Masyarakat sulit untuk mau dan memulai wirausaha dengan alasan mereka tidak diajar dan dirangsang untuk berusaha sendiri. Hal ini juga didukung oleh lingkungan budaya masyarakat dan keluarga yang dari dulu selalu ingin anaknya menjadi orang gajian alias pegawai. Di sisi lain para orang tua kebanyakan tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk berusaha. Oleh karena itu, mereka cenderung mendorong anak-anak mereka mencari pekerjaan atau menjadi karyawan.

1

Koran Pikiran Rakyat (27/11/08). 2


(14)

Pandangan tentang lebih enak menjadi karyawan di negeri ini memang sudah lumrah, kalau tidak bisa dibilang salah kaprah.3 Rupanya cita-cita ini sudah berlangsung lama terutama di Indonesia dengan berbagai sebab. Jadi, tidak mengherankan jika setiap tahun jumlah orang menganggur semakin terus bertambah sementara itu lapangan kerja semakin sempit.

Selain itu, banyak pihak yang kurang yakin bahwa kewirausahaan dapat diajarkan melalui upaya-upaya pendidikan. Mereka yang berpendapat semacam ini bertitik tolak dari keyakinan bahwa kewirausahaan adalah suatu property budaya dan

sikap mental, oleh karena itu bersifat attitudinal dan behavioral. Seseorang menjadi

wirausaha karena dari asalnya sudah demikian. Dengan kata lain, ia menjadi wirausaha karena dibesarkan di lingkungan tertentu, memperoleh nilai-nilai budaya tertentu pula dari kalangan terdekatnya semenjak ia mampu menerima proses sosialisasi sebagai proses alamiah, khususnya dari orang tuanya. Jadi, pendidikan formal (sebagai suatu proses intervensi terencana dan terkendali yang kita kenal sehari-hari) untuk membentuk wirausaha, tidak mereka yakini. Mereka hanya yakin pada proses alamiah itu.4

Kini sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan dan mencari terobosan dengan menanamkan sedini mungkin nilai-nilai kewirausahaan, terutama bagi kalangan terdidik. Penanaman nilai-nilai kewirausahaan bagi banyak orang diharapkan bisa menimbulkan jiwa kreativitas untuk berbisnis atau berwirausaha sendiri dan tidak bergantung pada pencarian kerja yang semakin hari semakin sempit dan ketat persaingannya. Kreativitas ini sangat dibutuhkan bagi orang yang berjiwa

3 Sasmito, Semua Orang Bisa Jadi Pengusaha, (Jakarta: Hi-Fest Publishing, 2007), h.13. 4

Benedicta Prihatin Dwi Riyanti, Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian (Jakarta: PT Grasindo, 2003), h.x.


(15)

kewirausahaan untuk menciptakan sebuah peluang kerja, tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga bagi orang lain. Ini sesuai dengan keinginan Kantor Menteri Koperasi dan UKM untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Keinginan ini direspon positif oleh Ir. Aburizal Bakri bahwa membangun UKM sama dengan membangun ekonomi Indonesia. Katakanlah satu UKM mempekerjakan 5 orang, maka 20 juta UKM akan menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja. Hal ini tidak bisa dilakukan perusahaan besar.5

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam hal pendidikan kewirausahaan (enterpreneurship), Indonesia tertinggal jauh dengan Negara-negara lain. Bahkan di beberapa negara, pendidikan tersebut telah dilakukan puluhan tahun yang lalu. Sementara di Indonesia, pendidikan kewirausahaan baru dibicarakan pada era 80-an dan digalakkan pada era 90-an. Namun demikian, kita patut bersyukur karena hasilnya dewasa ini sudah mulai berdiri sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga yang memang berorientasi untuk menjadikan peserta didiknya sebagai calon pengusaha unggul setelah pendidikan.6

Salah satu lembaga yang concern terhadap kewirauasahaan adalah pondok

pesantren. Dibanding masa penjajahan, memang orientasi pesantren mengalami pergeseran yang cukup jelas. Jika di masa penjajahan misi pesantren adalah mendampingi perjuangan politik merebut kemerdekaan dan membebaskan masyarakat dari belenggu tindakan tiranik, maka pada masa pembangunan ini, hal itu telah digeser menuju orientasi ekonomi.7

5 Heflin Frinces, Kewirausahaan dan Inovasi Bisnis (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h.4 6

Kasmir, Kewirausahaan, h. 5.

7 Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2001), h.5.


(16)

Pondok pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan padanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban, yaitu: Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (Center of

Excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (Human

Resource). Ketiga, sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan

pemberdayaan pada masyarakat (Agent of Development).

Salah satu pondok pesantren yang mengembangkan sikap kemandirian dengan cukup menonjol, adalah Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung-Bogor. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator yang mengarah pada terciptanya kemandirian; misalnya dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren, ia berani tampil beda dengan cara konsisten membina akhlak dan kegiatan ekonomi di mana semua unit usaha yang ada di pesantren tersebut dijalankan oleh santri sendiri. Sehingga ia memiliki kekhasan tersendiri dan bersifat independen. Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor adalah salah satu Pondok Pesantren yang diindikasikan telah memiliki sistem pendidikan pesantren yang menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan (yang memadai, terstruktur dan tertata secara sistemik) baik dilihat dari substansinya maupun strateginya, perbedaannya dengan pesantren yang lain adalah di pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor sejak awal berdirinya sudah menerapkan kewirausahaan di mana seluruh kegiatan usaha dari proses awal produksi hingga menjadi barang jadi dikerjakan oleh santri. Berbeda dengan pesantren lain yang hanya memberdayakan santri senior saja atau memberdayakan santri tetapi hanya sebagai penjaga saja. Begitu juga dengan sektor usaha yang dijalankan di pondok pesantren ini, bergerak dalam berbagai sektor


(17)

seperti agrobisnis, produksi, dan jasa. Bahkan dengan kewirausahaan tersebut, membuat biaya pendidikan di pondok pesantren ini menjadi gratis.

Penulis menilai, program pemberdayaan pesantren ini cukup penting untuk diteliti, mengingat dampak positif yang bisa dihasilkan bagi pemberdayaan ekonomi umat di masa mendatang. Pemberdayaan tersebut bermakna sebagai upaya sadar yang dilakukan secara sistemik oleh Pesantren al-Ashriyyah dalam mengenalkan, memupuk, menumbuhkan, dan mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan, yang di dalam penelitian ini disebut dengan “pemberdayaan kewirausahaan” di dalam pondok pesantren. Oleh sebab itu saya merasa tertarik untuk mengangkat tema ini menjadi

sebuah skripsi dengan judul: “PEMBERDAYAAN KEWIRAUSAHAAN

TERHADAP SANTRI DI PONDOK PESANTREN (Studi Kasus: Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor)”,

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk memfokuskan penulisan dan memudahkan analisa maka permasalahan akan dibatasi pada permberdayaan kewirausahaan di pondok pesantren, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Peran pondok pesantren dalam pemberdayaan sumber daya manusia melalui kewirausahaan yang diberikan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.

b. Pola pemberdayaan kewirausahaan pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.


(18)

c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.

2. Perumusan Masalah

Untuk dapat memberikan suatu gambaran yang lebih jelas tentang masalah ini, maka berikut ini diajukan beberapa pertanyaan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana peran pondok pesantren dalam pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?

b. Seperti apa pola pemberdayaan kewirausahaan pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?

c. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis:

a. Peran pondok pesantren dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada santri Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.

b. Pola pemberdayaan kewirausahaan pada Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.

c. Faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.


(19)

2. Manfaat Hasil Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait, khususnya pada dunia pesantren. Selanjutnya, untuk memberikan sumbangsih dalam rangka pengembangan budaya kewirausahaan di kalangan santri dan umat Islam pada umumnya, yang pada akhimya mampu melahirkan para wirausahawan Muslim yang handal. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan Islam.

b. Manfaat Praktis

Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dengan format pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan yang ditemukan, dapat digunakan sebagai acuan dalam pembinaan nilai kewirausahaan, khususnya sikap kemandirian bagi para santri maupu masyarakat luas, terutama di pesantren-pesantren yang memiliki kesamaan karakter dengan pesantren yang sedang diteliti.

Dalam jangka panjang, implementasi format pembelajaran nilai kewirausahaan bagi kalangan santri ini dapat melahirkan pekarya-pekarya yang mandiri, baik sebagai para wirausahawan Muslim yang handal, maupun dalam dunia kerja dan profesi lainnya yang disemangati jiwa kemandiriannya, sehingga mampu meningkatkan citra pendidikan pesantren dan sekaligus mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.


(20)

Metodologi digunakan sebagai suatu cara utama yang dipergunakan untuk mendapatkan data primer metode penyusunan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dalam bentuk deskriftif analisis, Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.8 Penelitian ini merupakan data yang diambil dari lapangan dengan pendekatan survei, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.

Penelitian deskriptif hanya melakukan analisis sampai tahap deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan,9 yaitu menggambarkan (menjelaskan secara umum). Penelitian deskriftif ini juga ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang berifat alamiah maupun hasil rekayasa manusia.10 Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian dengan cara mengamati dan mengumpulkan data dan kemudian data yang diperoleh, disusun dan dikembangkan dan selanjutnya dikemukakan dengan seobjektif mungkin kemudian dianalisis. Guna mendapatkan data-data yang diperlukan, maka digunakan:

1. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terdiri dari: a. Subjek Penelitian

Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah orang yang dapat memberikan informasi adapun yang dijadikan sebagai sumber informasi

8

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda, 2006), h.4 9

Azwar Saifudin, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999), h. 6 10 Nana Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Rosda, 2005), h.72.


(21)

dalam penelitian ini adalah pengurus pondok pesantren, karyawan dan santri-santri pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.

b. Objek Penelitian

Sedangkan yang menjadi objek penelitian yaitu bagaimana proses pemberdayaan kewirausahaan dalam menumbuhkan jiwa entrepreneurship santri yang dilakukan oleh pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.

2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.

a. Wawancara

Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).11 Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara berstruktur, yaitu semua pertanyaan telah dirumuskan dengan cermat dengan bertanya secara langsung kepada responden (Pengurus Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Parung-Bogor) tehnik ini digunakan untuk mendapatkan keterangan dari para pengurus pondok pesantren mengenai hal-hal yang terkait dan berhubungan dengan pemberdayaan kewirausahaan di pondok pesantren.

11 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h.25.


(22)

Setelah data terkumpul, maka akan dilakukan analisa guna mendapatkan kesimpulan yang akurat bagi permasalahan ini, yaitu melalui reduksi atas data-data yang terkumpul, mensortir mana data yang relevan dan mana yang tidak. Selanjutnya dilakukan penyederhanaan dan pengolahan data terutama data yang bersifat kuantitatif untuk disajikan dalam bentuk deskripsi dan yang terakhir menarik kesimpulan dari keseluruhan penyajian tersebut. b. Observasi

Merupakan pengamatan dan pencatatan yang dilakukan secara sistematis dari fenomena yang diselidiki. Dalam hal ini penulis melakukan pengamatan terhadap proses pemberdayaan kewirausahaan yang dilakukan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.

c. Dokumentasi

Yaitu data primer yang digunakan dalam penelitian berupa dokumen atau data yang secara langsung oleh pihak pondok kemudian diolah. d. Kajian Pustaka

Yaitu sumber-sumber bacaan/ pustaka yang dapat mendukung teori-teori yang digunakan dalam penelitian. Data-data ini diperoleh dari : Majalah, surat kabar, buku-buku cetak, mailing list, (Website/Internet) yang berhubungan dengan pemberdayaan kewirausahaan dan untuk ayat-ayat Al-Qur’an langsung mengutip dari terjemahan DEPAG R.I.

e. Pengolahan Data

Dari data-data yang sudah penulis peroleh, maka penulis mempelajari berkas-berkas yang telah terkumpul kemudian penulis melakukannya dengan cara editing sampai semua itu dinyatakan baik.


(23)

3. Analisis Data

Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasikan data-data kemudian dianalisa sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Setelah itu disajikan dalam dalam laporan ilmiah.

Metode analisa yang digunakan adalah metode deskriftif kualitatif, yaitu penulis menganalisis data berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan studi dokumentasi.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada: Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Kerangka Konsep

Proses dan sekaligus kenyataan globalisasi tidak dapat dihindari. Ini sebuah keniscayaan, yang diakui oleh semua orang. Maka untuk menghadapinya diperlukan kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas,12 yaitu manusia-manusia unggul yang mempunyai kualifikasi untuk bersaing dengan sumber daya dari luar. Untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya pemberdayaan dan peningkatan kualitas diri yang tanpa henti.

Pemberdayaan dalam kamus umum bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai

upaya pendayagunaan, pemanfaatan yang sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang

memuaskan.13 Sedangkan dalam pengertian lain istilah pemberdayaan berarti upaya memperluas pilihan bagi masyarakat dengan upaya pendayagunaan potensi,

pemanfaatan yang sebaik-baiknya, dengan kata lain pemberdayaan adalah

12

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.vii.

13

Badudu dan Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001) h. 318.


(24)

memampukan dan memandirikan masyarakat.14 Pemberdayaan juga dapat berarti penyadaran tentang kelemahan atau potensi yang dimiliki sehingga menimbulkan dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri untuk keluar dari persoalan dan untuk memcahkan permasalahan serta mengembangkan diri.

Minimal ada tiga tahapan dalam pemberdayaan15. Pertama, Input yaitu menetapkan dan menganalisis kebutuhan-kebutuhan pemberdayaan melalui identifikasi kebutuhan dan penetapan sasaran, ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang dapat diukur dalam bentuk peningkatan dan perubahan yang lebih baik.

Kedua, proses pelaksanaan dari pemberdayaan yang direncanakan. Ketiga, Output

yaitu memantau, mengevaluasi dan menganalisis pemberdayaan.

Tabel 1.1 Tahapan pemberdayaan

Salah satu upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi umat serta membangun sebuah masyarakat yang mandiri adalah melahirkan sebanyak-banyaknya wirausahawan baru. Asumsinya sederhana, kewirausahaan pada dasarnya

14

Lili Badiri, Muhammad Zen, M.Hudri, Zakat & Wirausaha, (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005) h. 54.

15 Sumardi, Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung: Berkah Pustaka, 1984), h.23.

Input

Output Proses


(25)

adalah kemandirian, terutama kemandirian ekonomis; dan kemandirian adalah keberdayaan.16

Pesantren sejak pendiriannya telah memberikan perhatian yang utuh terhadap penyiapan generasi Indonesia yang tidak saja memahami ajaran agama dalam konteks sosial, tetapi juga mempersiapkan generasi dengan keterampilan dan kreatifitas yang tinggi. Doktrin pesantren tentang pentingnya jiwa kewirausahaan menjadi ajaran wajib bagi setiap pesantren. Hampir susah menemukan pesantren yang mengajarkan santrinya untuk mengejar posisi sebagai pegawai negeri sipil. Fakta ini memberikan kesimpulan bahwa hanya dengan bekal keterampilan dan kreatifitas yang tinggi, maka alumni pesantren bisa menjadi bahagian masyarakat.

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini sebelum penulis mengadakan penelitian lebih lanjut kemudian menyusunnya menjadi satu karya ilmiah, maka langkah awal yang penulis tempuh adalah mengkaji terlebih dahulu terhadap skripsi-skripsi terdahulu yang mempunyai judul hampir sama dengan yang akan penulis teliti. Maksud pengkajian ini adalah agar dapat diketahui bahwa apa yang penulis teliti sekarang tidak sama dengan penelitian dari skripsi-skripsi terdahulu.

Adapun setelah penulis mengadakan suatu kajian kepustakaan, penulis akhirnya menemukan beberapa tulisan yang menulis judul hampir sama dengan yang akan penulis teliti, judul-judul tersebut antara lain adalah karya milik pertama;

Muzaini Romli. Manajemen Sumber Daya Manusia pada Pondok Pesantren Jamiyah

16 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi (Bandung:.PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 1, h.47.


(26)

Islamiyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Jurusan Muamalat tahun 1429 H/2008 lebih

memaparkan tentang Manajemen SDM dalam sebuah pesantren bukan pemberdayaan melalui kewirausahaan.

Skripsi yang kedua; adalah milik Ahmad Suyuti, Pengembangan Model

Pendidikan Berbasis Kompetensi di Pondok Pesantren Universitas Airlangga tahun

2005 yang lebih memaparkan mengenai pemberdayaan SDM di bidang pendidikan formal bukan di bidang kewirausahaan dan berbagai bidang usaha pesantren. Juga dengan skripsi yang ketiga; karya Siti Irma Fatimah, Analisa Strategi Koperasi

Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Studi Kasus pada

Koperasi Pondok Pesantren Al-Ikhlas Subang Jawa Barat) Fakultas Syari'ah dan Hukum Jurusan Muamalat tahun 1427 H/2006 M ini juga hanya memaparkan koperasi saja tanpa menyebutkan jenis usaha lainnya.

Berbeda dengan ketiga skripsi dan tulisan diatas bahwa penelitian yang akan penulis lakukan pada pondok pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman adalah memberikan gambaran mengenai seperti apa pola dan strategi pemberdayaan kewirausahaan dalam menumbuhkan kemandirian santri dan pesantren.

Demikianlah perbedaan pokok pembahasan atau materi yang akan penulis teliti dengan skripsi-skripsi terdahulu.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penyusun membagi kepada beberapa bab yakni :


(27)

BAB I. Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan Teori Tentang Pemberdayaan Kewirausahaan.

Bagian ini akan membahas tentang landasan teori, yaitu terdiri dari, teori Pemberdayaan, Tahapan-tahapan Pemberdayaan dan kompleks pemberdayaan yang harus diperjuangkan. Teori Kewirausahaan, jiwa kewirausahaan dan kewirausahaan didalam Islam.

BAB III. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Ashriyyah. Pada bab ini menguraikan tentang sejarah berdirinya Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Parung Bogor, perkembangan, visi, misi dan tujuan Pondok Pesantren, dan struktur organisasi kepengurusan Pondok Pesantren. Semua poin-poin tersebut dikemukakan secara umum dan lebih difokuskan pada divisi departemen usaha Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman.

BAB IV. Pemberdayaan Kewirausahaan di Pondok Pesantren. Analisa Pemberdayaan kewirausahaan dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian di bawah koordinasi Pondok Pesantren Al-Ashriyyah. Pembahasan ini menguraikan mengenai tahapan pemberdayaan, yaitu identifikasi kebutuhan, penetapan sasaran, merancang program, pelaksanaan program dan evaluasi, serta faktor pendukung dan penghambat serta unsur-unsur pondok pesatren yang di berdayakan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor.


(28)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pemberdayaan Kewirausahaan 1. Pengertian Pemberdayaan

Pada dasarnya, agama Islam adalah agama pemberdayaan. Dalam pandangan Islam, pemberdayaan harus merupakan gerakan tanpa henti.17 Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan

atau keberdayaan).18 Pemberdayaan secara etimologi berasal dari kata daya yang berarti upaya, usaha, akal, kemampuan.19 Jadi, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.20

Pemberdayaan ini menyangkut beberapa segi yaitu Pertama,

penyadaran tentang peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi persoalan dan permasalahan yang ditimbulkan serta kesulitan hidup atau penderitaan.

Kedua, meningkatkan sumber daya yang telah ditemukan, pemberdayaan

memerlukan upaya advokasi kebijakan ekonomi politik yang pada pokoknya bertujuan untuk membuka akses golongan bawah, lemah, dan tertindas tersebut

17 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), Cet. 1, h.41.

18 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005), Cet. 1, h. 57.

19 Badadu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), h. 317.


(29)

terhadap sumber daya yang dikuasai oleh golongan kuat atau terkungkung oleh peraturan peraturan pemerintah dan pranata sosial.21

Menurut Suharto, pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan, antara lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom). Bukan saja berarti bebas mengemukakan

pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan. Juga kemamppuan dalam menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, serta kemampuan dalam berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.22

Payne, mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment)

pada intinya ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Shadow, melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

21 M. Dawam Rahardjo, Islam Dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. 1, h. 355.


(30)

Prinsip ini pada intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi. Sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya.

Jadi berdasarkan pengertian di atas, pemberdayaan adalah penyadaran tentang kelemahan atau potensi yang dimiliki sehingga menimbulkan dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri untuk keluar dari persoalan dan untuk memecahkan permasalahan serta mengembangkan diri.

Tahapan-tahapan Pemberdayaan

Adapun upaya untuk pemberdayaan masyarakat terdiri dari tiga tahapan yaitu:

a. Menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat itu berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan.

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya dalam memanfaatkan peluang.23

Menurut Elly Irawan sebagaimana dikutip Lili Bariadi dan Muhammad Zen, pola-pola pemberdayaan ekonomi masyarakat mempunyai ciri-ciri atau unsur-unsur pokok sebagai berikut:

a. Mempunyai tujuan yang hendak dicapai

23

Gunawan Sumodiningrat, Pengembangan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2003), cet. 2. h. 16.


(31)

b. Mempunyai wadah yang terorganisir

c. Aktivitas yang dilakukan terencana, berlanjut, serta harus sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya setempat.

d. Ada tindakan bersama dan keterpaduan dari berbagai aspek yang terkait e. Ada perubahan sikap pada masyarakat sasaran selama tahap-tahap

pemberdayaan.24

Menurut Isbandi Rukminto Adi, upaya untuk memberdayakan masyarakat dapat dilakukan dengan cara, yaitu:

a. Menumbuhkan keinginan masyarakat untuk berwiraswasta, bergelut dalam aspek ekonomi, bertindak dengan merancang munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakat.

b. Memberikan informasi tentang pengalaman kelompok lain yang telah sukses dan sejahtera.

c. Membantu masyarakat untuk membuat analisis situasi usaha yang prospektif secara sistematik tentang hakekat dan penyebab dari masalah berbisnis

d. Menghubungkan masyarakat dengan sumber yang dapat dimanfaatkan.25 Sedangkan menurut Syamsudin RS, ada tiga kompleks pemberdayaan yang mendesak untuk diperjuangkan, yaitu:

1. Pemberdayaan pada mata ruhaniyah, dalam hal ini terjadi degradasi moral atau pergeseran nilai masyarakat Islam yang sangat mengguncang kesadaran

24 Lili Bariadi, Muhamad Zen, Zakat dan Wirausaha (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005), h.47

25

Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: UI Press, 2003), h.237-238.


(32)

Islam. Oleh karena itu, pemberdayaan jiwa dan akhlak harus lebih ditingkatkan.

2. Pemberdayaan intelektual, yang pada saat ini dapat disaksikan bahwa umat Islam Indonesia telah jauh tertinggal dalam kemajuan tekhnologi, untuk itu diperlukan berbagai upaya pemberdayaan intelektual sebagai perjuangan besar (jihad).

3. Pemberdayaan ekonomi, masalah kemiskinan menjadi kian identik dengan masyarakat Islam Indonesia. Pemecahannya adalah tanggung jawab masyarakat Islam sendiri. Seorang putra Islam dalam generasi Qurani awal terbaik, Sayyidina Ali mengatakan “sekiranya kefakiran itu berwujud

manusia, sungguh aku akan membunuhnya. Untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi seperti sekarang ini, disamping penguasaan terhadap life skill atau

keahlian hidup, keterampilan berwirausaha pun dibutuhkan juga dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan. 26

Tujuan pemberdayaan adalah mendirikan manusia atau membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah yang lebih baik secara berkesinambungan. Oleh karenanya, pemberdayaan atau pengembangan masyarakat adalah upaya untuk memperluas pilihan bagi masyarakat. Ini berarti masyarakat diberdayakan untuk melihat dan memilih sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Untuk itu setiap pemberdayaan diarahkan untuk peningkatan martabat manusia sehingga menjadikan masyarakat maju dalam berbagai aspek.

26 Syamsudin RS, Dasar-dasar Pengembangan Masyarakat Islam dalam Da’wah Islam, (Bandung: KP. HADID, 1999), h.2.


(33)

2. Pengertian Kewirausahaan

Wirausaha atau wiraswasta diartikan sebagai wira yang artinya

pahlawan, berbudi luhur; swa artinya sendiri sta artinya berdiri. Oleh karena itu

wiraswasta disimpulkan sebagai manusia teladan dalam berdiri sendiri (berdikari).27 Dalam buku The Portable MBA in Entrepreneurship, kewirausahaan didefinisikan sebagai: Entrepreneur is the person who perceives an opportunity

and creates an organization to pursue it.28 Pada definisi ini ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang, kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Pengertian wirausaha di sini menekankan pada setiap orang yang memulai sesuatu bisnis yang baru. Sedangkan proses kewirausahaan meliputi semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang dengan cara menciptakan suatu organisasi.

Dalam tradisi peristilahan di Indonesia, istilah wirausaha menurut Buchari Alma, pada dasarnya sama dengan istilah wiraswasta. Walaupun rumusannya berbeda-beda tetapi isi dan karakteristiknya sama, yaitu memiliki sifat perwira atau mulia dan mampu berdiri di atas kekuatan sendiri. Jadi, ia memiliki kemampuan untuk berdikari, otonom, berdaulat. Atau menurut Ki Hajar Dewantoro, merdeka lahir batin.

27 Sumarsono, Kontribusi Sikap Mental Berwiraswasta untuk Berprestasi, (Jakarta: C.V Era Swasta, 1984), h.1.

28 Anugrah Pekerti, Falsafah Kewirausahaan (Mitos, Teori dan Aksi Pengembangan Kewirausahaan), (Jakarta : Depdikbud Dikti, 1998), h.20.


(34)

Raymond W. Kao menyebut kewirausahaan sebagai suatu proses, yakni proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada (inovasi).29

Sedangkan menurut Peter F. Drucker sebagaimana dikutip oleh Kasmir, mengatakan bahwa kewirausahaan merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Artinya bahwa seorang wirausahawan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru berbeda dengan yang lain atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.30

Jadi, seorang wirausaha adalah seorang usahawan yang di samping mampu berusaha dalam bidang ekonomi umumnya dan niaga khususnya secara tepat guna (tepat dan berguna, efektif, dan efisien), juga berwatak merdeka lahir batin serta berbudi luhur.31

Selanjutnya, Alma juga memberikan penekanan pengertian tersebut berdasarkan ciri-ciri wirausahawan versi Suparman Sumahamijaya, bahwa :

Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki pribadi hebat, produktif, kreatif, melaksanakan kegiatan perencanaan, bermula dari ide sendiri, kemudian mengembangkan kegiatannya dengan menggunakan tenaga orang lain dan selalu berpegang kepada nilai-nilai disiplin dan kejujuran yang tinggi.32

Adapun menurut Winardi, karakteristik setiap wirausahawan paling tidak memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

a. Kebutuhan akan keberhasilan.

29 Rambat Lupiyoadi, Kewirausahaan : From Mindset to Strategy, (Jakarta : LPUI, 2005), h.27.

30 Kasmir, Kewirausahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Utama, 2006), h.17

31 Buchari Alma, Panduan Kuliah Kewirausahaan. (Bandung: CV Alvabeta, 2000), h.70.

32


(35)

b. Berani mengambil resiko. c. Keinginan kuat untuk berbisnis.

d. Seorang oportunis yang melihat kesempatan.33

Kewirausahaan berkembang dan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi ini dipicu oleh faktor pribadi, lingkungan dan sosiologi. Faktor individu yang memicu kewirausahaan adalah pencapaian Locus of control, toleransi,

pengambilan resiko, nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, usia, komitmen, dan ketidakpuasan. Adapun inovasi yang berasal dari lingkungan ialah peluang, model peran, aktifitas, pesaing, incubator, sumber daya, dan kebijakan pemerintah. Sedangkan faktor pemicu yang berasal dari lingkungan sosial meliputi keluarga, orang tua dan jaringan kelompok.

Seperti halnya pada saat perintisan kewirausahaan, maka pertumbuhan kewirausahaan sangat tergantung pada kemampuan organisasi dan lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan kewirausahaan adalah pesaing, pemasok, pelanggan, dan lembaga-lembaga keuangan yang membantu pendanaan. Sedangkan faktor yang berasal dari pribadi adalah komitmen, visi, kepemimpinan, dan kemampuan manajerial. Selanjutnya faktor yang berasal dari organisasi adalah kelompok, struktur, budaya, dan strategi.34

3. Jiwa dan Perilaku Kewirausahaan

Secara sederhana, arti wirausaha (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai

33

Winardi, Entrepreneur dan Entrepreneurship, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 27. 34 Suryana, Kewirausahaan, (Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, 2003) h.10


(36)

kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha tanpa takut dan rasa cemas, sekalipun dalam kondisi tidak pasti.35 Jiwa kewirausahaan juga berarti merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.36 Seorang wirausaha dalam pikirannya selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan peluang usaha yang dapat memberikan keuntungan. Resiko kerugian merupakan hal biasa karena mereka memegang prinsip bahwa faktor kerugian pasti ada. Tidak ada istilah rugi selama seseorang melakukan usaha dengan penuh keberanian dan penuh perhitungan. Inilah yang disebut dengan jiwa kewirausahaan.

Berkaitan dengan perilaku kewirausahaan (entrepreneur behavior),

Nanat Fatah Natsir mendefinisikannya sebagai kegiatan-kegiatan yang polanya dicirikan oleh unsur-unsur kewirausahaan.37 Menurut McClelland sebagaimana dikutip Dra. Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Syafei. perilaku atau karakteristik seorang wirausahawan adalah sebagai berikut:

Pertama, keinginan untuk berprestasi. Yang dimaksud dengan keinginan

untuk berprestasi adalah suatu keinginan atau dorongan dalam diri orang yang memotivasi perilaku ke arah pencapaian tujuan.

Kedua, keinginan untuk bertanggung jawab. Seorang wirausahawan

menginginkan tanggung jawab pribadi bagi pencapaian tujuan. Mereka memilih menggunakan sumber daya sendiri dengan cara bekerja sendiri untuk mencapai tujuan dan bertanggung jawab sendiri terhadap hasil yang dicapai.

35

Kasmir, Kewirausahaan, (Jakarta: Raja Grafindo Utama, 2006), h.17 36

Peter F. Drucker, Inovasi dan Kewiraswastaan: Praktek & Dasar-Dasar,

(Jakarta:Erlangga, 1985) h.33. 37

Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausaha Muslim, (Bandung: Sunan Gunung Djati Press, 1999), h.34


(37)

Ketiga, preferensi kepada resiko-resiko menengah. Seorang

wirausahawan bukanlah penjudi (gambler). Mereka menetapkan tujuan-tujuan

yang membutuhkan tingkat kinerja tinggi, suatu tingkatan yang menuntut usaha keras, tapi dipercaya mereka bisa penuhi.

Keempat, persepsi pada kemungkinan berhasil. Keyakinan kepada

kemampuan untuk mencapai keberhasilan adalah kualitas kepribadian seorang wirausahawan. Seorang wirausahawan akan mempelajari fakta-fakta yang dikumpulkan dan menilainya. Ketika fakta tidak sepenuhnya tersedia, mereka berpaling pada sikap percaya diri mereka yang tinggi dan melanjutkan tugas tersebut.

Kelima, rangsangan oleh umpan balik. Seorang wirausahawan

dirangsang untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi dengan mempelajari seberapa efektif usaha mereka.

Keenam, aktifitas enerjik. Seorang wirausaha akan menunjukan energi

yang jauh lebih tinggi dari rata-rata orang. Kesadaran ini akan melahirkan sikap untuk terlibat secara mendalam pada pekerjaan yang mereka lakukan.

Ketujuh, orientasi masa depan. Seorang wirausahawan akan melakukan

perencanaan dan berpikir ke depan. Mereka mencari dan mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi jauh di masa depan.

Kedelapan, keterampilan dalam berorganisasi. Seorang wirausahawan

menunjukan keterampilan (skill) dalam mengorganisasi kerja dan orang-orang


(38)

Kesembilan, sikap terhadap uang. Keuntungan finansial adalah nomor

dua dibanding prestasi kerja mereka. Seorang wirausahawan memandang uang sebagai lambang konkret dari tercapainya tujuan dan sebagai pembuktian dari kompetensi mereka. 38

Dari berbagai penjelasan diatas dapat diambil inti dari pemberdayaan kewirausahaan, yaitu proses memampukan dan memandirikan daya dan kekuatan (kompetensi dan kapasitas) yang ada guna membangun serta menentukan tindakan berdasarkan keinginan mereka secara mandiri dengan mengubah pola pikir agar menjadi berani dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada dirinya.

4. Islam dan Kewirausahaan

Salah satu upaya untuk memberdayakan potensi ekonomi umat serta membangun sebuah masyarakat yang mandiri adalah melahirkan sebanyak-banyaknya wirausahawan baru. Asumsinya sederhana, kewirausahaan pada dasarnya adalah kemandirian, terutama kemandirian ekonomis; dan kemandirian adalah keberdayaan.39

Semangat islam akan kemandirian banyak dijumpai dalam ayat al-Quran maupun Hadis Nabi. Salah satunya dapat dijumpai dalam ayat:

!" #$% &

' ()*+

,-. / .0#

1

23 456+ 7

89:;+

< => 

@AB CD E0#

F

“Apakah engkau tahu siapakah pendusta agama? Mereka adalah yang menelantarkan anak yatim dan tidak perduli terhadap para fakir miskin.40

38

Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.

39 Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.

40


(39)

Mafhum mukallaf dari ayat di atas adalah “orang kaya yang tidak

menyantuni yatim dan fakir miskin ekuivalen dengan orang miskin yang tidak berjuang terus-menerus untuk meraih kemandirian ekonomis”. Kewajiban kaum berpunya untuk membayar zakat, anjuran untuk bersedekah, wakaf dan kewajiban untuk memberdayakan orang-orang yang tidak berdaya secara ekonomis merupakan petunjuk Islam paling jelas terhadap etos kewirausahaan (entrepreneurship).41

Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia, paling sempurna, dan karena itulah manusia diberi tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini. Selain itu, dalam al-Quran dinyatakan bahwa umat Islam adalah “khaira

ummah” atau sebaik-baiknya umat di antara manusia. Khaira ummah dapat

terwujud jika umat Islam berilmu, berharta, dan sehat jasmani rohani, sehingga dapat berguna dan memberi manfaat bagi orang lain yang masih dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Dengan berwirausaha maka makin banyak kekayaannya, makin banyak pula orang yang menimati kekayaannya. Makin banyak pekerjaannya, berarti makin banyak pula anggota keluarga yang ditolongnya. Hidupnya menjadi bermanfaat bagi orang lain.42

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

!

"

43

41

Nanih Machendrawati, Agus Ahmad Syafe’í, Pengembangan Masyarakat Islam: dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, h.47.

42 Sudrajat Rasyid, Kewirausahaan Santri: Bimbingan Santri Mandiri,(Jakarta: PT. Citrayudha, 2006), h.32

43

Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti, Jaami’ Al Hadits: Al Jaami’ As Shagir Wal Jawahid Wa Al Jaami’ Al Kabir, (Beirut: Daar al Fikri, 1994), Juz IV, h.303.


(40)

“Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang lebih banyak memberi manfaat bagi manusia lainnya”

Nabi Muhammad saw. ketika mudanya juga seorang pedagang, bahkan terkenal sebagai pedagang yang jujur dan amanah. Nabi Muhammad juga menganjurkan umatnya agar menjadi pengusaha atau pedagang, bukan menjadi pekerja. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:

# $

% & '

()

*(

+

+& +'

, ی

. & /0

"

1$

(

2

3

4

5

!

44

“Pedagang yang jujur lagi terpercaya, bersama para Nabi, bersama orang-orang yang benar dan para syuhada” (HR Tirmidzi dan Hakim)

Reputasi Nabi dalam dunia bisnis dikenal sebagai orang yang sukses. Rahasia keberhasilan Rasul adalah jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan.45 Nabi Muhammad percaya kalau ia setia jujur dan profesional, maka orang akan mempercayainya. Inilah dasar dan etika wirausaha yang diletakkan oleh Rasulullah kepada umatnya dan umat manusia seantero jagat.

Dasar-dasar kewirausahaan yang demikian itulah yang menyebabkan pengaruh Islam berkembang pesat sampai ke pelosok dunia. Maka, jika kaum Muslimin Indonesia ingin melakukan bisnis yang maju, maka etika, moral, dan jiwa kewirausahaan yang dicontohkan oleh Rasul tersebut dipegang dan sungguh tepat untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan hidup di dunia ini.46

44

Ibid, h.155

45 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h.26

46 Lili Badiri, Muhammad Zen, M.Hudri, Zakat & Wirausaha, (Jakarta: CV. Pustaka Amri, 2005) h. 43.


(41)

Kemandirian dan kecukupan dalam bidang ekonomi memiliki makna yang penting bagi setiap Muslim47 karena:

a. Dengan kekuatan ekonomi yang baik seorang Muslim akan dapat memelihara imannya sendiri dan keluarganya dengan lebih baik.

b. Dengan kekuatan ekonomi yang baik, seorang Muslim akan lebih dapat menjalankan aktivitas ibadah dan menjalankan syariat dengan tenang, khusyu, dan merasa memiliki harga diri didalam komunitasnya.

c. Kekuatan ekonomi sangat diperlukan sangat dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan berbagai ibadah dan kiprah di jalan Allah.

d. Kemampuan ekonomi diperlukan untuk pengembangan peradaban secara keseluruhan, seperti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan kesenian serta memajukan masyarakat secara keseluruhan. e. Kemampuan ekonomi sangat diperlukan untuk regenerasi umat agar umat ini

tumbuh lebih tangguh di masa depan.

f. Pada level organisasi kemasyarakatan yang lebih besar, misalnya sebuah negara, kekuatan dan kemandirian dalam bidang ekonomi menjadi syarat mutlak agar warga atau bangsa yang menghuni negara itu dapat menikmati kesejahteraan hidup, menjadi terhormat di hadapan bangsa lain.

Jadi, berusaha di lapangan perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, mencari bekal dalam beribadah, dan membantu kegiatan pembangunan umat adalah bagian yang tak terpisahkan dalam jalan hidup seorang Muslim.

47 Miftahul Huda, Aspek Ekonomi dalam Syariat Islam, (Mataram: LKBH, 2007), h.14.


(42)

B. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Menurut Manfred Ziemek, istilah pondok pesantren dimaksudkan

sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Kata pondok pesantren berarti kamar, gubuk, ruang kecil, di dalam bahasa indonesia dipakai untuk menekan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga pondok berasal dari bahasa Arab yaitu funduk yang artinya ruang tidur, wisma, hotel sederhana

bagi para pelajar yang dari tempat asalnya.48

Pesantren dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti asrama, tempat

santri atau murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.49

Mastuhu mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari.50

Menurut Didin Hafidhuddin, pondok pesantren adalah salah satu lembaga di antara lembaga-lembaga iqamatuddîn lainnya yang memiliki dua

fungsi utama, yaitu fungsi kegiatan tafaqquh fi al-dîn (pengajaran, pemahaman,

dan pendalaman ajaran agama Islam), serta fungsi indzhar (menyampaikan dan

mendakwahkan ajaran kepada masyarakat).51

48

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), h.98. 49

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

(Jakarta,1986), h.177.

50 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS, 1994), h.6. 51 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet.I, h.120.


(43)

Sepanjang sejarah perjalanan umat Islam di Indonesia, ternyata kedua fungsi utama tersebut telah dilaksanakan oleh pondok pesantren (pada umumnya). Walaupun dengan berbagai kekurangan yang ada. Dari pondok pesantren lahir para juru dakwah, para mualim dan ustadz, para kiayi, tokoh-tokoh masyarakat, bahkan yang memiliki profesi sebagai pedagang, pengusaha, ataupun bidang-bidang yang lainnya.

Hal ini tidak lain karena di dalam kegiatan pondok pesantren, terdapat nilai-nilai yang sangat baik bagi berhasilnya suatu kegiatan pendidikan. Sehingga, bisa dinyatakan sesungguhnya pendidikan pondok pesantren terletak pada sisi nilai tersebut, yaitu proses pendidikan yang mengarahkan pada pembentukan kekuatan jiwa, mental, maupun rohaniah.

Dari definisi di atas, penulis mencoba mendefinisikan pondok pesantren. Yakni pondok pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan agama Islam, di mana para santri dan kyai tinggal bersama dalam satu lingkungan asrama (komplek). Para santri yang belajar di pondok pesantren tidak hanya dituntut menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kyai atau ustadz, namun sekaligus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah pondok pesantren berasal dari dua kata, yaitu pondok dan

pesantren. Pondok adalah tempat mondok, sedangkan pesantren berasal dari kata

santri. Jadi pondok pesantren adalah tempat mencari ilmu yang anak didiknya

diasramakan.


(44)

Pondok pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, juga berfungsi sebagai pusat penyiaran agama Islam yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi, sebagaimana telah diperankan pada masa lalu dalam menentang kolonialisme.

Fungsi lainnya yaitu sebagai instrumen untuk tetap melestarikan ajaran-ajaran Islam di bumi Nusantara, karena pondok pesantren mempunyai pengaruh yang kuat dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik, keagamaan, dan sebagainya.52

Pesantren juga terkenal mampu memainkan peranan dalam pembangunan. Menurut Afan Gaffar sebagaimana dikutip Syuthon Mahmud dan Khusnurdilo, terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh pesantren, yaitu:

a. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots” yang

sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. b. Meningkatkan politik secara meluas, melalui jaringan, kerjasama, baik dalam

suatu negara maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya.

c. Ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.53 Jadi menurut penulis, fungsi pondok pesantren yaitu agar terciptanya manusia yang bertakwa, mempunyai mental membangun, dan memiliki keterampilan, serta berilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman.

52 Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, h. 120.

53 Sulthon Masyhud, Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005) h.13.


(45)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG

PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN

A. Sejarah Singkat dan Perkembangan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah

Pondok Pesantren Al-Ashriyah Nurul Iman didirikan setelah melihat dampak kirisis moneter tahun 1998. Pada awal terjadinya krisis moneter, banyak sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Terjadinya kasus Semanggi pada tanggal 12 Mei 1998 menyebabkan jatuh dan terpuruknya perekonomian bangsa Indonesia. Di saat itu Al Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim yang masih bertempat tinggal di kawasan perumahan Bintaro Jaya, merasa prihatin dan sedih dengan hal tersebut. Krisis moneter itu membuat semakin banyak para remaja yang putus sekolah serta tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta terjadinya krisis moral di mana-mana. Hal itu menjadikan beliau bersikeras mendirikan suatu lembaga pendidikan gratis demi meringankan beban bagi mereka yang tidak mampu, umumnya bangsa Indonesia. Sehingga dengan tekad dan kemauan beliau yang mulia tersebut, beliau rela meninggalkan keglamouran kota metropolitan dan mengambil keputusan untuk menetap di desa. Beliau akhirnya pindah ke Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Jawa Barat Desa yang penduduknya di bawah garis kemiskinan di mana mayoritas penghasilan mereka hanya mengandalkan penjualan daun melinjo serta ikan air tawar. Kemudian, mulailah beliau membangun sebuah pondok pesantren dengan disaksikan para undangan dari Pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, para


(46)

Pejabat Tinggi Negara Republik Indonesia serta Duta Besar Negara-negara Arab, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia, maka peletakkan batu pertama pendirian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 1998 di atas lahan 17 (tujuh belas) hektar. Diawali dengan peresmian peletakkan batu pertama tersebut, maka dalam operasionalnya, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman mendapatkan rekomendasi dari Kepala Desa Waru Jaya dan Camat Kecamatan Parung Kabupaten Bogor tertanggal 10 Maret 1999, serta telah didaftarkan pada kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor sejak tanggal 12 Maret 1999 dengan nomor: MI-10/1/PP/007/825/1999 dengan akte pendirian tanggal 25 Maret 1999 No. 7 di hadapan Notaris Lasmiati Sadikin, SH.

Pada mulanya para santri menetap di asrama belakang rumah beliau, namun karena makin banyaknya santri yang berminat maka dibangunkan sebuah kobong (bangunan dari bambu) yang berukuran 4 X 5 meter di areal tanah yang awalnya sebuah hutan semak belukar dan rumput ilalang. Hari ke hari semakin banyak santri yang berminat hingga kobong tersebut tidak lagi mencukupi untuk ditempati. Mulailah beliau membangun gedung asrama di samping kobong tersebut, mulai dari pembangunan gedung H. Isya dengan luas 15x12 M2 pada tahun 2000. Asrama memberikan pandangan baru terhadap tempat tinggal para santri yang mayoritas sangat sederhana. Adanya bangunan baru tersebut menambahan semangat belajar mereka. Namun, perkembangan tak putus begitu saja, dari tahun ke tahun prioritas perkembangan jumlah para santri begitu drastis hingga memunculkan asrama-asrama baru yang menjadi obyek penampungan para santri. Seperti asrama


(47)

Gandhi Seva Loka dengan luas 15x12 M2, lalu disusul dengan dibangunnya asrama Jadid dengan luas 15x12 M2.

Pada dasarnya, sebagai pengemban tugas para santri di tuntut untuk memproyektifitikan keseharian mereka antara pengembangan ilmu akhirat sebagai program utama pada bidang pendidikan pondok pesantren dan pendalaman IPTEK sebagai pendamping proyek mereka di dunia. Atas dasar itu, maka dibangun kembali satu tempat ibadah untuk para santri dengan luas 32.5x9.50 M2, di depan pintu gerbang Pondok. Mulai dari sinilah perkembangan demi perkembangan terlihat. Terbukti dari munculnya asrama-asrama baru di lingkungan perkomplekan Pondok Pesantren yang menjadi pemandangan baru di wilayah perkomplekan putra dan putri, yaitu asrama Hanif (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama H. Kosim (perkomplekan putra) dengan luas 12x6 M2, asrama Olga Fatma (perkomplekan putra) dengan luas 20x12 M2, asrama Anwariyyah (perkomplekan putra) dengan luas 56x12 M2, tiga lokal asrama (perkomplekan putri), asrama dengan tiga belas kamar (perkomplekan putri), gedung belajar tingkat dua (perkomplekan putri) dan dua tempat ibadah (Masjid) di area perkomplekan putra dengan luas 36x36 M2 dan putri dengan luas 30x30 M2.

Dari waktu ke waktu mulailah tersebar nama Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dengan seluruh pembiayaan pendidikan, pengobatan, makan, dan minum serta sarana dan pra-sarana ditanggung oleh pihak yayasan (gratis), maka para santri yang berminat belajar di Pondok Pesantren ini pun semakin banyak berdatangan. Tidak hanya dari daerah Desa Waru Jaya, melainkan hingga


(48)

daerah-daerah jauh di dataran bumi Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri.

Nama Al-Ashriyyah Nurul Iman sendiri dinukil dari bahasa Arab,

Al-Ashriyyah bermakna modern, yang tujuannya menjadi pusat pembinaan pendidikan

agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern. Nurul Iman berawal dari

kosa kata bahasa Arab, Nûr yang bermakna cahaya, dan Al-Imân bermakna

keimanan. Dengan nama tersebut, Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman

diharapkan mampu menciptakan ulama-ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan yang tinggi. Kini walaupun semakin bertambahnya jumlah santri, tetapi Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman tetap senantiasa menjadi lembaga pendidikan yang seluruh biaya pendidikannya, makan dan minumnya, pengobatannya serta sarana dan pra-sarana lainnya ditanggung oleh Yayasan. Dengan kata lain gratis untuk seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi mereka dari golongan yang tidak mampu, fakir, miskin, anak yatim serta anak-anak terlantar.

B. ProgramPengembangan

Seperti layaknya lembaga pendidikan lainnya, Pesantren ini juga memiliki program pengembangan untuk masa datang. Baik dalam bidang pendidikan maupun dalam pengembangan bangunan di lingkungan Pondok Pesantren. Untuk pendidikan, pesantren ini memiliki program untuk mewujudkan SDM yang berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai IPTEK yang menjadi tumpangan hidup di dunia. Oleh sebab itu diadakanlah kursus-kursus di luar pendidikan formal dalam


(49)

pembelajaran keseharian para santri. Kursus-kursus tersebut antara lain adalah kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi pupuk organik, peternakan ikan, dan lain-lain. Para santri pun dituntut untuk mampu menguasai minimal tiga bahasa asing yaitu bahasa Arab, Inggris dan Mandarin untuk bekal panduan pelepasan mereka kelak. Modal awal seperti inilah yang terektur pada diri mereka agar mampu memproyeksikan ilmu dunia dan ilmu akhirat, serta mampu mengaktualisasikannya dalam masyarakat dengan menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai IPTEK, mempunyai daya juang tinggi, kreatif, inofatif, dan tetap berada dalam landasan iman dan takwa yang kuat. Karena itu Pesantren berusaha mengembangkan kreatifitas serta meningkatkan pengetahuan dan profesional tenaga kependidikan sesuai perkembangan dunia pendidikan. Hal ini yang kemudian menjadikan Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman sebagai pondok percontohan di seluruh Indonesia dalam pengembangan pengajaran IPTEK dan IMTAK bagi lembaga pendidikan lainnya.

Adapun untuk program pengembangan pembangunan, Pesantren ini memiliki program penambahan asrama untuk tempat tinggal para santri. Hal itu diperlukan karena para santri, baik putra maupun putri, masih ada yang tidur di masjid dan tempat-tempat yang terbuka mengingat belum cukupnya asrama-asrama yang ada. Selain itu, karena lembaga pendidikan pimpinan Al Syekh Habib Saggaf bin Mahdi ini berorientasi pada pendidikan padat karya, yakni mendidik para santri untuk belajar cara membuat roti, tahu, tempe, air mineral, tata cara jahit-menjahit, dan


(50)

lain-lain, maka sangat dibutuhkan sarana-sarana yang memudahkan terlaksananya pendidikan tersebut.54

C. Visi dan Misi

Pondok pesantren adalah tempat untuk menggembleng generasi muda agar menguasai ilmu agama dan salah satunya mempunyai kecerdasan, baik kecerdasan intelegensi, emosional, dan spiritual. Setiap santri yang dididik minimal mampu mengamalkan ilmu untuk dirinya, keluarganya, dan lebih luasnya kepada masyarakat.

Adapun visi dan misi didirikannya Pondok Pesantren Al-Ashriyah Nurul Iman, adalah:

1. Visi : Terwujudnya santri yang kreatif, bermotivasi, berakhlak, disiplin, terampil, dinamis serta dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih

tinggi.

2. Misi : Menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.

Membangun semangat yang disiplin, terampil, serta mandiri. Menyiapkan siswa agar mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.

D. Struktur Organisasi

Struktur adalah cara sesuatu atau orang-orang dalam suatu organisasi disusun atau dibangun. Sedangkan organisasi dapat diartikan sebagai susunan aturan dari berbagai bagian, sehingga merupakan kesatuan yang teratur dan tersusun. Maka struktur organisasi adalah kerangka, susunan-susunan yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan usaha pengelolaan dalam membagi dan mengelompokan pekerjaan


(51)

yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja di antara satuan-satuan organisasi dan penugasannya.

Untuk melaksanakan tugas dan program yang telah dirumuskan, maka dibentuk susunan kepengurusan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman sebagai berikut:

Tabel 3.1 Struktur Organisasi

Penashat : As Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syaikh Abu Bakar bin Salim Ketua : Habib Abdullah Al Jufri

Wakil : Muhammad Rofi’i

Sekertaris : Husni Thamrin; A. Faidlur Rahman Bendahara : Murdiono; Muchlisin

E. Sarana dan Prasarana

Adapun sarana dan prasarana Pondok Pesantren Al-Ashriyyah yang ada sampai dengan saat ini antara lain:

KETUA WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA PENASEHAT


(52)

1. Lab Komputer “laki-laki & perempuan” 2. Lapangan Basket “laki-laki & perempuan” 3. Lapangan Futsal

4. Masjid “laki-laki & perempuan terpisah” 5. Asrama Putra & Putri

6. YAPANI Entertainment 7. Percetakan

8. Gedung Tae kwon Do

9. Ruang Praktek Tata Boga “Pabrik Roti” 10.Ruang Praktek Pembuatan Tahu & Tempe

11.Ruang Praktek Pembuatan Air Minum kemasan Hexagonal “Ointika” 12.Ruang Praktek Pembuatan Pupuk Kompos

13.Ruang Praktek Agribisnis (pertanian, perkebunan, perikanan, penggemukan sapi) 14.Dapur Umum

PRESTASI 1. Akademik

a. Juara I MQK Musabaqah Qira’atul Kutub) Tingkat Nasional Bidang Hadits b. Juara I Lomba Karya Tulis Tingkat Nasional Antar SLTA

c. Juara II MQL (Musabaqah Qira’atul Kutub) Tingkat Provinsi Bidang Fiqih d. Juara II Saritilawah Tingkat Nasional Antar SLTA

e. Juara III MQK (Musbaqah Qira’atul Kutub) Tingkat Nasional Bidang Fiqih f. Juara III Lomba Pidato Tiga Bahasa Tingkat Nasional Antar SLTA


(53)

a. Juara I Lomba Qasidah Tingkat Kabupaten Bogor

b. Juara I Lomba Hadlrah/ Terbangan Tingkat Kabupaten Bogor c. Juara II Lomba Marawis Tingkat Kabupaten Bogor

F. Sumber Dana

Menggalang dana adalah sebuah proses. Menggalang dana bukan mengenai meminta uang tetapi lebih mengenai menjual ide bahwa donor dapat mewujudkan perubahan masyarakat. Bila orang telah menerima ide itu, maka mereka akan mau menyumbang sehingga bisa menghimpun beberapa dana dari donatur yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan operasional.

Adapun sumber dana pondok pesantren Al-Ashriyyah ini adalah berasal dari donatur tetap, unit usaha yang dijalankan oleh pondok pesantren dan bisnis habib sendiri. Namun jika masih terdapat kekurangan maka itu semua datangnya dari Allah, atau istilahnya “min haitsu la yahtasib”55

Strategi penggalangan dana yang dilakukan dengan oleh Pondok Pesantren Al-Ashriyyah diantaranya:

1. Mengembangkan unit-unit usaha yang ada di pondok pesantren 2. Memperluas Jaringan komunikasi

a. Adanya kerjasama baik dari lembaga sosial maupun pemerintah b. Direct Mail dan Pendekatan Pribadi

55

Ust Subaiki, Staf Bendahara Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Wawancara Pribadi, 11 Maret 2009, di Kantor Tata Usaha Pondok Pesantren.


(54)

c. Melalui Media cetak dan elektronik d. Pandai Bergaul

3. Bisnis Habib Sendiri

Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman juga menerima dana yang berasal dari luar Negeri dimana penggunaannya itu di tujukan untuk pembangunan pondok pesantren.

Tabel 3.2

Nama Donatur dan Kegunaan Sumbangan

No. Nama Donatur Kegunaan Sumbangan

1. H. Isya Jakarta Pondok “Asrama Putra” H. Isya

2. Gandhi International School

Jakarta Pondok “Asrama Putra” Gandhi

3. Habib Umar Al-Jufri Kalimantan Pondok “Asrama Putra” Habib Umar

4. H. Qosim Singapura Pondok “Asrama Putra” H. Qosim

5. Ibu Olga Fatma Gobel Jakarta Pondok “Asrama Putra” Olga Fatma

6. Jamsostek Gedung Perpustakaan

7. H. Isya Jakarta Masjid Toha “Putra”

8. H. Qosim Singapura Masjid Siti Fatimah “Putri”

9. Yayasan Budha Tzu-Chi

Indonesia

Bangunan Sekolah & Lapangan Basket

Sumber: Arsip Bendahara Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman

G. Sektor Usaha di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman

Dasar pemikiran adanya pemberdayaan kewirausahaan di Pondok ini adalah agar para santri selain memiliki pengetahuan agama, juga agar memiliki skill


(55)

setelah keluar nanti. Mengingat saat ini persaingan semakin ketat, untuk itu para santri dituntut agar bisa menciptakan lapangan kerja, minimal untuk dirinya sendiri sehingga dengan keahlian berwirausaha nantinya santri dapat mandiri di tengah-tengah masyarakat.

Adanya sektor usaha bermula ketika banyaknya sampah yang berserakan di Pondok Pesantren. Karena mengurangi keindahan Pesantren, akhirnya sampah tersebut diberdayakan, dengan cara dijual ke pengumpul dan dibuat juga pupuk kompos berkualitas ekspor. Bermula dari keuntungan sampah inilah berdirinya pabrik-pabrik dan sektor usaha Pondok Pesantren lainnya.

Berikut sektor usaha yang sudah ada di Pondok Pesantren:

1. Bidang Agribisnis

Di antara karunia Allah yang dilimpahkan kepada bangsa Indonesia adalah air yang melimpah, tanah yang subur, beragam tumbuhan dan binatang tersedia untuk diambil manfaatnya. Kondisi iklim di Indonesia yang tropis pun sangat mendukung untuk melakukan usaha agribisnis.

Agribisnis merupakan salah satu bidang usaha meliputi pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan yang berorientasi pada hasil budidaya dan perdagangan hasil-hasil panennya. Jadi, tidak hanya sekedar dikonsumsi sendiri, tetapi juga diarahkan pada meningkatnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan Pondok. Dengan luas lahan sekitar 135 hektar, bidang agribisnis menjadi bidang andalan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman. Bidang ini mencakup kepada beberapa kelompok usaha, yakni:


(56)

a. Pertanian dan Budidaya Tanaman

Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman menjadikan kegiatan pertanian dan budidaya tanaman untuk menjadi suatu bidang keahlian bagi para santri. Di bawah bimbingan para ahli, kegiatan pertanian dan budidaya tanaman pantas kiranya untuk diacungi jempol.

Di bawah ini adalah bagan hasil pertanian yang diperoleh oleh santri Al-Ashriyyah Nurul Iman:

Tabel 3.2 Hasil Pertanian

No. Luas Hasil Pertanian Berat

1 ± 1 Hektar Kangkung 2,8 ton

2 ± 1 Hektar Kacang Tanah 2,4 ton

3 ± 0,5 Hektar Jagung 1,8 kwintal

4 ± 1 Hektar Kacang Panjang 1,5 ton

5 ± 1 Hektar Terong 4,8 ton

6 ± 100 Hektar Padi 50 ton

Sumber : Wawancara pribadi dengan Ust.Fuad Al Anshori

Pertanian itu telah dihasilkan rata-rata dalam setiap panen. Sebagai salah satu kehormatan dan kebanggaan bagi Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dalam hal pertanian ini, adalah dengan berkunjungnya “Taiwan Technical Mission” yang merupakan sekelompok tenaga ahli dalam bidang pertanian dan peternakan dari negara Taiwan, untuk melihat langsung kegiatan tersebut, sekaligus memberikan pengarahan bagi para santri. Santri


(57)

yang hari-harinya belajar, dapat menyempatkan waktu untuk mengolah lahan pertanian dan menuai kesuksesan.

b. Perkebunan

Sektor agribisnis yang kedua adalah perkebunan, di atas lahan seluas kurang lebih dua hektar. Ada tiga kategori dalam sektor perkebunan ini yaitu perkebunan buah, bunga atau tanaman hias dan tanaman obat-obatan (herbal), serta perkebunan pohon jarak untuk pengembangan Biodiesel yang merupakan kerjasama dengan pemerintah setempat. Setelah berhasil dalam penanaman sayur mayur, kini Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman mengembangkan budidaya penanaman buah pepaya. Buah yang banyak mengandung vitamin A ini sengaja dijadikan pilihan karena di samping proses penanaman serta perawatannya yang tidak terlalu sulit, permintaan pasar terhadap buah pepaya ini cukup bagus. Buah-buahan merupakan salah satu unsur makanan yang selalu dibutuhkan orang, hampir setiap orang baik masyarakat kecil maupun masyarakat elit, selalu memerlukan buah untuk pelengkap makanan pokok.

Demikian juga dengan bunga dan tanaman hias, bila dikembangkan tentu akan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit mengingat sekarang banyak orang yang ingin mempercantik tempat tinggalnya dengan tanaman hias. Akhir-akhir ini banyak bermunculan kios-kios penjual rangkaian bunga dan banyak pula penjual tanaman di tepi jalan, sudah tentu mereka memerlukan orang yang sanggup mensuplai tanaman secara rutin. Ini merupakan suatu peluang bisnis yang menjanjikan.


(1)

Sumardi, Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Berkah Pustaka, 1984.

Sumodiningrat, Gunawan, Pengembangan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara, 2003.

Suryana, Kewirausahaan, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, 2003.

Syamsudin R.S., Dasar-dasar Pengembangan Masyarakat Islam dalam Da’wah Islam, Bandung: KP. HADID, 1999.

Sumarsono, Kontribusi Sikap Mental Berwiraswasta untuk Berprestasi, Jakarta: C.V Era Swasta, 1984.

Winardi, Entrepreneur dan Entrepreneurship, Jakarta: Kencana, 2008. Ziemek, Manfred Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986.


(2)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana gambaran umum Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman yang meliputi:

- Sejarah Berdiri - Visi Misi

- Sarana dan Prasarana

2. Bagaimana pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman yang meliputi:

- Identifikasi kebutuhan - Penetapan sasaran

- Rancangan pemberdayaan - Pelaksanaan pemberdayaan

- Jenis unit usaha yang telah dilaksanakan 3. Apa saja faktor pendukung dan penghambatnya?


(3)

Tempat : Kantor Redaksi

Narasumber : Ustadz Fuad al-Anshori

T : Bagaimana gambaran umum atau profil Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?

J : Untuk hal itu silahkan lihat di brosur.

T : Bagaimanakah pemberdayaan kewirausahaan disini?

J : Kehadiran Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung-Bogor yang memadukan pendidikan agama Islam dengan pendidikan umum termasuk pendidikan keterampilan dengan berbagai jenis pelatihan kewirausahaan, telah ikut menjawab tantangan zaman termasuk dalam memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan. Pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman ini dilakukan dengan cara mendirikan dan mengembangkan berbagai macam unit usaha selain itu disini juga dilakukan pelatihan kepada setiap santri.

T : Bagaimana sistem pelatihan disini, dan yang pertama bagaimana mengidentifikasi kebutuhan pelatihan kewirausahaan?

J : Dalam mengidentifikasi pelatihan pertama dilihat dari bakat santri yang akan dilatih dan terlebih melihat kebutuhan pesantren yang perlu mengembangkan usaha dan menggali sumber dana.


(4)

J : Pelatihan dilaksanakan melalui seminar, workshop dll. dan kemudian dipraktekan langsung dilapangan. Adapun pelatihnya disesuaikan dengan bidangnya pada setiap pelatihan.

T : Bagaimana merancang program pelatihan, diantaranya bagaimana metode, media, dan materinya?

J : Untuk metodenya kami lebih menekankan kepada metode learning by doing sedangkan materi serta medianya disesuaikan dengan jenis pelatihan.

T : Bagaimana menetapkan sasaran peserta pelatihan di ponpes ini, apakah semua santri dilibatkan dalam pelatihan ini?

J : Dalam menetapkan sasaran pelatihan semua santri dilibatkan, namun pertama-tama di pilih dulu beberapa santri senior kemudian santri senior tersebut menularkan ilmunya kepada adik-adiknya dan begitu seterusnya.

T : Cara mengevaluasi pelatihan seperti apa?

J : Evaluasi dilakukan setiap setiap satu bulan sekali namun pada dua bulan sekali dilakukan rolling pada tempat yang lain sehingga terlihat kecondongan pada usaha mana mereka cocok dan berbakat.

T : Masalah keuangan bagaimana cara mengawasinya?

J : Santri lebih ditekankan kepada penanaman keimanan dengan mengedepankan kejujuran dan yang mengawasinya adalah waskat atau pengawasan malaikat. T : Dari santri yang ditempatkan di setiap unit usaha diberikan insentif/upah atau

tidak?

J : Semua santri yang di tempatkan di unit usaha tidak kami berikan upah, seluruh keuntungan diberikan untuk kemajuan pondok pesantren, tapi insentif


(5)

yang diberikan kepada santri berupa di gratiskannya semua biaya selama mondok disini.

T : Apa saja faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman?

J : Faktor pendukung adanya pemberdayaan kewirausahaan disini yaitu manajemen pengelolaan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman yang memberikan peran dominan kepada santri sehingga terjadi proses belajar kemandirian terhadap santri sekaligus manajemen kepemimpinan yang mampu mengelola setiap kegiatan yang ada.

Selanjutnya yaitu sistem disiplin yang ketat dalam siklus kegiatan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman ini. Semua kegiatan mulai bangun tidur, shalat, mandi, belajar di kelas baik untuk kegiatan intrakulikuler maupun kegiatan ekstrakulikuler.

Selain itu ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana terhadap kegiatan pemberdayaan kewirausahaan yang dilakukan meliputi : Lahan pertanian, perkebunan, empang/kolam ikan, dll. sangat membantu pemberdayan kewirausahaan di ponpes ini. Dan yang terakhir adnya kesediaan pelatih yang baik dan professional.

Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pemberdayaan kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman biasanya timbul perasaan jenuh atau malas yang kadang-kadang timbul pada santri dikarenakan masalah pribadi ataupun hal lain di saat bekerja atau juga mesin


(6)

atau peralatan yang kadang-kadang rusak sehingga kegiatan produksi menjadi sedikit terganggu. Ya mungkin itu saja.


Dokumen yang terkait

KORELASI KULTUR PESANTREN TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRI. Di Pondok Pesantren al-Amanah al-Gontory

2 20 106

Penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren terhadap kegiatan pesantren : studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah

14 101 116

Sistem pelatihan kewirausahaan di Pondok Pesantren Darunajah Cipinang Bogor dalam menumbuhkan entrepreneurship santri

4 28 96

Hubungan kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren studi kasus Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor

1 18 109

PENGELOLAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN NURUL HIJRAH KECAMATAN PECANGAAN PENGELOLAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN NURUL HIJRAH KECAMATAN PECANGAAN KABUPATEN JEPARA.

0 0 12

PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOOL PARUNG-BOGOR | Prayitno | QUALITY 2174 7424 1 SM

0 0 22

PENGELOLAAN PONDOK PESANTREN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN DI PONDOK PESANTREN NURUL BAROKAH KABUPATEN MAJALENGKA Siti Komara

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOOL PARUNG-BOGOR. - STAIN Kudus Repository

0 1 15

BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Objek Penelitian 1. Sejarah dan Kelembagaan Pondok Pesantren Nurul Iman Islamic - PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOO

0 0 49

MANAJEMEN ORGANISASI SANTRI PADA PONDOK PESANTREN DI KOTA BANJARMASIN (STUDI MULTI KASUS DI PONDOK PESANTREN TARBIYATUL ISLAMIYAH, PONDOK PESANTREN AL-ISTIQAMAH,DAN PONDOK PESANTREN AL-FURQAN) Tesis

0 0 14