Hubungan kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren studi kasus Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor

(1)

HUBUNGAN KAPITAL SOSIAL

DENGAN TINGKAT PARTISIPASI SANTRI

DALAM PROGRAM PERTANIAN PESANTREN

(Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

UMMI TASBICHAH

I34070130

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ABSTRACT

Social capital is one of the important aspect that is able to support the success of community development programs. The urgency can be seen through the ability of social capital to enhance community participation in the program. In rural areas, social capital is believed to more closely built (height), related to the culture of rural communities. Especially if there is Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), such as pesantren.

This study was aimed to describe the characteristics of students in Pesantren Nurul Iman, the participation level of students in agriculture programs, and social capital which is build within the agricultural program in pesantren. Besides, it was also aimed to analyze the relationship between these three variables (the characteristics of students, the level of participation, and social capital). This study was a descriptive analytical study using survey method. The data collection techniques carried out were questionnaire, in-depth interview, observation and literature study with individual (santri) as the analysis unit. The determination of sample was carried out through stratified random sampling.

Based on the analysis results can be concluded that there was a significant correlation between length of stay of students (santri) in pesantren and the level of participation in the program. In general, all students (santri) of agriculture program had a high level of social capital there. In addition, between the characteristics of students and social capital which is build within the program are not correlated significantly. There is also no significant correlation between capital social and level of participation in the program.


(3)

RINGKASAN

UMMI TASBICHAH. Hubungan Kapital Sosial dengan Tingkat Partisipasi Santri dalam Program Pertanian Pesantren. (Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Di Bawah Bimbingan TITIK SUMARTI.

Kapital sosial telah diakui sebagai salah satu aspek penting yang menunjang keberhasilan dan keberlanjutan suatu program pengembangan komuitas. Diantara urgensi tersebut adalah melalui peranan kapital sosial dalam meningkatkan partisipasi komunitas. Di daerah pedesaan, kapital sosial yang terbangun diyakini lebih erat (tinggi) terkait dengan budaya masyarakat pedesaan. Bahkan, kapital sosial ini akan cenderung lebih terlihat ketika di pedesaan tersebut terdapat suatu lembaga masyarakat yang mampu mewadahi ruang gerak mereka bersama atau yang lebih dikenal dengan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3). Salah satu lembaga yang dimaksud adalah pesantren.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dan hubungannya dengan tingkat partisipasi dalam program pertanian pesantren; mendeskripsikan kapital sosial yang terbangun dalam program pertanian pesantren; menganalisis hubungan antara karakteristik santri dengan kapital sosial yang terbangun dalam program pertanian pesantren; dan menganalisis hubungan antara kapital sosial yang terbentuk dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren.

Penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research) dengan menggunakan metode survey. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, wawancara mendalam, observasi dan studi literatur dengan unit analisis adalah individu (santri). Penetapan sampel melalui metode simple cluster random sampling meliputi bagian inti (pengurus) dan bagian non inti (anggota) program pertanian.

Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lama tinggal santri di pesantren dengan tingkat partisipasi mereka dalam program pertanian; kapital sosial cenderung lebih bekerja pada


(4)

bagian inti pertanian. Namun, secara umum seluruh santri anggota pertanian telah memiliki kapital sosial (tingkat kepercayaan, kekuatan jejaring, dan kepatuhan terhadap norma) yang tinggi dalam program pertanian pesantren. Selain itu, antara karakteristik dengan tingkat kapital sosial yang terbangun dalam program tidak berhubungan secara signifikan. Hasil yang sama (tidak signifikan) ditunjukkan pada hubungan antara kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program. Hal ini disebabkan oleh partisipasi santri yang cenderung didasarkan atas kewajiban kepada pesantren.

Saran yang dapat diajukan untuk pengembangan pertanian pesantren yang lebih prospektif ke depan, diantaranya dengan lebih banyak melibatkan santri yunior untuk kaderisasi dalam program. Ruang partisipasi hendaknya lebih ditingkatkan khususnya bagi anggota non inti pertanian dan diusahakan tercipta sinergitas antar pihak dalam program. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah perhatian yang lebih pada upaya-upaya penguatan kapital sosial pesantren.


(5)

HUBUNGAN KAPITAL SOSIAL

DENGAN TINGKAT PARTISIPASI SANTRI

DALAM PROGRAM PERTANIAN PESANTREN

(Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

UMMI TASBICHAH

I34070130

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Ummi Tasbichah

NIM : I34070130

Judul Skripsi : Hubungan Kapital Sosial Dengan Tingkat Partisipasi Santri Dalam Program Pertanian Pesantren (Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS NIP. 19610927 198601 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

HUBUNGAN KAPITAL SOSIAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI SANTRI DALAM PROGRAM PERTANIAN PESANTREN (KASUS: PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN, KECAMATAN PARUNG, KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH (SKRIPSI) PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANA PUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK

TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN

YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI

SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA

BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERNYATAAN INI.

Bogor, Januari 2011

Ummi Tasbichah I34070130


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ummi Tasbichah yang dilahirkan pada tanggal 30 September 1989 di Kota Kudus, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dengan ayah bernama H. Aman Santoso dan Ibu bernama Hj. Asmah. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 02 Sidorekso. Setelah tamat, penulis melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimat Kudus selama enam tahun pada tahun 2001-2007. Selama di pondok pesantren, penulis aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di MTs NU Banat dan MA NU Banat Kudus. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi santri pondok pesantren baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus. Penulis pernah menjabat sebagai Bendahara Umum OSIS MA NU Banat Kudus periode 2005/2006.

Tidak lama setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren, penulis mengikuti tes Program Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama Republik Indonesia (PBSB Depag RI) dan alhamdulillah berkat rahmat Allah penulis lulus seleksi. Singkat kata, dengan lulus tes tersebut penulis diberi kesempatan oleh Depag RI untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) pada tahun 2007. Di IPB penulis mengambil studi Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan Minor Kewirausahaan Agribisnis. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif menjadi pengurus dalam organisasi kemahasiswaan IPB. Diantaranya terlibat dalam kepengurusan Desa Mitra Fakultas Ekologi Manusia (Samisaena) pada tahun 2008-2009. Di samping aktif di kepengurusan, penulis juga aktif dalam kepanitian kegiatan kemahasiswaan di IPB, diantaranya dalam Masa


(9)

Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) tahun 2008, Masa Perkenalan Fakultas dan Masa Perkenalan Departemen (MPF-MPD) tahun 2009, dan dalam kepanitiaan COHESI (Conference of Human Ecology Student of Indonesia) tahun 2009, serta Panitia Pemilihan Raya FEMA IPB tahun 2009.

Di luar kampus, penulis aktif menjadi anggota dalam Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) baik pada tingkat perguruan tinggi maupun nasional. Selain di CSS MoRA IPB, penulis aktif di PMII dan KMNU IPB sebagai anggota dan pengurus sejak tahun 2007 sampai sekarang. Saat ini (2010-2014) penulis juga bergabung di LP2NU, yaitu Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul ’Ulama Kabupaten Bogor pada Divisi Lanskap dan Tata Lingkungan. Penulis merupakan pengurus di Pesantren Mahasiswa Al-Ihya Dramaga yang merupakan tempat tinggal penulis selama studi di IPB. Dalam kegiatan magang, penulis pernah berkesempatan menimba ilmu (magang) di LSM WALHI EKNAS di Fak. Disaster Management selama satu minggu yang bertepatan dengan waktu libur akademik di IPB.


(10)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah, Rabbul ’Izzati, yang senantiasa memberikan ni’mat, karunia, dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Kapital Sosial Dengan Tingkat Partisipasi Santri Dalam Program Pertanian Pesantren (Kasus: Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah ke pangkuan Nabi Muhammad SAW.

Penyusunan skripsi ini bukan semata-mata untuk memenuhi syarat kelulusan, melainkan lebih dari itu penulis berharap skripsi ini dapat mendeskripsikan kepada para pembaca mengenai hubungan antara karakteristik santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dengan tingkat partisipasi dalam program pertanian pesantren; mendeskripsikan kapital sosial yang terbangun dalam program pertanian pesantren; menganalisis hubungan antara karakteristik santri dengan tingkat kapital sosial yang terbentuk dalam program pertanian pesantren; dan menganalisis hubungan antara kapital sosial yang terbentuk dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren.

Semoga skripsi dengan tema kapial sosial ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, Januari 2011


(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penulisan skripsi, penulis tidak lepas dari bantuan, bimbingan, saran,

dan kritik dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis

ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah berjasa dalam

proses penyusunan tersebut. Ucapan terima kasih tidak luput diberikan kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu dan pikiran serta kesabarannya untuk membimbing penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

2. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS yang selama ini

telah memberikan saran dan kritik serta semangat di setiap langkah penulis.

3. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai dosen penguji utama dan Ibu Dr.

Ir. Sarwititi S. Agung, MS sebagai dosen penguji wakil departemen SKPM yang

telah memberikan saran dan kritik membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Martua Sihaloho, M.Si sebagai dosen penguji dalam uji petik skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu tercinta serta kakak tersayang (Ulil Af’idah) yang tak pernah lelah

mendoakan dan memberi semangat kepada penulis selama studi di IPB, termasuk

dalam penyelesaian tulisan ini.

6. Departemen Agama RI yang telah berjasa dalam membiayai studi penulis selama

di IPB.

7. Ustadz Abdurrahman, Ustadz Ece Hidayat, Ummi Eny, dan Ummi Tuti yang

senantiasa mendoakan keberhasilan santri-santriyatnya dan selalu memberikan


(12)

8. Mardhyillah Shofy, SP. Sahabat terbaik yang senantiasa mendukung dan

menginspirasi penulis dengan nasihat-nasihat bijaknya selama penyelesaian

skripsi.

9. Kakak-kakak Alumni Pesantren Mahasiswa Al Ihya’ yang selalu memotivasi

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi. Barokallohu fiikum.

10.Keluarga Besar Pesantren Mahasiswa Al-Ihya Dramaga yang tidak dapat

disebutkan satu per satu, sahabat-sahabat yang selalu menguatkan penulis untuk

tetap berjuang menghasilkan karya tulis yang terbaik.

11.Keluarga Besar CSS MoRA IPB (Community of Santri Scholars of Ministry of

Religious Affairs) atas semangat juang untuk senantiasa mengukir prestasi dalam

hidup. We are the champion. CSS Go !

12.Keluarga Besar Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman termasuk

segenap pengurus dan banin-banatnya atas semangat, motivasi, dan bantuannya

dalam pengumpulan data penelitian. Jazakumullah ahsanal jaza’.

13.Yunita, sahabat satu bimbingan di skripsi ini dan teman-teman akselerasi SKPM

44 tercinta yang tidak pernah bosan memberikan saran dan kritik demi

kesempurnaan skripsi yang penulis susun.

14.Sahabat-sahabat KMNU dan PMII IPB atas kebersamaan yang sangat berharga

selama ini.

15.Sahabat-sahabat SKPM 44 tercinta. Sahabat yang selalu memberi keceriaan di

hari-hari yang dilalui penulis. Sukses buat kita bersama!

16.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...…... xiii

DAFTAR TABEL…... xvi

DAFTAR GAMBAR………...…... ix

DAFTAR LAMPIRAN………...…... xx

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Perumusan Masalah………... 3

1.3 Tujuan Penelitian………... 3

1.4 Kegunaan Penelitian………...…... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS………... 5

2.1 Tinjauan Pustaka……….…... 5

2.1.1 Kapital Sosial………..…... 5

2.1.1.1 Dimensi Kapital Sosial………... 6

2.1.1.2 Parameter dan Indikator Kapital Sosial.. 7

2.1.2 Pemberdayaan... 10

2.1.3 Komunitas... 11

2.1.4 Partisipasi... 11

2.1.5 Pesantren... 17

2.1.5.1 Unsur, Nilai, dan Fungsi Pesantren... 18

2.2 Kerangka Pemikiran... 19

2.3 Hipotesis Penelitian... 20

2.4 Definisi Konseptual dan Operasional... 21

BAB III PENDEKATAN LAPANG... 23

3.1 Metode Penelitian... 23

3.2 Lokasi dan Waktu... 23

3.3 Penentuan Responden dan Informan... 23

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 24

3.5 Teknik Analisis data... 24

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 25

4.1 Profil Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman………... 25

4.1.1 Sejarah Pesantren………... 26

4.1.2 Visi dan Misi Pesantren………..…... 26

4.1.3 Program Pendidikan dan Pengembangan Pesantren... 27

4.1.4 Manajemen Pesantren……….…... 28

4.1.5 Pertanian Pesantren………... 29

BAB V KARAKTERISTIK SANTRI NURUL IMAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT PARTISIPASI DALAM PERTANIAN PESANTREN.... 34

5.1 Status Keanggotaan Responden………... 34


(14)

5.3 Motivasi Masuk Pesantren………... 36

5.4 Jenis Pekerjaan Orang Tua………... 38

5.5 Asal Daerah………... 40

5.6 Hubungan Antara Karakteristik Santri dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren... 41

5.6.1 Hubungan Antara Status Keanggotaan dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren... 41

5.6.2 Hubungan Antara Lama Tinggal dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren... 42

5.6.3 Hubungan Antara Motivasi Masuk Pesantren dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren... 43

5.6.4 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Orang Tua dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren... 45

5.6.5 Hubungan Antara Asal Daerah Responden dengan Tingkat Partisipasi dalam Program Pertanian Pesantren……… 46

5.7 Ikhtisar………... 48

BAB VI KAPITAL SOSIAL PESANTREN... 50

6.1 Kapital Sosial………... 50

6.1.1 Tingkat Kepercayaan………... 50

6.1.2 Jejaring Sosial………... 51

6.1.3 Norma Sosial………... 52

6.2 Ikhtisar………... 54

BAB VII HUBUNGAN KARAKTERISTIK SANTRI DENGAN KAPITAL SOSIAL YANG TERBANGUN DI PESANTREN... 55

7.1 Hubungan Antara Status Keanggotaan dengan Kapital Sosial yang Terbangun dalam Program... 55

7.1.1 Hubungan Status Keanggotaan dengan Tingkat Kepercayaan... 55

7.1.2 Hubungan Status Keanggotaan dengan Tingkat Kekuatan Jejaring... 56

7.1.3 Hubungan Status Keanggotaan dengan Tingkat Kepatuhan Norma... 57

7.2 Hubungan Antara Lama Tinggal dengan Kapital Sosial yang Terbangun dalam Program... 58

7.2.1 Hubungan Lama Tinggal dengan Tingkat Kepercayaan... 58

7.2.2 Hubungan Lama Tinggal dengan Tingkat Kekuatan Jejaring... 60

7.2.3 Hubungan Lama Tinggal dengan Tingkat Kepatuhan Terhadap Norma... 61 7.3 Hubungan Antara Motivasi Masuk Pesantren dengan


(15)

Kapital Sosial yang Terbangun dalam Program

Pertanian... 62

7.3.1 Hubungan Motivasi Masuk Pesantren dengan Tingkat Kepercayaan... 62

7.3.2 Hubungan Motivasi Masuk Pesantren dengan Tingkat Kekuatan Jejaring... 63

7.3.3 Hubungan Motivasi Masuk Pesantren dengan Tingkat Kepatuhan Norma... 64

7.4 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Orang Tua dengan Kapital Sosial yang Terbangun... 65 . 7.4.1 Hubungan Jenis Pekerjaan Orang Tua dengan Tingkat Kepercayaan... 65

7.4.2 Hubungan Jenis Pekerjaan Orang Tua dengan Tingkat Kekuatan Jejaring... 66

7.4.3 Hubungan Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden dengan Tingkat Kepatuhan Terhadap Norma dalam Program... 68

7.5 Hubungan Antara Asal Daerah dengan Kapital Sosial yang Terbangun... 69

7.5.1 Hubungan Asal Daerah Responden dengan Tingkat Kepercayaan yang Terbangun dalam Program... 69

7.5.2 Hubungan Asal Daerah dengan Tingkat Kekuatan Jejaring... 70

7.5.3 Hubungan Asal Daerah dengan Tingkat Kepatuhan Norma... 71

7.6 Ikhtisar………... 71

BAB VIII HUBUNGAN KAPITAL SOSIAL DENGAN TINGKAT PARTISIPASI SANTRI DALAM PROGRAM PERTANIAN PESANTREN... 72

8.1 Tingkat Partisipasi Responden dalam Program Pertanian PPANI... 72

8.2 Hubungan Antara Tingkat Kepercayaan dengan Tingkat Partisipasi dalam Program... 75

8.3 Hubungan Antara Tingkat Kekuatan Jejaring dengan Tingkat Partisipasi dalam Program... 78

8.4 Hubungan Antara Tingkat Kepatuhan Norma dengan Tingkat Partisipasi dalam Program... 79

8.5 Ikhtisar... 80

BAB IX PENUTUP... 82

9.1 Simpulan... 82

9.2 Saran... 83


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.5 Frekuensi Panen Tanaman Budidaya Pertanian PPANI Periode September 2010 Desember 2010... 31 Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Status Keanggotaan

dalam Program………... 34 Tabel 5.2 Distribusi Lama Tinggal Responden Menurut Status

Keanggotaan dalam Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 35 Tabel 5.3 Distribusi Motivasi Responden Masuk Pesantren

Berdasarkan Status Keanggotaan dalam Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 37 Tabel 5.4 Distribusi Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden

Berdasarkan Status Keanggotaan dalam Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 38 Tabel 5.5 Distribusi Asal Daerah Responden Berdasarkan Status

Keanggotaan dalam Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 40 Tabel 5.6.1 Hubungan Status Keanggotaan dengan Tingkat Partisipasi

Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat, 2010... 42 Tabel 5.6.2 Hubungan Lama Tinggal dengan Tingkat Partisipasi

Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat, 2010………... 43 Tabel 5.6.3 Hubungan Motif Masuk Pesantren dengan Tingkat

Partisipasi Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat, 2010………... 44 Tabel 5.6.4 Hubungan Jenis Pekerjaan Orang Tua dengan Tingkat

Partisipasi Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat, 2010... 46 Tabel 5.6.5 Hubungan Asal Daerah dengan Tingkat Partisipasi

Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat, 2010………... 47 Tabel 6.1.1 Distribusi Tingkat Kepercayaan Responden Berdasarkan

Status Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 49 Tabel 6.1.2 Distribusi Tingkat Kekuatan Jejaring Responden

Berdasarkan Status Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 51 Tabel 6.1.3 Distribusi Tingkat Kepatuhan Responden Terhadap Norma

Berdasarkan Status Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 53 Tabel 7.1.1 Tingkat Kepercayaan Responden Berdasarkan Status

Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 55 Tabel 7.1.2 Tingkat Kekuatan Jejaring Responden Berdasarkan Status


(17)

Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 56 Tabel 7.1.3 Tingkat Kepatuhan Responden Terhadap Norma

Berdasarkan Status Keanggotaan dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010……... 57 Tabel 7.2.1 Distribusi Tingkat Kepercayaan Responden Berdasarkan

Lama Tinggal di PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 59 Tabel 7.2.2 Distribusi Tingkat Kekuatan Jejaring Responden

Berdasarkan Lama Tinggal di PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 60 Tabel 7.2.3 Distribusi Tingkat Kepatuhan Responden Terhadap Norma

Berdasarkan Lama Tinggal di PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 61 Tabel 7.3.1 Distribusi Tingkat Kepercayaan Responden Berdasarkan

Motivasi Masuk PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 62 Tabel 7.3.2 Distribusi Tingkat Kekuatan Jejaring Responden

Berdasarkan Motivasi Masuk PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 63 Tabel 7.3.3 Distribusi Tingkat Kepatuhan Responden Terhadap Norma

Berdasarkan Motivasi Masuk PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 64 Tabel 7.4.1 Distribusi Tingkat Kepercayaan Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Orang Tua Responden dalam program pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 65 Tabel 7.4.2 Distribusi Tingkat Kekuatan Jejaring Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Orang Tua Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 67 Tabel 7.4.3 Distribusi Tingkat Kepatuhan Terhadap Norma

Berdasarkan Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 68 Tabel 7.5.1 Distribusi Tingkat Kepercayaan Responden Berdasarkan

Asal Daerah dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 69 Tabel 7.5.2 Distribusi Tingkat Kekuatan Jejaring Berdasarkan Asal

Daerah Responden dalam Program Pertanian PPANI, Parung, Bogor Jawa Barat 2010... 70 Tabel 7.5.3 Distribusi Tingkat Kepatuhan Responden Terhadap Norma

Berdasarkan Asal Daerah dalam Program pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 71 Tabel 8.1 Distribusi Tingkat partisipasi Santri dalam Program

Pertanian PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010………... 74 Tabel 8.2 Hubungan Tingkat Kepercayaan dengan Tingkat

partisipasi Santri dalam Program Pertanian PPANI, Parung 2010... 77


(18)

Tabel 8.3 Hubungan Tingkat Kekuatan Jejaring dengan Tingkat partisipasi Santri dalam Program Pertanian PPANI, Parung 2010... 79 Tabel 8.4 Hubungan Tingkat Kepatuhan Norma dengan Tingkat

partisipasi Santri dalam Program Pertanian PPANI, Parung 2010... 81


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tangga Partsipasi Arnstein ... 17 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian…………... 19 Gambar 5.2 Komposisi Lama Tinggal Responden Bedasarkan Status

Keanggotaan Pertanian………... 36 Gambar 5.3 Komposisi Motivasi Responden Masuk Pesantren

Bedasarkan Status Keanggotaan Pertanian... 38 Gambar 5.4 Komposisi Jenis Pekerjaan Orang Tua Responden

Berdasarkan Status Keanggotaan Pertanian... 39 Gambar 5.5 Distribusi Asal Daerah Responden Berdasarkan Status

Keanggotaan Pertanian………. 41 Gambar 8.1 Persentase Tingkat Partisipasi Responden dalam Pertanian

PPANI, Parung, Bogor, Jawa Barat 2010... 74 Gambar 8.2 Tingkat Partisipasi Santri Berdasarkan Tingkat

Kepercayaan dalam Program... 76 Gambar 8.3 Tingkat Partisipasi Santri Berdasarkan Tingkat Kekuatan

Jejaring dalam Program... 78 Gambar 8.4 Tingkat Partisipasi Santri Berdasarkan Tingkat Kepatuhan


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Dokumentasi Kegiatan

2. Struktur Pengurus Harian Pesantren 3. Struktur Organisasi Pertanian

4. Matriks Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data 5. Hasil Olah Data SPSS

6. Kuesioner


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum, kapital dapat dipahami sebagai suatu investasi atas sumber daya tertentu dengan harapan memperoleh hasil (imbalan) atas investasi tersebut di kemudian hari. Kapital terdiri dari berbagai macam jenis, diantaranya natural capital, human capital, physical capital, financial capital, dan social capital.

Jenis kapital yang disebutkan terakhir sekarang ini sudah menjadi bahasan penting sebagai jenis kapital yang memiliki peranan penting dalam proses pembangunan. Adapun keempat jenis kapital yang lain sudah lebih dulu diakui eksistensinya dalam upaya pembangunan suatu masyarakat.

Berdasarkan pemahaman umum kapital di atas, maka secara sederhana kapital sosial dapat didefinisikan sebagai suatu investasi pada hubungan sosial kemasyarakatan yang nantinya diharapkan mampu mendatangkan hasil/imbalan dalam hubungan tersebut. Adapun pengertian kapital sosial telah banyak didefinisikan oleh beberapa ilmuan, seperti Fukuyama, Uphoff, Putnam, Coleman, dan yang lainnya. Pada intinya, kapital sosial disadari sebagai suatu perekat (glue)

dalam hubungan sosial yang terjalin di masyarakat. Kapital sosial yang terbentuk dalam suatu komunitas dapat meningkatkan partisipasi komunitas tersebut dalam program pengembangan masyarakat yang berlangsung. Selain itu, kapital sosial juga berkontribusi dalam menciptakan keberlanjutan (sustainability) suatu program (Riani, 2005).

Partisipasi suatu komunitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah berdasarkan kekuasaan komunitas dalam melakukan kontrol atas suatu program. Hal ini sebagaimana konsep partisipasi yang dikemukakan oleh Arnstein (1969) dalam Setiawan (2003) sebagai ”ladder of citizen participation” atau tangga partisipasi masyarakat. Konsep tersebut membagi partisipasi masyarakat ke dalam tiga derajat, yaitu derajat terbawah (terdiri dari manipulasi dan terapi), derajat semu (informasi, konsultasi, dan penenangan), dan terakhir derajat tertinggi (kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan kontrol masyarakat). Apabila dikaitkan dengan urgensi kapital sosial yang disebutkan


(22)

oleh Riani (2005) di atas, maka dapat diperkirakan bahwa komunitas yang memiliki kapital sosial yang lebih tinggi maka mampu memiliki derajat partisipasi yang tinggi pula dalam program.

Program/kegiatan pengembangan masyarakat pada dasarnya dapat dilakukan oleh pihak mana pun yang mumpuni (baik NGO-NGO maupun lembaga-lembaga pemerintah). Bahkan, sekarang ini pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan sekaligus kemasyarakatan yang dulunya sering diidentikkan dengan hal-hal tradisional dan kurang kompeten telah dinilai sebagai suatu lembaga yang mampu melaksanakan peran sebagai agen pengembangan masyarakat. Pesantren merupakan sebutan bagi lembaga yang mengajarkan agama Islam dengan santri sebagai murid dan satu atau lebih ustadz sebagai pengajar yang biasanya bersifat kharismatik disertai dengan sistem asrama sebagai tempat tinggal para santri tersebut.

Pesantren, dalam perkembangannya, telah menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan pelatihan keterampilan melalui teknologi tepat guna. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional dianggap efektif dalam menjalankan program pemberdayaan, khususnya bagi komunitas pesantren itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh interaksi yang intens antar santri dan antara santri dengan kyainya melalui sistem pendidikan dan aktivitas keseharian yang sering dilalui bersama. Bahkan, Riani (2005) menyebutkan bahwa pesantren di pedesaan merupakan lembaga yang cukup potensial dalam mengembangkan kapital sosial para anggota di dalamnya.

Pesantren Nurul Iman adalah salah satu pesantren di Bogor, lebih tepatnya berlokasi di Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Pesantren ini memiliki jenjang pendidikan formal mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, sampai PT. Adapun jumlah santri secara keseluruhan sekitar 19.000 orang. Uniknya, para santri tersebut dapat mengenyam pendidikan dengan gratis di pesantren ini tanpa dikenai biaya sedikit pun. Selain mendapatkan pendidikan formal, para santri juga dilatih dengan berbagai keterampilan seperti kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, peternakan ikan dan kegiatan wirausaha lainnya. Dengan demikian,


(23)

pesantren Nurul Iman mempunyai peran yang cukup signifikan dalam upaya pemberdayaan santrinya.

Berdasarkan fenomena di atas dan mengacu pada hasil penelitian sebelumnya mengenai partisipasi masyarakat berdasarkan perspektif kapital sosial (Apandi, 2010) dan urgensi kapital sosial terhadap perkembangan ekonomi suatu komunitas (Alfiasari, 2004) maka analisis terhadap kapital sosial pesantren dipandang menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan tingkat partisipasi santri mengingat di Pesantren Nurul Iman terdapat program pengembangan kewirausahaan bagi para santrinya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai hubungan kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren. Oleh karena itu, perumusan masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana hubungan antara karakteristik dengan tingkat partisipasi santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dalam program pertanian pesantren?

2) Bagaimana tingkat kepercayaan, kuat jaringan, dan kepatuhan terhadap norma yang terbangun dalam program pertanian pesantren?

3) Sejauhmana hubungan antara karakteristik santri dengan tingkat kepercayaan, kuat jaringan, dan kepatuhan terhadap norma yang terbentuk dalam program pertanian pesantren?

4) Sejauhmana hubungan antara kapital sosial yang terbangun dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mendeskripsikan hubungan antara karakteristik santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren.


(24)

2) Mendeskripsikan tingkat kepercayaan, kuat jaringan, dan kepatuhan terhadap norma yang terbentuk dalam program pertanian pesantren. 3) Menganalisis sejauhmana hubungan antara karakteristik santri dengan

tingkat kepercayaan, kuat jaringan, dan kepatuhan terhadap norma yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

4) Menganalisis sejauhmana hubungan antara kapital sosial yang terbentuk dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1) Bagi Akademisi

Hasil penelitian berjudul “Hubungan Kapital Sosial dengan Tingkat Partisipasi Santri dalam Program Pertanian Pesantren” dapat digunakan untuk memahami hubungan kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengembangan masyarakat.

2) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai peran penting dari pesantren, khususnya kapital sosial yang dimilikinya, dalam upaya pemberdayaan komunitas sehingga secara tidak langsung pesantren berkontribusi dalam pembangunan pedesaan.

3) Bagi Pesantren

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan kepada asatidz-asatidzat dan semua entitas pesantren untuk dapat mengidentifikasi kapital sosial yang dimiliknya dalam rangka pemberdayaan komunitas. Dengan demikian pesantren mampu memaknai arti penting dari kapital sosial itu sendiri untuk keberhasilan program-program pesantren.


(25)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah dalam penyusunan program pemberdayaan yang perlu melibatkan pesantren terkait dengan potensi yang dimilikinya.


(26)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kapital Sosial

Pengertian para pakar dalam mendefinisikan konsep kapital sosial (social capital) dapat dikategorikan ke dalam kedua kelompok. Kelompok pertama menekankan jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih memfokuskan pada karakteristik (traits) yang melekat pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.

Brehm dan Rahn sebagaimana dikutip Huraerah (2008) mendefinisikan kapital sosial sebagai jaringan kerja sama diantara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Kapital sosial sebagai jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Pennar dikutip Huraerah, 2008). Menurut Woolcock yang dikutip oleh Huraerah (2008), kapital sosial diartikan sebagai ”the information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social network”. Menurut kelompok pertama ini kapital sosial akan semakin kuat jika sebuah komunitas/organisasi memiliki jaringan hubungan kerja sama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerja sama yang bersifat antar komunitas/organisasi.

Pendapat pakar dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Francis Fukuyama. Fukuyama (2000) sebagaimana dikutip Riani (2005) mengartikan

social capital sebagai seperangkat nilai-nilai internal atau norma-norma yang disebarkan di antara anggota-anggota suatu kelompok yang mengizinkan mereka untuk bekerja sama antara satu dengan yang lain.

Komponen-komponen kapital sosial dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial. Kedua, kategori kognitif yang dihubungkan dengan proses-proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya. Komponen-komponen kapital sosial tersebut diantaranya adalah (Uphoff dikutip Lenggono, 2004):


(27)

1. Hubungan sosial (jaringan); yang merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan atau hubungan biasa. Komponen ini termasuk ke dalam kategori struktural,

2. Norma; merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama. Komponen ini termasuk ke dalam kategori kognitif, 3. Kepercayaan; komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal

balik, nlai-nilai untuk menjadi orang yang layak dipercaya. Komponen ini termasuk ke dalam kategori kognitif,

4. Solidaritas; terdapat norma untuk menolong orang lain, kebersamaan, sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok serta keyakinan bahwa anggota lain juga akan melaksanakan hal yang serupa. Komponen ini termasuk ke dalam kategori struktural,

5. Kerjasama; terdapat norma untuk bekerja sama, sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif serta menerima tugas untuk kepentingan bersama. Komponen ini termasuk ke dalam kategori kognitif.

2.1.1.1 Dimensi Kapital Sosial

Dalam social capital terkandung empat dimensi, yaitu dimensi integrasi, pertalian (linkage), integrasi organisasional, dan yang terakhir adalah sinergi (Collete and Cullen dalam Nasdian dan Utomo (Riani, 2005). Integrasi adalah ikatan yang kuat antar anggota keluarga dan antara keluarga dengan tetangga lainnya, contohnya ikatan berdasar kekerabatan, etnik, dan agama. Pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal, contohnya jejaring dan asosiasi yang menembus perbedaan agama, kekerabatan, dan etnik. Sedangkan yang dimaksud dengan integrasi organisasional adalah keefektifan dan kemampuan institusi negara menjalankan fungsinya, termasuk menegakkan peraturan dan menciptakan kepastian hukum. Terakhir, yaitu sinergi yang berarti relasi antara pemimpin dan institusi pemerintah dengan komunitas. Dimensi pada tingkat horizontal meliputi dimensi integrasi dan pertalian sedangkan dimensi pada tingkat vertikal adalah dimensi integrasi organisasional dan sinergi.


(28)

Dimensi kapital sosial1 menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.

2.1.1.2 Parameter dan Indikator kapital Sosial

Merujuk pada Ridell (1997)2, terdapat tiga parameter kapital sosial yang meliputi kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks).

Kepercayaan

Kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995)3 menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang

1

Supriono, et. al. Modal Sosial: Definisi, Dimensi, dan Tipologi. http://www.google.co.id/#hl=id&xhr=t&q=dimensi+kapital+sosial&cp=22&pf=p&sclient=psy&a q=f&aqi=&aql=&oq=dimensi+kapital+sosial&pbx=1&fp=7366bd27edaa1805. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 22:07 WIB.

2

Suharto. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. http://www.policy.hu/suharto/NaskahPDF/MODAL_SOSIAL_DAN_KEBIJAKAN_SOSIAL.pdf

Diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 22:00 WIB.

3


(29)

memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif, hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Adanya kapital sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh. Kapital sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995)4. Rasa percaya diri (trust) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Robert, 2002)5.

Norma

Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerja sama (Putnam, 1993; Fukuyama, 1995)6. Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.

Jaringan

Infrastruktur dinamis dari kapital sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993)7. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Putnam (1995)8 mengemukakan argumennya bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar dari parameter tersebut, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran kapital sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b)9:

4

Ibid., halaman 4. 5

Maawardi, M. 2007. Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dalam: Komunitas Edisi Juni Volume 3 No 2.

6

Loc. Cit., halaman 4

7

Ibid., halaman 4.

8

Ibid., halaman 4.

9


(30)

a) Perasaan identitas

b) Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi c) Sistem kepercayaan dan ideologi

d) Nilai-nilai dan tujuan-tujuan e) Ketakutan-ketakutan

f) Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat

g) Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber, dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, dan jaminan sosial)

h) Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu

i) Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya

j) Tingkat kepercayaan

k) Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya l) Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan

Aspek kebersamaan antar individu di dalam masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan juga merupakan salah satu indikator dari encer/kentalnya kadar kapital sosial. Prasyarat penting untuk munculnya kapital sosial adalah adanya kepercayaan (trust), kejujuran (honesty), dan timbal balik (resiprosity). Pada tataran makro, kapital sosial meliputi institusi-institusi seperti pemerintah, aturan hukum, kebebasan sipil, dan politik. Sedangkan pada tataran mikro dan messo, kapital sosial berkenaan dengan norma nilai yang mengatur interaksi di antara individu, keluarga, dan komunitas, yang dapat mengejawantah dalam berbagai tradisi dan kebiasaan dengan rasionalitasnya masing-masing (Riani, 2005).

Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi yang tercipta pada suatu kelompok masyarakat. Jika suatu kelompok memberikan bobot tinggi pada nilai-nilai kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran, maka kelompok masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian (Maawardi, 2007).


(31)

2.1.2 Pemberdayaan

Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris "empowerment" yang secara harfiah bisa diartikan sebagai "pemberkuasaan", dalam arti pemberian atau peningkatan "kekuasaan" (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantaged). Sedangkan Rappaport mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu cara dengan mana rakyat mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Suharto, 1997 dikutip Huraerah, 2008). Selanjutnya Craig dan Mayo (1995) seperti dikutip Huraerah (2008) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep: kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking), dan pemerataan (equity).

Secara bertingkat, keberdayaan masyarakat menurut Susiladiharti (2002) sebagaimana dikutip Huraerah (2008) dapat digambarkan sebagai berikut:

a) Tingkat keberdayaan pertama adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs).

b) Tingkat keberdayaan kedua adalah penguasaan dan akses terhadap berbagai sistem dan sumber yang diperlukan.

c) Tingkat keberdayaan ketiga adalah dimilikinya kesadaran penuh akan berbagai potensi, kekuatan, dan kelemahan diri dan lingkungannya.

d) Tingkat keberdayaan keempat adalah kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan yang lebih luas.

e) Tingkat keberdayaan kelima adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan lingkungannya. Tingkatan kelima ini dapat dilihat dari keikutsertaan dan dinamika masyarakat dalam mengevaluasi dan mengendalikan berbagai program dan kebijakan institusi dan pemerintahan.

Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan. Kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan material dan immaterial bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan. Setiap generasi yang berdaya harus bisa


(32)

mewarisi nilai-nilai pembebasan dari keterbelangan dan kemiskinan (Maawardi, 2007).

2.1.3 Komunitas

Ife (1995) menyebutkan pengertian komunitas dengan warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of interest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi. Para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs). Jika tidak ada kebutuhan bersama maka bukan suatu komunitas. Aktivitas anggota komunitas dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan/program yang dijalankan. Suatu komunitas mempunyai lokalitas atau tempat tinggal tertentu. Komunitas yang mempunyai tempat tinggal tetap dan permanen biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Di samping iu, harus ada suatu perasaan diantara anggota bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa lahan yang mereka tempati memberikan kehidupan bagi semuanya. Unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) dijelaskan oleh Nasdian (2006) antara lain seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan.

2.1.4 Partisipasi

Konsep partisipasi berasal dari bahasa Inggris ”participation” yang berarti turut ambil bagian. Nasdian (2006) mengartikan partisipasi sebagai proses aktif dan inisiatif yang diambil oleh warga komunitas itu sendiri, dibimbing oleh cara mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Kategori partisipasi meliputi: (1) warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah difikirkan atau dirancang dan dikontrol oleh orang lain; (2) partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Dengan partisipasi, program yang dilaksanakan akan lebih berkelanjutan karena disusun berdasarkan kebutuhan dasar yang sesungguhnya dari masyarakat setempat.


(33)

Pembahasan lebih lanjut mengenai partisipasi telah dikemukakan oleh para ahli yang mengklasifikasikan beberapa model partisipasi. Syahyuti (2006) menyebutkan model-model dari partisipasi sebagai berikut:

1. Partisipasi pasif atau manipulatif. Partisipasi ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristik dari partisipasi jenis ini adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. 2. Partisipasi informatif. Dalam partisipasi ini masyarakat hanya menjawab

pertanyaan-pertanyaan untuk proyek namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.

3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi sedangkan orang luar mendengarkan dan menganalisis masalah serta pemecahannya. Belum terdapat peluang untuk pengambilan keputusan bersama.

4. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan berupa insentif, biasanya dalam bentuk upah, meski masyarakat tersebut tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen yang dilakukan.

5. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal masyarakat masih tergantung pada pihak luar tetapi secara bertahap masyarakat kemudian menunjukkan kemandiriannya. 6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk

perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Pola ini cenderung melibatkan metode indisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.


(34)

7. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara sistematis dan bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung.

Menurut Asia Development Bank (ADB) seperti dikutip Soegijoko (2005)

dalam Huraerah (2008), tingkatan partisipasi (dari yang terendah sampai tertinggi) sebagai berikut:

1) Berbagi informasi bersama (sosialisasi)

Pemerintah hanya menyebarluaskan informasi tentang program yang akan direncanakan atau sekadar memberikan informasi mengenai keputusan yang dibuat dan mengajak warga untuk melaksanakan keputusan tersebut.

2) Konsultasi/mendapatkan umpan balik

Pemerintah meminta saran dan kritik dari masyarakat sebelum suatu keputusan ditetapkan.

3) Kolaborasi/pembuatan keputusan bersama

Masyarakat bukan sebagai penggagas kolaborasi tetapi masyarakat dilibatkan untuk merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga peran masyarakat secara signifikan dapat mempengaruhi hasil/keputusan. 4) Pemberdayaan/kendali

Masyarakat memiliki kekuasaan dalam mengawasi secara langsung keputusan yang telah diambil dan menolak pelaksanaan keputusan yang bertentangan dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan prosedur dan indikator kinerja yang mereka tetapkan bersama.

Arnstein (1969) seperti dikutip Chusnah (2008) menjelaskan ada delapan tangga partisipasi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein, yaitu sebagai berikut:

1. Manipulation

Dengan mengatasnamakan partisipasi, masyarakat diikutkan sebagai ’stempel karet’ dalam badan penasihat. Tujuannya adalah untuk dipakai sebagai formalitas semata dan untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah


(35)

tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh pihak penguasa.

2. Therapy

Pada tingkat therapy atau pengobatan ini, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdayaan sebagai penyakit mental. Dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukannya menemukan penyebablukanya.

3. Informing

Dengan memberi informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung jawab dan pilihan mereka merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Namun seringkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program. Komunikasi satu arah ini biasanya denganmenggunakan media pemberitaan, pamflet dan poster.

4. Consultation

Meminta pendapat masyarakat merupakan suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Namun konsultasi ini masih merupakan partisipasi semukarena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat.Jika pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah merupakan suatu partisipasi palsu. Masyarakat pada dasarnya hanya dianggap sebagai abstraksi statistik, karena partisipasi hanya diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga dari seberapa banyak kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah merasa memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.


(36)

5. Placation

Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun dalam beberapa hal pengaruh tersebut tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat memang diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah dengan memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga.

6. Partnership

Pada tingkat ini, kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikultanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan dengan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Partnership dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir, pemimpinnya bertanggung jawab, masyarakat mampu membayar honor yang cukup bagipemimpinnya serta adanya sumber dana untuk menyewa teknisi, pengacara dan organisator masyarakat. Dengan demikian, masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar-menawar yang tinggi, sehingga akan mampumempengaruhi suatu perencanaan.

7. Delegated Power

Negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah bisa mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atauprogram tertentu. Pada tingkat ini masyarakat menduduki mayoritas kursi, sehingga memiliki kekuasaan dalam menentukan suatu keputusan. Selain itu, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya tetapi dengan mengadakan proses tawar menawar.

8. Citizen Control

Pada tingkat ini, masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspekmanajerial dan bisa mengadakan negosiasi apabila ada pihak ketiga akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan


(37)

sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

Berdasarkan kedelapan tangga tersebut, Arnstein mengelompokkannya lagi menjadi tiga tingkat, yaitu: a) Nonparticipation; b) Degree of tokenism, dan c) Degree of Citizen Power. Tingkat nonparticipation adalah tingkat partisipasi yang bukan dalam arti sesungguhnya. Tingkat ini terdiri dari jenjang terbawah dari tangga tersebut yaitu tingkat pertama (manipulation) dan tingkat kedua (Therapy). Tingkat Tokenism, yaitu tingkat partisipasi yang tidak serius, terdiri tiga jenjang yaitu tingkat ketiga (informing), tingkat keempat (consultation) dan tingkat kelima (placation). Selanjutnya tingkat keenam (partnership), tingkat ketujuh (delegated power) dan tingkat kedelapan (citizen control) masuk dalam tingkatan Degree of Citizen Power, atau tingkat dimana masyarakat telah memiliki kekuasaan. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Tangga/Tingkatan

Partisipasi Hakikat Kesertaan

Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1. Manipulasi (Manipulation) Permainan oleh

pemerintah

Tidak ada partisipasi (Non-Participant)

2. Terapi (Therapy) Sekedar agar masyarakat tidak marah/mengobati 3. Pemberitahuan (Information) Sekedar pemberitahuan searah/sosialisasi Tokenism/sekedar justifikasi agar masyarakat

mengiyakan (Degree of Tokenism)

4. Konsultasi (Consultation) Masyarakat didengar, tapi tidak selalu

dipakai sarannya 5. Penentraman (Placation) Saran masyarakat

diterima tapi tidak selalu dilaksanakan 6. Kemitraan (Partnership) Timbal-balik

dinegosiasikan

Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat

(Degree of Citizen Power)

7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated power)

Masyarakat diberi kekuasaan

(sebagian/seluruh program)

8. Kontrol Masyarakat (Citizen control)

Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat


(38)

2.1.5 Pesantren

Lembaga Research Islam sebagaimana dikutip oleh Qomar (2007) mendefinisikan pesantren sebagai “suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya”. Adapun pesantren menurut Qomar (2007) adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri yang bersifat permanen.

Dhofier (1994) dalam Qomar (2005) mengkategorisasikan pesantren dari perspektif keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, yakni pesanten salafi dan khalafi. Pesantren salafi tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Sedangkan pesantren khalafi telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di dalam lingkungan pesantren. Di samping itu, ia juga membagi pesantren berdasarkan jumlah santri dan pengaruhnya dengan pesantren kecil, menengah, dan besar. Pesantren kecil biasanya mempunyai santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri, yang memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari berbagai kabupaten. Pesantren besar biasanya mempunyai lebih dari dua ribu santri yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.

2.1.5.1 Unsur, Nilai, dan Fungsi Pesantren

Unsur-unsur pesantren meliputi pondok, masjid, santri, kyai, dan pengajaran kitab klasik (Dhofier dikutip Madjid, 1990). Andriani (2008) menyebutkan bahwa nilai-nilai yang mendasari pesantren dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu nilai-nilai agama yang bercorak fikih sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrowi dan yang kedua, nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari menurut hukum agama.

Fungsi pesantren mencakup tiga hal yang meliputi fungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga penyiaran agama. Sebagai lembaga


(39)

pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal yang secara khusus mengajarkan agama Islam. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi. Sebagai lembaga penyiaran agama, masjid pesantren berfungsi sebagai masjid umum yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi masyarakat umum (Qomar, 2007).

Sehubungan dengan ketiga fungsi pesantren tersebut maka pesantren memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan masyarakat sekitar dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Pesantren dianggap sebagai komunitas khusus yang ideal terutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Adapun Ma’shum (1995) sebagaimana dikutipQomar (2007) menyebutkan ketiga fungsi pesantren dengan fungsi religius (diniyyah), fungsi sosial (ijtimaiyyah), dan fungsi edukasi (tarbawiyyah).

2.2 Kerangka Pemikiran

Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman merupakan suatu lembaga pendidikan keagamaan sekaligus lembaga kemasyarakatan. Pesantren ini memiliki program-program pengembangan bagi para santrinya, diantaranya adalah program-program pertanian yang juga menjalin kerja sama dengan pihak luar pesantren. Program ini melibatkan hampir seluruh entitas pesantren, khususnya mahasiswa.

Sebagian besar santri (mahasiswa) yang bermukim di pesantren Al-Ashriyyah berasal dari beragam latar belakang, baik dari individu itu sendiri maupu dari keluarga. Karakteristik individu dari para santri ini diduga berkorelasi dengan kapital sosial yang mereka miliki di lingkungan pesantren (meliputi tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan). Adapun karakteristik individu yang diteliti adalah lama tinggal, motivasi masuk pesantren, status keanggotaan, jenis pekerjaan orang tua, dan asal daerah.

Adanya perbedaan tingkat kapital sosial yang dimiliki individu diduga memiliki korelasi terhadap tingkat partisipasi (konsep Arnstein) dalam program pertanian. Semakin tinggi tingkat kapital sosial maka semakin tinggi tingkat partisipasi dalam program. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam bagan berikut:


(40)

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan:

Æ : Hubungan yang diuji … : Hubungan yang tidak diuji 2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis Penelitian ini adalah:

1. Lama tinggal responden di pesantren berhubungan nyata dan positif dengan tingkat partisipasi responden dalam program pertanian pesantren. 2. Motivasi responden masuk pesantren berhubungan nyata dan positif

dengan tingkat partisipasi responden dalam program pertanian pesantren. 3. Asal daerah responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat

partisipasi responden dalam program pertanian pesantren.

4. Status keanggotaan responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat partisipasi responden dalam program pertanian pesantren.

5. Jenis Pekerjaan orang tua responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat partisipasi responden dalam program pertanian pesantren.

Tingkat Partisipasi (Arnstein, 1969)

1. Manipulasi 2. Terapi

3. Pemberitahuan 4. Konsultasi 5. penenangan 6. Persekutuan 7. Utusan Kekuasaan 8. Kontrol Masyarakat Kapital Sosial (Uphoff,

2000)

1. Tingkat kepercayaan 2. Tingkat Kepatuhan

terhadap norma 3. Tingkat Kekuatan

jejaring  Program Pertanian

Pesantren

Karakteristik Santri

1. Lama Tinggal di Pesantren 2. Motivasi Masuk

Pesantren 3. Asal Daerah 4. Status Keanggotaan 5. Jenis Pekerjaan


(41)

6. Lama tinggal responden di pesantren berhubungan nyata dan positif dengan tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

7. Motivasi responden menjadi santri berhubungan nyata dan positif dengan tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

8. Asal daerah responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

9. Status keanggotaan responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

10.Jenis pekerjaan orang tua responden berhubungan nyata dan positif dengan tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk dalam program pertanian pesantren.

11.Tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma, dan kekuatan jaringan yang terbentuk berhubungan nyata dan positif dengan tingkat partisipasi responden dalam program pertanian pesantren.

2.4 Definisi Konseptual dan Operasional

Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep dan variabel spesifik yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Konsep kapital sosial dalam penelitian ini adalah meliputi tingkat kepercayaan, kepatuhan terhadap norma dan jejaring sosial yang melekat dalam struktur masyarakat sehingga membuat komunitas pesantren dapat bekerja sama dalam bertindak untuk mencapai tujuan.

2. Konsep dimensi kapital sosial merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

3. Konsep komunitas dalam penelitian ini adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama (santri) karena tinggal di lokasi geografis yang sama, yakni di Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor.


(42)

4. Pesantren Al-Ashriyyah adalah lembaga pendidikan keagamaan modern dimana selain diajarkan pendidikan keagamaan juga diajarkan pendidikan umum seperti yang terdapat di pendidikan formal. Selain itu di pesantren ini juga terdapat beberapa kegiatan untuk mengembangkan keterampilan para santri.

5. Santri adalah orang yang belajar di pesantren dan menetap/tinggal di dalamnya.

6. Lama tinggal yaitu lamanya responden tinggal di Pesantren Nurul Iman sampai dengan dilakukan penelitian ini. Diukur dalam satuan tahun. Dibedakan ke dalam tiga kategori; (a) 1-2 tahun, (b) 3-4 tahun, dan (c) 5-6 tahun.

7. Motivasi masuk pesantren adalah alasan yang mendorong responden untuk belajar di pesantren. Dibedakan atas: (1) Paksaan orang tua, (2) Informasi/pengaruh orang lain, dan (3) Kemauan sendiri.

8. Jenis pekerjaan orang tua responden adalah jenis mata pencaharian yang ditekuni oleh orang tua santri, dibedakan menjadi: (1) Petani, dan (2) Bukan Petani

9. Status keanggotaan adalah predikat atau kedudukan responden dalam pertanian pesantren. dikategorikan menjadi: (1) Non inti dan (2) Inti. 10.Asal daerah adalah daerah atau tempat tinggal dimana responden berasal.

Dibedakan menjadi: (1) Perkotaan dan (2) Perdesaan.

11.Tingkat kepercayaan adalah seberapa besar kepercayaan yang terbangun antara responden dengan pesantren. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= STS (Sangat Tidak Setuju); 2= TS (Tidak Setuju); 3= R (Ragu-ragu); 4= S (setuju); dan 5= SS (Sangat Setuju). Hasil Pengukuran Dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :

Rendah : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 10 ≤ x ≤ 23,3 Sedang : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 23,4≤x≤ 36,7 Tinggi : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 36,8 ≤ x ≤50 12.Tingkat Kekuatan jejaring adalah seberapa banyak simpul-simpul jaringan yang ada serta keterlibatan responden dalam simpul-simpul tersebut. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= STS (Sangat Tidak Setuju); 2= TS (Tidak Setuju); 3= R (Ragu-ragu); 4= S (setuju); dan 5= SS (Sangat Setuju). Hasil Pengukuran dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :


(43)

Rendah : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 10≤ x ≤ 23,3 Sedang : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 23,4≤x≤ 36,7 Tinggi : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 36,8 ≤ x ≤50 13.Tingkat kepatuhan terhadap norma adalah ukuran seberapa besar norma

tersebut dipatuhi dalam kehidupan responden di pesantren. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert, yaitu: 1= STS (Sangat Tidak Setuju); 2= TS (Tidak Setuju); 3= R (Ragu-ragu); 4= S (setuju); dan 5= SS (Sangat Setuju). Hasil Pengukuran dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :

Rendah : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 10≤ x ≤ 23,3 Sedang : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 23,4≤x≤ 36,7 Tinggi : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 36,8 ≤ x ≤50 14.Tingkat partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang dilakukan

responden dalam program pertanian yang diadakan pesantren. Skala pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala nominal, yaitu: 1= Tidak; 2= Ya. Hasil pengukuran dibedakan sebagai berikut:

Rendah : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 12 ≤ x < 16 Sedang : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 16 ≤ x < 20 Tinggi : jika jumlah skor jawaban berada pada selang 20 ≤ x ≤ 24


(44)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan didukung oleh data-data kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian survei ini dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel dan pengujian hipotesis sehingga dikategorikan dalam penelitian penjelasan atau explanatory rsesearch (Singarimbun, 1995). Hubungan yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah hubungan kapital sosial (trust, noma sosial, dan jejaring) dengan tingkat partisipasi santri dalam pelaksanaan program pertanian pesantren. Pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan dan observasi lapang. Wawancara dilakukan kepada para santri, baik anggota maupun pengurus dalam program pertanian maupun di luar pertanian yang digunakan untuk mendukung data-data kuantitatif yang diperoleh.

3.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman yang berlokasi di Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman merupakan pesantren yang mampu menyelenggarakan pendidikan gratis bagi para santrinya di samping pelatihan dan program-program pemberdayaan yang diberikan kepada para santri tersebut. Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih tiga bulan, yaitu pada bulan Oktober sampai Desember 2010.

3.3 Penentuan Responden dan Informan

Populasi sampling dari penelitian ini adalah seluruh santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung. Populasi sasaran dari penelitian ini adalah seluruh santri yang mengikuti program pertanian pesantren. Kerangka sampling dari


(45)

penelitian ini adalah santri yang mengikuti program pertanian pesantren, baik anggota non inti maupun inti (pengurus). Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik simple cluster random sampling, yaitu pada kelompok inti (pengurus) dan non inti pertanian. Jumlah sampel yang diambil sebagai responden berjumlah 61 responden. Proporsi untuk masing-masing golongan adalah 50 persen dari anggota inti (13 responden) dan 50 persen dari anggota non inti (50 responden) pertanian pesantren. Akan tetapi 2 persen data dari anggota non inti (2 responden) tidak dapat diolah lebih lanjut karena kurang relevan dengan rancangan kuesioner. Dengan demikian jumlah responden dari anggota non inti hanya 48 responden (48 persen dari anggota inti).

Sedangkan informan penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) yang meliputi bagian kewirausahaan pesantren (Ustadz Ta’lim dan Ustadz Zuhri), pembina bidang pertanian (Ustadz Tatang Al Haitami), ketua pertanian (Ustadz Ilyas Nursalim), dan perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa STAINI (Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Iman). Unit analisis penelitian adalah individu, yaitu santri Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kuesioner, wawancara mendalam, dan pengamatan berperan serta terbatas. Sedangkan data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan topik penelitian.

3.5 Tekik Analisis Data

Data kuantitatif yang telah diperoleh kemudian dianalisis menggunakan tabulasi silang (kapital sosial dan partisipasi), uji independensi Chi-Square, dan uji korelasi Rank Spearman. Uji independensi Chi-Square dan uji korelasi Rank spearman dilakukan dengan bantuan perangkat lunak statistika yaitu SPSS versi 15 for Windows. Sedangkan analisis data kualitatif berupa reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.


(46)

BAB IV

GAMBARAN UMUM PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN 10

4.1 Profil Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman

Sesuai dengan namanya, “Al-Ashriyyah”, Pesantren Nurul Iman termasuk dalam kategori pesantren khalafi sebagaimana yang disebutkan oleh Dhofier (1994), yakni pesantren yang telah mengintegrasikan kurikulum pengetahuan umum dan pengetahuan agama dalam kegiatan belajar mengajar yang diterapkan. Selanjutnya, Pesantren Nurul Iman merupakan pesantren besar apabila dilihat dari jumlah santri dan pengaruh pesantren itu sendiri karena Pesantren Nurul Iman memiliki jumlah santri sekitar 19.000 orang yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Di samping santri, Nurul Iman juga memiliki unsur-unsur lain yang mencerminkan sebuah pesantren meliputi kyai/pengasuh (selama ini akrab dengan panggilan abah), masjid yang terdapat di kompleks santri putra dan putri, dan pengajian kitab klasik seperti tafsir dan sebagainya.

Pesantren Al-Ashriyyah telah memperlihatkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial kemasyarakatan. Sebagai lembaga pendidikan, Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman menyelenggarakan pendidikan/kegiatan belajar mengajar ilmu-ilmu pengetahuan agama islam dan pengetahuan umum, baik secara formal maupun non formal dalam keseharian para santri. Sisi unik dari Pesantren Nurul Iman adalah para santri dapat belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan di pesantren tanpa dikenakan biaya sedikit pun. Selain itu, pesantren juga tidak membedakan status sosial ekonomi para santri yang ingin belajar di dalamnya. Hal ini menunjukkan fungsi pesantren sebagai lembaga sosial.

Santri sebagai suatu komunitas dicirikan dengan interaksi yang tinggi di antara sesamanya karena tempat tinggal yang satu kompleks, adanya perhatian dan kebutuhan bersama yang ditunjukkan dengan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pesantren, seperti pertanian, yang didasarkan atas kebutuhan bersama berupa kemandirian pesantren dalam pangan di samping kebutuhan

10

Diolah dari data sekunder berupa dokumen tertulis dan data primer yang diperoleh di lapangan berdasarkan wawancara mendalam dengan pembina, pengurus, dan para santri Nurul Iman.


(47)

belajar. Para santri juga sering terlibat dalam kegiatan bersama dalam keseharian mereka maupun dalam program-program pesantren.

4.1.1 Sejarah Pesantren

Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman dipimpin/diasuh oleh Al ‘Allamah Al-‘Arif billah Asy-Syekh Al-Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim yang berlokasi di Jalan Nurul Iman No. 1 Rt 01/ I Desa Waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Sejarah pendirian pesantren berawal ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998 yang menyebabkan krisis multidimensi. Banyak kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, diantaranya semakin banyak anak bangsa yang putus sekolah. Atas dasar keprihatinan tersebut Asy-Syekh Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abi Bakar bin Salim bertekad mendirikan lembaga pendidikan bebas biaya.

Peletakan batu pertama Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman disaksikan oleh para Pejabat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor, para Pejabat Tinggi Negara Republik Indonesia dan juga Duta Besar dari beberapa negara pada tanggal 16 Juni 1998 di atas lahan seluas 175 hektar. Hingga Bulan November 2010, jumlah pelajar tercatat tidak kurang dari 19.000 santri. Nama Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman diambil dari bahasa Arab Al-Ashriyyah yang bermakna modern dengan tujuan agar pesantren ini menjadi pusat pembinaan pendidikan agama dan pengetahuan umum secara terpadu dan modern. Sedangkan Nurul Iman berasal dari kata Nuur yang bermakna cahaya, dan Al-Iman yang berarti keimanan. Dengan demikian Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman diharapkan mampu menciptakan ulama-ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan umum yang terpadu dan modern dengan diselimuti cahaya keimanan yang tinggi.

4.1.2 Visi dan Misi Pesantren

Visi dari Yayasan Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman adalah membangun manusia seutuhnya serta menciptakan generasi masa depan yang islami, cerdas, unggul, percaya diri, dan berjiwa mandiri. Adapun misinya dapat dijabarkan sebagai berikut:


(48)

1. Membekali santri dengan pengetahuan agama Islam sehingga santri memiliki kualitas spiritual yang tinggi

2. Menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti yang luhur bagi santri sehingga santri memiliki kepekaan sosial yang baik dan mampu menciptakan solusi di tengah-tengah masyarakat

3. Membekali santri dengan berbagai ilmu pengetahuan umum dengan sebaik-baiknya sehingga santri dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membangun daya intelektualitas yang tangguh

4. Menggali talenta dan jiwa kepemimpinan santri melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler sehingga santri menjadi agent of change yang unggul di masa mendatang

5. Membekali santri dengan berbagai keterampilan berproduksi untuk membangun jiwa kewirausahaan agar santri dapat menjadi motor penggerak kehidupan sosial-ekonomi yang baik di masa mendatang.

4.1.3 Program Pendidikan dan Pengembangan Pesantren

Seperti layaknya lembaga pendidikan lainnya, pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman juga memiliki program pengembangan untuk masa datang baik dalam bidang pendidikan maupun dalam pengembangan bangunan di lingkungan pondok pesantren. Untuk pendidikan, pesantren memiliki program untuk mewujudkan SDM yang berkualitas tinggi dalam keimanan dan ketakwaan, menguasai IPTEK yang menjadi tumpangan hidup di dunia. Oleh sebab itu, diadakanlah kursus-kursus di luar pendidikan formal dalam pembelajaran keseharian para santri seperti kursus bahasa, kursus komputer, kursus menjahit, pelatihan pertanian, pemanfaatan sampah-sampah menjadi bahan bangunan, perikanan dan lain-lain. Adapun jenjang pendidikan formal yang terdapat di YAPPANI (Yayasan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman) meliputi PAUD, SD, SMP, SMA, dan STAINI. Para santri pun dituntut untuk mampu menguasai minimal tiga bahasa asing yaitu bahasa Arab, Inggris, dan Mandarin untuk bekal panduan pelepasan mereka kelak. Selain itu, yayasan senantiasa berusaha mengembangkan kreatifitas serta meningkatkan pengetahuan dan profesionalitas tenaga kependidikan sesuai perkembangan dunia pendidikan yang menjadikan Pondok Pesantren


(1)

BAB X PENUTUP

9.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan mengenai karakteristik santri, kapital sosial pesantren, dan tingkat partisipasi santri dalam program pertanian pesantren, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1) Terdapat hubungan yang signifikan antara lama tinggal santri di pesantren dengan tingkat partisipasi dalam program pertanian pesantren (uji chi-square). Sedangkan untuk karakteristik yang lain seperti motivasi masuk pesantren, jenis pekerjaan orang tua, dan asal daerah tidak berhubungan signifikan dengan tingkat partisipasi dalam pogram.

2) Kapital sosial yang meliputi tingkat kepercayaan, tingkat kekuatan jejaring, dan tingkat kepatuhan terhadap norma memiliki kecenderungan lebih terlihat (lebih bekerja) pada anggota inti pertanian. Akan tetapi secara umum, baik anggota inti maupun non inti memiliki tingkat kapital sosial yang tinggi dalam program pertanian pesantren.

3) Berdasarkan uji chi-square, tidak terdapat perbedaan tingkat kapital sosial yang terbangun dalam program berdasarkan kararkteristik santri.

4) Beradasarkan uji korelasi Rank-Spearman antara kapital sosial dengan tingkat partisipasi santri dalam program tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Tingkat partisipasi lebih didasarkan atas keinginan para santri untuk belajar pertanian, keinginan mengabdi pada pesantren, dan perasaan bangga dengan almamater mereka. Hubungan yang tidak searah antara kapital sosial dengan tingkat partisipasi disebabkan adanya anggota yang memiliki tingkat kapital sosial dan tingkat partisipasi yang berlawanan (tidak searah) meskipun hanya sebagian kecil dari anggota secara keseluruhan.


(2)

9.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Program pertanian pesantren ke depannya diharapkan untuk lebih banyak melibatkan santri yunior sebagai upaya kaderisasi dalam program.

2) Santri/anggota non inti perlu didorong untuk lebih partisipatif dalam program dengan memberikan fasilitas yang lebih longgar kepada mereka dalam hal pendampingan, konsultasi, dan penyampaian gagasan. Setiap anggota dengan latar belakang keluarga dan asal daerah yang beragam didorong untuk lebih bersinergi dalam program mengingat satu sama lain memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan kelonggaran ruang partisipasi dan iklim snergitas diantara anggota dalam program diharapkan memberikan kontribusi pada pertanian pesantren yang lebih prospektif.

3) Tingkat kapital sosial pesantren yang tinggi perlu dipertahankan dan dijaga dengan baik melalui revitalisasi kegiatan-kegiatan bersama diantara entitas pesantren dan internalisasi nilai-nilai luhur pesantren di setiap diri santri, serta memfasilitasi akan keterdedahan terhadap informasi luar . Dengan demikian pesantren diharapkan mampu menjadi lembaga penyiaran agama, pendidikan, dan lembaga sosial kemasyarakatan yang komprehensif dan responsif terhadap perkembangan zaman.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alfiasari. 2004. Analisis Modal Sosial Pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas (Studi Kasus di Kecamatan Pamijahan dan Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Andriani, D. 2008. Pengembangan Kelembagaan Pesantren Sebagai Upaya Pengembangan Masyarakat (Studi Kasus Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Musri’ Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2010. Pontren Al-Asriyyah Nurul Iman Parung Bogor Jawa Barat.

http://www.Bataviase.co.id.htm. Diakses pada tanggal 13 Desember 2010 pukul 12:00 WIB.

Anonim. 2009. Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman. http://www.pondokpesantren.net/ponpren. Diakses pada tanggal 10 November 2010 pukul 09:11 WIB.

Apandi, A. Rahman. 2010. Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Program Pemberdayaan Ekonomi “Aku Himung Petani Banua” dari Perspektif Kapital Sosial (Kasus: PT Arutmin Indonesia Satui Mine, Kalimantan Selatan). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Chusnah, U. 2008. Evaluasi Partisipasi Masyarakat Dalam pelaksanaan Program Peningkatan Kualitas Sarana Prasarana Pendidikan Di SMA Negeri 1 Surakarta. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang.

Depag RI. 2003. Pola Pengembangan Pondok Pesantren. Jakarta : Dirjen Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan Islam dan Pondok Pesantren.


(4)

Depag RI. 2003. Pola Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan Islam dan Pondok Pesantren.

Gulo. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo

Hikmat, H. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.

Huraerah, A. 2008. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat: Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung: Humaniora.

Ife, Jime. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman.

Koentjaraningrat. 1977. Metode-metode Penelitian masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Lenggono, PS. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Maawardi, M. 2007. Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat. Dalam: Komunitas Edisi Juni Volume 3 No 2.

Madjid, T. Abdul. 1990. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Keterampilan Pertanian. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Mas’ud, A. 2004. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKIS.

Munadjat, I. 1991. Peranan Pesantren dalam Pembangunan Pedesaan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nasdian, F. Tonny. 2006. Modul Kuliah Pengembangan Masyarakat. Tidak Diterbitkan. Institut Pertanian Bogor.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Pramesti, A. 2005. Peranan Pesantren Al Zaytun Terhadap Peningkatan Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.


(5)

Qomar, M. 2007. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.

Rahmayulis, R. 2008. Modal Sosial Dalam Pengembangan Ekowisata Pada Masyarakat Adat Di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), Kalimantan Barat. Skripsi. Departemen Konservasi SumberDaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Riani, N. 2005. Pemberdayaan Komunitas Pesantren Melalui Penyelenggaraan Pendidikan Alternatif. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Setiawan, B. 2003. Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang. Makalah. Dalam: Seminar Nasional dengan tema "Hak Suara Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang" di Unissula, Semarang, 27 Februari.

Singarimbun, M dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Sudijono, A. 2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suharto. Tanpa Tahun. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/MODAL_SOSIAL_DAN_ KEBIJAKAN_SOSIA.pdf. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 22:00 WIB.

Supriono, A. et. al. Tanpa Tahun. Modal Sosial: Definisi, Dimensi, dan Tipologi. http://www.google.co.id/#hl=id&xhr=t&q=dimensi+kapital+sosial&cp=22 &pf=p&sclient=psy&aq=f&aqi=&aql=&oq=dimensi+kapital+sosial&pbx =1&fp=7366bd27edaa1805. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010 pukul 22:07 WIB.

Syahyuti. 2006. Tiga Puluh Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Yacub, M. 1984. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Angkasa.


(6)

Yustina, I dan Adjat Sudradjat. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press.

http://www.nuruliman.or.id. Diakses pada tanggal 9 November 2010 pukul 15:00 WIB.


Dokumen yang terkait

Pemberdayaan kewirausahaan terhadap santri di pondok pesantren: Studi kasus Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Parung, Bogor

13 96 96

HUBUNGAN ANTARA PENYAKIT SKABIES DENGAN TINGKAT KUALITAS HIDUP SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-MUAYYAD Hubungan Antara Penyakit Skabies Dengan Tingkat Kualitas Hidup Santri Di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta.

0 1 13

PERAN PEMIMPIN PONDOK PESANTREN AL-HIDAYAT DALAM MENANAMKAN ETIKA KEISLAMAN SANTRI Peran Pemimpin Pondok Pesantren Al-Hidayat Dalam Menanamkan Etika Keislaman Santri (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-HIdayat Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Tahun 2011

3 16 16

PERAN PEMIMPIN PONDOK PESANTREN AL-HIDAYAT DALAM MENANAMKAN ETIKA KEISLAMAN SANTRI Peran Pemimpin Pondok Pesantren Al-Hidayat Dalam Menanamkan Etika Keislaman Santri (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-HIdayat Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Tahun 2011

0 3 18

PENGELOLAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN NURUL HIJRAH KECAMATAN PECANGAAN PENGELOLAAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN NURUL HIJRAH KECAMATAN PECANGAAN KABUPATEN JEPARA.

0 0 12

FUNGSI PONDOK PESANTREN SALAFIAH NURUL IMAN DALAM PEMBINAAN AKHLAQ SANTRI DI DESA SUKA MAJU KECAMATAN KASUI KABUPATEN WAY KANAN

0 0 160

PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOOL PARUNG-BOGOR | Prayitno | QUALITY 2174 7424 1 SM

0 0 22

PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN SOSIAL SANTRI (STUDI KASUS PADA PONDOK PESANTREN AL-HASAN SALATIGA) - Test Repository

0 1 127

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOOL PARUNG-BOGOR. - STAIN Kudus Repository

0 1 15

BAB IV HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Objek Penelitian 1. Sejarah dan Kelembagaan Pondok Pesantren Nurul Iman Islamic - PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA SANTRI MELALUI ENTREPRENEURSHIP DI PONDOK PESANTREN AL-ASHRIYYAH NURUL IMAN ISLAMIC BOARDING SCHOO

0 0 49