Hasil Identifikasi Tanaman Hasil Karakterisasi Simplisia Hasil Skrining Fitokimia

90

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tanaman

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani menunjukkan bahwa sampel adalah tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli L Lampiran 1, halaman 46.

4.2 Hasil Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia Menurut Depkes RI 1995, standarisasi suatu simplisia merupakan persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi penetapan nilai untuk berbagai parameter produk. Simplisia yang akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan Materia Medika Indonesia. Pemeriksaan karakteristik simplisia ranting patah tulang terlihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Karakteristik simplisia ranting patah tulang Perlakuan Hasil M M I Edisi V. Kadar air Kadar abu total Kadar abu tidak larut dalam asam Kadar sari larut dalam air Kadar sari larut dalam etanol 7,99 8,74 0,98 17,65 7,56 - 13,5 1,50 31,0 6,00 Pemeriksaan karakteristik menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan 2000, parameter dan metode uji menyatakan, parameter kadar air Universitas Sumatera Utara 91 memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air dalam bahan. Kadar abu memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses asal sampai terbentuk ekstrak. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan, nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu. Hasil maserasi diperoleh rendemen sebesar 23,6 dengan berat ekstrak 115,1 gram dari berat simplisia 486 gram.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Skrining Fitokimia terhadap simplisia ranting patah tulang dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa fitokimia yang terdapat di dalamnya. Pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli L dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia ekstrak ranting patah tulang Skrining fitokimia Hasil Alkaloida Flavonoid Saponin Tanin Glikosida Steroida triterpenoid + + - + + + Keterangan : + = mengandung golongan senyawa, - = tidak mengandung golongan senyawa Simplisia ranting patah tulang Euphorbia tirucalli L pada Tabel 4.2 di atas memiliki kandungan senyawa kimia yaitu alkaloid, glikosida, flavonoid, tannin dan steroidtriterpenoid. Hal ini disebabkan pelarut yang digunakan adalah etanol yang sangat efektif untuk mengikat senyawa-senyawa seperti fixed oils, Universitas Sumatera Utara 92 lemak, lilin, alkaloid, flavon, polifenol, tanin, saponin, aglikon dan glikosida Wilbraham dan Matta, 1992; Filho, 2006. Studi isolasi senyawa bioaktif pada tumbuhan patah tulang Euphorbia. tirucalli L. memperlihatkan bahwa terdapat 5 senyawa metabolit yang berhasil diisolasi dengan pelarut etanol yaitu senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, triterpenoid dan hidroquinon. Sedangkan dengan pelarut aseton ada sebanyak 6 senyawa metabolit yang berhasil diisolasi yaitu alkaloid, tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid dan hidroquinon Hibban dan Natsir, 2010. 4.4 Hasil Uji Analgetik Ekstrak Etanol Ranting Patah Tulang EERPT Menggunakan Metode Plantar Infra Red IR 96 nm Metode plantar tesinfra red IR yang digunakan dalam percobaan ini merupakan salah satu metode pengujian analgetik. Alasan digunakan tiga macam dosis dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan antara dosis dan efek hasil percobaan. Jika suatu bahan uji memberikan hubungan dosis efek, artinya makin besar dosis yang diberikan, semakin besar efeknya. Respon nyeri setelah diinduksi panas infra red pada mencit ditunjukkan dalam bentuk menjilat kaki. Mediator nyeri yang spesifik untuk ini adalah prostaglandin, dalam penelitian ini menggunakan dua pembanding yaitu antalgin dan morfin. Analisis dilakukan dengan cara membandingkan waktu yang dibutuhkan hewan uji untuk menahan induksi panas dari infra red IR 96 nm, setelah pemberian ekstrak etanol ranting patah tulang, morfin sulfat, antalgin danNa- CMC. Waktu dicatat selama 90 menit dapat dilihat pada Tabel 4.3. Universitas Sumatera Utara 93 Tabel 4.3 Hasil waktu rata-rata respon mencit menahan induksi panas infra red IR tiap 10 menit selama 90 menit Kelompok Waktu Perlakuan Menit Ke- 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Rata-rata Respon Nyeri detik Na-cmc 1BB 8,8 8,8 8,3 7,8 7,4 7,0 7,2 7,0 6,5 EERPT 20 mgkg BB 14,2 14,2 15,1 18,6 17,3 14,9 13,8 12,2 10,8 EERPT 40 mgkg BB 13,1 16,4 19,7 17,8 16,4 16,3 13,9 12,3 11,0 EERPT 80 mgkg BB 17,5 20,3 20,0 22,1 18,2 17,4 14,2 12,6 11,7 Morfin 10 mgkg BB 15,9 25,0 18,0 17,5 16,9 14,8 14,0 13,4 12,3 Antalgin 300 mgkg BB 12,6 15,0 19,6 15,7 14,4 13,0 11,5 10,9 10,1 Dari pengamatan waktu menahan induksi nyeri panas infra red selama 90 menit pada Tabel 4.3, EERPT dosis 20 mgkg BB memiliki puncak tertinggi efek analgetik pada menit ke 40 yaitu 18,6 detik, EERPT dosis 40 mgkg BB memiliki puncak tertinggi efek analgetik pada menit ke 30 yaitu 19,7 detik,EERPT dosis 80 mgkg BB puncak tertinggi efek analgetiknya pada menit ke 40 yaitu 22,1 detik. Dibandingkan dengan morfin dosis 10 mgkg BB, respon puncak tertinggi dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, dan antalgin 300 mgkg BB respon puncak tertingginya di menit ke 30 yaitu 19,6 detik. Efek ini akan menurun kembali secara perlahan setelah selang menit ke 10 berikutnya sampai tidak memberikan efek analgetik. Gambar 4.2 parameter yang diukur pada induksi nyeri panas adalah waktu reaksi yaitu selang waktu antara pemberian stimulus nyeri sampai terjadinya respon. Waktu reaksi ini dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetik, perpanjangan waktu reaksi ini dapat dijadikan ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgetik Sirait, dkk., 1993. Universitas Sumatera Utara 94 Hasil pengujian analgetik metode plantar tes infra red didapat grafik seperti Gambar 4.2 di atas. Bila dilihat dari data waktu yang dibutuhkan untuk menahan induksi nyeri selama 90 menit terlihat bahwa pemberian kontrol Na- CMC efek analgetiknya paling kecil ataupun tidak mempunyai efek analgetik yang diinginkan. Kelompok EERPT dosis 20 dan 40 mgkg BB dilihat dari grafik di atas memberikan efek analgetik yang diharapkan dalam puncak sedang, kelompok dosis 80 mgkg BB dilihat dari grafiknya memberikan efek analgetik yang cukup kuat. Bisa dikatakan bahwa semakin besar dosis EERPT yang diberikan, waktu menahan induksi nyeri semakin lama. 5 10 15 20 25 30 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Wa k tu r es po n i nduk si ny er i in fra r ed d eti k Waktu lama pengamatan menit Na-cmc 1BB EERPT 20 mgkg BB EERPT 40 mgkg BB EERPT 80 mgkg BB Morfin 10 mgkg BB Antalgin 300 mgkg BB Gambar 4.2 Induksi nyeri infra red ekstrak etanol ranting patah tulang EERPT dibandingkan dengan morfin sulfat dan antalgin keterangan: Universitas Sumatera Utara 95 Rasa nyeri merupakan mekanisme untuk melindungitubuh terhadap suatu gangguan dan kerusakan dijaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dankejang otot dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium dan asetilkolin Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Tan dan Rahardja, 2002. Berdasarkan mekanisme kerja efek analgetik berfungsi menghambat biosintetis prostaglandin. Prostaglandin merupakan hormon lokal yang disintesis di berbagai organ dan bekerja di tempatitu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada terjadinya nyeri yang berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam Mutschler, 1991; Tan dan Rahardja, 2002. Untuk mengetahui lebih jauh adanya perbedaan waktu menahan induksi nyeri yang diberikan antara kelompok perlakuan dilakukan analisa statistik ANOVA satu arah dengan taraf kepercayaan 95. Dari hasil analisis statistik diperoleh perbedaan bermakna p 0,05 waktu dibutuhkan menahan induksi nyeri infra red IR selama 90 menit antara kelompok perlakuan dapat dilihat Tabel 4.4. Universitas Sumatera Utara 96 Tabel. 4.4 Hasil uji taraf kepercayaan 95 respon mencit menahan induksi nyeri infra red IR selama 90 menit. Keterangan : p = nilia signifikansi berbeda bermakna p 0.05 , berbeda bermakna dengan kontrol p 0,05, Tidak berbeda bermakna dengan morfin sulfat p 0,05, ≠ Tidak berbeda bermakna dengan antalgin p 0,05 kelompok Waktu Pengamatan Pada Menit Ke- 10 p 20 p 30 p Na-CMC 8,8 ± 0,46 0,000 0,005 8,8 ± 0,46 0,000 0,001 8,3 ± 0,45 0,000 0,000 Morfin 15,9 ± 0,77 0,000 0,039 25,0 ± 1,46 0,000 0,001 18,0 ± 0,35 0,000 0,703 ≠ Antalgin 12,6 ± 0,58 0,005 0,039 15,0 ± 0,81 0,001 0,001 19,6 ± 1,20 0,000 0,703 EETPT 20 mgkg BB 14,2 ± 0,48 0,000 0,657 0,581 ≠ 14,2 ± 0,48 0,005 0,000 0,992 ≠ 15,1 ± 0,58 0,000 0,014 0,005 EETPT 40 mgkg BB 13,1 ± 0,52 0,001 0,012 0,994 ≠ 16,4 ± 0,93 0,000 0,000 0,891 ≠ 19,7 ± 0,55 0,000 0,621 1,000 ≠ EETPT 80 mgkg BB 17,5 ± 1,04 0,000 0,402 0,000 20,3 ± 1,14 0,000 0,035 0,005 20,0 ± 1,16 0,000 0,492 0,999 ҂ Waktu Pengamatan Pada Menit Ke- 40 p 50 p 60 p Na-CMC 7,8 ± 0,63 0,000 0,000 7,4 ± 0,75 0,000 0,000 7,0 ± 0,59 0,000 0,000 Morfin 17,5 ± 0,49 0,000 0,678 ≠ 16,9 ± 0,69 0,000 0,583 ≠ 14,8 ± 0,42 0,000 0,571 ≠ Antalgin 15,7 ± 1,21 0,005 0,678 14,4 ± 1,36 0,001 0,583 13,0 ± 0,69 0,000 0,571 EETPT 20 mgkg BB 18,9 ± 1,03 0,000 0,876 0,001 17,3 ± 1,42 0,000 1,000 0,429 ≠ 14,9 ± 0,82 0,000 1,000 0,505 ≠ EETPT 40 mgkg BB 17,8 ± 0,97 0,000 1,000 0,511 ≠ 16,4 ± 0,95 0,000 1,000 0,767 ≠ 16,3 ± 1,06 0,000 0,739 0,051 EETPT 80 mgkg BB 22,1 ± 0,66 0,000 0,011 0,000 18,2 ± 1,02 0,000 0,949 0,152 ҂ 17,4 ± 0,84 0,000 0,182 0,004 Waktu Pengamatan Pada Menit Ke- 70 p 80 p 90 p Na-CMC 7,2 ± 0,40 0,000 0,000 7,0 ± 0,38 0,000 0,000 6,5 ± 0,22 0,000 0,000 Morfin 14,0 ± 0,52 0,000 0,019 13,4 ± 0,56 0,000 0,001 12,3 ± 0,42 0,000 0,000 Antalgin 11,5 ± 0,30 0,000 0,019 10,9 ± 0,33 0,000 0,001 10,1 ± 0,32 0,000 0,000 EETPT 20 mgkg BB 13,8 ± 0,33 0,000 0,999 0,460 ≠ 12,2 ± 0,26 0,000 0,230 0,163 ≠ 10,8 ± 0,21 0,000 0,171 0,526 ≠ EETPT 40 mgkg BB 13,9 ± 0,90 0,000 1,000 0,030 12,3 ± 0,42 0,000 0,314 0,113 ≠ 11,0 ± 0,21 0,000 0,049 0,282 ≠ EETPT 80 mgkg BB 14,2 ± 0,37 0,000 1,000 0,009 12,6 ± 0,13 0,000 0,720 0,024 11,7 ± 0,28 0,000 0,724 0,008 Universitas Sumatera Utara 97 Hasil analisis uji taraf kepercayaan 95 pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kelompok dosis EERPT dosis 20, 40 dan 80 mgkg BB pada menit ke 10 sampai menit ke 90 terhadap kontrol Na-CMC mampu menahan nyeri dan memperlihatkan perbedaan bermakna p 0,05. EERPT dosis 20 mgkg BB terhadap pembanding morfin, nilai berbeda bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT dosis 20 mgkg BB dimenit ke 40 yaitu 18,6 detik dan morfin dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, ini sangat jauh berbeda dilihat dari puncak respon aktivitas analgetik. Terhadap pembanding antalgin dengan EERPT dosis 20 mgkg BB tidak bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT 20 mgkg BB dimenit ke 40 yaitu 18,6 detik dan antalgin dimenit ke 30 yaitu 19,6 detik, EERPT 20 mgkg BB ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin. EERPT dosis 40 mgkg BB terhadap pembanding morfin, nilai berbeda bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT dosis 40 mgkg BB dimenit ke 30 yaitu 19,7 detik dan morfin dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, ini sangat jauh berbeda dilihat dari puncak respon aktivitas analgetik. Terhadap kelompok antalgin dengan EERPT dosis 40 mgkg BB tidak bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT 40 mgkg BB dimenit ke 30 yaitu 19,7 detik dan antalgin dimenit ke 30 yaitu 19,6 detik, EERPT 40 mgkg BB ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin. EERPT dosis 80 mgkg BB terhadap pembanding morfin, nilai tidak berbeda bermakna. Dilihat dari hasil analisis puncak respon EERPT 80 mgkg BB dimenit ke 40 yaitu 22,1 detik dan morfin dimenit ke 20 yaitu 25,0 detik, EERPT 80 mgkg BB ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding Universitas Sumatera Utara 98 morfin. Terhadap kelompok pembanding antalgin adanya nilai berbeda bermakna. Khasiat ranting patah tulang sebagai analgetik, kemungkinan karena kandungan alkaloidnya yang cukup besar. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan yaitu Laporan penelitian dari Purwaningsih 1999, dalam Nurdiana, dkk., 2000, menyebutkan bahwa ekstrak alkaloid daun wungu mempunyai efek analgetik pada tikus. Laporan penelitian dari Hesti, dkk., 2003, yang menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia minyak atsiri dari ekstrak umbi teki diduga mempunyai efek analgetik pada mencit jantan. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan efek analgetik dari ekstrak ranting patah tulang ini karena adanya interaksi efek dari kandungan kimia yang lain seperti flavonoidnya dan hal ini telah dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Nurdiana, dkk., 2000, menggunakan ekstrak flavonoid daun wungu pada tikus yang menyatakan bahwa salah satu kandungan daun wungu yang diduga mempunyai efek analgetik adalah flavonoidnya. Penelitian yang dilakukan oleh Pudjiastuti, dkk., 1996, tentang efek analgetik daun sembung didapatkan hasil bahwa kandungan senyawa terpennya bersifat analgetik. Jadi, khasiat ranting patah tulang sebagai analgetik karena kandungan senyawa-senyawa kimia yang ada di dalamnya yaitu alkaloid, flavonoid dan triterpen. Analisis antara kelompok EERPT dosis 20 mgkg BB dan 40 mgkg BB memiliki aktivitas analgetik sama dan hanya memiliki puncak respon yeng berbeda. EERPT dosis 20 mgkg BB dan 80 mgkg BB memiliki aktivitas puncak respon analgetik yang berbeda dan puncak respon aktivitas lebih tinggi EERPT dosis 80 mgkg BB. EERPT dosis 40 mgkg BB dan 80 mgkg BB memiliki Universitas Sumatera Utara 99 aktivitas puncak respon analgetik yang berbeda dan puncak respon aktivitas lebih tinggi EERPT dosis 80 mgkg BB. Ketiga kelompok dosis memiliki aktivitas analgetik untuk meringankan rasa nyeri, tetapi yang memberikan aktivitas analgetik yang cukup kuat adalah EERPT dosis 80 mgkg BB. Dapat disimpulkan ekstrak etanol ranting patah tulang EERPT dosis 20 dan 40 mgkg kerja efek analgetik ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding antalgin. 300 mgkg BB merupakan analgetik ringan yang bekerja menghilangkan rasa nyeri secara perifer, yaitu dengan menghambat pembentukan prostaglandin, sehingga sensitas reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi berkurang, dan EERPT dosis 80 mgkg BB kerja efek analgetik ini memberikan aktivitas analgetik equivalen dengan pembanding morfin 10 mgkg BB merupakan analgetik sangat kuat bekerja sentral pada hipotalamus di reseptor opioid. EERPT dosis 80 mgkg BB mempunyai daya analgetik lebih baik dari kelompok EERPT dosis 20 dan 40 mgkg. Universitas Sumatera Utara 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN