Hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS

(1)

PASIEN HIV & AIDS

Skripsi

Oleh:

ERLANGGA RIZALDY NIM:108102000053

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H


(2)

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang

dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Erlangga Rizaldy

NIM : 108102000053

Tanda Tangan :


(3)

(4)

(5)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Erlangga Rizaldy NIM : 108102000053 Program Studi : Farmasi

Fakultas : KedokterandanIlmuKesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karyai lmiah saya, dengan judul :

HUBUNGAN SHALAT TAHAJUD DENGAN PERUBAHAN KADAR KORTISOL DAN SKOR TINGKAT STRES PADA PASIEN HIV & AIDS

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : Mei 2013

Yang menyatakan,


(6)

vi Nama : Erlangga Rizaldy Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS

Kortisol merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks adrenal sebagai respon terhadap stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penerapan shalat tahajud dengan perubahan jumlah hormon kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Desain penelitian yang digunakan adalah non randomized control group pretest-postest design dengan sampel 16 orang laki-laki yang sesuai dengan criteria inklusi dan eksklusi. Kelompok intervensi ( KI 8 orang ) diukur jumlah hormone kortisol dan skor tingkat stres sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa shalat tahajud selama 6 minggu, frekuensi 3 kali per minggu dengan dosis 5 rakaat dalam waktu 1 jam dan kelompok kontrol (KK 8 orang ) tanpa perlakuan. Hasil uji dependen sample t-test pada variable hormone kortisol didapatkan nilai p= 0,213, artinya tidak ada hubungan bermakna antara shalat tahajud dengan perubahan kortisol pada pasien HIV & AIDS. Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan nilai p= 0,001, artinya ada hubungan bermakna antara shalat shalat tahajud dengan perubahan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS. Hasil uji independen sample t-test pada variable jumlah hormon kortisol tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p= 0,794. Sedangkan pada variabel skor tingkat stres didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p= 0,010. Dari penelitian ini dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara shalat tahajud dengan hormone kortisol pada pasien HIV & AIDS, tapi ada hubungan dengan skor tingkat stres.


(7)

vii Name : Erlangga Rizaldy Study program : Pharmacy

Title : The Correlation Between Shalat tahajud with the changes of Cortisol and the score of stress level in patients with HIV & AIDS

Cortisol is a hormone produced by the adrenal cortex in response to stres. This research aims to know the correlation of shalat tahajud with the changes of hormone cortisol and the score of stress level in patients with HIV & AIDS. The design of this research used a quasi experimental non randomized control group pretest-postest design by the number of samplesare 16 men who fit the criteria of inclusion and exclusion. Treatment group (8 men) measured the amount of hormone cortisol and stress level score before and after the treatment of shalat tahajud given for 6 weeks, the frequency of three times a week with a dose of 5 rakaat in 1 hour and control group (KK 8 people) without treatment. The dependent samples t-test results at the variable value of cortisol obtained p = 0,213, it means that there is no significant correlation between shalat tahajud with changes of cortisol in patients of HIV & AIDS. Whereas at the variable score of stress level obtained p=0,001, it means that there is a significant correlation between shalat tahajud with changes of score of stress level in patients of HIV & AIDS. The independent sample t-test results-test on a variable number of hormone cortisol obtained no significant correlation between the treatment group and a control group difference with a value of p = 0,794. While on a variable level of stress obtained significant correlation with value p = 0,010. From this research we can conclude there is no correlation between shalat tahajud with the changes of hormone cortisol in patients of HIV & AIDS but there is correlation with the score of stress level.


(8)

viii

Puji syukur kepada Allah Azza wa Jalla, yang oleh karena pertolongan dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Makalah skripsi yang berjudul “Hubungan Shalat Tahajud dengan Perubahan Kadar Kortisol dan Skor Tingkat Stres Pada Pasien HIV dan AIDS”dibuat untuk memenuhi tugas Skripsi dan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada penulisan ini, penulis juga ingin mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

(1) Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(2) Zilhadia Msi, Apt dan dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P, MARS selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(3) Drs. Umar Mansur M.Sc selaku kaprodi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4) Para dosen Farmasi UIN yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan wawasannya.

(5) Mami Vinolia, Mami Rully, Mami Sarinah, dan teman-teman lain dari LSM Kebaya yang turut membantu pelaksanaan penelitian ini.

(6) Mbak Titi dari Prodia Yogyakarta yang membantu dalam pemeriksaan laboratorium.

(7) Rekan penelitian Akhmad Safi’i yang telah bersama dalam suka dan duka. (8) Kedua orang tua tercinta Ibunda Mimie Sulistyorini dan Ayahanda Sanu

Budi yang senantiasa berdo’a, memberikan curahan kasih sayang, dukungan moral dan materi terhadap seluruh kegiatan penulis.


(9)

ix sama dengan kita semua.

(10)Mas Makmun, Rikza dan segenap teman di Yogyakarta yang telah membantu demi kelancaran penelitian ini.

(11)Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi, Saya ucapkan terimakasih.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini dan melaksanakan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Jakarta, April 2013


(10)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Erlangga Rizaldy NIM : 108102000053 Program Studi : Farmasi

Fakultas : KedokterandanIlmuKesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karyai lmiah saya, dengan judul :

HUBUNGAN SHALAT TAHAJUD DENGAN PERUBAHAN KADAR KORTISOL DAN SKOR TINGKAT STRES PADA PASIEN HIV & AIDS

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : Mei 2013

Yang menyatakan,


(11)

xi

halaman

HALAMAN JUDUL ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iv

HALAMAN PENGESAHAN v

ABSTRAK vi

ABSTRACT vii

KATA PENGANTAR viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Hipotesis 4

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KonsepDasar HIV 6

2.1.1 Definisi Virus HIV 6

2.1.2 Epidemiologi 6

2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV /AIDS 7 2.1.4 Komplikasi atau Infeksi Oportunistik 10

2.1.5 Tatalaksana Klinis 10

2.2 Konsep Dasar Shalat Tahajud 13 2.2.1 Makna Shalat Tahajud 14 2.2.2 Waktu Pelaksanaan Shalat Tahajud 15 2.2.3 Bilangan Rakaat Shalat Tahajud 15

2.3 Konsep Dasar Kortisol 16

2.3.1 Kelenjar Adrenal dan Sekresi Kortisol 16 2.3.2 Metabolisme Kortisol 17 2.3.3 Efek Kortisol Terhadap Sistem Imun 18 2.4 Konsep Dasar Psikoneuroimunologi 20 2.5 Psikoneuroimunologi Shalat Tahajud 22 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep 29

3.2 Definisi Operasional 31


(12)

xii

4.3.1 Alat 33

4.3.2 Bahan 33

4.4 Populasi dan Sampel 34

4.4.1 Populasi 34

4.4.2 Sampel 34

4.4.3 Teknik Pengambilan Sampel 35

4.5 ProsedurKerja 35

4.5.1 Prosedur Pengambilan Darah 35 4.5.2 Pembuatan Serum 36 4.5.3 Pemeriksaan Hormon Kortisol 36 4.5.4 Pengukuran Skor Tingkat Stres 36

4.6 Variabel Penelitian 37

4.6.1 Variabel Independen 37

4.6.2 Variabel Dependen 37

4.7 Analisa Data 37

4.7.1 Analisa Univariat 37

4.7.2 Analisa Bivariat 37

4.8 Etika Penelitian 38

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisa Univariat 39 5.1.1 Karakteristik Responden 39 5.1.2 Hasil Pengukuran Kadar Kortisol 40 5.1.3 Hasil Pengukuran Tingkat Stres 42

5.2 Analisa bivariat 44

5.2.1 Uji Normalitas 44

5.2.2 Hasil Uji Statistik 45 5.3 Keterbatasan penelitian 46

5.4 Pembahasan 47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan 51

6.2 Saran 51


(13)

xiii

halaman

Tabel III. Definisi Operasional 31

Tabel V.1. Karakteristik Responden 39 Tabel V.2. Hasil pengukuran kadar hormon kortisol kelompok intervensi 40 Tabel V.3. Hasil pengukuran kadar hormon kortisol kelompok kontrol 41 Tabel V.4. Hasil pengukuran skor DASS pada kelompok intervensi 42 Tabel V.6. Hasil Uji Dependen T-Test 43 Tabel V.7. Hasil Uji Independen T-Test 45


(14)

xiv

halaman

Gambar 1.Mekanisme kerja kortisol 17

Gambar 2.Siklus sekresi kortisol dalam 24 jam 19 Gambar 3.Alur kerja psikoneuroimunologi shalat tahajud 26

Gambar 4.Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM 27

Gambar 5.Kerangka konsep penelitian 30


(15)

xv

halaman

Lampiran 1. Alur Kerja Penelitian 56

Lampiran 2. Tata Cara ShalatTahajud 57

Lampiran 3. Instrumen DASS 42 59

Lampiran 4. Formulir Persetujuan Menjadi Responden 61

Lampiran 5. Ethical Clearance 62

Lampiran 6. Surat Keterangan Melakukan Penelitian 63 Lampiran 7. Alat-Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kortisol 64 Lampiran 8. Pelaksanaan ShalatTahajud 65 Lampiran 9. Hasil pemeriksaan DASS dengan SPSS 66 Lampiran 10. Hasil pemeriksaan Kortisol dengan SPSS 67 Lampiran 11. Hasil pemeriksaan DASS Kelompok Kontrol dengan SPSS 68 Lampiran 12. Hasil pemeriksaan Kortisol Kelompok Kontrol dengan

SPSS 69

Lampiran 13 . Hasil perbandingan kelompok Intervensi dengan kelompok


(16)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Shalat merupakan rukun kedua dalam lima rukun Islam. Perintah shalat disebutkan dalam Al Qur‟an.Salah satu ayat dalam Al Qur‟an yang berisi perintah shalat terdapat pada QS.Al Baqarah ayat 43:“Dan dirikanlah

shalat dan bayarlah zakat, dan ruku‟lah bersama-sama orang-orang yang ruku”. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Mu‟adz bin Jabal bahwa Rasulullah Shallallahu‟alaihi Wa Sallam bersabda : “Pokok dari seluruh

perkara adalah islam, dan tiangnya adalah shalat, dan puncak tertinggi dari segala urusan tersebut adalah jihad”.

Shalat secara bahasa berarti do‟a.Shalat juga dapat berarti do‟a untuk mendapat kebaikan atau sholawat bagi Nabi Muhammad SAW. Secara terminologi, shalat adalah suatu ibadah yang terdiri atas ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat tertentu (Sholeh, 2009).

Salah satu shalat yang memiliki banyak keutamaanadalah shalat tahajud.Shalat tahajud adalah shalat sunah yang dilaksanakan pada malam hari setelah bangun tidur. Sebelum perintah shalat lima waktu turun, Rasulullah SAW pernah memerintahkan para pengikutnya untuk melakukan shalat tahajud. Hal ini tertulis dalam hadist :“Hai sekalian manusia,

sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan sertashalatmalamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk surge dengan selamat.” (HR Tirmidzi)

Selain membuat pelakunya mendapatkan tempat istimewa di hadapan Allah SWT, peningkatan kekebalan tubuh juga dapat terjadi dengan melakukan shalat tahajud, sebagaimana penelitian dari Sholeh (2009). Shalat tahajud yang dijalankan dengan gerakan tepat, rutin, dan tentu saja dengan


(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tulus ikhlas bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh meningkat, bisa mengurangi resiko penyakit jantung, dan meningkatkan usia harapan.

Salah satu penyakit yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS adalah sindroma penyakit defisiensi imunitas seluler yang didapat, disebabkan oleh HIV yang merusak sel yang berfungsi untuk sistem kekebalan tubuh yaitu CD4 (Lymphocyte T-helper) (Astari et al, 2009).

HIV & AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obat yang dapat memulihkannya sampai saat ini. Penderita HIV & AIDS dianggap aib sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terutama pada penderitanya maupun keluarga dan lingkungan di sekelilingnya. Orang yang terinfeksi HIV terbukti memiliki stres yang tinggi akibat trauma masa lalu seperti pelecehan seksual dan fisik, juga ditambahkan karena beban hidup akibat stigma negatif HIV (Leserman, 2003). Jika ditambah dengan stres yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997) jika stres mencapai tingkat exhausted stage (tahap keletihan) dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang memperparah keadaan pasien dan mempercepat kejadian AIDS (Nursalam, 2007).

Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh pada penderitanya. Faktor psikososial diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh melalui beberapa hormon adrenal, termasuk kortisol dan katekolamin (Mc Ewen, 1998). Pasien yang mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan menghasilkan Corticotropine Releasing Factor (CRF) yaitu pada sel basofilik. Sel basofilik tersebut akan mengekspresikan Adrenal Cortico Tropic Hormon (ACTH) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata,


(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kelenjar ini akan menghasilkan kortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan kortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun yang meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); dan sel plasma: IFNy; IL-2; IgM – IgG dan Antibodi-HIV (Ader, 2007).

Menurut Leserman (2003), kortisol merupakan mediasi antara stres yang berkaitan dengan sistem imun pada HIV. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kortisol positif terkait dengan stres dan depresi pada HIV. Seperti yang dilakukan Christeff, et al (1997) menunjukkan bahwa jumlah CD4 yang rendah terkait dengan kadar kortisol yang lebih tinggi pada pasien yang positif HIV. Goodkin et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah sel CD4 diikuti juga dengan penurunan kortisol pada partisipan yang mengikuti terapi untuk menghilangkan kecemasan. Ada beberapa jalur dimana kortisol dapat mempengaruhi perubahan fungsi kekebalan tubuh dan perkembangan penyakit HIV. Kortisol dapat merangsang replikasi virus HIV, memodifikasi program kematian sel, dan mengubah pola sekresi sitokin (Th1 dan Th2). Selain itu studi klinis lain menunjukkan bahwa tingkat virus yang terdeteksi dalam kultur sel dari pasien dengan AIDS bisa meningkat karena hidrokortison. (Leserman, 2003, h. 28).

Penelitian terhadap penderita HIV & AIDS yang berhubungan dengan dimensi psikoreligi telah banyak dilakukan dan membawa hasil yang cukup bermakna bagi meningkatnya daya tahan tubuh. Ironson melakukan penelitian pada penderita HIV & AIDS Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh terapi keagamaan terhadap kekebalan tubuh penderita .Kelompok penderita dibagi dua yaitu kelompok pertama terdiri dari 79 orang dan kelompok kedua terdiri dari 200 orang. Kelompok pertama dalam riwayat kehidupanya menjalankan kegiatan keagamaan, sementara pada kelompok kedua tidak. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok pertama yang melakukan kegiatan keagamaan dan spiritualitas dapat memperpanjang usia dan menurunkan tingkat stres yang ditandai dengan penurunan kortisol (Ironson, 2002).


(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penelitian lain juga dilakukan oleh Antoni et al (2000) dengan melakukan Cognitive-behavioral Stres Management (CBSM) yang dilakukan pada 47 pria terinfeksi HIV (34 CBSM dan 13 kelompok kontrol) menunjukkan penurunan depresi dan perbaikan mood yang disertai dengan banyaknya penurunan kadar kortisol pada kelompok yang mendapat intervensi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nasronudin et al (2008) pada pasien HIV & AIDS di RSU Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dengan psikoterapi transpersonal yang meliputi visualisasi, meditasi, dan pujian dapat meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan sistem imun, dan menurunkan stres.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai hubungan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS di LSM Kebaya Yogyakarta dengan jumlah sampel 8 untuk kelompok intervensi dan 8 juga untuk kelompok kontrol. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimental non randomized control group pretest-postest design dalam jangka waktu 6 minggu. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur kadar kortisol dan skor tingkat stres pada responden sebelum menjalankan shalat tahajud dan setelah 6 minggu diukur kembali kadar kortisol dan skor tingkat stres.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah terdapat penurunan kadar kortisol sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS?

2. Apakah terdapat penurunan skor tingkat stres sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS?

1.3 Hipotesis

1. Terdapat penurunan kadar kortisol sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS.

2. Terdapat penurunan skor tingkat stres sesudah melakukan shalat tahajud pada pasien HIV & AIDS.


(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1.4 Tujuan Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahuiapakah ada hubungan shalat tahajud terhadap perubahankadar kortisol dan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan hubungan pelaksanaan shalat tahajud dengan perubahan kadar kortisol dan menurunkan skor tingkat stres pada pasien HIV & AIDS.

2. Memberikan informasi ilmiah tentang perubahan kadar kortisol dan tingkat stres sebelum dan sesudah melakukan shalat tahajud.

3. Memberikan kontribusi yang positif bagi pasien HIV & AIDS dan keluarganya.


(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Human Immuno Deficiency Virus (HIV) 2.1.1 Definisi Virus HIV

HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili

Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan DNA dari RNA yang ada di dalam virus. DNA salinan tersebut yang menyebabkan virus dapat bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain, HIV hanya dapatbereplikasi di dalam sel pejantan. HIV merupakan virus yang memiliki selubung virus (envelope), mengandung dua kopi genomik RNA virus yang terdapat di dalam inti. Di dalam inti virus juga terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus (Astari et al, 2009).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut laporan yang diterbitkan oleh UNAIDS (2005) telah terdapat sekitar 40 juta orang (36,7-45,3 juta orang) yang hidup bersama Virus HIV sebagai penyebab penyakit AIDS di akhir 2011. Dalam tahun 2005 saja diperkirakan sekitar 5 juta orang kasus terinfeksi HIV. Episentrum penyakit ini terdapat didaerah sub Sahara Afrika dengan jumlah orang terinfeksi HIV hampir 2/3 dari seluruh penderita terinfeksi HIV di dunia. Angka infeksi pada golongan umur dewasa terdapat 7% dari seluruh populasi yang terinfeksi HIV (Subowo, 2010)

Pada akhir tahun 2003, terdapat 12 juta orang yang menjadi yatim piatu karena ditinggal mati orang tuanya yang menderita AIDS. Walaupun


(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jumlah penderita di Afrika paling buruk, namun jumlah orang yang teinfeksi oleh HIV meningkat di sebagian besar wilayah khususnya Eropa timur, Asia Tengah, sedang di India dan Cina terjadi peningkatan epidemik dengan prevalensi 1-2 % pada wanita hamil. Epidemi penyakit ini telah meningkat dengan menampakkan wajah perempuan. Perempuan yang berumur di atas 16 tahun berkontribusi hampir 50% dalam populasi dengan infeksi HIV &AIDS di wilayah sub –Sahara Afrika. Kunci demografi yang lain mengarah pada kelompok umur 15-24 tahun, karena orang-0rang dalam kelompok umur ini menyumbangkan hampir 1/3 dari jumlah seluruh penderita terinfeksi HIV (Subowo,2010).

2.1.3 Perjalanan Infeksi HIV

Secara ringkas perjalanan infeksi HIV dapat dijelaskan dalam tiga fase, yaitu: (1) Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut); (2) Fase Infeksi Laten; (3) Fase Infeksi Kronis(Astari et al, 2009).

Fase Infeksi Akut (Sindroma Retroviral Akut)

Keadaan ini disebut juga infeksi primer HIV. Sindroma akut yang terkait dengan infeksi primer HIV ini ditandai oleh proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang besar. Virus yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu sekitar tiga minggu setelah terjadinya infeksi.Pada periode ini protein virus dan virus yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga cairan serebrospinal, jumlah virion di dalam plasma dapat mencapai 106 hingga 107 per mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus dalam jumlah yang besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi akut dengan gejala yang mirip infeksi mononukleosis akut yakni antara lain: demam, limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah, yang timbul sekitar 3–6 minggu setelah infeksi. Pada fase ini selanjutnya akan terjadi penurunan sel limfosit T-CD4 yang signifikan sekitar 2–8 minggu pertama infeksi primer HIV, dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase


(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini masih diatas 500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah enam minggu terinfeksi HIV(Astari et al, 2009).

Fase Infeksi Laten

Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respons imun spesifik tubuh terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus hilang dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respons imun seluler, akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respons imun humoral. Selama periode terjadinya respons imun yang kuat, lebih dari 10 milyar HIV baru dihasilkan tiap harinya, namun dengan cepat virus-virus tersebut dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan hanya memiliki waktu paruh sekitar 5–6 jam. Meskipun di dalam darah dapat dideteksi partikel virus hingga 108 per ml darah, akan tetapi jumlah partikel virus yang infeksius hanya didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit, hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar virus telah berhasil dihancurkan. Pembentukan respons imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan infeksi mulai memasuki fase laten. Namun demikian sebagian virus masih menetap di dalam tubuh, meskipun jarang ditemukan di dalam plasma, virus terutama terakumulasi di dalam kelenjar limfe, terperangkap di dalam sel dendritik folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi, sehingga penurunan limfosit T-CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit.Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3 (Astari et al, 2009).

Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi primer, akan mencapai jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu "set point" selama fase laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya penyakit AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml darah, penyakit AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10 tahun. Sedangkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml, infeksi HIV tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar pasien dengan jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami


(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penurunan jumlah limfosit T-CD4 yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Sejumlah pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah virus antara 10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada fase infeksi laten. Pada fase ini pasienumumnya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis. Fase laten berlangsung sekitar 8–10 tahun (dapat 3-13 tahun) setelah terinfeksi HIV (Astari et al, 2009).

Fase Infeksi Kronis

Berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler serta sel limfosit T-CD4 yang menjadi target utama dari virus HIV oleh karena banyaknya jumlah virus.Fungsi kelenjar limfa sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik.respons imun tidak mampu mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T-CD4 menurun hingga dibawah 200 sel/mm3, jumlah virus meningkat dengan cepat sedangkan respons imun semakin tertekan sehingga pasien semakin rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang dapat disebabkan oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi AIDS pasien jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi terapi. Infeksi sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia yang disebabkan

Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan koksidiodomikosis. Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu, kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma Kaposi's (Astari et al, 2009).

Selain tiga fase tersebut di atas, pada perjalanan infeksi HIV terdapat periode masa jendela atau "window period" yaitu, periode saat


(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pemeriksaan tes antibodi terhadap HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien yang terinfeksi HIV dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium oleh karena kadarnya belum memadai.Periode ini dapat berlangsung selama enam bulan sebelum terjadi serokonversi yang positif, meskipun antibodi terhadap HIV dapat mulai terdeteksi 3–6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain (Astari et al, 2009).

2.1.4 Komplikasi atau Infeksi Oportunistik

Komplikasi atau infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada ODHA adalah sebagai berikut : Tuberkulosis, Septikemia, Pneumonia (biasanya pneumocystis carinii), Pneumonia biasa, Infeksi jamur pada kulit, mulut dan tenggorokan yang sering kambuh, penyakit kulit lain, demam yang tidak jelas penyebabnya, Diare kronis dan Meningitis (Depkes , 2003).

2.1.5 Tatalaksana Klinis

Tujuan tatalaksana klinis adalah terlaksananya program pengobatan HIV & AIDS secara memadai dengan hasil maksimal (Depkes, 2003). Pada prinsipnya terdapat 5 hal yang terkait dengan tatalaksana penderita HIV & AIDS yang meliputi :

1. Terapi ARV : Sementara ini di Indonesia menggunakan terapi ARV pada lini pertama yang memiliki empat rejimen yaitu

a. Zidovudine ( ZDV ) 300 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Nevirapine ( NVP ) 200 mg

b. Zidovudine ( ZDV ) 300 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Evafirenz ( EFV ) 600 mg

c. Stavudine ( d4T ) 40 mg dan 30 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg, Nevirapine ( NVP ) 200 mg


(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta d. Stavudine ( d4T ) 40 mg dan 30 mg, Lamivudine ( 3 TC ) 150 mg,

Efavirenz ( EFV ) 600 mg ( WHO, 2003).

2. Terapi Infeksi Oportunistik : Penyakit infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada ODHA dan pengobatannya antara lain :

a. Tuberkolosa : Isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin etambutol

b. Septikemia : Antibiotik

c. Pneumonia (biasanya Pneumocystis carinii): memerlukan terapi yang kompleks. Obat lini pertama adalah Kotrimoksasol (yang dapat juga digunakan sebagai profilaksis) Kemungkinan selanjutnya diperlukan pentamidin, prednisolon, dapson.

d. Pneumonia biasa : Antibiotik

e. Infeksi jamur pada kulit, mulut dan tenggorokan yang sering kambuh : Gentian violet, povidone iodine, obat kumur, tablet telan dan tablet hisap anti jamur

f. Diare kronis : Loperamide hanya diberikan bila tidak ada perbaikan setelah diberi pengobatan yang sesuai dengan penyebabnya.

g. Meningitis : Antibiotik tergantung dari penyebab atau jenis meningitis (Depkes, 2003).

3. Terapi Simtomatik : Sehubungan telah dipahaminya patogenesis HIV & AIDSsecara baik, tersedianya fasilitas deteksi virus dan perkembangan yang cepat dari program pengobatan. Tes jumlah CD4 dan viral load telah dilakukan untuk memantau dan menentukan tingkat prognosis dan kemajuan pengobatan. Beberapa prinsip penatalaksanaan yang penting terhadap pasien HIV/AIDS. Tes CD4 dan viral load, tidak dapat dilaksanakan di sebagian wilayah di Indonesia, namun tidak akan menjadi kendala dalam melakukan tata laksana klinis yang baik, karena dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan jumlah limfosit total (Depkes, 2003).

4. Terapi Sosial :

a. Membentuk kelompok dukungan masyarakat untuk memberikan dukungan emosional kepada ODHA dan para pendampingnya.


(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam kelompok ini dapat dijajagi kesempatan untuk meningkatan dan menciptakan sumber pendapatan.

b. Mengurangi dan menyingkirkan stigma, mebangun sikap positif dari masyarakat terhadap ODHA dan keluargnya, termasuk para petugas kesehatan baik di jajaran pemerintah maupun swasta dan di tempat kerja.

c. Dukungan sosial atau rujukan kepada pelayanan sosial untuk mengatakan permasalahan tempat tinggal, pekerjaan, bantuan hukum, serta memantau dan mencegah terjadinya diskriminasi. d. Pendidikan dan pelatihan tentang tatalaksana dan pencegahan HIV

& AIDS bagi para pendamping ODHA ( petugas kesehatan, keluarga, tetangga dan relawan ) (Depkes, 2003).

5. Terapi Suportif yang meliputi asupan gizi dan olahraga : Syarat-syarat diet HIV & AIDS adalah :

a. Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi diperhatikan faktor stres, aktifitas fisik dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap kenaikan suhu 1°C.

b. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.

c. Lemak cukup, yaitu 10% – 25% dari kebutuhan energi total. Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (medium chain triglyceride/ MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.

d. Vitamin dan mineral tinggi, yaitu 1½ kali (150%). Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) terutama vitamin A, B12, C, E, folat, kalsium, magnesium, seng dan selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.


(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta e. Serat cukup, gunakan serat yang mudah dicerna.

f. Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental (semi

thick fluid) dan cair (thin fluid)

g. Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium dan klorida)

h. Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat maka dianjurkan pemberian makan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.

i. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.

j. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia (Depkes, 2003).

2.2Konsep Dasar Shalat Tahajud 2.2.1 Makna Shalat Tahajud

Tahajud artinya bangun dari tidur.Shalat tahajud artinya shalat sunah yang dikerjakan pada waktu malam hari dan dilaksanakan setelah tidur lebih dahulu walaupun hanya sebentar.

Shalat tahajud disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW setelah turun Surat Al Muzzammil.Ada dua pokok yang memmbuat gelisah hati nabi Muhammad SAW, yakni (1) beratnya tugas yang dakwah yang diemban Nabi SAW,di mana tugas ini memerlukan ketenangan jiwa, dan (2) hebatnya rencana musuh yang dihadapi. Kedua hal ini yang menyebabkan Nabi SAW dirundung berbagai kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan.

Menurut sebuah riwayat, dalam kondisi seperti itu, Nabi Muhammad SAW merenung sambil berbaring menyelimuti badannya.


(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ketika itu, datanglah malaikat Jibril menyampaikan Surah Al Muzzammil ayat 1-10 :

“ Hai orang yang berselimut; bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kcuali sedikit dari padanya; yaitu seperdua atau kurangilah seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu dan bacalah Al-Qur‟an itu dengan perlahan-lahan (tartil); sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat; sesungguhnya bangun pada waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‟) dan bacaan pada waktu itu lebih berkesan; sesungguhnya pada siang hari kamu mempunyai urusan yang panjang (banyak); sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepadan-Nya dengan penuh ketekunan; (Dialah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan selain Dia. Jadikan Dia sebagai pelindung; dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”.

Sejarah mencatat ibadah yang mahdah yang pertama diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebelum diperintahkan ibadah lain adalah shalat tahajud. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

Said bin Hisyam bertanya kepada Aisyah tentang shalat Nabi di waktu malam. Aisyah menjawab: “ Apakah Anda tidak membaca Surah Al-Muzzammil?” “Ya,” jawab Said. Maka , shalat malam pada permulaan surah ini, dijalankan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya selama satu tahun, sampai kaki mereka bengkak dan Allah SWT tidak menurunkan ayat akhir (ayat 20 Surah Al-Muzzammil) dalam surah ini selama dua belas bulan. Kemudian, ayat 20 diturunkan untuk meringankan sehingga solat malam menjadi sunah sesudah diwajibakan,” (HR Ahmad dan Muslim).

2.2.2 Waktu Pelaksanaan Shalat Tahajud

Dalam Al Qur‟an Surah Al Muzzammil ayat 3-4, Allah SWT menerangkan dengan perkataan “Separuh malam, kurang atau lebih”. Ini berarti bahwa Allah SWT menyerahkan kepada Nabi SAW untuk memilih waktu shalat tahajud yang sesuai dengan kelonggaran yang ada pada diri


(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nabi SAW. Hafidz berkata: “Tahajud Rasulullah SAW tidak ada ketentuan waktunya karena hanyalah semata-mata dimana ada kelapangan”.

Apabila diinterpretasikan menurut waktu Indonesia, sepertiga awal malam itu kira-kira pukul 22.00 WIB sampai pukul 23.00WIB. Seperdua malam diperkirakan kira-kira pukul 00.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB, dan dua per tiga malam sekitar pukul 02.00 WIB atau pukul 03.00 WIB sampai sebelum fajar atau masuk shalat Subuh (Depag RI, 1985).

Namun, menurut hadis yang shahih, sebaik-baik waktu untuk menjalankan shalat tahajud adalah pada sepertiga malam terakhir, yang menurut interpretasi waktu Indonesia adalah sekitar pukul 02.00 WIB, atau pukul 03.00 WIB sampai sebelum subuh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :“Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika masih tersisa

sepertiga malam terakhir.Pada saat itulah Allah SWT berfirman, „Siapa yang berdoa Ku pasti Ku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan pasti kepada-Ku-beri dan siapa yangmeminta ampun kepada-ku, pasti Ku-ampunin,” (HR.Jamaah).

2.2.3 Bilangan Rakaat Shalat Tahajud

Tidak ada ketentuan atau batasan yang pasti mengenai shalat jumlah rakaat shalat tahajud.Amat beragam bilangan rakaat dan model shalat tahajud yang dijalankan oleh Rasulullah SAW.Berikut ini diuraikan hanya beberapa model yang dipandang bersumber pada hadis yang sahih dan terkenal di kalangan kaum muslimin.

Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat malam antara waktu isya‟ dan subuh sebelas rakaat, yaitu ia beri salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan ia sembahyang witir satu rakaat,”

(HR.Bukhari)

Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat malam tiga belas rakaat. Dari tiga belas rakaat itu , ia shalat witir lima rakaat, dan ia tidak duduk diantara rakaat-rakaat itu kecuali pada rakaat terakhir,” (HR.Bukhari dan Muslim).


(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Telah berkata Aisyah : „‟Bahwasanya Rasulullah SAW pernah shalat tahajud empat rakaat, tapi jangan engkau tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian ia shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagus dan panjangnya, kemudian ia shalat witir tiga rakaat,‟‟

(HR.Bukhari dan Muslim).

Ketiga hadis tersebut menunjukkan bervariasinya bilangan rakaat dan model yang ditempuh Rasulullah SAW dalam menjalankan shalat tahajud. Rasulullah pernah shalat tahajud sebelas rakaat: sepuluh rakaat shalat tahajud dengan tiap-tiap dua rakaat salam, dan witir satu rakaat.

2.3.Konsep Dasar Kortisol

2.3.1Kelenjar Adrenal dan Sekresi Kortisol

Anatomi kelenjar adrenal pertama kali dijelaskan oleh Bartholomeo Eustachius pada 1963.Kelenjar adrenal mempunyai bobot sekitar 6-10 gram. Kelenjar ini mulai terbentuk pada usia kehamilan dua bulan. Bobot kelenjar ini pada orang dewasa terdiri dari 90% bagian korteks dan 10% medulla. Kelenjar ini terbentuk seperti piramida yang panjangnya berkisar antara 2-6 cm. Tebal ± 1 cm dan terletak di bagian atas kedua ginjal atau posisi posteromedial (A.Ghani,1995).

Bagian korteks adrenal terdiri dari tiga zona, yaitu (1) Glomerolusa, yang memiliki distribusi -sebesar 15% letak di bagian luar (2) Fasciulata, yang memiliki distribusi 15% di bagian tengah dan (3) Reticularis merupakan kesatuan karena keduanya menghasilkan hormon kortisol dan androgen (Ghani, 1995).

Hormon yang disekresi oleh korteks adrenal adalah kortisol, aldosteron, dan androgen.Prekusor hormon ini adalah kolestrol yang banyak terdapat pada lipid droplet dalam sitoplasma dan dari kolestrol dalam sirkulasi (dalam bentuk LDL). Reseptor LDL banyak ditemukan pada korteks adrenal (Ghani, 1995).

Sekresi kortisol dan androgen diatur oleh ACTH, sedangkan sekresi aldosteron juga dipengaruhi oleh angiotensin dan konsentrasi ion K. Selain oleh ACTH sekresi kortisol juga dipengaruhi oleh rangsangan


(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta otak sebagai respons terhadap stres, khususnya sekresi kortisol dipengaruhi oleh tiga respons, yaitu, stres, ACTH, dan diurnal rytme

(Guyton, 2001). Secara visual, mekanisme pengaturan sekresi kortisol dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Mekanisme kerja kortisol Sumber: Guyton AC,2001

Peran ACTH pada sekresi kortisol terjadi melalui interaksi antara

Hipothalamic-Pituitary Adrenal Axis (HPA).ACTH bekerja pada zona fasciulata dan retikularis dan berkedudukan sebagai faktor utama dalam pengaturan kortisol, androgen, dan aldosteron. Sedangkan, ACTH sendiri diatur oleh CRH (corticotropic relasing hormon) dan neurotransmitter (Mc.Cance, 1994).

2.3.2. Metabolisme Kortisol

Di dalam sirkulasi, 75% kortisol terikat dengan kortisol binding globulin (CBG), atau transcortin, 10% dalam bentuk bebas, dan sisanya terikat dengan albumin. CBG disintesa di hati dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap kortisol.Sintesa CBG meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi estrogen. Waktu paruh kortisol plasma berkisar


(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75-90 menit dan ditentukan oleh kemampuanya terikat dengan plasma protein atau proses inaktifasinya. (Guyton, 2001).

Kortisol dimetabolisme di hati dan ginjal.Di hati, kortisol diubah menjadi hidrokortisol yang selanjutnya menjadi tetrahidrokortisol. Kortisol juga diubah menjadi dihydrocortison, yang selanjutnya menjadi tetrahydrocortisone. Baik tetradihidrokortisol maupun tetrahydrocortisone selanjutnya dimetabolisme menjadi asam kortoik. Kortisol juga dimetabolisme menjadi 6-hidrokortisol yang larut dalam air dan diekskresi melalui urin.Di ginjal, kortisol diinaktivasi menjadi kortison oleh enzim 11-hydroxysteroid dehydrogenase. Proses ini mempunyai makna fisiologik dan klinis, sebab kortisol bisa dicegah untuk menduduki reseptor aldosteron dan kelebihan aldosteron dapat dihindari (Guyton, 2001)

2.3.3.Efek Kortisol Terhadap Sistem Imun

Interaksi antara ACTH dan kortisol terjadi melalui umpan balik (negative feedback).Mekanisme ini terjadi baik pada tingkat kelenjar pituitary maupun hipotalamus. Konsentrasi kortisol yang meningkat menghambat sekresi ACTH dan CRH. Mekanisme kortisol pada gen dapat menurunkan sintesis RNA untuk pro-opiomelanokrortinyang juga merupakan prekusor ACTH (Sherwood, 2009).

Pola sekresi kortisol diatur oleh peace maker endogen yang terdapat nucleus suprakiasmatik di hipotalamus. Pengaturan ini mengeluarkan impuls bersifat „‟ circadian rhytme‟‟. Irama sirkadian menyebabkan sekresi kortisol dan ACTH yang bersifat episodic seperti terlihat pada grafik berikut:


(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 2. Siklus sekresi kortisol dalam 24 jam

Sumber: Guyton AC,2001

Reichlin menyatakan bahwa gangguan irama sirkadian memberikan gambaran yang sama dengan akibat adanya stres, yaitu peningkatan ACTH. Hal ini menunjukkan adanya perubahan behavior dari sistem syaraf pusat sebagai uapaya untuk mengendalikan homeostasis sehingga akan memodulasi HPA. Adanya modulasi dari HPA-axis yang menyebabkan meningkatnya hormon kortisol selama 24 jam tidak terdapat titik rendah. Karena titik rendah yang biasanya tercapai pada malam hari (Reichlin, 1992).

Irama sikradian dipengaruhi oleh perubahan pola tidur, aktivitas fisik dan psikologis, serta berbagai penyakit seperti kelainan kelenjar pituitari, gagal ginjal kronik, dan gangguan CNS. Dengan demikian, sekresi kortisol juga dapat meningkat tanpa terikat oleh irama sirkadian (Guyton, 2001).

Selama kondisi stres, korteks adrenal baik yang diaktifkan oleh ACTH maupun rangsangan oleh katekolamin dapat menyebabkan peningkatan sekresi hormon glukortiroid, terutama kortisol (Mc.Cance, 1994).

Dalam 24 jam, ACTH dan kortisol mempunyai pola yang menetap. Konsentrasi ACTH dan kortisol cenderung meningkat pada pagi hari dan menurun pada sore hari. Kortisol kadar tertinggi pada pukul 06.00-08.00


(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta WIB. Kedua hormon tersebut mengeluarkanya secara periodik tiap 30-120 menit. Faktor yang mempengaruhi irama ACTH dan kortisol adalah (1) irama intrinsik dan sekresi dari CRH, (2) siklus makan, (3) rangsangan terang dan gelap (4) irama yang terdapat dalam adrenal yang diperankan oleh inervasi dari adrenal (Felig, 1995).

Irama biologis dari ACTH dan kortisol berkorelasi dengan sasana terang dan gelap. Pada malam hari, saat kondisi gelap , terjadi penurunan ACTH dan kortisol. Kadar kortisol terendah biasanya terjadi antara pukul 02.00 WIB.Karena disamping tidak adanya rangsangan cahaya pada waktu tersebut aktivitasnya rendah. Dan mulai terjadi peningkatan pada jam pertama saat tidur (Felig, 1995).

Hormon korteks adrenal terikat dengan reseptor dalam sitoplasma (reseptor intraseluler). Ikatan tersebut bergerak dalam inti sel dan berinteraksi dengan kromatin. Hasil analisis teknik complementary DNA menunjukkan, bahwa terdapat homologi antara reseptor kortisol, aldosteron, estrogen, progesteron dan reseptor hormon tiroid (Guyton,2001).

Secara ringkas efek kortisol terhadap respon imun adalah, menekan sintesis immunoglobulin, menurunkan opulasi sel PMN, limfosit dan makrofag dalam darah tepi dan menimbulkan atropi jaringan limfoid dalam timus, limpa dan kelenjar limfe (Granner, 1998).

2.4. Konsep Dasar Psikoneuroimunologi dan Stres.

Psikoneuroimunologi adalah suatu cabang ilmu yang mencari hubungan dua arah; yaitu hubungan kondisi psikologis dengan susunan syaraf pusat (otak) dan hubungan kondisi psikologis seseorang dengan sistem kekabalan tubuh. Psikoneuroimunogi pada awal perkembanganya dianggap sebagai kajian dari beragam ranah studi. Pemahaman ini didasarkan atas keterlibatan tiga kajian, yaitu, (1) psikologi, (2) neurologi (3) imunologi (Hawari, 2006).

Secara historis, konsep psikoneuroimunologi muncul sekitar tahun 1975 yang diperkenalkan oleh Robert Ader dan C. Holder.


(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Psikoneurominulogi muncul setelah berkembangnya pemikiran imunopatobiologis dan imunopatologis. Fakta imunopatobiologis menunjukkan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan imunologis. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respon imun yang melukai merupakan fakta imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berfikir di atas dalam mengungkapkan pathogenesis dianggap kurang holistic, muncullah ilmu baru yang dikenal dengan psikoneuromunologi. Ader mendefinisikan bahwa psikoneuroimunologi merupakan kajian interaksi antara perilaku (behavioral), syaraf dan endokrin (neural and endocrine), dan proses imun yang bergabung menjadi satu area kajian interdisipliner (Ader, 1991).

Perkembangan terakhir, model pendekatan psikoneuroimunologi digunakan untuk penelitian bidang kedokteran dan diterima sebagai pendekatan yang relatif holistik dan lebih detail dalam mengungkap mekanisme, baik fisiobiologis maupun patoimunologis ketahanan tubuh.

Perkembangan psikoneuroimunologi di Indonesia diawali oleh penelitian Putra dan rekan-rekan (1992) yang meneliti tentang pengaruh latihan fisik dan kondisi kejiwaan terhadap ketahanan tubuh. Penelitian tersebut berdasakan pada konsep psikoneuroimunologi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik yang dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan respon imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG, IgA, monosit, subset T4 (helper), estrogen, kortisol, testosterone, ACTH (Nursalam, 2007, h. 3).

Mekanisme peningkatan ketahanan tubuh secara psikoneuroimunologi dapat dilihat dengan menghubungkan perubahan yang terjadi pada hormon dan nueropeptida yang melibatkan faktor kondisi kejiwaan (stres) dalam mekanisme perubahan ketahanan tubuh. Kondisi kejiwaan tersebut digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan konsep kelainan mental (Nursalam, 2007).


(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Secara garis besar sendiri Pendekatan medikopsikologis stres adalah paradigma dasar dari psikoneuroimunologi. Dalam sudut pandang kedokteran, menurut Hans Seley seorang ahli fisiologi dan pakar stres menyatakan bahwa stres adalah suatu respon tubuh yang tidak spesifik terhadap aksi atau tuntutan atasnya. Stres merupakan respon automatik tubuh yang bersifat adaptif pada setiap perlakuan yang menimbulkan perubahan fisik atau emosi yang bertujuan untuk mempertahakan kondisi fisik yang optimal suatu organisme. Reaksi fisiologis ini disebut sebagai

general adaptation syndrome (GAS)(Nursalam, 2007).

Dari sudut pandang psikologis stres didefinisikan sebagai suatu keadaan internal yang disebabkan oleh kebutuhan psikologis tubuh , atau disebabkan oleh situasi lingkungan atau sosial yang potensial berbahaya, memberikan tantangan, menimbulkan perubahan-perubahan atau memerlukan mekanisme pertahanan seseorang (Nursalam, 2007).

Walaupun secara patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan gangguan psikis belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah terdapat banyak bukti dari penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Gangguan psikis yang dapat menimbulkan gangguan psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologis berkaitan erat dengan adanya gangguan pada sistem syaraf autonom vegetatif , sistem endokrin dan sistem imun. Oleh karena itu, belakangan ini perubahan-perubahan fisiologi dapat diterangkan dalam bidang ilmu psikoneruoimunologi. Perubahan ketiga sistem itu terjadi bersamaan dan saling tumpang tindih (Ader R, 2007).

2.5. Psikoneuroimunologi Shalat Tahajud

Shalat tahajud yang dijalankan dengan penuh kesungguhan, khusyuk, tepat, ikhlas, dan kontinu diduga dapat mrnumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan mengefektifkan coping. Dan, respons emosi positif dapat mrnghindarkan reaksi stres (Sholeh, 2009).


(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam hal mengontrol respons emosi, dapat diupayakan dengan beberapa alternatif strategi. Taylor menganjurkan strategi kognitif redefinisi, dimana seseorang dibantu untuk melihat masalah dari sisi pandangan yang positif. Sedangkan, Lazarus menganjurkan strategi

cognitive restructuring, yaitu upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis dan konstruktif tentang stresor (Soleh, 2009).

Orang yang menjalankan shalat tahajud akan memenuhi dua strategi di di atas karena esensi hikmah yang dapat diperolehdari shalat sendiri adalah hidup realistis, selalu optimis dalam kesiapan menghadapi berbagai problema hidup yang dihadapi sehingga orang tetap bersikap konstruktif.

Dalam sikap optimis, orang akan terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis. Homeostasis terjadi karena adanya mekanisme umpan balik yang membatasi reaksi berlebihan dan mempertahankan kondisi normal.Kegagalan homeostasis terutama disebabkan oleh kegagalan mekanisme umpan balik, yang dapat menyebabkan timbulnya stres yang berlebihan (Rehatta, N.M.1999).

Kini diketahui bahwa susunan syaraf pusat mentransmisikan informasi neurologi menjadi respon biologis dan fisiologis melalui berbagai hormon, neuropeptida, dan neurotransmitter, Hyphothalamic Pituitary Adrenal Axis (HPAA), dan sistem syaraf otonom. Susunan tersebut terbukti merupakan alur yang sangat berperan dalam reaksi emosional, optimistis, dan stres, dan berhubungan dengan respon imun (Bonica J, 1990).

Berbagai kondisi emosional, baik positif maupun stres, dapat menyebabkan terjadinya aktivitas HPAA, ia juga mengakibatkan terjadinya tarik-menarik sikap positif dan negatif suasana emosional: tenang, optimistis, senang, atau cemas, susah dan stres. Rangsangan yang tiba di media parvocellular division of the praventicular nucleus

(mpPVN) di hipotalamus akan menyebabkan sekresi CRF yang terutama berperan sentral dalam reaksi stres sekresi CRF stabil dalam kondisi emosi positif). CRF kemudian memicu reaksi HPAA. Selain itu nucleus mpPVN


(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hipotalamus juga berhubungan dengan locus Ceruleus (LC), di mana sebagian besar neuron NE (norepinefrin) mempunyai reseptor untuk CRF. Dengan demikian aktivitas HPAA juga mengaktifkan sistem syaraf otonom ( Vander A.J. 1985 ).

Sekresi CRF oleh neuron mpPVN hipotalamus bergantung pada keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang menghambat, sintesis dan sekresi. Neurotransmitter yang diketahui meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin, sedangkan yang menghambat adalah kortisoldan Gamma Aminobutyric Acid (GABA). GABA terutama banyak terdapat di area hipokampus sesuai dengan hipokampus yang berfungsi sebagai pengontrol emosi dan pengendali HPAA ( Dunn A.J. dalam Sholeh, 2009).

Sistem limbik yang terdiri dari amigdala dan hipokampus merupakan bagian otak yang mengatur motivasi , respon emosi, dan reaksi penolakan terhadap stimulus yang tidak diinginkan. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa hipokampus mempertahankan tonus basal atau mengontrol HPAA, dan bersama struktur limbik lainya berfungsi memberikan informasi masa lalu, apakah suatu stimulus merupakan suatu stresor atau bukan. Amigdala menerima impuls atau informasi rangsang emosional (stresor) dari sistem sensori, batang otak, lewat thalamus yang memungkinkan timbulnya reaksi segera untuk mempertahankan tubuh. Selain itu amigdala juga menerima informasi dari pusat kognisi dan asosiasi sensoris di korteks (Ikawati, 2011).

Berdasarkan informasi tersebut, analisis tentang rangsang oleh amigdala akan menghasilkan respon emosi yang kemudian diumpanbalikkan ke korteks prefrontal kiri dan kanan dan hipokampus. Umpan balik ini menimbulkan kesadaran tentang respon emosi dan terjadi penyesuaian sikap. Apabila shalat tahajud diterima sebagai stresor, secara integral, amigdala mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC)

yang memicu sistem otonom, kemudian ditransmisikan ke hipotalamus, sehingga terjadi sekresi CRF (Soleh, 2009).


(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sebaliknya, jika shalat tahajud mendatangkan persepsi positif, amigdala akan mengirimkan informasi kepada locus Ceruleus (LC) yang mengaktifkan reaksi syaraf otonom. Lewat hipotalamus, mensekresi neurotransmitter, endorphin dan enkepalin, yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi CRF secara berlebihan.Akibatnya HPAA dalam mensekresi Adrenocorticotropic hormon (ACTH) juga stabil terkendali. Penurunan ACTH akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur kortek adrenal dan serta katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) pada medula adrenal yang mempunyai reseptor alfa (Ra), dan reseptor beta (Rb) mengalami stabil sehingga pengaruhnya terhadap sistem imun positif (Soleh, 2009).

Pada keadaan stres, terdapat substansi yang menyerupai beta carboline, yaitu antagonis GABA yang diduga menyebabkan penurunan jumlah reseptor GABA. Berkurangnya reseptor GABA menyebabkan berkurangnya hambatan terhadap timbulnya kecemasan dan memudahkan reaksi stres.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam kondisi tenang, senang dan optimis, penuh harap (pengaruh shalat tahajud), sekresi kortisol dan antagonis GABA dan sintesis GABA positif normal (Sholeh, 2009).

Dalam keadaan stres, terjadi peningkatan aktivasi HPAA, yaitu peningkatan sekresi CRF, ACTH, dan kortisol. Peningkatan kortisol yang berlebihan dapat meningkatkan replikasi virus HIV dan mencegah produksi sitokin Th1 (misalnyaIFN-y) dan sitokin Th2 (misalnya IL-12), dan makrofag, melalui sel T-helper, atau dengan kata lain menurunkan respon sel T terutama CD4 dan CD8.


(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 3.Alur kerja psikoneuroimunologi shalat tahajud

Sumber: Moh.Sholeh, 2009

Penelitian Psikoneuroimunogi (PNI) pada pasien HIV & AIDS telah dilakukan oleh Antonidengan menggunakan metode Cognitive Behavioral Stres Management (CBSM).Metode ini meliputi pelatihan relaksasi, cognitive restructuring (upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis dan konstruktif), dukungan sosisal, manajemen emosi,mengefektifkan coping, serta keterampilan mengatasi masalah. Dengan manajemen stres berupa CBSM tadi dapat mengurangi kecemasan, depresi, serta meningkatkan rasa percaya diri yang berdampak pada meningkatnya kualitas hidup pasien HIVdan AIDS. Adapun mekanisme kerjanya dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini:


(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 4. Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM

Sumber: Antoni, MH 2003, h. 42

Keterangan :

(+) ; meningkat (-) : menurun

HPAC : hypothalamic-pituitary-adrenal-cortical DHEA-S:dehydroepiandrosterone-sulfate

NK : natural killer

CD : cluster of designation (cluster of differentiation) HIV-1 : Human Immonodefisiency Virus type 1

SNS : sympathetic nervous system

Alur kerja psikoneuroimunologi CBSM pada pasien HIV dapat memberikan dukungan secara empiris pada setiap komponen. Dapat dijelaskan, intervensi shalat tahajud sebagai manajemen stres membawa perubahan afektif dan tingkat kualitas hidup dengan kemampuan relaksasi,


(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta persepsi dukungan sosial, mampu beradaptasi dengan lingkungan, menumbuhkan motivasi positif, mengefektifkan coping, meningkatkan rasa percaya diri serta proses lebih lanjut dalam mengelola emosional positif.

Selanjutnya berbagai reaksi emosional ( positif-negatif-stres ) diduga sangat berperan dalam aktivasi HPAC dan aktivasi SNS yang ditandai dengan penurunan konsentrasi katekolamin perifer pada jalur medula adrenal dan hormon kortisol pada jalur korteks adrenal . Di satu sisi Aktivasi HPAC dan SNS melalui jalur korteks adrenal juga berhubungan dengan hormone hipotalamus pituitary gonad seperti testosterondan DHEA-S.

Perubahan hormon-hormon tersebut seperti kortisol dan katekolamin diduga sangat berkontribusi dalam mengoptimalkan sistem imun dengan mempengaruhi distribusi limfosit fenotip seperti CD4+sel T naif, CD8, CD56+sel NK sitotoksik, dan surveilans dari infeksi laten virus herpes.

Penurunan kortisol dapat meningkatkan sistem imun khususnya pada sel T-helper yaitu meningkatnya limfosit T-CD4+, CD8+, dan CD56+NK sehingga poliferasi virus HIV dapat dihambat dan terjadinya rekonstitusi sistem imun (Antoni, 2003).


(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Korteks serebri melalui HPA - Axis Shalat tahajud memperbaiki persepsi dan

motivasi positif

CRF

SNS Endorfin, enkephalin, dan ACTH

Katekolamin (Norepinefrin dan

epinefrin)pada medula adrenal

Neurotransmiter : - Serotonin - Asetilkolin - GABA

Optimasi sistem imun

NK CD8 Viral load

Penurunan Tingkat Penyakit HIV Limfosit T

CD4

Kortisol pada korteks adrenal Depresi, stres, dan kecemasan


(45)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

= Yang diukur = Yang tidak diukur

Dengan penerapan shalat tahajud yang dijalankan pasien HIV & AIDS dapat menumbuhkan persepsi dan motivasi positif dan mengefektifkan dengan ditandai meningkatnya limfosit T-CD4. Adapun yang berpengaruh dalam proses tersebut adalah korteks serebri melalui jalur HPA-axis. Rangsangan yang tiba di hipotalamus akan menyebabkan sekresi Corticotropin Releasing Factor (CRF), CRF kemudian memicu reaksi HPAA dan juga mengaktifkan sistem syaraf otonom. Sekresi CRF oleh neurotransmitter di hipotalamus bergantung pada keseimbangan antara kondisi yang merangsang dan kondisi yang menghambat sintesis dan sekresi.Neurotransmitter yang diketahui meningkatkan sekresi CRF adalah asetilkolin dan serotonin, sedangkan yang menghambat adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA). Di samping itu kelenjar hipofisis anterior melepas endorphin, enkepalin dan ACTH yang akan akan menstimulasi penurunan produksi kortisol pada jalur korteks adrenal dan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) pada medula adrenal. Penurunan kortisol dapat meningkatkan sistem imun khususnya pada sel T-helper yaitu meningkatnya limfosit T-CD4+, CD8+, dan CD56+NK sehingga poliferasi virus HIV dapat dihambat dan terjadinya rekonstitusi sistem imun.


(46)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.2 Definisi Operasional

Tabel III. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 Shalat tahajud

Shalat sunnah pada waktu malam hari dan dilaksanakan setelah tidur terlebih dahulu dengan dosis 5 rakaat meliputi shalat tahajud,hajat, witir, zikir

,muhasabah dan do‟a.

Diamati waktu pelaksanaan shalat tahajud

Observasi Responden menjalankan shalat tahajud dengan dosis 5 rakaat pada pukul 03.00-04.00 WIB dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu

Ordinal

2 Hormon Kortisol Hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal sebagai respon terhadap stres Pengambilan spesimen darah responden ADVIA Centaur

Data numerik dalam satuan sel/µl Rasio 3 Skor tingkat stres Skor yang menggambarkan status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres yang dialami pasien HIV &AIDS.

Wawancara Kuisioner DASS 42

0-29 (normal) 30-59 (stres ringan) 60-89 (stres sedang) 90-119 (stres berat) >120 (sangatberat)


(47)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimental

dengan desain non randomized control group pretest-posttest design. Desain ini berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental, hanya saja pembagian subyek dalam kelompok tidak dilakukan secara acak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat variabel penelitian (Polit & Hunger, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara responden yang diberi perlakuan shalat tahajud terhadap penurunan kadar kortisol.

Kelompok intervensi diukur jumlah kortisol sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada waktu penelitian yaitu selama 6 minggu.Setelah dilakukan intervensi diharapkan terjadi suatu perubahan atau pengaruh pada variabel ini. Kelompok kontrol diukur juga kadar kortisol hari pertama dan hari terakhir tanpa diberikan intervensi selama 6 minggu. Hasil pretest dan posttest

sangat penting untuk melihat perbedaan perubahan variabel dependen antara

pretest dan posttest (Notoatmojo, 2010). Rancangan penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 6. Desain Penelitian Keterangan:

KI 1 = Kelompok intervensi yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres sebelum shalat tahajud

KI 1 Intervensi

Shalat tahajud KI 2


(48)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KI 2 = Kelompok intervensi yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres

sesudah shalat tahajud

KK 1 = Kelompok kontrol yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres saat tes awal

KK 2 = Kelompok kontrol yang diukur kadar kortisol dan skor tingkat stres saat tes akhir

Untuk mencari deviasi / perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres sebelum dan sesudah shalat tahajud pada kelompok intervensi (KI) maka diperoleh dari KI = KI 2 - KI 1 , sedangkan untuk mencari deviasi / perubahan kadar kortisol dan skor tingkat stres saat tes awal dan setelah tes akhir pada kelompok kontrol (KK) maka diperoleh dari KK = KK 2 – KK 1.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di LSM Kebaya Yogyakarta.Untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan di Laboratorium klinik Prodia Yogyakarta. Penelitian dilakukan selama 6 minggu mulai tanggal 27 November 2012 sampai 7 Januari 2013.

4.3. Alat dan Bahan 4.3.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ADVIA Centaur (Untuk mengukur kadar hormon kortisol), syringe, tourniquet, tabung sampel, rak tabung, sentrifuge, vortex.

4.3.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah, serum, alkohol 70%, reagen lite (terdiri dari kortisol 1,7 ng/ml yang diberi label dengan acridinium ester dan dibufer dengan sodium salisilat 50 mg/ml, sodium azide 0,1 % serta pengawet), fase solid (terdiri dari rabbit anti-kortisol antibody 1,1µg/ml yang di beri label dengan monoclonal mouse anti-rabbit IgG antibody 56 µg/ml


(49)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

,partikel paramagnetic, buffer berupa sodium azide 0,1% dan pengawet), multi-diluent 3 (plasma manusia dengan sodium azide 0,1%).

4.4. Populasi dan Sampel 4.4.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah Pasien HIV AIDS pada LSM Kebaya Yogyakarta.

4.4.2. Sampel

Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penderita HIV & AIDS, Responden sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut :

a. Pasien beragama Islam b. Jenis kelamin laki-laki c. Usia 20- 55 tahun

d. Pasien yang positif terinfeksi HIV dan pernah berkunjung ke LSM Kebaya

e. Belum pernah menjalankan shalat tahajud

f. Bersedia menjadi responden dengan mengisi informed concent

g. Mendapatkan terapi ARV Kriteria Eksklusi:

a. Tidak bersedia menjalankan Shalat tahajud b. Pasien HIV & AIDS rawat inap

Oleh karena penelitian tentang modulasi respon imun kadar kortisol akibat shalat tahajud belum pernah dilaporkan, maka besar sampel didasarkan atas penelitian McDowell (1992), tentang pengaruh aerobik terhadap kadar kortisol, dengan nilai SD= 8.5; Xc= 29.9; Xt= 16,3; dan nilai Z = 1,96; Zβ= 1,28, serta proporsi kegagalan (f= 0). Kemudian dari data tersebut dilakukan perhitungan besar sampel atas dasar rumus besar sampel yang dikembangkan oleh Higgins 1985 (Shadiqin AR, 2001) seperti berikut:


(50)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta n = 1 2.σ² ( Zα + Zβ )²

1-f (Xc – Xt)²

Keterangan :

SD = Standar deviasi kelompok kontrol Xc = rerata kelompok kontrol

Xt = nilai rerata kelompok perlakuan

Berdasar atas rumus tersebut besar sampel adalah: 2{(1.96+1.28)( 1.96+1.28) } x (8,5)(8,5) = 1516.9032 (29.9-16.3) (29.9-16.3) = 184.96

1516.9032 : 184..96 = 8.20125 n= 1 X 8.20125= 8.20125

Atas dasar perhitungan tersebut di atas maka sebesar sampel dalam penelitian ini adalah, 8.20125 orang (dibulatkan menjadi 8 orang). Selanjutnya ditetapkan besar sampel setiap kelompok =8 orang.

4.4.3 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam pemilihan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan

purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti.

4.5. Prosedur Kerja

4.5.1. Prosedur Pengambilan Darah

Alat dan bahan yang dibutuhkan dipersiapkan kemudian lengan pasien dalam posisi lurus dan tangan dikepal, torniquet dipasang dan dicari vena mediana kubiti atau sefalika, kemudian kulit pada bagian yang akan diambil darahnya dibersikan dengan alkohol 70%. Setelah itu bagian vena ditusuk dengan lubang jarum menghadap ke atas, dengan sudut kemiringan 15-30 derajat. Setelah volume darah dianggap cukup, tourniquet dilepaskan dan


(51)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pasien diminta membuka kepalan tangan, kemudian jarum dilepaskan dan segera diberi kapas alkohol 70 % untuk menekan bagian tusukan tersebut selama 2 menit. Setelah darah berhenti plester bagian bekas penusukan.

4.5.2. Pembuatan Serum

Pada proses ini spesimen darah yang diambil didiamkan sampai membeku sempurna pada suhu kamar. Kemudian, spesimen yang telah membeku sempurna (3-6 menit setelah pengambilan), disentrifuge dengan kecepatan 3000-4000 rpm.

4.5.3. Pemeriksaan Hormon Kortisol

Dimasukkan 20 µL sampel ke dalam sebuah kuvet, kemudian dimasukkan pula 50 µL reagen lite, 250 µL fase solid, setelah itu diinkubasi selama 5 menit pada suhu 37° C, selanjutnya dimasukkan 300 µL reagen asam dan reagen basa untuk memulai reaksi pewarnaan dan dibaca pada alat ADVIA Centaur.

4.5.4. Pengukuran Skor Tingkat Stres

Pasein diwawancara dengan menggunakan kuisioner Depression Anxiety Stres Scale (DASS 42) kemudian dihitung skornya sesuai dengan jawaban pasien. DASS 42 adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres.DASS 42 terdiri dari 42 item. Jumlah skor dari pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-119 (berat); >120 (Sangat berat) (Lovibond, 2012).


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4.6. Variabel Penelitian

4.6.1. Variabel Independen

Variabel Independen dalam penelitian ini, adalah shalat tahajud.Shalat tahajud disini meliputi berbagai rangkaian seperti shalat tahajud, shalat hajat, halat witir dan diakhiri dengan zikir, muhasabah dan do‟a. Adapun dosis shalat tahajud dalam penelitian ini meliputi:

1. Frekuensi jumlah rakaat shalat tahajud adalah 5 rakaat karena merujuk pada penelitian dari Moh.Soleh dengan rincian 2 rakaat untuk shalat tahajud, 2 rakaat untuk shalat hajat dan 1 rakaat untuk shalat witir . Kemudian diikuti dengan wiridan berupa bacaan kalimah thayyibah : Subhanaalah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Astaghfirullah, La-ila-ha illallah, masing-masing 33 kali.

2. Waktu pelaksanaan shalat tahajud dimulai dari pukul 03.00-4.00 WIB. Adapun waktu dalam penelitian ini adalah 6 minggu dengan frekuensi 3 kali.

4.6.2 Variabel Dependen (tergantung)

Variabel tergantung dalam penelitian ini, adalah kadar kortisol dan skor tingkat stres .

4.7 Analisa Data 4.7.1 Analisa Univariat

Analisa univariat mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan dari masing-masing variabel yang diteliti untuk data numerik dengan menghitung mean, median, simpangan baku (SD) (Notoatmodjo, 2005).

4.7.2 Analisa Bivariat

Analisa Bivariat mempunyai tujuan untuk menganalisis hubungan variabel dependen dan variabel independen. Analisis bivariat akan menguraikan perbedaan mean variabel dependen dengan menghitung kadar kortisol


(53)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebelum dan sesudah intervensi shalat tahajud selama 6 minggu. Analisa bivariat dilakukan dengan uji statistik dependent sampelt-test(paired t test).Sementara untuk mengetahui hubungan antara shalat tahajud dengan skor tingkat stres menggunakan uji statistik dependent sampelt-test(paired t test) (Sastroasmoro,2002).

4.8 Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan rekomendasi dari Komisi Etik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah ada persetujuan barulah penelitian ini dilakukan dengan menekankan pada masalah etik yang meliputi :

1. Informed Concent ( Lembar persetujuan )

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti, peneliti menjelaskan maksud dari penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia, maka mereka harus menandatangani surat persetujuan penelitian, jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-haknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, peneliti tidak akan dicantumkan nama dalam lembar pengumpulan data dan cukup diberi kode tertentu.

3. Confidentiality ( kerahasiaan )

Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden dijamin oleh peneliti, hanya sekelompok data tertentu yang akan disajikan dan dilaporkan sebagai hasil riset.


(54)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.Analisis Univariat

Analisa Univariat menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan sumber penularan, variabel kadar kortisol dan skor tingkat stres baik sebelum maupun sesudah intervensi dan juga variabel pada kelompok kontrol.

5.1.1. Karakteristik Responden

Sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi sebanyak 8 responden dan kelompok kontrol sebanyak 8 responden juga. Karakteristik responden dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel V.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Sumber Transmisi dan Tingkat Pendidikan

Karakteristik Responden Kelompok Intervensi (n=8) Kelompok Kontrol (n=8) Jenis Kelamin

o Laki-laki 8 (100%) 8 (100%)

Usia

o 25-35 o 36-45 o 46-55

4 (50%) 3 (37,5%) 1 (12,5%)

2 (25%) 3 (37,5%) 3 (37,5%) Sumber Penularan

o Seks bebas 8 (100%) 8 (100%)

Pendidikan

o SD o SMP

4 (50%) 1 (12,5%)

1 (12,5%) 2 (25%)


(55)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

o SMA 3 (37,5%) 5 (62,5%)

Berdasarkan tabel di atas jenis kelamin dari 16 responden pada kelompok intervensi dan kontrol adalah 100% laki-laki. Usia responden antara 25-35 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 50% sedangkan dari kelompok kontrol sebanyak 25%, usia 36-45 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 37,5% demikian juga pada kelompok kontrol sebanyak 37,5% , sedangkan usia 46-55 tahun dari kelompok intervensi sebanyak 12,5% dan dari kelompok kontrol sebanyak 37,5%. Adapun Sumber penularan HIV dari keseluruhan responden 100 % dari hubungan seks. Tingkat pendidikan dari 16 responden yang sampai tingkat SD pada kelompok intervensi sebanyak 50% dan kelompok kontrol sebanyak 12,5%, tingkat SMP pada kelompok intervensi sebanyak 12,5% dan kelompok kontrol sebanyak 25%, sedangkan tingkat SMApada kelompok intervensi sebanyak 37,5% dan kelompok kontrol sebanyak 62,5%.

5.1.2 Hasil Pengukuran Kadar Kortisol

Pengukuran Kadar kortisol dilakukan dengan pengambilan darah pasien pada saat sebelum shalat tahajud dan enam mingggu sesudah dilakukan shalat tahajud. Hasil data yang dperoleh ditampilkan dalam tabel V.2.

Tabel V.2 Hasil Pengukuran Kadar Hormon Kortisol pada Kelompok Intervensi Nama Kadar Hormon Kortisol (µg/dL)

Sebelum Shalat Sesudah Shalat

1 13,42 8,42

2 18,33 11,91

3 15,59 13,23

4 9,51 10,64


(56)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6 26,79 16,34

7 15,41 11,50

8 9,92 16,17

Mean : 14,68 SD : 6,01

Mean : 12,17 SD : 2,93

Keterangan : Rerata kadar kortisol pada kelompok intervensi pada saat sebelum perlakuan dan setelah perlakuan berada pada range normal (nilai kadar kortisol pagi hari: 4,30 – 22,40 µg/dL, Laboratorium Klinik prodia)

Dari tabel V.2 menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol sebelum melakukan shalat tahajud adalah 14,68 µg/dL dengan standar deviasi 6,01. Setelah dilakukan shalat tahajud rata-ratanya 12,17 µg/dL dengan standar deviasi 2,93. Secara umum hal ini menunjukkan penurunan tetapi ada tiga responden yang mengalami peningkatan yaitu dari 8,33 µg/dL menjadi 9,19 µg/dL, dari 9,92 µg/dL menjadi 16,17 µg/dL dan dari 9,92µg/dL menjadi 16,17 µg/dL .

Tabel V.3 Hasil Pengukuran Kadar Hormon Kortisol pada Kelompok Kontrol Nama Kadar Hormon Kortisol (µg/dL)

Hari Pertama Sesudah 6 minggu

1 19,54 18,10

2 13,20 10.39

3 18,43 8,96

4 7,82 7,86

5 12,59 16,50

6 20,74 15,74

7 21,34 11,20

8 9,15 8,66

Mean : 15,35 SD : 5,33

Mean : 12,17 SD : 3,99


(57)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Keterangan : Rerata kadar kortisol pada kelompok kontrol pada saat hari pertama dan setelah 6 minggu berada pada range normal (nilai kadar kortisol pagi hari: 4,30 – 22,40 µg/dL, Laboratorium Klinik prodia)

Dari tabel V.3 menunjukkan bahwa rerata kadar kortisol kelompok kontrol pada hari pertama adalah 15,35 µg/dL dengan standar deviasi 5,33. Setelah enam minggu rata-ratanya 12,17 µg/dL dengan standar deviasi 3,99. Secara umum hal ini menunjukkan penurunan tetapi ada dua responden yang mengalami peningkatan yaitu dari 7,82 µg/dL menjadi 7,86 µg/dL dan dari 12,59 µg/dL menjadi 16,50 µg/dL.

5.1.3. Hasil Pengukuran Skor Tingkat Stres

Pengukuran tingkat stres menggunakan instrumen DASS (Depresion Anxiety Stres Scale). Instrumen DASS ini berupa kuesioner yang menunjukkan tingkat stres seseorang. Penggunaan DASS dilakukan kepada 16 orang responden, yaitu kelompok intervensi 8 orang dan kelompok kontrol 8 orang. Pengisian kuesioner DASS dilakukan pada saat sebelum intervensi dilakukan kembali saat sesudah intervensi 6 minggu kemudian. Hasil skor DASS ditampilkan dalam tabel berikut.

Tabel V.4 Hasil Pengukuran DASS pada Kelompok Intervensi

No. Skor DASS

Sebelum Sesudah

1 29 10

2 25 4

3 15 5

4 11 5

5 79 50

6 64 22

7 59 20


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 9. Hasil pemeriksaan DASS dengan SPSS

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Dasspre .183 8 .200* .940 8 .612

Dasspost .250 8 .149 .813 8 .040

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Dasspre 40.7500 8 24.73141 8.74388

Dasspost 17.1250 8 15.32913 5.41966

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 Dasspre & Dasspost 8 .904 .002

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper Pair

1

Dasspre – Dasspost

2.3625


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 10. Hasil pemeriksaan Kortisol dengan SPSS

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

kortipre .190 8 .200* .898 8 .280

kortipost .163 8 .200* .927 8 .488

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 kortipre 14.6850 8 6.01103 2.12522

kortipost 12.1750 8 2.93532 1.03779

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 kortipre & kortipost 8 .505 .201

Paired Samples Test

Paired Differences

T df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 kortipre –


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 11. Hasil pemeriksaan DASS Kelompok Kontrol dengan SPSS

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Dasspre 46.5000 8 16.87771 5.96717

Dasspost 40.2500 8 12.99176 4.59328

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 Dasspre & Dasspost 8 .777 .023

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 Dasspre -


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 12. Hasil pemeriksaan Kortisol Kelompok Kontrol dengan SPSS

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 kortipre 15.3512 8 5.33661 1.88678

kortipost 12.1762 8 3.99943 1.41401

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 kortipre & kortipost 8 .499 .209

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 kortipre -


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13 . Hasil perbandingan kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol

Group Statistics

sholat N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

deltacortisol Ya 8 2.5100 5.18783 1.83417

Tidak 8 3.1750 4.81597 1.70270

deltaCD4 Ya 8 45.2500 82.25005 29.07979

Tidak 8 82.3750 207.81512 73.47374

deltaDASS Ya 8 23.6250 12.69350 4.48783

Tidak 8 6.2500 10.63350 3.75951

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper deltacorti

sol

Equal variances

assumed .022 .884 -.266 14 .794 -.66500 2.50268 -6.03271 4.70271 Equal variances

not assumed -.266 13.923 .794 -.66500 2.50268 -6.03548 4.70548

deltaCD4 Equal variances

assumed 1.719 .211 -.470 14 .646 -37.12500 79.01914

-206.60420 132.35420 Equal variances

not assumed -.470 9.141 .649 -37.12500 79.01914

-215.46071 141.21071 deltaDAS

S

Equal variances

assumed .470 .504 2.968 14 .010 17.37500 5.85445 4.81846 29.93154 Equal variances


(6)