Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS Di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

(1)

i

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT SPIRITUALITAS DENGAN

TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HIV/AIDS

DI YAYASAN SPIRIT PARAMACITTA DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

I GEDE MEYANTARA EKA SUPERKERTIA NIM. 1102105065

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

(3)

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, berbagai bantuan, petunjuk, saran, serta masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada berbagai pihak, diantaranya :

1. Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M.Kes. , sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF. , sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana serta memberikan pengarahan dalam proses pendidikan

3. Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat., sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ns. Made Pande Lilik Lestari, S.Kep., sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.


(5)

v

5. Kepala Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, yang memberikan data awal dan izin melakukan studi pendahuluan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Program A Angkatan Tahun 2011 atas dukungan yang telah ditunjukkan selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia keperawatan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, Juni 2015


(6)

vi

ABSTRAK

Superkertia, I Gede Meyantara Eka. 2015. Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS Di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan , Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat; (2) Ns. Made Pande Lilik Lestari, S.Kep.

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang bersifat kronis. HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual. Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Penelitian ini merupakan studi pendekatan cross sectional yang dilakukan selama satu minggu. Sampel terdiri dari 45 orang yang dipilih dengan cara Purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner spiritual dan kualitas hidup untuk mengetahui tingkat spiritualitas dan tingkat kualitas hidup responden. Berdasarkan uji Rank Spearman didapatkan hasil p=0,000 artinya ada hubungan antara tingkat spritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Dengan nilai r=0,829. Berdasarkan hal tersebut disarankan kepada yayasan atau LSM agar lebih intensif dalam menyediakan pelayanan spiritual bagi para penderita HIV sehingga kualitas hidup mereka akan lebih baik.


(7)

vii

ABSTRACT

Superkertia, I Gede Eka Meyantara. 2015. Relationship Between Spirituality Level With Level Quality of Life in Patients HIV/AIDS In Spirit Foundation Paramacitta Denpasar. Thesis, Department of Nursing, Faculty of Medicine, University of Udayana, Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat; (2) Ns. Made Pande Lili Lestari, S.Kep.

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) is a chronic sexually transmitted infection. HIV in addition to causing physical disorders, also can cause social disruption affects the patient's life. One approach that is often used in assisting patients who have long suffered from HIV/AIDS is through spiritual therapy. Spiritual therapies that do may indirectly increase the significance of spirituality patient about his illness. This study aims to determine the relationship between the level of spirituality with the level of quality of life in patients with HIV/AIDS in Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. This research was a cross sectional study conducted during one week. The sample consisted of 45 people were selected by purposive sampling. Data collected by using a questionnaire of spiritual and quality of life to determine the level of spirituality and level of quality of life of respondents. Based on Spearman Rank test showed p=0,000 means that there were a correlation between the level of spirituality with the level of quality of life of patients with HIV/AIDS. With the r value = 0,829. Based on these, foundation or LSM suggested to be more intensive in providing spiritual care for people with HIV so that their quality of life will be better.


(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 HIV/AIDS ... 7

2.1.1 Definisi ... 7

2.1.2 Etiologi ... 7

2.1.3 Patofisiologi ... 8

2.1.4 Respon Perubahan terhadap Penyakit HIV/AIDS ... 10

2.1.5 Cara Penularan ... 13

2.1.6 Manifestasi Klinis ... 14

2.1.7 Penatalaksanaan ... 15

2.2 Spiritualitas ... 16

2.2.1 Definisi ... 16

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual ... 18

2.2.3 Cakupan Kebutuhan Asuhan Spiritual ... 19

2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal ... 24

2.2.5 Alat Ukur Spiritual ... 24

2.3 Kualitas Hidup ... 25

2.3.1 Definisi ... 25

2.3.2 Ruang Lingkup ... 26


(9)

ix

2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup... 27

BAB III KERANGKA KONSEP ... 29

3.1 Kerangka Konsep ... 29

3.2 Variabel Penelitian ... 30

3.3 Definisi Operasional ... 30

3.4 Hipotesis ... 31

BAB IV METODE PENELITIAN ... 32

4.1 Jenis Penelitian ... 32

4.2 Kerangka Kerja ... 32

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

4.3.1 Tempat Penelitian ... 33

4.3.2 Waktu Penelitian ... 33

4.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 33

4.4.1 Populasi ... 33

4.4.2 Sampel ... 33

4.4.3 Teknik Sampling ... 34

4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 35

4.5.1 Jenis Data ... 35

4.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 35

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 36

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 39

4.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 39

4.6.2 Teknik Analisa Data ... 40

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

5.1 Hasil Penelitian ... 42

5.1.1 Kondisi Lokasi Tempat Penelitian ... 42

5.1.2 Karakteristik Responden ... 43

5.1.3 Hasil Pengamatan terhadap Subyek Penelitian sesuai Variabel Penelitian ... 46

5.1.4 Hasil Analisis Data ... 48

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 49

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB VI PENUTUP ... 55

6.1 Simpulan ... 55

6.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA


(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologis

penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun ... 9

Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV ... 12

Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS ... 16

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30

Tabel 5. Keterangan Koefisien Korelasi ... 40

Tabel 6. Uji Rank Spearman ... 48


(11)

xi

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1. Patofisiologi HIV/AIDS ... 9 Bagan 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan

Kualitas Hidup pada Pasien HIV/AIDS di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar ... 29 Bagan 3. Kerangka Kerja Penelitian ... 32


(12)

xii

DAFAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur………. 42 Gambar 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………… 43 Gambar 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ……….. 43 Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan……. 44 Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir …. 45 Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ……….. 45 Gambar 7. Gambaran Tingkat Spiritualitas Responden di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar ……….. 46

Gambar 8. Gambaran Tingkat Kualitas Hidup Responden di Yayasan


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan Penelitian

Lampiran 2. Lembar Permintaan Menjadi Responden Lampiran 3. Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4. Lembar Kuesioner

Lampiran 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Lampiran 6. Biaya Penelitian

Lampiran 7. Master Tabel Lampiran 8. Uji Analisis Data Lampiran 9. Dokumentasi


(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

HIV : Human Immunodeficiency Virus

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS

ARV : Antiretroviral

SWB : Spiritual Well Being EWB : Existensial Well Being RWB : Religious Well Being DNA : Deoxyribonucleic Acid

RNA : Ribonucleic Acid

CD4 : Cluster Differential Four WHO : World Health Organization


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang bersifat kronis. Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan RI (2014), sejak tahun 1987 sampai bulan Juni 2014 jumlah total penderita HIV di Indonesia mencapai 142.950 orang dan AIDS sebanyak 56.623 orang. Jumlah penderita HIV di Bali pada tahun 2014 mencapai 9.051 orang dan menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta. Bali merupakan provinsi peringkat ketiga dengan nilai prevalensi tertinggi setelah Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per 100.000 jumlah penduduk. Wilayah Denpasar merupakan Kota dengan jumlah penderita HIV paling banyak di Bali pada tahun 2014 yaitu mencapai 39,9% (4.264 orang) (Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, 2015).

Penderita HIV atau AIDS di wilayah Denpasar sebagain besar melakukan dampingan di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Yayasan ini berdiri sejak tahun 2001 yang memiliki fokus dan konsentrasi terhadap gerakan penanggulangan HIV dan AIDS di Bali dengan melakukan pemberdayaan terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk melakukan aktivitas sebagai bagian dari komunitas. Yayasan ini mendampingi ODHA yang berada di Seluruh


(16)

2

Kabupaten di Bali. Dari tahun 2002 hingga 2014 jumlah dampingan ODHA mencapai 2.500 orang dengan pemberian dukungan berupa dukungan psikologis melalui konseling, dukungan informasi tentang infeksi oportunistik, kepatuhan terapi antiretroviral (ARV), pemberian dukungan sosial dan pendidikan pada anak-anak yang orang tuanya terinfeksi HIV/AIDS. Setiap harinya, terdapat dua hingga tiga pasien dengan ODHA melakukan konsultasi di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar (Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, 2015)

HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Stigma negatif dan diskriminatif yang beredar di masyarakat tentang HIV sebagai penyakit yang memalukan dan kotor akan menghambat proses penanganan penyakit HIV dan penyebaran epidemik HIV/AIDS. Stigma tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup seorang pasien dengan HIV (Malcolm et al. 1998 dalam Brown, Trujillo, & Macintyre, 2001).

Menurut Maisarah (dalam Monks dan Andini, 2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa mayoritas kualitas hidup pasien HIV tergolong buruk sebanyak 70,58% dan baik sebanyak 29,42%. Rendahnya kualitas hidup pasien HIV akan mempengaruhi kesehatan dari pasien itu sendiri. Peningkatan kualitas hidup tidak hanya dapat dilakukan melalui proses penyembuhan secara fisik, hal yang paling utama adalah meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya dan merubah orientasi pemikiran pasien dari kesembuhan menjadi kearah penyerahan diri kepada Tuhan dan hubungan dengan orang lain (hubungan sosial).


(17)

3

Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual.

Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar personal dan kepercayaan (Univesity of Toronto, 2010). Penelitian tentang pentingnya spiritualitas pada penyakit kronis termasuk HIV/AIDS telah banyak dilakukan diantaranya Nokes et al. (1995 dalam Tuck & Thinganjana, 2001) mengatakan bahwa 100% dari sampel sebanyak 145 orang dengan penyakit HIV menyatakan nyaman dengan terapi komplementer yang dilakukan yang didalamnya terdapat komponen rohani. Pasien melaporkan bahwa praktek-praktek spiritual membantu meringankan gejala/symptom dan dalam beberapa kasus dapat merubah prognosis penyakit.

Terdapat empat hal yang diakui sebagai kebutuhan spiritual yaitu proses mencari makna baru dalam kehidupan, pengampunan, kebutuhan untuk dicintai, dan pengharapan (Fish & Shelly dalam Potter & Perry, 2005). Penemuan makna baru dalam kehidupan ini akan memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan terhadap dirinya sendiri. Pemenuhan kebutuhan spiritual bisa merupakan hal yang sangat sulit pada pasien-pasien HIV/AIDS oleh karena itu perawat dapat mengambil peran penting.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Tuck, McCain & Elswick (2001) bahwa pengukuran spiritualitas dengan menggunakan EWB (existensial well being)


(18)

4

memberikan gambaran yang positif terhadap social support, strategi koping yang efektif dan mempunyai hubungan negatif terhadap stress, ketidakpastian, stress psikologi dan koping emosional. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dalmida, Holdstad, Dilorio & Laderman (2009) yang menyatakan semakin tinggi spiritual well being (SWB) didalamnya ada dua komponen yaitu existensial well-being (EWB) dan religious well-being (RWB) maka semakin rendah depresi yang dialami oleh responden, hasil lainnya adalah semakin tinggi komponen EWB maka akan semakin tinggi pula nilai CD4 pada pasien HIV/AIDS yang menandakan status imunnya dalam keadaan baik.

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap sepuluh orang responden yang berkunjung ke Yayasan Spirit Paramacitta diperoleh bahwa tingkat spiritualitas pasien HIV/AIDS sebagian besar sedang yaitu sebanyak enam orang dan tiga orang memiliki tingkat spiritualitas yang rendah, dilihat dari kualitas hidup sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sedang sebanyak lima orang dan tiga orang memiliki kualitas hidup yang rendah. Masih terdapat pasien orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memiliki kualitas hidup yang rendah dan tingkat spiritualitas yang rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.


(19)

5

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian yaitu :

“Adakah hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

1.3.2Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar

b. Mengidentifikasi tingkat spiritualitas pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

c. Mengidentifikasi tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

d. Menganalisis hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.


(20)

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi dalam peningkatan kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS .

b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan dalam memberikan pembinaan dan himbauan bagi petugas kesehatan akan pentingnya pendidikan spiritual dan kebutuhan spiritual bagi pasien dengan HIV/AIDS

c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam membuat penelitian lanjutan yang lebih spesifik mengenai makna spiritualitas dari masyarakat dengan budaya khusus yang mengalami HIV/AIDS (misalnya masyarakat Bali dengan kebudayaan Balinya).

1.4.2Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi yang mendukung dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS melalui pendidikan spiritual yang efektif dan berkesinambungan.

b. Bagi ODHA

Penelitian ini dapat mengetahui hubungan antara tingkat spiritual dengan kualitas hidup, maka dapat dilakukan intervensi khusus dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS


(21)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1 Definisi

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid

(DNA)

menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Corwin, 2008; Pinsky & Douglas, 2009).

2.1.2 Etiologi

Penyebab terjadinya AIDS berasal dari infeksi virus HIV. Virus ini dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (Human T Lympotrophic Virus III / HTLV-III) atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus manusia dari famili lentivirus (Price & Wilson, 2006). Terdapat dua tipe virus HIV yang sudah teridentifikasi berdasarkan susunan genom dan hubungan filogeniknya, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang keduanya memiliki penyebaran epidemiologis yang berbeda. Virus HIV-1 merupakan tipe yang paling umum dan virulen menginfeksi manusia dimana sebanyak 90% kejadian infeksi HIV yang terjadi di dunia berasal dari HIV-1 (Phangkawira, dkk., 2009).


(22)

8

2.1.3 Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya (Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003).

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau Acute Retroviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan jumlah CD4 dan peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma. CD4 secara perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5 – 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load (jumlah virus HIV dalam darah) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3 kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV, rata-rata kemampuan


(23)

9

bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut:

Bagan 1. Patofisiologi HIV/AIDS


(24)

10

Berikut ini merupakan klasifikasi infeksi HIV menurut Centers for Disease Control and Prevention (2011) berdasarkan patofisiologi penyakit:

Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun

Kelas Kriteria

Grup I 1. Infeksi akut HIV

2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna 3. Antibodi HIV negatif

HIV asimtomatik Grup II

1. Antibodi HIV positif

2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi

HIV simtomatik Grup III

1. Antibodi HIV positif

2. Limfadenopati generalisata persisten Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif

2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap, menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A

2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati, mielopati)

Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B

2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C

2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011

2.1.4 Respon Perubahan terhadap Penyakit HIV/AIDS

Penderita HIV/AIDS umumnya memiliki respons yang spesifik, yaitu:

a. Respon Biologis (Imunitas)

Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak angsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV


(25)

11

melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).

Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke nti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997).

Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel-sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel-sel- sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997).

Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama bertahuntahun. Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+


(26)

12

mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

b. Respon Psikologis

Tahapan respon psikologis pasien HIV (Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV

Respon Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai

1. Shock (kaget, goncangan batin)

Merasa bersalah, marah, tidak berdaya

Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out

2. Mengucilkan diri

Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri

Khawatir menginfeksi orang lain, murung

3. Membuka status secara terbatas

Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin dicintai

Penolakan, stres, konfrontasi

4. mencari orang lain yang HIV positif

Berbagi rasa, pengenalan,

kepercayaan, penguatan, dukungan sosial

Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya

5. Status khusus

Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya

Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over identification

c. Respons Adaptif Sosial

Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 aspek (interaksi sosial, cemas, dan emosi), yaitu:

1) Stigma sosial memperparah depresi dan pandangan yang negatif tentang harga diri pasien HIV.


(27)

13

2) Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurungnya dukungan sosial. Hal ini akan memperparah stres pasien HIV.

3) Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien HIV akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stres yang dialami.

d. Respons Adaptif Spiritual

Respon adaptif spiritual pasien HIV, yaitu distress spiritual. Distres spiritual adalah gangguan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur, alam dan/atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri. Contoh distress spiritual, yaitu: pasien HIV merasa terbuang oleh atau karena kemarahan Tuhan, pasien HIV merasa hidup tanpa harapan dan menderita (NANDA, 2011)

2.1.5 Cara Penularan

Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (Wijaya, 2010). Terdapat dua cairan utama dalam transmisi virus HIV yakni, transmisi seksual dan non seksual. Transmisi seksual melalui hubungan seksual baik heteroseksual, homoseksual, oral seks maupun anal seks. Transmisi


(28)

14

nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004; Wijaya, 2010).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Klien HIV/AIDS akan mengalami perubahan, diantaranya perubahan fisik, perubahan psikologis, perubahan spiritual, dan perubahan hubungan sosial. Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010).

Pasien AIDS rentan terhadap terhadap infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus. Pneumonia Pnuemocytis Carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering dijumpai dengan gejala panas yang pendek, sesak nafas, batuk, nyeri dada, dan demam. Hal ini hampir serupa tanda dan gejalanya dengan pasien AIDS yang disertai Tuberkulosis (TB) karena Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti fungus antara lain kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Infeksi


(29)

15

opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan infeksi HIV/AIDS menggunakan kombinasi tiga kelas obat antiviral. Tipe obat yang pertama yang digunakan secara luas adalah analog nukleotida yang menghambat aktivitas reverse transcriptase yaitu perubahan pada rantai DNA menjadi RNA pada virus HIV. Obat ini secara signifikan menurunkan level plasma RNA dari HIV untuk beberapa bulan tetapi tidak menghentikan progresivitas HIV akibat virus yang berevolusi dan menjadi resisten (Pasek, dkk., 2008). Melihat hal tersebut, tentunya pencegahan penularan HIV/AIDS menjadi fokus tindakan yang perlu dilakukan untuk memutus transmisi HIV (Permenkes RI, 2013). Pencegahan HIV/AIDS dapat dilakukan pada tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier (Murti, 2010). Dalam pencegahan dan perawatan HIV/AIDS, ketiga program pencegahan tersebut perlu dilakukan secara optimal. Tabel berikut menyajikan tentang tingkat pencegahan penyakit HIV/AIDS.


(30)

16

Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS

Tingkat pencegahan

Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada HIV/AIDS Pencegahan primer Modifikasi determinan /faktor risiko/kausa penyakit, sebelum dimulainya perubahan patologis, dilakukan pada tahap suseptibel dan induksi penyakit, promosi kesehatan terkait penyakit

Mencegah atau menunda penyakit

1) Peningkatan

kesehatan dengan pendidikan

kesehatan

reproduksi tentang HIV/AIDS,

standarisasi nutrisi, menghindari seks bebas

2) Perlindungan khusus, misalnya imunisasi,

kebersihan pribadi, pemakaian kondom

Pencegahan sekunder

Deteksi dini penyakit dengan skrining dan pengobatan segera Memperbaiki prognosis kasus (memperpendek durasi penyakit, memperpanjang hidup) Teknik skrining (pemeriksan laboratorium serum darah dengan tehnik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau Western Bolt rutin untuk kelompok risiko tinggi) dan pengobatan penyakit pada tahap dini

Pencegahan tersier

Pengobatan, rehabilitasi dan pembatasan kecacatan

Mengurangi dan mencegah sekuel dan disfungsi, mencegah serangan ulang, meringankan akibat penyakit, dan memperbaiki kualitas hidup

Kegiatan pencegahan tersier pada HIV/AIDS ditujukan untuk melaksanakan

rehabilitasi, pembuatan diagnosa dan tindakan penatalaksanaan penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk

membantu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai tingkat fungsi optimal sesuai dengan keterbatasan yang terjadi akibat HIV/AIDS Sumber: Murti, 2010; Aminah, 2010

2.2Spiritualitas

2.2.1 Definisi

Konsep biopsikososiospiritual banyak dibahas oleh para tokoh-tokoh keperawatan. Salah satunya adalah Henderson mengatakan fungsi khas perawat


(31)

17

yaitu melayani individu baik sakit maupun sehat dengan berbagai aktifitas yang memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan upaya penyembuhan (maupun upaya mengantar kematian yang tenang) sehingga klien dapat beraktifitas mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan dan pengetahuan yang dimilikinya. Jadi, tugas utama perawat yaitu membantu klien menjadi lebih mandiri secepatnya. Henderson memandang manusia secara holistik atau keseluruhan. Terdiri dari unsur fisik, biologi, sosiologi dan spiritual.

Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistik), yaitu terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan, dan faktor spiritual yang berhubungan secara dinamis dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: 1) Faktor fisiologis meliputi struktur dan fungsi tubuh, 2) Faktor psikologis terdiri dari proses dan hubungan mental, 3) Faktor sosial budaya meliputi fungsi sistem yang menghubungkan sosial dan ekspektasi kultural dan aktivasi, 4) Faktor perkembangan sepanjang hidup, 5) Faktor spiritual meliputi pengaruh kepercayaan spiritual (Tomey & Alligood, 2006)

Craven & Hirnle (2007) mengatakan spiritualitas adalah kualitas atau kehadiran dari proses meresapi atau memaknai, integritas dan proses yang melebihi kebutuhan biopsikososial. Inti spiritual menurut Murray & Zentner (1993 dalam Craven & Hirnle, 2007) adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu yang percaya maupun tidak percaya kepada Tuhan. Proses ini didasarkan pada usaha untuk harmonisasi atau penyelarasan dengan alam semesta, berusaha keras untuk menjawab tentang


(32)

18

kekuatan yang terbatas, menjadi lebih fokus ketika individu menghadapi stress emosional, sakit fisik atau menghadapi kematian.

Karakteristik mayor dari spiritualitas menurut Craven & Hirnle (2007) adalah perasaan yang menyeluruh dan harmonisasi dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan yang lebih besar yang dipengaruhi oleh status perkembangan, identitas yang kuat, dan harapan.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual menurut Craven & Hirnle, (2007) adalah:

a. Kebudayaan, termasuk didalamnya adalah tingkah laku, kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari latar belakang sosial budaya.

b. Jenis kelamin: Spiritual biasanya bergantung pada kelompok sosial dan nilai-nilai agama dan transgender. Misalnya yang menjadi pemimpin kelompok spiritual adalah laki-laki, dsb

c. Pengalaman sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif atau negative dapat mempengaruhi spiritualitas dan pada akhirnya akan mempengaruhi makna dari nilai-nilai spiritual seseorang. Misalnya: orang yang sangat menyayangi anaknya kemudian anaknya meninggal karena kecelakaan pada akhirnya mungkin akan menolak eksisitensi Tuhan dan mungkin akan berhenti untuk beribadah, demikian juga misalnya seseorang yang sukses di pernikahan, karir, pendidikan mungkin akan beranggapan bahwa dia tidak membutuhkan Tuhan (Taylor, Lilis & Lemone, 1997).


(33)

19

proses kematian atau sakitnya orang yang dicintai dapat menyebabkan perubahan atau distress status spiritual. Situasi krisis atau perubahan yang terjadi dalam kehidupan dapat memberikan makna meningkatnya kepercayaan, bahkan dapat juga melemahkan kepercayaannya. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh hal-hal yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan yang baru (Kemp 1999).

e. Terpisah dari ikatan spiritual, Pengalaman selama dirawat di rumah sakit atau menjalani perawatan di rumah akan menyebabkan seseorang terisolasi berada pada lingkungan yang baru dan asing mungkin akan menyebabkan perasaan tidak nyaman, kehilangan support sistem dan daya juang.

2.2.3 Cakupan Kebutuhan Asuhan Spiritual

Baylor University School of Nursing (BUSN) (1991 dalam Kemp (1999) Kebutuhan Asuhan Spiritual mencakup:

a. Makna

1) Pengertian

Yaitu alasan terjadinya suatu peristiwa atau berbagai peristiwa, tujuan hidup, dan keyakinan akan kekuatan dalam hidup. Makna dapat ditemukan saat meninjau prestasi eksternal, pencarian ini berupa pencarian moral atau spiritual, memikirkan kesalahan atau ketidakcukupan. Pencarian makna juga mencakup makna menjelang ajal, keberadaan manusia, penderitaan, dan usia hidup yang tersisa Speck (1998 dalam Kemp, 1999).


(34)

20

berbagai cara melalui kehilangan harapan dan keputusasaan.

2) Pengkajian dan intervensi

Pengkajian sebaiknya dilakukan secara langsung:

Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan isu yang ada saat ini, komunikasi secara umum dan hubungan perawat klien. Selain itu pertanyaan yang diajukan dapat berupa makna menjelang ajal dan penderitaan yang dialami. Intervensi yang diberikan adalah memberikan kesempatan pada individu untuk mencari makna hidup dan tidak begitu saja diberikan oleh orang lain. Perawat dapat membantu memberi makna hidup dengan bertindak secara konsisten untuk memberikan perawatan yang penuh cinta. Walaupun makna dan harapan itu tidak dapat dipenuhi oleh klien. Klien dapat berdoa bila tidak dapat mencapai kesempurnaan spiritual.

b. Harapan

1) Pengertian

Conrad (1985 dalam Kemp, 1999) mengatakan harapan adalah faktor penting dalam menghadapi stress, dalam mempertahankan kualitas hidup, dan untuk melanjutkan hidup. Komponen harapan menurut Post-White, dkk (1996 dalam Kemp 1999) adalah menemukan makna melalui iman atau spiritualitas, memiliki hubungan yang menguatkan, mengandalkan sumber dalam diri, menjalani kehidupan setiap hari, dan mengantisipasi kelangsungan hidup di masa depan.


(35)

21

2) Pengkajian dan intervensi

Tujuannya adalah memberikan panduan dalam membantu klien dan keluarga menemukan harapan yang ada dalam penyakit terminal. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh dimensi yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan (Kemp 1999).

Saat menjelang ajal adalah waktu yang terbaik untuk melihat keimanan, karena kebanyakan orang tidak menyadari apa yang ia rindukan sepanjang perjalanan kehidupannya. Jika pergi ke tempat ibadah tidak mungkin dilakukan secara fisik, kunjungan dari rohaniawan dapat sangat membantu. Lagu dan ritual agama klien bahkan dapat lebih menyenangkan dibandingkan dengan konseling.

Dinamika harapan dibangun dari tiga unsur utama: harapan, putus asa, dan hubungan timbal balik antara harapan dan putus asa. Keseimbangan yang bergantian antara harapan, putus asa, dan keputusasaan berdasarkan pada faktor yang berkontribusi terhadap harapan dan putus asa yang muncul sebagai sentral dalam dinamika harapan. Dinamika harapan berhubungan erat dengan proses dasar untuk mencari cara sendiri dengan HIV/AIDS, mendalami menjadi HIV-positif, dan hidup dengan HIV/ AIDS. Hal signifikan lainnya, dinamika harapan berhubungan erat dengan HIV, berubah dari abstrak ke konkret dalam hubungan dengan klien dengan HIV/Aids (Kylma, Julkunen & Lahdevirta, 2003).

c. Keterkaitan dengan Tuhan


(36)

22

sangat penting dalam kenyamanan yang berasal dari keterkaitan dengan Tuhan: Ada Yang maha dari penderitaan ini, Yang Maha dari ketakutan ini, Yang Maha dari ketidakmampuan kita.

Pengkajian diawali dengan melihat apakah kehidupan individu ditandai dengan harapan, makna, hubungan terbuka, dan penerimaan diri atau dengan keputusasaan, kesia-siaan, isolasi dan rasa bersalah.

Pertanyaan yang spesifik: menelusuri mengenai keyakinan individu tentang Tuhan atau agama, hubungan individu dengan Tuhan, kehidupan agama dan spiritual individu saat ia masih muda dan sudah tua, serta aspek kehidupan spiritual atau agama yang hilang. Pertanyaan yang sangat baik adalah:

”menurut anda apa yang ingin disampaikan Tuhan pada anda saat ini?”

Inti dari asuhan spiritual adalah asuhan itu sendiri bukan upaya untuk meyakinkan klien untuk meyakini kepercayaan orang lain.

d. Pengampunan atau penerimaan

Ditandai dengan rasa bersalah, menghadapi situasi hidup yang menyakitkan. Beberapa individu menganggap proses ini sebagai sesuatu yang berkaitan dengan dosa, penyesalan, pengampunan dan hukuman. Klien mengalami rasa bersalah yang berat akibat perasaan menyimpang atas dosa atau tanggungjawab mereka sendiri terkait dengan keadaan yang menyakitkan di kehidupan mereka. Tujuan dari kehidupan moral atau spiritual adalah mengungkap jenis pertahanan yang membantu banyak untuk mengatasi situasi hidup yang menyakitkan (Kemp, 1999).


(37)

23

Intervensi yang diberikan oleh petugas kesehatan adalah menunjukkan pengampunan dan penerimaan dengan cara memberikan perawatan yang penuh perhatian secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan kepada klien kemungkinan bahwa pengampunan dan penerimaan dapat dilakukan.

Tidak membeda-bedakan agama dan kepercayaan, tugas utamanya adalah melaksanakan kemurahan hati. Intervensi yang dilakukan oleh perawat adalah intervensi pasif.

Martokoesoemo, (2007) mengatakan hal-hal positif yang harus dimiliki oleh manusia adalah yakin bahwa dunia ini hanya tipuan. Setiap manusia harus mempunyai kekuatan untuk membuat hal-hal yang negative menjadi positif, juga membuat hal-hal yang menyedihkan menjadi sesuatu yang menggembirakan. Karena didunia ini tidak ada yang abadi, yang sejati daN abadi hanyalah Tuhan.

e. Transedensi

Transedensi adalah kualitas iman atau spiritualitas yang memungkinkan individu bergerak maju, untuk melampaui, apa yang diberikan atau tersaji dalam pengalaman kesendirian atau keputusasaan yang sering menyertai menjelang ajal.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat adalah memberi kualitas perawatan yang tekun dan sabar (Kemp, 1999).


(38)

24

2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal

Zerwekh (1991 dalam Kemp 1999) mengatakan tanggung jawab dalam memberikan asuhan yang efektif dalam proses spiritual menjelang ajal adalah: 1. Mendengarkan

2. Mendiagnosis distress semangat manusia

3. Menegaskan sangat pentingnya masalah spiritual pada akhir kehidupan.

Tindakan mendampingi, atau berjaga-jaga, bahkan saat penderitaan atau penurunan semangat akan menjadikan perawat sebagai simbol kuat dari Tuhan yang berada didalam setiap individu dan pada klien.

2.2.5 Alat Ukur Spiritual

Tingkat spiritual diukur dengan menggunakan WHO-Quality Of Life-SRPB (Spiritual/Religion/Personal Beliefs) yang terdiri dari delapan sub-variabel meliputi: hubungan spiritual, pengertian dan tujuan hidup, pengalaman yang membuat takjub, keutuhan dan integritas, kekuatan spiritual, kedamaian/ketentraman hati, harapan dan optimisme dan keyakinan/iman. Setiap sub-variabel memiliki empat pertanyaan. Jawaban terdiri dari lima pilihan yaitu: tidak ada dengan skor 0, sedikit dengan skor 1, besar dengan skor 2, sangat besar dengan skor 3, dan sangat besar sekali dengan skor 4. Skor dari masing-masing sub-variabel dijumlahkan sehingga tingkat spiritual digolongkan menjadi: skor 25-40 berarti memiliki tingkat spiritual tinggi, skor 16-24 berarti memiliki tingkat spiritual sedang dan skor 0-15 berarti memiliki tingkat spiritual rendah (WHO, 2002).


(39)

25

2.3Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Cramer JA, 1993).

Definisi kualitas hidup masih belum berlaku secara umum. Selain itu terdapat istilah lain, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia sering digunakan sebagai istilah yang setara atau analog dengan quality of life. Secara umum, kualitas hidup merupakan suatu produk yang dihasilkan dari interaksi sejumlah faktor-faktor yang berbeda, seperti sosial, fisik, kesehatan, ekonomi, dan kondisi lingkungan, yang secara kumulatif, juga dengan cara-cara yang belum diketahui, berinteraksi untuk mempengaruhi pembangunan manusia dan sosial di tingkat individu dan masyarakat. Ini merupakan “gagasan tentang kesejahteraan manusia yang diukur dengan indicator sosial bukan secara pengukuran

“kuantitatif” terhadap pendapatan dan produksi.” (United Nations Glossary 2009).

Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita


(40)

26

terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann BP, 1993).

2.3.2 Ruang Lingkup

Secara umum terdapat enam domain yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci domain-domian yang termasuk kualitas hidup adalah sbb :

a. Kesehatan fisik (physical health): Kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

b. Kesehatan psikologis (psychological health): Cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja.

d. Hubungan social (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja. f. Kepercayaan rohani atau religius (spirituality/religion beliefs)

2.3.3 Pengukuran Kualitas Hidup

Pengukuran kualitas hidup meliputi enam komponen yang telah disebutkan diatas dan pengukuran kualitas hidup ini dibuat dalam bentuk kuesioner yang telah disusun oleh WHO. WHO menyusun beberapa instrumen pengukuran kualitas


(41)

27

hidup seperti World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-Bref, 100, dan HIV BREF. BREF dan 100 merupakan kuesioner umum mengenai kualitas hidup sedangkan WHOQOL-HIV BREF merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup khusus untuk orang dengan HIV/AIDS, oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan WHOQOL-HIV BREF untuk mengukur kualitas hidup orang dengan WHOQOL-HIV/AIDS yang dinilai dengan skala likert sehingga akan didapat skor yang dibagi dalam lima kategori 31 (Sangat Buruk), 32-62 (Buruk), 63-93 (Biasa-biasa saja), 94-124 (Baik), 125-155 (Sangat Baik).

2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup

Menurut Hasnani (2012) dalam penelitiannya tentang spiritualitas dan kualitas hidup pada pasien kanker serviks menunjukkan dimensi psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas. Artinya penderita kanker serviks yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada penderita dengan tingkat spiritualitas yang baik. Kemampuan spiritualitas yang buruk akan mempengaruhi kejiwaan (psikologis) seseorang. Keadaan ini bisa juga sebaliknya.

Menurut Kozier, G. Erb, Berman & S. Snyder (2004), Psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas penderita penyakit kronis. Individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya secara positif pula,


(42)

28

sebaliknya jika individu tidak memiliki kemampuan untuk itu maka tidak akan mendapatkan jawaban tentang arti dan tujuan hidupnya (Hasnani, 2007).

Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita penyakit kronis untuk mencapai kesehatan yang lebih baik (Hasnani, 2012).

M. Quraish Shihab (2007) menjelaskan bahwa untuk memahami kehadiran spiritualitas pada individu, maka hal pertama yang harus ada pada individu adalah merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung yang menciptakan dan mengatur alam raya. Pada penelitian Hasnani (2012) dikatakan bahwa pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidupnya dengan merasakan dalam jiwa tentang kehadiran Allah sebagai kekuatan yang Maha Mengatur kehidupan dengan memberi cobaan kepada individu, sehingga dengan hal tersebut, terdapat keterkaitan antara tingkat spiritualitas seseorang dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS karena HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit kronis seperti pada kanker serviks.


(1)

Intervensi yang diberikan oleh petugas kesehatan adalah menunjukkan pengampunan dan penerimaan dengan cara memberikan perawatan yang penuh perhatian secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan kepada klien kemungkinan bahwa pengampunan dan penerimaan dapat dilakukan.

Tidak membeda-bedakan agama dan kepercayaan, tugas utamanya adalah melaksanakan kemurahan hati. Intervensi yang dilakukan oleh perawat adalah intervensi pasif.

Martokoesoemo, (2007) mengatakan hal-hal positif yang harus dimiliki oleh manusia adalah yakin bahwa dunia ini hanya tipuan. Setiap manusia harus mempunyai kekuatan untuk membuat hal-hal yang negative menjadi positif, juga membuat hal-hal yang menyedihkan menjadi sesuatu yang menggembirakan. Karena didunia ini tidak ada yang abadi, yang sejati daN abadi hanyalah Tuhan.

e. Transedensi

Transedensi adalah kualitas iman atau spiritualitas yang memungkinkan individu bergerak maju, untuk melampaui, apa yang diberikan atau tersaji dalam pengalaman kesendirian atau keputusasaan yang sering menyertai menjelang ajal.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat adalah memberi kualitas perawatan yang tekun dan sabar (Kemp, 1999).


(2)

2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal

Zerwekh (1991 dalam Kemp 1999) mengatakan tanggung jawab dalam memberikan asuhan yang efektif dalam proses spiritual menjelang ajal adalah: 1. Mendengarkan

2. Mendiagnosis distress semangat manusia

3. Menegaskan sangat pentingnya masalah spiritual pada akhir kehidupan.

Tindakan mendampingi, atau berjaga-jaga, bahkan saat penderitaan atau penurunan semangat akan menjadikan perawat sebagai simbol kuat dari Tuhan yang berada didalam setiap individu dan pada klien.

2.2.5 Alat Ukur Spiritual

Tingkat spiritual diukur dengan menggunakan WHO-Quality Of Life-SRPB (Spiritual/Religion/Personal Beliefs) yang terdiri dari delapan sub-variabel meliputi: hubungan spiritual, pengertian dan tujuan hidup, pengalaman yang membuat takjub, keutuhan dan integritas, kekuatan spiritual, kedamaian/ketentraman hati, harapan dan optimisme dan keyakinan/iman. Setiap sub-variabel memiliki empat pertanyaan. Jawaban terdiri dari lima pilihan yaitu: tidak ada dengan skor 0, sedikit dengan skor 1, besar dengan skor 2, sangat besar dengan skor 3, dan sangat besar sekali dengan skor 4. Skor dari masing-masing sub-variabel dijumlahkan sehingga tingkat spiritual digolongkan menjadi: skor 25-40 berarti memiliki tingkat spiritual tinggi, skor 16-24 berarti memiliki tingkat spiritual sedang dan skor 0-15 berarti memiliki tingkat spiritual rendah (WHO, 2002).


(3)

2.3Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Cramer JA, 1993).

Definisi kualitas hidup masih belum berlaku secara umum. Selain itu terdapat istilah lain, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia sering digunakan sebagai istilah yang setara atau analog dengan quality of life. Secara umum, kualitas hidup merupakan suatu produk yang dihasilkan dari interaksi sejumlah faktor-faktor yang berbeda, seperti sosial, fisik, kesehatan, ekonomi, dan kondisi lingkungan, yang secara kumulatif, juga dengan cara-cara yang belum diketahui, berinteraksi untuk mempengaruhi pembangunan manusia dan sosial di tingkat individu dan masyarakat. Ini merupakan “gagasan tentang kesejahteraan manusia yang diukur dengan indicator sosial bukan secara pengukuran “kuantitatif” terhadap pendapatan dan produksi.” (United Nations Glossary 2009). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita


(4)

terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann BP, 1993).

2.3.2 Ruang Lingkup

Secara umum terdapat enam domain yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci domain-domian yang termasuk kualitas hidup adalah sbb :

a. Kesehatan fisik (physical health): Kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

b. Kesehatan psikologis (psychological health): Cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja.

d. Hubungan social (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja. f. Kepercayaan rohani atau religius (spirituality/religion beliefs)

2.3.3 Pengukuran Kualitas Hidup

Pengukuran kualitas hidup meliputi enam komponen yang telah disebutkan diatas dan pengukuran kualitas hidup ini dibuat dalam bentuk kuesioner yang telah disusun oleh WHO. WHO menyusun beberapa instrumen pengukuran kualitas


(5)

hidup seperti World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-Bref, 100, dan HIV BREF. BREF dan 100 merupakan kuesioner umum mengenai kualitas hidup sedangkan WHOQOL-HIV BREF merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup khusus untuk orang dengan HIV/AIDS, oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan WHOQOL-HIV BREF untuk mengukur kualitas hidup orang dengan WHOQOL-HIV/AIDS yang dinilai dengan skala likert sehingga akan didapat skor yang dibagi dalam lima kategori 31 (Sangat Buruk), 32-62 (Buruk), 63-93 (Biasa-biasa saja), 94-124 (Baik), 125-155 (Sangat Baik).

2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup

Menurut Hasnani (2012) dalam penelitiannya tentang spiritualitas dan kualitas hidup pada pasien kanker serviks menunjukkan dimensi psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas. Artinya penderita kanker serviks yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada penderita dengan tingkat spiritualitas yang baik. Kemampuan spiritualitas yang buruk akan mempengaruhi kejiwaan (psikologis) seseorang. Keadaan ini bisa juga sebaliknya.

Menurut Kozier, G. Erb, Berman & S. Snyder (2004), Psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas penderita penyakit kronis. Individu yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif yang dimilikinya dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk menghadapi situasi kesehatannya secara positif pula,


(6)

sebaliknya jika individu tidak memiliki kemampuan untuk itu maka tidak akan mendapatkan jawaban tentang arti dan tujuan hidupnya (Hasnani, 2007).

Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita penyakit kronis untuk mencapai kesehatan yang lebih baik (Hasnani, 2012).

M. Quraish Shihab (2007) menjelaskan bahwa untuk memahami kehadiran spiritualitas pada individu, maka hal pertama yang harus ada pada individu adalah merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung yang menciptakan dan mengatur alam raya. Pada penelitian Hasnani (2012) dikatakan bahwa pengaruh spiritualitas terhadap kualitas hidupnya dengan merasakan dalam jiwa tentang kehadiran Allah sebagai kekuatan yang Maha Mengatur kehidupan dengan memberi cobaan kepada individu, sehingga dengan hal tersebut, terdapat keterkaitan antara tingkat spiritualitas seseorang dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS karena HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit kronis seperti pada kanker serviks.