d. Masa Pengaruh Cina
Pada masa pengaruh Cina perkembangan seni pertunjukan di Indonesia tidak seluas perkembangan yang bernuansa Hindu dan
Islam. Berbagai bentuk seni pertunjukan di Indonesia jelas mendapatkan pengaruh dari seni pertunjukan Cina. Brandon dalam
Soedarsono, 2002 : 53 menjelaskan bahwa seni pertunjukan di Asia Tenggara dari seputar tahun 1300 sampai dengan 1750 mendapatkan
pengaruh sangat besar dari Cina dan negara-negara Islam. Pengaruh Cina banyak menyebar ke wilayah bagian utara Asia Tengara,
sedangkan pengaruh Islam lebih menyebar ke wilayah barat.
e. Masa Pengaruh Barat
Pengaruh barat Eropa yang berawal dari datangnya para pedagang Portugis, yang kemudian disusul oleh hadirnya orang-orang
Belanda pada akhir abad ke-16, sampai sekarang dapat disaksikan dalam berbagai bentuk seni. Pengaruh itu terdapat di berbagai kota
besar dan istana-istana kerajaan. Sudah tentu pengaruh-pengaruh itu tidak begitu saja hadir tanpa adanya penyesuaian budaya lokal. Dalam
bidang arsitektur, misalnya, pada akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20 berkembang sebuah gaya arsitektur yang unik, yaitu gaya Indis.
Soekiman dalam Soedarsono: 1996 : 61 mengupas dengan panjang lebar mengenai budaya dan gaya hidup golongan masyarakat
campuran Belanda dan perempuan-perempuan Jawa, terutama yang memiliki jabatan tinggi.
Di dalam bangunan Indis itu mereka hidup mewah dengan berpuluh-puluh pembantu, berpuluh-puluh kuda, juga berpuluh-puluh
pemain musik. Hanya arsitektur bergaya Indis itu sekarang sebagian besar telah lenyap. Hanya beberapa saja yang masih megah berdiri, di
antaranya Gedung Arsip Nasional dan Musium Wayang. Pada perkembangan masa pengaruh Barat dapat dilihat dari tari
putri yang ditampilkan dalam upacara juga mengacu pada tari sakral di istana Jawa, yaitu tarian dengan sembilan penari. Bahkan, tari yang
dipersembahkan kepada Tuhan itu digambarkan dengan ungkapan dalam bahasa Jawa sebagai berikut.
“… sanya kapapag ing juru beksa cacah sanga, kang mralambangake urip matiraga mutupi babahan hawa sanga, pasrah jiwa raga ing
Hyang Rama wekasan nampa urip lana…” “… dijemput oleh 9 penari yang melambangkan hidup
mengenyampingkan raga, yaitu dengan menutupi 9 pintu hawa nafsu berserah jiwa raga kepada Tuhan, akhirnya mendapat hidup kekal…”
Penari yang berjumlah sembilan orang dalam tradisi istana-istana Jawa disebut dengan penari Bedhaya Soedarsono, 2002: 80-81.
f. Masa Kemerdekaan