13
2.3 Lesbian secara umum
Seorang lesbian tidak selalu memiliki ciri khas yang membedakannya dengan orang yang tidak lesbian, namun ciri yang sering muncul seperti memposisikan diri sebagai seorang
pria, penampilannya sangat maskulin, memiliki hobi yang maskulin, posesif, menunjukkan ketertarikannya pada perempuan, memiliki ciri khusus yang menjadi kesepakatan kaumnya.
Sebaliknya ciri lesbian yang berperan sebagai feminim, biasanya penampilannya kaku, ketergantungan tinggi terhadap pasangannya, tidak mandiri, sering cemas, jaga jarak dengan
wanita lain yang bukan pasangannya, sentimental, dan bersikap normal pada pria. Tapi ini juga bukan cirri yang paten, atau tidak selalu muncul.
Kalangan lesbian terdapat pembagian jenis peran juga, yakni:
17
Lesbian Butch: adalah tipe wanita yang mengadopsi peran laki-laki seperti dalam relasi heteroseksual. Butch dibagi dalam 2 tipe, yakni Soft Butch yang dalam
kehidupan sehari-hari istilah Soft Butch sering disebut juga dengan Androgyne. Kemudian Butch yang berpakaian maskulin seringkali lebih berperan sebagai seorang “laki-laki” baik
dalam suatu hubungan dengan pasangannya, maupun saat berhubungan seks. Stone Butch sering kali disebut dengan Strong Butch dalam istilah lain untuk lebel lesbian ini. Lesbian
Femme: adalah tipe wanita yang mengambil peran selayaknya wanita dalam peran heteroseksual. Femme yang berpakaian “feminin” selalu digambarkan mempunyai rambut
panjang dan berpakaian feminin. Femme sering kali digambarkan atau mempunyai stereotype sebangai pasangan yang pasif dan hanya menunggu atau menerima saja.
18
2.4 Memahami studi jender
Bicara mengenai lesbian lebih lanjut adalah berbicara seseorang yang berjenis kelamin perempuan, maka hal ini terkait dengan konsep jender. Untuk memahami konsep jender,
17
Adhiati, Gerakan Feminis Lesbian, 28
18
Naek L, Tobing. 100 Pertanyaan Mengenai Homoseksualitas Jakarta: Pustaka Nilai Harapan.1987,
14
sebelumnya harus ada pembedaan antara konsep jender itu sendiri dengan konsep jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin pada laki-laki dan
perempuan yang ditentukan secara biologis dan memiliki sifat-sifat permanen yang tidak dapat berubah dan ditukarkan antara keduanya. Sifat tersebut merupakan kodrat yang
diberikan oleh Tuhan kepada setiap laki-laki dan perempuan. Sedangkan jender menurut Mansour Fakih adalah pemilahan peran, fungsi, kedudukan, tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan yang berfungsi untuk mengklasifikasikan perbedaan peran yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat, dan bersifat tidak tetap serta bisa dipertukarkan
antar keduanya.
19
Jender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Jelasnya, jender akan
menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang banyak menentukan seseroang akan
menjadi apa nantinya.
2.4.1 Jender dalam perspektif pustaka dan teori
Sebelum membahas jender, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan seks. Seks dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan
yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara kodrati, keduanya memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Perbedaan inilah yang berpengaruh dan
berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat, sehingga melahirkan konsep jender. Dalam bahasa Inggris, kata “gender” yaitu pengelompokkan
kata benda atau kata ganti yang menyatakan sifat laki-laki dan perempuan. Kata “gender” diartikan kelompok laki-laki, perempuan atau perbedaan jenis kelamin.
Namun, di Indonesia kata “jender” termasuk kosa kata dibidang ilmu sosial, maka jender merupakan istilah. Jender genus adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki
19
Mansour Fakih. Analisi Gender Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, 12-23
15
atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun kebudayaan, tergantung pada waktu tren dan tempatnya.
Jender bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
20
Definisi lain tentang jender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘jender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi
sosial budaya. Showalter menambahkan bahwa jender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
21
Pemahaman atau studi mengenai jender pada hakekatnya telah berlangsung dalam kurun waktu yang sedemikian lama, dan juga telah diidentifikasi tahapannya
sesuai dengan konteks serta situasi yang berkaitan. Tahap awal studi kritis mengenai jender dilakukan oleh Stoller dalam tulisan Oakley dimana salah satu pembuktian yang
dilakukan adalah menganalisa tentang seks yang pada hakikatnya ada dua perbedaan yaitu “jantan” dan “betina” atau “laki-laki” dan “ perempuan”.
22
Selanjutnya Oakley mengungkapkan bahwa jender lebih bersifat terma psikologis dan kultural dari pada
konotasi biologis. Apabila dalam terma biologis dengan tepat seksualitas dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan yang dalam jender lebih dikenal sebagai “maskulin”
dan “feminim”. Menurut Oakley, dalam jender mengandung unsur maskulinitas dan femininitas yang ada dalam diri seseorang yang dapat bercampur bahkan dapat
mengalami tumpang tindih yang realitanya dapat diadopsi oleh kebanyakan orang.
23
Jadi menurut beberapa pendapat diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa jender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang didasarkan
pada bentuk-bentuk sosial dan kultural masyarakat peran, fungsi, kedudukan, tanggung
20
Hilary M. Lips Sex and Gender: An Introduction. London: My Field Publishing Company.1993, 4
21
Julia Cleves Mosse. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
22
Ann Oakley. Sex, Gender, and Society. Aldershot: Gower Press, 1992, 158
23
Oakley, Sex,159
16
jawab dan bukan atas dasar perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jender sering menimbulkan ketidakadilan jender gender inequalities, terutama terhadap kaum
perempuan baik di lingkungan rumah tangga, pekerjaan, masyarakat, kultur, maupun negara. Ketidakadilan tersebut termanifestasi dalam berbagai macam bentuk antara
lain
24
: 1.
Marginalisasi Marginalisasi adalah proses peminggiran penyingkiran terhadap suatu
kaum yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan pelemahan ekonomi kaum tertentu. Marginalisasi terjadi karena berbagai hal, seperti kebijakan pemerintah,
keyakinan, agama, tradisi, kebiasaan, bahkan karena asumsi ilmu pengetahuan sekalipun.
2. Subordinasi
Subordinasi merupakan penempatan kaum tertentu perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi berawal dari anggapan yang menyatakan
bahwa perempuan adalah kaum yang irrasional atau emosional sehingga kaum perempuan tidak cakap dalam memimpin.
3. Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap kaum tertentu. Akan tetapi pada permasalahan jender, stereotipe lebih mengarah pada
pelabelan yang bersifat negatif terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena pemahaman yang seringkali keliru terhadap posisi perempuan.
4. Kekerasan violence
Kekerasan violence adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Kekerasan karena bias jender disebut jender related
24
Achmad Mutali’in. Bias Jender Dalam Pendidikan. Surakarta: Muhamadiah University Press.2001, 32-40
17
violence. Kekerasan tersebut terjadi karena disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuk-bentuk kekerasan violence
jender terhadap perempuan antara lain : pemerkosaan, serangan fisik dalam rumah tangga, kekerasan dalam pelacuran dan pornografi, pemaksaan dalam
sterilisasi Keluarga Berencana KB, serta pelecehan seksual. 5.
Beban kerja ganda double burden Beban kerja ganda disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan lebih
cocok mengurusi dan bertanggung jawab atas pekerjaan domestik menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, memasak, mencuci, bahkan memelihara
anak. Pekerjaan domestik dianggap tidak bernilai dan lebih rendah bila dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki karena tidak produktif. Konsekuensi
tersebut harus diterima oleh perempuan yang bekerja di satu sisi harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya, di sisi lain harus bisa bertanggung
jawab atas rumah tangganya. Hal inilah yang menyebabkan bahwa bias jender menjadikan perempuan menanggung beban kerja yang bersifat ganda.
25
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan jender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan jender bagi perempuan yang
termanifestasi dalam berbagai wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi jender perempuan diharuskan untuk patuh pada kodratnya yang telah ditentukan oleh
masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional
dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan
diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
25
Fakih, Analisis Gender, 12-23
18
Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh
kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.
2.4.2 Teori pembagian peran dalam perspektif jender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan peran dalam jender. Namun untuk menjelaskan pembagian kerja berbasis jender penulis melihat
bahwa teori nature dan nurture dapat mengemukakan peran dalam perspektif jender.
2.4.2.1. Teori nature dan nurture
Teori nature atau kodrat alami yang berdampak pada perangai psikologis antara laki – laki dan perempuan. Antropolog yang juga dikenal sebagai sosiolog Zimbalist
mengungkapkan bahwa hampir merupakan gejala umum perempuan selalu ditempatkan pada posisi seorang ibu yang erat kaitannya dengan reproduksi.
26
Sehingga, berkaitan dengan peran tersebut perempuan dibatasi terutama untuk urusan domestik, yakni yang
berkaitan dengan rumah tangga. Sementara untuk laki – laki dengan kodrat biologis yang dimilikinya dipandang memiliki kekuatan, kekuasaan, bahkan kekerasan. Dengan
kodrat tersebut laki – laki dikonstruksi berperan dalam dunia publik yang kompleks. Dengan kedudukan lebih tinggi dari pada perempuan serta untuk melindungi
perempuan. Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal. Perbedaan biologis ini
memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran
26
Zimbalist dalam Disertasi Dien Sumiyatiningsih, Kepemimpinan Pendidikan dalam Perspektif Jender Studi Kasus tentang Kepemimpinan Pendidikan di Kota Salatiga. Semarang: Progdi Manajemen Pendidikan
Program Pasca Sarjana, UNNES 2010, 11-12.
19
dan tugas yang berbeda. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Selanjutnya, teori nurture atau kebudayaan yang merupakan “bantahan” teori nature. Teori ini tidak setuju bila pemilahan posisi dan peran laki – laki dan perempuan
merupakan kodrat alam. Pemilahan sektor domestik dan publik, sekaligus pengunggulan terhadap laki – laki sebetulnya merupakan upaya elaborasi terhadap
faktor biologis masing – masing seks dengan lingkungan. Kedudukan peran perempuan disatu sisi merupakan usaha buatan yang direncanakan, hasil kombinasi antara tekanan
dan paksaan juga dengan rangsangan yang tidak wajar, yang juga dilain sisi upaya tersebut menyesatkan bagi perempuan khususnya.
27
Menurut teori ini perbedaan laki- laki dan perempuan pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih
superior dibandingkan perempuan. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam
segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Oleh karena jender merupakan suatu istilah yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep
jender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan
27
Arief Budiman. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT. Gramedia. 1985, 13
20
berlandaskan hubungan jender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Sebagai contoh dari
perwujudan konsep jender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus,
cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah maka itulah jender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk
oleh manusia. Jender bisa dipertukarkan satu sama lain, jender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif jender tidaklah bersifat
universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan
rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa
saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
2.5 Pendekatan feminis dalam studi jender
Melihat sudut pandang studi jender yang ada, penulis tertarik untuk mengkaitkan ketidaksetaraan jender kepada perempuan dilihat dari sudut pandang feminisme yang ada
yang berkaitan dengan lesbian. Suatu gerakan yang mencoba mengupayakan sebuah pembebasan diri kaum perempuan
dari berbagai ketertimpangan perlakuan dari segala aspek kehidupan disebut gerakan
21
feminisme. Gerakan ini kemudian oleh para akademisi dibagi atau dikelompokkan menjadi 4 golongan, diantaranya ialah feminisme liberal, feminime radikal, feminisme sosialis dan
feminisme teologi. Gerakan Feminisme dimulai dengan adanya kesadaran kolektif perempuan bahwa mereka adalah kelompok yang terpinggirkan oleh sistem atau budaya
patriakhi.
28
Dalam pembahasan ini, penulis mengarahkan atau lebih melihat kepada gerakan feminisme radikal dimana dalam gerakan radikal ini penulis mendapati adanya keterkaitan
antara lesbian dan jender.
2.5.1 Gerakan feminisme radikal
Feminisme Radikal telah ada sejak tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi perjuangan separatisme perempuan. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai
reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi.
29
Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang
sekarang ada. Gerakan ini sesuai dengan namanya yang radikal dimana feminisme radikal memfokuskan kepada kehidupan pribadi perempuan, sebuah area dimana kesadaran dapat
terbangun dan secara langsung menjadi titik perhatian. Aliran feminisme ini menganggap penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki merupakan bentuk penindasan terhadap
perempuan. Dimana patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual.
Sistem patriarki menurut feminisme radikal adalah kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol laki-laki atas kapasitas
reproduktif perempuan. Dalam melakukan analisisnya terhadap penindasan perempuan, aliran
28
Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra 2004, 71
29
Gadis Arivia.Filsafat Berperspektif Feminis Jakarta: YJP 2003, 100-101
22
feminisme ini memandang akar permasalahan dari penindasan kaum perempuan oleh laki- laki adalah kaum laki-laki itu sendiri beserta idologi patriarkinya.
Jika melihat perkembangannya aliran feminisme radikal ini mempunyai 2 gelombang yakni feminisme radikal lebertarian dan kultural. Kedua gelombang feminisme radikal ini
mempunyai pandangannya masing-masing melalui beberapa ahli yang penulis coba paparkan. a.
Pemikiran-pemikiran feminisme radikal libertarian. Dalam buku Feminist Thought, Alison jaggar dan Paula Rothenberg, berpendapat
bahwa penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan adalah sistem sexgender.
30
Kemudian, Alice Echols, juga berpendapat bahwa seorang feminis radikal harus menguatkan “keperempuanan“ esensial perempuan, menurut Echols
lebih baik menjadi perempuanfeminin dari pada menjadi laki-lakimaskulin. Perbedaan seksjender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga
dari sosialisasi atau dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriakal.
31
Menurut Millet seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan.
32
Ideologi patriakal, membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,
dimana laki-laki selalu mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan.
33
Selanjutnya, Firestone dalam dalam tulisan Tong, mengklaim bahwa dasar material ideologi seksualpolitik dari submisi perempuan dan dominasi laki-laki
berakar pada peran reproduksi laki-laki dan perempuan. Dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial, untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia yaitu
30
Tong, Feminist Thought, 69
31
Tong, Feminist Thought, 70-71
32
Tong, Feminist Thought, 73-76
33
Tong, Feminist Thought, 73-76
23
reproduksi buatan akan harus menggantikan reproduksi alami.
34
Tidak adanya perubahan fundamental bagi perempuan selama reproduksi alamiah tetap menjadi
keharusan. Reproduksi alamiah adalah akar dari kejahatan, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki, yang menghasilkan rasa kebencian dan
kecemburuan di antara manusia.
35
Beberapa pandangan Feminisme radikal libertarian menolak asumsi bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan jender seseorang.
Beberapa pandangan dari para feminisme radikal libertarian mengklaim bahwa jender terpisah dari jenis kelamin dan masyarakat patriakal menggunakan peran
jender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak
atas perempuan adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan utnuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk
menjadi aktif.
36
Dengan demikian dari beberapa pandangn Feminisme radikal libertarian yakin bahwa semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin
banyak waktu dan tenaga yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat.
b. Pemikiran-pemikiran feminisme radikal kultural
Marilyn French mengatribusikan perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi dari pada kepada sosialisasi. Dalam tulisan Tong, French mengisyaratkan
bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik dari pada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada
stratifikasi kelas. Menurut French, nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke
34
Tong, Feminist Thought, 73-76
35
Tong, Feminist Thought, 73-76
36
Tong, Feminist Thought, 79
24
dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal. Karena menurutnya masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang androgin.
Selanjutnya, Mary Daly, merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Daly menolak istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk
kebingungan patriarki.
37
Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak
aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di
dalam penjara patriarki yang dalam.
38
Laki-laki ingin menjadi androgin agar dapat menyerap atau bahkan memakan segala sesuatu tentang perempuan dan menyedot
energi perempuan ke dalam tubuh dan pikiran mereka.
39
Oleh karena itu Perempuan harus menenun pemahaman diri yang baru, tetap terpisah secara
radikal dari laki-laki, dan dengan demikian dapat menyimpan energinya untuk kepentingan sendiri.
Pandangan Feminis radikal kultural meyakini bahwa sumber utama kekuatan perempuan ada pada kekuatan mereka untuk menghadirkan kehidupan baru. Bagi
feminis radikal kultural, kunci pembebasan perempuan adalah dengan menghapuskan semua institusi patriakal. Cara pemikiran feminis radikal dalam
menghadapi laki-laki adalah dengan menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, dengan pertama-pertama menyadari bahwa
perrempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi
37
Tong, Feminist Thought, 79
38
Tong, Feminist Thought, 79
39
Tong, Feminist Thought, 79
25
apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing.
40
Dalam feminisme atau perspektif feminis dikatakan bahwa perempuan adalah the second sex, ia adalah seks yang kedua atau tidak utama dari laki-laki dalam masyarakat
yang patriarkhis. Dalam “seks kedua ini” masih terlalu banyak perdebatan yang belum terjawab.
41
Lesbian diyakini merupakan etika resistensi dan “self creation” pembentukan diri sendiri.
42
Etika resistensi merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian dapat eksis berkat pergerakan pembebasan
perempuan, mempertanyakan konstruksi perempuan yang telah didefinisikan oleh masyarakat patriarkis. Apa yang hendak diperjuangkan adalah nilai-nilai pembebasan dimana tidak
terjadi duplikasi dominasi yang dilakukan oleh masyarakat patriarchal. Kelompok-kelompok minoritas ini, termasuk didalamnya lesbian, pada akhirnya berusaha untuk menyuarakan
haknya, agar mendapat pengakuan atas keberadaan mereka. Kajian feminisme merupakan jalan keluar bagi mereka yang ingin menyuarakan aspirasinya. Namun, para lesbian dan gay
lebih memilih untuk menyalurkan aspirasinya melalui perspektif jender dengan menggunakan Queer Theory.
43
2.6 Queer Theory
Queer Theory lahir dari kesadaran bahwa komunitas lesbian termasuk kelompok yang terpinggirkan dari budaya dominan yang dikonstruksi selama berabad-abad. Ide teori Queer
ini merupakan pemberontakan atas kekerasan yang diterima oleh para kelompok lesbian maupun gay yang ditangkap, dilecehkan, dan disiksa oleh polisi New York pada suatu
malam. Persahabatan antar sesama perempuan dicurigai sebagai lesbian oleh kelompok
40
Arivia, Filsafat, 112.
41
D. Marthin and P. Lyon. Lesbian Women. San Fransisco: Glide Publication. 1972, 61
42
Stevi Jackson dan Jackie Jones. Pengantar Teori-teori Femisnis Kontemporer Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. 2009, 194 – 195
43
Jackson dan Jones, Pengantar Teori, 194-195
26
dominan heteroseksual.
44
Nama Queer diambil dari istilah berstigma negatif yang berarti anehganjil yang kemudian ditujakan kepada mereka yang lesbi atau gay.
Dalam kamus, “queer” berarti aneh, kacau, abnormal, dan tidak disukai. Dengan demikian, Teori Queer berkenaan dengan relasi-relasi yang aneh atau yang tidak biasa.
Dalam teori queer, ingin diungkapkan bagaimana bentuk relasi yang paling otentik dan juga radikal. Bagaimana seorang lesbian dan seorang gay berhubungan sesamanya merupakan
objek dalam teori ini. Sangat menarik mempelajari relasi seperti apa yang terjadi ketika seorang lesbian berelasi dengan sesamanya, dengan seorang gay, dan seterusnya. Namun
kemudian, teori ini mencoba menyumbang pada teori sosiologi pada umumnya, dengan salah satunya mengusung konsep pluralisme misalnya. Mungkin maksudnya adalah melalui
pelajaran dari relasi-relasi yang sumbang ini ingin menyumbangkan pengetahuan betapa ada relasi-relasi yang khas, yang mungkin dapat memperkaya bahkan “teoritisi normal” untuk
memperkaya teori-teori mereka. Teori queer berakar dari materi bahwa identitas tidak bersifat tetap dan stabil. Identitas
bersifat historis dan dikonstruksi secara sosial. Dalam konteks teori, teori ini dapat digolongkan sebagai sesuatu yang anti identitas. Ia bisa dimaknai sebagai sesuatu yang tidak
normal atau aneh. Dalam teori ini terdapat tiga makna intelektual dan politik, meskipun sulit membuat batasan-batasannya. Arlene Stein dan Ken Plummer mencatat ada empat tiang atau
penanda dari teori queer ini, yaitu
45
: 1.
Melakukan konseptualisasi seksualitas yang mempelajari kekuasaan seksual dalam berbagai level kehidupan sosial, dan membicarakan bagaimana relasi
power seksual berlangsung. 2.
Problem seksual dan kategori jender dan identitas secara umum.
44
J. RivkiN and M. Ryan. Introduction: Contingencies of Gender.Dalam literary Theory: An Anthology. USA: Blackwell Publisher Inc. 1998, 675
45
Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. New York:Routledge.1990
27
3. Menolak strategi hak-hak sipil. Sebagai contoh, klaim politik berbasis identitas
misalnya mengangkat gerakan hak-hak kaum lesbian. 4.
Keinginan untuk menjadikan seksualitas sebagai analisis untuk setiap bidang yang diteliti, misalnya festival musik, kultur pop, gerakan sosial, dan lain-lain.
Teori queer mempelajari gay dan lesbian, dimana homoseksual diposisikan sebagai subjek. Disinilah stand point theory queer. Karena posisinya inilah, maka ada yang menyebut
bahwa ini bukan institusi pengetahuan, tapi semata hanya proses dekonstruksi. Teori ini lahir sebagai hasil dari pengaruh arkeologi pengetahuan dan genealogi kekuasaan pada akhir 1980-
an sampai dengan sepanjang 1990-an.
46
Teori ini tidak hanya menyangkut sisi jender tetapi juga seks. Queer mengkaji kombinasi dari berbagai kemungkinan dari tampilan jender serta tentang proses yang
berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia sosial. Model queer ini dijadikan
kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu jender, seksualitas dan bahkan politik identitas. Ada beberapa tokoh yang mempopulerkan ide teori queer ini, yang kemudian
berpengaruh dalam dunia akademik, mereka adalah Michael Foucault, Gayle Rubin, dan Judith Butler. Foucault berpendapat seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu
yang memberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan oleh ilmu pengetahuan secara bertahap. “seksualitas” adalah nama yang terbentuk
dari secara historis bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan jaringan yang di dalamnya terdapat stimulasi tubuh, identifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus,
pembentukkan pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang tidak bisa dipisahkan.
47
46
Butler. Gender Trouble,
47
Jackson dan Jones, Pengantar Teori, 243-245
28
Rubin menegaskan bahwa jender ataupun seksualitas tidak berakar pada biologi; bukan juga kepanjangan dari seks biologis, melainkan adalah hubungan yang tanpa bahasa. Tidak
ada seksualitas yang asli, tidak ada seksualitas yang mendahului proses pemaknaan signification. Segala sesuatu, termasuk seksualitas direkonstruksi melalui logosentris.
48
Butler
49
memiliki persepsi yang berbeda namun dengan tujuan yang sama untuk melakukan pembelaan bagi kaum sejenis. Bagi Butler, “ gender is a kind of imitation for
witch there is no original; in fact, it is a kind of imitation that produce the very notion of the original as an effect and consequence of imitation it self”. Karena “saya perempuan” secara
ekspresif, maka secara performatif “saya hanya bertindak dengan norma-norma perempuan”. Butler juga menegaskan tidak ada identitas jender dibalik ekspresi jender.
50
Butler juga menolak koherensi yang tetap antara identitas gender dan identitas seksual. Jender adalah
sebuah peniruan sehingga tidak ada yang asli. Ketika seorang telah diidentifikasi sebagai perempuan, maka ia akan meniru-niru performansi perempuan.
Penganut teori ini melihat besarnya implikasi sosial untuk mengadopsi model homoseksual sebagai rangka berfikir dalam studi mengenai jender, seksualitas dan identitas
politik. Teori homoseksualitas dikenal seiring dengan penelitian mengenai gay dan lesbian, bahwa jender telah dimengerti oleh sebagian masyarakat untuk menjadi dasar guna mengatur
masyarakat, dan terdapat asumsi bahwa jender dan seksualitas selain kategori baku akan masuk dalam sanksi masyarakat. Sehingga, banyak penganut teori homoseksual dan aktivis
melihat label homoseks sebagai tantangan terhadap kategori identitas tradisional dan norma sosial.
48
Jackson dan Jones, Pengantar Teori, 243-245
49
Judith Butler tidak hanya berpengaruh pada teori performa dari identitas tetapi juga pada area yang dikenal sebagai queer theory. Diskusi-diskusinya mengenai identitas homoseksual dalam masalah gender merupakan
hal yan gmendorong munculnya queer theory atau teori homoseksual. Teori homoseksual merupakan tantangan bagi identifikasi gender.
50
Butler, Gender Trouble, 145
29
2.7 Lesbian dalam kekristenan