PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA (Studi di Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah)

(1)

Nur Umi Pelitawati

Abstract

The election of village heads are a means of implementing the principle of popular sovereignty be based Pancasila and UUD 1945, Law No. 32 of 2004, The behavior of voters according to the experts is divided into three approaches: sociological approaches, psychological and rational approach. Then to study the behavior of voters in the election of village heads Bumi Kencana, voters are categorized into four main group : calculative rational voter, voters primordial, voter turnout pragmatic and emotional.

The purpose of this study was to determine the voting behavior in the Bumi Kencana Village Head Election Seputih Agung Lampung Tengah. This study uses descriptive quantitative data collection tools such as questionnaires and interviews with respondents.

The results of this study indicate that the village election heads of Bumi Kencana is divided into two major groups, namely the group voters primordial and pragmatic electorate, while the rational calculative and emotional voters tend to be smaller. This study therefore shows that the tendency of voters to the grounds of kinship, descent, ethnicity and community of profit and loss still dominates the village election heads of Bumi Kencana.


(2)

Nur Umi Pelitawati ABSTRAK

Pemilihan kepala desa adalah sarana pelaksanaan azas kedaulatan rakyat bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-undang nomor 32 tahun 2004. Perilaku pemilih menurut para ahli terbagi dalam tiga pendekatan yaitu : pendekatan sosiologis, pendeketan psikologis dan pendekatan rasional. Maka untuk mengetahui perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa Bumi Kencana, pemilih dikategorikan dalam empat kelompok utama yaitu : pemilih rasional kalkulatif, pemilih primordial, pemilih pragmatis dan pemilih emosional.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan alat pengumpulan data berupa kuesioner dan wawancara kepada responden.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala desa Bumi Kencana terbagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok pemilih primordial dan kelompok pemilih pragmatis, sedangkan kelompok pemilih rasional kalkulatif dan emosional cenderung lebih kecil. Dengan demikian penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan pemilih lebih kepada alasan kekerabatan, keturunan, suku dan untung rugi masih mendominasi masyarakat dalam pemilihan kepala desa Bumi Kencana.


(3)

(4)

PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA

(Studi di Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung

Kabupaten Lampung Tengah)

(TESIS)

Oleh : Nur Umi Pelitawati

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG 2014


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah 1

B. Rumusan masalah 10

C. Tujuan 10

D. Manfaat 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep perlaku pemilih 11

B. Konsep desa 29

C. Konsep demokrasi 32

D. Tinjauan penelitian terdahulu dalam prilaku pemilih 38

E. Kerangka pikir 40

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe penelitian 44

B. Fokus penelitian 45

C. Lokasi penelitian 46

D. Populasi, sampling dan teknik sampling 46

E. Teknik pengumpulan data 48

F. Waktu dan jadwal penelitian 51

BAB IV GAMBARAN UMUM

A. Profil Kampung Bumi Kencana 52

B. Gambaran umum pemilihan kepala kampung 53

BAB V PEMABAHASAN

A. Hasil pemilihan kepala kampung 67

B. Statistik Data Responden 69

C. Hasil jawaban responden dan pembahasan 71

D. Analisa Hasil Jawaban Responden 89

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 92


(6)

(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan penulisan tesis dengan judul : PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA (Studi di Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah)

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program studi Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung.

Atas bantuan dan dukungan yang secara langsung, maupun tidak langsung yang telah penulis terima, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ari Darmastuti, MA selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana Universitas Lampung sekaligus Pembahas yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran yang konstruktif selama penyusunan tesis

2. Bapak Dr. Soewondo, MA selaku Dosen Pembimbing I, atas bimbingan, arahan dan saran yang membangun selama penyusunan tesis

3. Bapak Drs. Sigit Krisbiyantoro, M.IP selaku Dosen Pembimbing II, telah memberikan bimbingan, arahan dan saran yang membantu penulis selama penyusunan tesis

4. Bapak Drs. Yana Ekana PS, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana Universitas Lampung

5. Bapak dan Ibu dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung


(9)

7. Ananda Azzam, kamu adalah semangat dan inspirasiku

8. Teman – teman Prodi Magister Ilmu Pemerintahan Pasca Sarjana Universitas Lampung angkatan 2012, sukses untuk kalian semua

9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua bantuannya, semoga Allah SWT membalasnya dengan kebaikan yang berlipat ganda.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat beberapa kekurangan, karena itu saran dan kritik senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan tesis ini. Penulis haturkan terima kasih.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan kepada semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu dalam penyusunan tesis ini. Semoga tesis ini berguna dan bermanfaat.

Bumi Kencana, Februari 2015


(10)

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

 Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah 216)

 Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Q.S. Al Insyirah 6-7)

 Buku adalah gudang ilmu, dengan membaca rahasia alam akan terbongkar

Persembahan :

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan pada Allah SWT

dan dengan rasa syukur yang mendalam penulis persembahkan karya ini untuk :

1. Ayah dan ibu, terima kasih yang tak terhingga atas segala yang telah kalian berikan

2. Suami dan anakku tercinta, you are the best


(11)

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

 Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah 216)

 Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Q.S. Al Insyirah 6-7)

 Buku adalah gudang ilmu, dengan membaca rahasia alam akan terbongkar

Persembahan :

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan pada Allah SWT

dan dengan rasa syukur yang mendalam penulis persembahkan karya ini untuk :

1. Ayah dan ibu, terima kasih yang tak terhingga atas segala yang telah kalian berikan

2. Suami dan anakku tercinta, you are the best


(12)

(13)

Penulis Tesis ini bernama Nur Umi Pelitawati, merupakan anak ke-3 dari 4 saudara yang lahir di Desa Bumi Kencana pada tanggal 04 Juli 1983, dari pasangan Poniman WS dan Suharti. Peneliti saat ini berdomisili di Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah. Penulis saat ini bekerja sebagai PNS di Kabupaten Tulang Bawang Barat sebagai Staff di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Daerah. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 3 Bumi Kencana pada tahun 1995. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Poncowati dan tamat pada tahun 1998. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 2 Terbanggi Besar pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2001 dan lulus tahun 2005.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarkan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pemerintah desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Desa adalah wilayah hukum yang dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih oleh wrga desa melalui Pilkades (pemilihan kepala desa) dengan masa jabatan selama 6 tahun. Kepala desa dilantik oleh bupati .

Pemilihan kepala desa adalah sarana pelaksanaan azas kedaulatan rakyat bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepala Desa sebagai pemimpin formal di desa harus dipilih secara demokratis olehmasyarakat desanya sendiri. Sifat demokratis harus ada dan dipertahankan, bukan semata-mata, karena sendi-sendi kehidupan demokratis dapat menjamin terselenggaranya pembangunan desa, akan tetapi pembangunan desa memerlukan dukungan dari masyarakat.


(15)

Menurut Wasistiono (2006:32) tentang pemilihan kepala desa menyatakan bahwa apabila pemilihan umum merupakan pesta pemerintah, maka pemilihan kepala desa adalah pesta rakyat. Pemilihan desa merupakan kesempatan rakyat untuk menunjukkan kesetiaan dan prefensi lokal mereka. Pemilihan kepala desa dilakukan dalam enam tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dipilih kembali hanya (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dengan demikian jelaslah bahwa kepala desa menjabat selaku pimpinan desa hanya 6 (enam) tahun, kemudian dapat dipilih kembali hanya untuk 1 periode berikutnya.

Pemilihan Kepala Desa (PILKADES) merupakan perwujudan demokrasi di level paling bawah di negeri ini. Masyarakat yang ada di tingkat bawah ini adalah suara yang akan mewakili serta merupakan aspirasi yang paling dasar. Seharusnya dalam PILKADES merupakan suara murni dari masyarakat itu sendiri bukan hasil permainan politik serta hasil money politik yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Karena saat ini sangat memungkinkan sekali adanya money politik atau pertaruhan dalam pemilihan kepala desa. Jumlah suara yang diperoleh sudah tercemar oleh berbagai kepentingan tertentu, misalnya politik uang.

Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor). Politik uang yang sering terjadi pada berlangsungnya Pilkades adalah: 1) dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara, 2) menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk


(16)

membagikan uang pada masyarakat, 3) penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa, yaitu bandar/pemain judi.

Sudah kita ketahui bersama bahwa perilaku positif artinya bahwa masyarakat sudah memiliki kemampuan untuk berpolitik mulai dari tingkat desa hingga pilihan presiden. Hal positif dari prilaku politik adalah: masyarakat jadi bebas menentukan nasib dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan dan kepercayaan mereka; masyrakat tahu siapa yg mnjadi pemimpin mereka;dan pemimpin mampu menunjukan dan mengimplementasikan visi dan misi yang diprogramkan, sehingga sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Tetapi hal positif tersebut juga diimbangi dengan perilaku negatif oleh masyarakat. Maksudnya dalam pilihan kepala desa saat ini masyarakat banyak yang melakukan taruhan. Ini biasanya dilakukan oleh sekelompok orang tertentu yang mempunyai kepentingan serta menguntungkan diri sendiri. Masyarakat dengan sengaja diberi uang dengan jumlah tertentu dengan perjanjian atau kesepakatan akan memilih calon tertentu. Salah satu trik untuk memenangkan taruhan yang mereka lakukan. Adanya tekanan dan intimidasi dari sekelompok orang tertentu akhirnya masyarakat yang memang dalam serba kekurangan (miskin) memilih calon tersebut walaupun tidak sesuai dengan hati nurani.

Salah satu hal diatas yang kemudian jadi bahan penelitian yang penulis anggap menarik untuk diteliti lebih lanjut, kasus tersebut secara otomatis akan mempengaruhi hasil pemilihan. Zaman dulu kepala desa merupakan panutan yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat tingkat desa kini tradisi tersebut mulai punah dengan ulah sekelompok orang tertentu. Perilaku masyarakat


(17)

mulai bermacam-macam dengan berbagai pengaruh sekelompok orang baik perilaku positif maupun perilaku negatif.

Jika dalam pelaksanaan pemilu telah terjadi penyimpangan-penyimpangan dan berbagai kecurangan yang dilakukan oleh golongan tertentu untuk mendapatkan jumlah suara terbanyak maka Pemilu dilaksanakan secara serentak dengan biaya yang mahal tidak akan mencapai hasil optimal dan sesuai harapan rakyat Indonesia secarama yoritas. Akibatnya, pemerintahan demokratis hanya sebagai angan-angan yang tak terwujud bahkan kekacauan terjadi dimana-mana.

Secara umum Pemilu yang dilaksanakan dari tingkat atas sampai ketingkat paling bawah (pemilihan kepala desa) memiliki tujuan yang sama yaitu menciptakan terwujudnya pemerintahan demokratis akan tetapi dalam kenyataan masih banyak hambatan dan rintangan yang terjadi. Orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin tidak begitu sadar akan tanggung jawab dan mengakibatkan ketidak percayaan rakyat dan antusiasme masyarakat terhadap Pemilu menjadi berkurang.

Demokrasi menempatkan semua warga mempunyai kesempatan dan kedudukan sama dalam berperan serta dalam Pemilu membuat antusiasme masyarakat sangat besar untuk berpartisipasi dalam pencalonan diri sebagai Presiden sampai Kepala Desa. Banyaknya calon yang ikut serta dalam Pemilu menimbulkan kebingungan terhadap masyarakat “pemilih”. Masyarakat sangat sulit menentukan pilihan yang terbaik karena diimbangi dengan kemampuan para kandidat dengan trik, visi dan misi yang bertujuan untuk mempengaruhi pemilih agar bias mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.


(18)

Pemilihan Kepala Desa adalah salah satu bentuk perwujudan dan partisipasi dalam demokratisasi. Desa adalah bagian dari sistem pemerintah yang penting dimana pemimpin yang memiliki integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas tinggi sangat diperlukan untuk kemajuan desa itu sendiri. Menurut Huntington (1995:5-6), Pemilihan kepala desa merupakan proses demokrasi yang paling bawah, dimana disebutkan bahwa suatu sistem politik dianggap demokratis apabila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dari sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. Para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suaranya, tetapi hal ini mulai teracuni dengan perilaku negatif dari sekelompok masyarakat yang berusaha mempengaruhi hasil suara masyarakat. Hasil perolehan suara yang ada merupakan hasil pertaruhan dan permainan money politics.

Lalu, bagaimana dengan pemilih Pilkades di desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah? Di tengah berbagai kesenjangan dan beban berat kehidupan, apakah perilaku pemilih makin rasional-pragmatis, psikologi ataukah masih setia dengan sentiment etnis? Riset yang serius tampaknya diperlukan untuk mendapat jawaban konkret.

Pemilihan Kepala Desa merupakan pesta yang dilaksanakan masyarakat tingkat desa dengan harapan akan melahirkan seorang pemimpin yang akan memimpin mereka. Bukan hasil dari sebuah pertaruhan dari beberapa pihak oknum yang dengan sengaja berani mengeluarkan beberapa uang untuk mempengaruhi suara masyarakat. Perjudian atau totoan masih sering terjadi di pemilihan kepala desa, biasanya bandar judi juga melakukan beberapa strategi


(19)

untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Karena secara tidak langsung praktik perjudian atau pertaruhan dalam penentuan siapa yang akan menang dalam Pemilihan Kepala Desa ini sangat mempengaruhi suara masyarakat, dimana biasanya masyarakat di beri beberapa sumbangan atau bantuan dengan embel-embel bahwa itu pemberian dari salah satu calon tertentu. Dengan demikian biasanya masyarakat yang merasa menerima akan secara spontan akan mempunyai ikatan batin dengan sang calon. Atau dengan kata lain bahwa dengan demikian akan terjadi ikan batin antara keduannya dan secara otomatis masyarakat akan memilih calon tersebut.

Selain ikut dalam aktivitas pada pelaksanaan Pilkades, menjadi partisipan dalam pelaksanaan Pilkades dan menjadi pengamat dalam pelaksanaan Pilkades, ada juga masyarakat yang apathis terhadap pelaksanaan Pilkades, masyarakat yang benar-benar tidak peduli tentang pelaksanaan Pilkades baik dari tahap pencalonan sampai pada tahap pelaksanaan Pilkades, bahkan tidak memilih salah satu calon kades dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa Bumi Kencana. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa Pemilihan Kepala Desa Bumi Kencana yang berlangsung hari Senin, 24 Juni 2013. Pada hari itu, 3.642 jiwa dari 4.300 jiwa daftar pemilih tetap (DPT) masyarakat Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah berpartisipasi memberikan suaranya pada Pilkades, karena mereka memiliki harapan yang tinggi di pundak calon yang siap menjadi pemimpin desa Bumi Kencana. Sedangkan calon yang ditetapkan berhak dipilih oleh masyarakat adalah tiga (3) calon yaitu:


(20)

Sdr. Mulyono (Calon nomor urut 1), Sdr. Sudarno (Calon nomor urut 2), dan Sdr. Supriono (Calon nomor urut 3).

Berikut gambaran data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan hasil pemungutan suara yang ditetapkan oleh panitia pemilihan kepala kampung Bumi Kencana yang penulis sajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 1.1 Rekapitulasi Daftar Mata Pilih Tetap

Dusun RT Laki-laki Perempuan Jumlah

Bumimas 1 01 A 51 48 99

01 B 83 79 162

01 C 52 53 105

02 A 69 65 134

02 B 57 46 103

03 49 59 108

04 47 48 95

Bumimas 2 05 A 82 74 156

05 B 50 75 125

06 63 63 126

Bangun Rejo 07 A 34 40 74

07 B 60 68 128

08 A 45 49 94

08 B 46 39 85

09 A 50 45 95

09 B 39 43 82

10 A 40 38 78

10 B 59 46 105

11 43 39 82

Rokal 12 A 50 48 98

12 B 50 46 96

13 A 56 48 104

13 B 42 47 89

13 C 41 44 85

YPP 14 A 35 35 70

14 B 46 54 100

15 A 39 42 81

15 B 48 48 96

16 65 60 125

17 A 71 58 129

17 B 51 54 105

Bumi Harjo 18 84 84 168


(21)

19 B 64 69 133

Bumi Mulyo 20 A 58 48 116

20 B 59 64 123

21 A 42 46 88

21 B 56 52 108

22 A 75 61 136

22 B 52 52 104

Jumlah 2163 2137 4300

Tabel 1.2 Hasil Pemungutan dan Penghitungan Suara A PEMUNGUTAN SUARA

Waktu Pemungutan Suara Pukul 08.00 s/d 14.00 WIB B DATA PEMILIH

Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 4.300 Jumlah Daftar Pemilih Tambahan 169 Jumlah Pemilih Yang Hadir 3.642 Jumlah Pemilih Yang Tidak Hadir 827

Jumlah Suara Sah 3.616

Jumlah Suara Tidak Sah 26

Jumlah Kartu Hilang/Rusak 0 C HASIL PEMUNGUTAN SUARA

Sdr. MULYONO / Nomor Urut 1 595 Sdr. SUDARNO / Nomor Urut 2 1.249 Sdr. SUPRIONO / Nomor Urut 3 1.772

Desa Bumi Kencana merupakan desa kelahiran bagi peneliti, ini merupakan salah satu alasan peneliti untuk melakukan penelitian didesa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung. Secara kultur, peneliti sudah sangat memahami karakteristik dan adat istiadat dilingkungan desa ini, maka dengan penelitian ini penulis berharap dapat mengetahui perkembangan karakter masyarakat dengan pendekatan perilaku pemilih pada saat pemilihan kepala desa ini. Para kandidat ketiga calon merupakan para kepala dusun dan pamong desa, mereka juga merupakan tokoh masyarakat yang juga disegani masyarakat.


(22)

Fenomena politik di atas merupakan bentuk dari pola pemberian suara masyarakat dalam sebuah pemilihan. Selanjutnya pola pemberian suara ini dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan perilaku lebih tepatnya perilaku pemilih. Perilaku pemilih sendiri menurut Ramlan Surbakti (2010 : 186-187) ialah:

“…. keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum yang merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum. Kalau memutuskan memilih, apakah memilih partai atau kandidat X ataukah partai atau kandidat Y… .” Secara umum perilaku pemilih dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diuraikan dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan sosiologis, psikologis dan pilihan rasional. Ketiga faktor tersebut menurut ilmuan politik cukup memberikan pengaruh kepada pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, namun faktor mana yang paling dominan mempengaruhi perilaku pemilih dalam sebuah Pemilu masih menjadi perdebatan. Karena dalam praktiknya masih banyak pesta demokrasi yang tidak diwarnai dengan keadilan dan kejujuran. Contohnya menggunakan tekanan dan money politic.

Politik uang dianggap sebagai suatu praktik yang menciderai demokrasi, di mana masyarakat sebagai pelaku utama demokrasi harus benar-benar berkedudukan merdeka; yaitu orang yang berhak menentukan pilihannya secara bebas termasuk dalam memilih wakil/pemimpinnya. Dengan adanya „money politic‟ maka kebebasan yang menjadi ruh dan tujuan utama demokrasi menjadi terancam. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mencari tahu Perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa di desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah.


(23)

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai permasalahan di atas, maka masalah yang penulis rumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana perilaku pemilih dalam “Pilkades”di desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah?.

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prilaku pemilih dalam Pilkades di desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah, khususnya menjelang pemilu yang akan dilaksanakan di Negeri ini.

D. Manfaat

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Bagi institusi penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah khususnya mengenai perilaku pemilih.

2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagistudi mengenai perilaku pemilih secara khususnya dan bagi perkembangan ilmu politik secara umum.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pendidikan politik dan menjadi referensi dalam memberikan pilihan pada Pilkades.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Perilaku Pemilih

Studi tentang perilaku memilih merupakan studi mengenai alasan dan faktor yang menyebabkan seseorang memilih suatu partai atau kandidat yang ikut dalam kontestasi politik. Perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum di sini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik rakyat dalam sistem perpolitikan yang cenderung demokratis. Menurut Firmanzah (Efriza,2012:480) secara garis besar, pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu idiologi tertentu yang kemudian dimanifestasikan dalam institusi politik seperti parpol.

Secara teoritis, perilaku pemilih dapat diurai dalam tiga pendekatan utama, masing-masing pendekatan sosiologi, psikologi, dan pilihan rasional. Pendekatan sosiologi, pendekatan ini lahir dari buah penelitian Sosiolog, Paul F. Lazersfeld dan rekan sekerjanya Bernard Berelson dan Hazel Gaudet dari Columbia University.


(25)

Karenanya model ini juga disebut Mazhab Columbia (Columbia School). (Dieter Roth, 2008).

Menurut teori ini, setiap manusia terikat didalam berbagai lingkaran sosial, setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dsb. Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu : status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi.

Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. (Dieter Roth, 2008).

Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012), menjelaskan bahwa faktor agama menjadi hal yang dipercaya sangat berpengaruh dalam konteks pendekatan sosiologis.

Selain pendekatan Sosiologis, pendekatan Psikologis juga bisa digunakan dalam menganalisa perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa. Meski begitu, pendekatan ini tidak dominan dibanding pendekatan Sosiologis.

Dalam bukunya, Dieter Roth (2012) menjelaskan bahwa pendekatan sosial psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilu jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha dijelaskan melalui trias determinan, yakni identifikasi partai,


(26)

orientasi kandidat dan orientasi isu/utama. Inti dasar pemikiran ini dituangkan dalam bentuk sebuah variabel yakni identifikasi partai (party identification).

Dalam pendekatan yang sama, Saiful Mujani, R. William Liddle dan Kuskridho Ambardi dalam bukunya Kuasa Rakyat (2012) menjelaskan bahwa seorang warga berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilpres bukan saja karena kondisinya lebih baik secara sosial ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengna partai tertentu (identitas partai), punya cukup informasi untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy).

Namun kritik terhadap dua pendekatan di atas, muncul kemudian dengan asumsi pemilih bukan wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dalangnya oleh Anthony Downs dalam Economic Theory of Democracy (1957). Artinya, peristiwa-peristiwa politik tertentu dapat mengubah preferensi pilihan seseorang.

Dalam pendekatan pilihan rasional ini, dipaparkan dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat? Dan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partainya. Di sinilah para pemilih menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional.

Namun terkadang pula para pemilih rasional yang bisa dikatakan sebagai free rider tidak peduli terhadap pemilihan umum , hal ini rasional secara ekonomi. Sebab utamanya adalah usaha yang diperlukan untuk mendapatkan informasi politik tidak


(27)

sebanding dengan imbalannya (Anthony Downs: An Economic Theory of Democracy). Apa arti satu suara dalam pemilihan dengan seratus juta suara. Kemungkinan satu suara tersebut untuk mempengaruhi hasil pemilihan sangatlah kecil.

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa pemilih menggunakan hak suaranya tanpa harapan yang rasional untuk mengubah hasil. Yang dia dapatkan adalah imbalan emosional. Mungkin kebanggaan karena dengan memilih dia menjalankan tugasnya sebagai warga negara. Atau perasaan bahagia karena sudah berusaha membantu rakayat miskin dengan program yang dipilihnya. Apakah program tersebut terlaksana atau tidak sangat kecil hubungannya dengan suara pemilih tersebut. Dan resiko (baik atau buruk) yang ditanggung oleh si pemilih atas pilihannya biasanya sangat kecil.

Mencari informasi politik itu mahal dan perlu usaha besar. Karena itu pemilih cenderung tidak melakukannya. Ini adalah apa yang disebut oleh Gordon Tullock (Public Choice Theory) sebagai rational ignorance (Bryan Caplan ; 2007, The Myth of Rational Voter). Pemilih sebenarnya tidak selalu rasional dalam menyalurkan suaranya. Mereka tidak mempunyai pemahaman yang benar terhadap berbagai topik (terutama ekonomi) yang sering diusung oleh kandidat.

Usaha untuk menambah pemahaman tentang kandidat memerlukan waktu dan juga pemikiran, bahkan terkadang biaya. Sementara keputusan yang berdasarkan emosi bisa dibilang gratis. Ini salah satu sebab hasil Pemilu tidak selalu mewakili kepentingan rasional pemilih. Sebab lain adalah karena sistem suara terbanyak tidak


(28)

selalu bisa mewakili kepentingan sosial yang merupakan agregasi dari berbagai kepentingan individu (Kenneth Arrow‟s Impossilibty Theorem).

“Non voters think it‟s not worth their while to physically go through the

process of voting because their votes won‟t make any difference, statistically speaking. Some of them don‟t vote because they want to make informed decisions and the cost to get and process that information is more than the expected benefit. On the other hand, most people who vote are politically ignorant. But this is done rationally. They choose to be ignorant because to be politically informed takes effort. They still go to voting booth because they get rewarded by feeling good having done their civic duty, trying to save the environment, helping the poor or whatever. That feeling is a reward, but not a big reward. So they spend some effort, but not that much that they become

well informed. If the reward is bigger they‟ll probably be more informed.”

Apakah ini berarti demokrasi gagal? Bukan gagal, hanya tidak sempurna. Seperti dikatakan Churchill,

“Democracy is the worst form of government, except for all those other forms that have been tried from time to time.”

Karena manusia ini makhluk rasional, maka ketidakpedulian-nya-pun harus dirasionalisasi. Jadi pemilih tidak akan mengakui bahwa mereka tidak tahu banyak tentang kandidat, tapi cenderung mengaku sudah lebih tahu. Bahkan mereka merasa ketidakpedulian itu suatu kebaikan, misalnya dengan menganggap bahwa politik itu kotor.

Joko J. Prihatmoko (2005 ; 46) menjelaskan bahwa pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi tertentu yang kemudian termanifestasi dalam institusi


(29)

politik seperti partai politik. Di samping itu, pemilih merupakan bagian masyarakat luas yang bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka „menunggu‟ sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih.

Prof. Miriam Budiarjo (2008;136) mendefinisikan prilaku pemilih sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau (lobbying) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. Perilaku memilih bisa dikategorikan ke dalam dua besaran, yaitu:

1. Perilaku Memilih Rasional Perilaku memilih ini, notabane disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari internal pemilih. Sehingga pemilih, disini berkedudukan sebagai makhluk yang independen, memiliki hak bebas untuk menentukan memilih partai atau kandidat mana pun. Dan sebagian besar mereka berasal dari internal pemilih sendiri, hasil berpikir dan penilaian terhadap objek politik tertentu.


(30)

2. Perilaku Memilih Emosional

Sementara untuk perilaku memilih ini, lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Seperti factor sosiologis, struktursosial, ekologi maupun sosiopsikologi.

Perilaku pemilih dan partisipasi politik menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan (1990;127). Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan- sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.

Sementara itu menurut Surbakti perilaku pemilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaiatan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih didalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. (1997;105)

Selanjutnya menurut Firmanzah (2007;89), ada tiga faktor determinan bagi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ketiga faktor tersebut sangat mempengaruhi pertimbangan pemilih, yakni: Pertama, Kondisi awal pemilih, ini dimaksudkan bahwa karaktristik yang melekat dalam diri pemilih. Setiap individu memiliki sistem nilai, keyakinan dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mewarisi kemampuan yang berbeda-beda pula. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi individu


(31)

ketika mengambil keputusan politik. Kedua, faktor media massa yang mempengaruhi opini publik. Media massa yang memuat data, informasi dan berita berperan penting dalam mempengaruhi oponi dimasyarakat. Demikian pula dengan pemaparan para ahli, iklan politik, hasil seminar, survey dan berbagai hal yang diulas dalam media massa akan menjadi pertimbangan pemilih. Ketiga, Faktor parpol atau kontestan, pemilih akan menilai latar belakang, reputasi, citra, ideologi dan kualitas para tokoh-tokoh parpol dengan pandangan mereka masing-masing. Dalam hal ini masyarakat lebih sering melakukan penilaian terhadap figur tokoh parpol, sekaligus menjadi barometer mereka dalam menilai parpol yang bersangkutan.

Dalam pembahasan perilaku pemilih, menurut Dieter Roth (2009) menyebutkan bahwa apabila kita membicarakan teori perilaku pemilih, maka tidak ada satu teori yang benar, karena juga tidak ada hanya satu teori mengenai perilaku manusia pada umumnya. (http://politik.kompasiana.com/2011/04/13/perilaku-pemilih-di-kota-yogyakarta-fenomena-pemilu-2004-dan-2009/)

Ada tiga teori besar yang menjelaskan mengapa seseorang tidak memilih ditinjau dari sudut pemilih ini adalah sebagai berikut : Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan dijelaskan sebagai akibat dari latar belakang sosiologis tertentu, seperti agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Faktor jenis pekerjaan juga dinilai bisa mempengaruhi keputusan orang ikut pemilihan atau tidak.

Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan.


(32)

Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan.

Ketiga, teori sosial ekonomi. Teori ini menyatakan keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya. Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.

Untuk mengkaji mengenai perilaku pemilih dalam menjatuhkan pilihannya pada partai tertentu dalam ilmu politik terdapat dua mazhab yang dominan menurut Afan Gaffar, yaitu : Mazhab Columbia dan Mazhab Michigan. Mazhab Columbia dikenal sebagai pendekatan sosiologis, dan mazhab Michigan dikenal dengan pendekatan sosio-psikologis. (Afan Gaffar, 1992 : 4 ).

Pendekatan sosiologis ini dipelopori dan dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan ilmu sosial dan ilmu politik dari Columbia‟s University Bureau Of Applied Social Science, sehingga terkenal dengan mashab Colombia (The Columbia School of Electoral Behavior). Kedua teori perilaku pemilih psikologis. Pendekatan ini dipelopori dan dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan dari University of Michigan‟s Survey Research Center, sehingga dalam teorisasi perilaku pemilih dikenal dengan mashab Michigan‟s. (Dewi Erowati dalam Jurnal Demokrasi dan Otonomi Daerah, Volume 2/Nomor 2/Desember 2004).

Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh para ahli politik dan sosiologi. Mereka memandang masyarakat sebagai sesuatu yang


(33)

bersifat hirarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok orang yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Mereka percaya bahwa masyarakat sudah tertata sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosialnya, maka memahami karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku politik individu. (Afan Gaffar, 1992 : 4-5).

Perlaku pemilih dari pendekatan sosiologis tersebut dipengaruhi oleh indikator sebagai berikut : (a) pendidikan, (b) jabatan / pekerjaan, (c) jenis kelamin, (d) Usia. (Afan Gaffar, 1992 : 5). Menurut Seymour M. Lipset, yang dikutip Alwis (2001), karakteristik sosiologis pemilih dipengaruhi oleh beberapa kategori, yakni : pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, status dan organisasi, (Alwis, Jurnal Laboratorium Ilmu Pemerintahan Universitas Riau)

Menurut hasil penelitian yang pernah mereka lakukan, bahwa status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan kelas sosial si pemilih), tempat tinggal (rural atau urban) memiliki hubungan yang sangat kuat dengan perilaku pemilih. Dengan demikian, teori perilaku pemilih sosiologis atau mashab Columbia menekankan bahwa faktor-faktor sosiologis memiliki peranan penting dalam membentuk perilaku memilih seseorang atau sekelompok orang.

Sedangkan teori perilaku pemilih psikologis atau mashab Michigan‟s lebih menekankan bahwa perilaku memilih seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh relasi tiga aspek psikologis antara manusia dengan aspek-aspek pemilu antara lain :


(34)

1) Keterkaitan seseorang dengan partai politik, 2) Orientasi seseorang terhadap isue-isue, 3) Orientasi seseorang terhadap kandidat.

Dengan demikian, partai politik, isu dan kandidat merupakan variabel independen dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam suatu pemilu. (Dewi Erowati: 2004 : Volume 2).

Ilmuwan Dennis Kavanagh dalam teorinya mengungkapkan ada lima pendekatan untuk menganalisis tingkah laku pemilih dalam suatu pemilu. Kelima pendekatan itu meliputi: (1) Pendekatan struktural, (2) Pendekatan sosiologis, (3) Pendekatan ekologis, (4) Pendekatan psikologis-sosial dan (5) Pendekatan rasional. (Efriza, 2012 :482).

Para pemilih juga dikelompokkan menjadi empat segmen berdasarkan perilaku. Keempat segmen ini dikembangkan oleh Newman sebagai bagian dari political marketing yang bertujuan memenangkan Bill Clinton menjadi Presiden Amerika Serikat yang kedua kalinya tahun 1996. (Adman Nursal, 2004:126)

1. Segmen pemilih rasional, kelompok pemilih ini memfokuskan perhatian pada faktor isu dan kebijakan kontestan dan menentukan pilihan politiknya.

2. Segmen pemilih emosional, kelompok yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu seperti kesedihan, kekhawatiran, dan kegembiraan terhadap harapan tertentu dalam menentukan pilihan politiknya. Fakor emosional ini sangat ditentukan oleh faktor personalitas kandidat.


(35)

3. Segmen pemilih sosial, kelompok yang mengaosiasikan kontestan pemilu dengan kelompok-kelompok sosial tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.

4. Segmen pemilih situasional, kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional tertentu dan mementukan pilihannya. Segmen ini digerakkan oleh perubahan dan akan menggeser pilihan politik jika terjadinya kondisi-kondisi tertentu.

Sedangkan menurut Eep Saifullah Fatah dalam buku political explorer (Efriza, 2012 : 487), secara umum pemilih dikategorikan kedalam empat kelompok utama, yaitu:

1. Pemilih Rasional Kalkulatif, pemilih tipe ini adalah pemilih yang memutuskan pilihan pilitiknya berdasarkan perhitungan rasional dan logika. Biasanya pemilih ini berasal dari golongan masyarakat yang terdidik atau relatif tercerahkan dengan informasi yang cukup sebelum menjatuhkan pilihannya. 2. Pemilih Primordial, pemilih yang menjatuhkan pilihannya lebih dikarenakan

alasan primordialisme. Seperti alasan agama, suku, ataupun keturunan. Pemilih yang termasuk kedalam tipe ini biasanya sangat menganggungkan simbol-simbol yang mereka anggap luhur. Pemilih tipe ini lebih banyak berdomisili diperkampungan.

3. Pemilih pragmatis, pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka.


(36)

Biasanya mereka juga tidak begitu peduli dan sma sekali tidak kritis dengan integritas dan visi misi yang dibawa kandidat.

4. Pemilih emosional, kelompok pemilih ini cenderung memutuskan pilihan politiknya karena alasan perasaan. Pilihan politik yang didasari rasa iba, misalnya adalah pilihan yang emosional. Atau pilihan dengan alasan romantisme, seperti kagum dengan ketampanan atau kecantikan kandidat, misalnya juga termasuk kategori pilihan emosional. Kebanyakan mereka biasanya berasal dari kalangan hawa/ atau pemilih pemula.

Ditengah masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari perilaku dan interaksi dapat ditandai akan berupa perilaku politik, yaitu perilaku yang bersangkut paut dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Termasuk kedalam kategori ekonomi, yakni kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, menanam, dan menspekulasikan modal. Namun, hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik. (Ramlan Surbakti : 1992 : 15)

Memilih ialah suatu aktifitas yang merupakan proses menentukan sesuatu yang dianggap cocok dan sesuai dengan keinginan seseorang atau kelompok, baik yang bersifat eksklusif maupun yang inklusif.

Memilih merupakan aktifitas menentukan keputusan secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Surbakti (1992) menilai perilaku memilih ialah keikutsertaan warga Negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan


(37)

membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum

Perilaku pemilih merupakan realitas sosial politik yang tidak terlepas dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal perilaku politik merupakan hasil dari sosialisasi nilai-nilai dari lingkungannya, sedangkan secara internal merupakan tindakan yang didasarkan atas rasionalitas berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih. Misalnya saja isu-isu dan kebijakan politik, tetapi pula sekelompok orang yang memilih kandidat karena dianggap representasi dari agama atau keyakinannya, sementara kelompok lainnya memilih kandidat politik tertentu karena dianggap representasi dari kelas sosialnya bahkan ada juga kelompok yang memilih sebagai ekspresi dari sikap loyal pada ketokohan figur tertentu. Sehingga yang paling mendasar dalam mempengaruhi perilaku pemilih antara lain pengaruh elit, identifikasi kepartaian sistem sosial,media massa dan aliran politik.

1. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam membentuk perilaku


(38)

pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang didalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu yang vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa keangotaan seseorang kepada kelompok-kelempok soisal tertentu dapat mempengaruhi seseorang didalam menentukan pilihnaya pada saat pemilu. Hal ini tidak terlepas dari seringnya anggota kelompok, organisasi profesi dan kelompok okupasi berinteraksi satu sama lain sehingga timbulnya pemikiran-pemikiran untuk mendukung salah satu dari caleg yang mengikuti pemilu.

Gerald Pomper merinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. (A.Rahman Zainuddin : 2006 : 47-48).

Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan private dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Di kalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas


(39)

dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik.

Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuai dengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Dikutip Sulhardi (April 2008), Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis Islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim.

2. Pendekatan psikologis

Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi. (Sulhardi :2008)

Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari


(40)

proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya.

Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni:

1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut.

2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.

3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri.

Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orangtua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi di luar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain.


(41)

Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih.

3. Pendekatan Pilihan Rasional

Dua pendekatan terdahulu secara implisit atau eksplisit menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong. Dimana pendekatan tersebut beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika berada dibalik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural, identifikasi partai melalui proses sosialisasi,pengalaman hidup, merupakan variabel yang secara sendiri-sendiri mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ini berarti variabel lain menentukan atau ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Ada faktor situasional yang ikut mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi bebas untuk bertindak. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan.

Perilaku pemilih tidak harus tetap atau sama, karena karakteristik sosiologis dan identifikasi partai dapat berubah-ubah sesuai waktu dan peristiwa-peristiwa politik tertentu. Dengan begitu, isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik


(42)

dan kandidat yang diajukan. Artinya para pemilih (masyarakat) dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. (Ibid : 50)

Pendekatan pilihan rasional mencoba menjelaskan bahwa kegiatan memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi yang di pertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang di harapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memillih (Ramlan Surbakti : 1992 : 146)

Beberapa pendekatan diatas sama-sama berasumsi bahwa memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di Negara-negara berkembang perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana disebutkan oleh beberapa pendekatan diatas, tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu.

B. Konsep Desa

Desa dan kelurahan adalah dua satuan pemerintahan terendah dengan status berbeda. Desa adalah satuan pemerintahan yang diberi hak otonomi adat sehingga


(43)

merupakan badan hukum sedangkan kelurahan adalah satuan pemerintahan adminitrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten/ kota. Jadi, kelurahan bukan badan hukum melainkan hanya sebagai tempat beroperasinya pelayanan pemerintahan dari pemerintah kabupaten/ kota diwilayah kelurahan setempat. Sedangkan desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkan asal usul (Hanif Nurcholis,hal 1; 2011).

Desa merupakan suatu wilayah yang ditinggali oleh sejumlah orang yang saling mengenal, hidup bergotong royong, memiliki adat istiadatnya relatif sama, dan mempunyai tatacara dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. Desa dihuni oleh masyarakat yang hidup dalam suatu budaya yang relatif homogen. Masyarakat desa cenderung terikat oleh kesamaan dan kesatuan sistem nilai sosial-budaya.

Dalam kontek Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, desa dibedakan dengan kelurahan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan mastarakat setempat, sedangkan kelurahan adalah adminitrasi pemerintahan dibawah kecamatan yang merupakan wilayah pelayanan adimitrasi dari kabupaten/kota.

Desa yang didalamnya terdapat kesatuan masyarakat tersebut kemudian dilegalkan melalui UU No. 32 tahun 2004 yang disebut kesatuan masyarakat hukum (adat). Adapun kelurahan bukan merupakan kesatuan masyarakat hukum. Kelurahan


(44)

hanyalah wilayah pelayanan pejabat yaitu lurah, yang diberi tugas oleh Bupati/ Wali kota dibawah koordinasi camat.

Menurut Soetarjo (1984:16) menjelaskan bahwa desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Sedangkan menurut Sardjono Jatiman (1995:12-13) menyatakan bahwa desa adalah merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap).

Selanjutnya menurut Ter Haar desa adalah satu kesatuan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai kelompok-kelompok teratur yang bersifat ajeg dengan pemerintah sendiri yang memiliki benda-benda material maupun inmaterial.

Pemerintahan desa sebagai suatu organisasi penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari berbagai bagian yang terstruktur jelas yang memiliki tujuan yang sama yaitu menyelenggarakan pemerintahan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan desa. Pemilihan kepala desa adalah sarana pelaksanaan azas kedaulatan rakyat bedasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kepala Desa sebagai pemimpin formal di desa harus dipilih secara demokratis oleh masyarakat desanya sendiri. Sifat demokratis harus ada dan dipertahankan, bukan semata-mata karena sendi-sendi kehidupan demokratis dapat menjamin


(45)

terselenggaranya pembangunan desa, akan tetapi pembangunan desa memerlukan dukungan dari masyarakat.

Menurut Sadu Wasistiono (2006 : 32) tentang pemilihan desa menyatakan bahwa apabila pemilihan umum merupakan pesta pemerintah, maka pemilihan kepala desa adalah pesta rakyat. Pemilihan desa merupakan kesempatan rakyat untuk menunjukkan kesetiaaan dan prefensi lokal mereka. Pemilihan kepala desa dilakukan dalam enam tahun. Hal ini sesuai dengan pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dipilih kembali hanya (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dengan demikian jelaslah bahwa kepala desa menjabat selaku pimpinan desa hanya 6 (enam) tahun, kemudian dapat dipilih kembali hanya untuk 1 periode berikutnya.

C. Konsep Demokrasi

Demokrasi memiliki pengertian yang bermacam-macam. Demokrasi sering diartikan kebebasan. Demokrasi juga diartikan beda pendapat. Begitu banyaknya pengertian demokrasi sering membuat orang salah melaksanakannya. Dengan demikian, apa demokrasi itu? Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.

Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modem telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata,


(46)

yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos / cratein yang berarti pemerintahan sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Berikut ini pengertian demokrasi menurut para ahli :

1. Abraham Lincoln berpendapat, demokrasi adalah pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat.

2. Kranemburg berpendapat, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos (rakyat) dan cratein (memerintah). Jadi, demokrasi adalah cara memerintah dari rakyat.

3. Koentjoro Poerbopranoto berpendapat, demokrasi adalah negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat. Hal ini berarti suatu sistem di mana rakyat diikut sertakan dalam pemerintahan negara.

4. Harris Soche berpendapat, demokrasi adalah pemerintahan rakyat karena itu kekuasaan melekat pada rakyat.

5. Henry B. Mayo berpendapat, sistem politik demokratis adalah menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas kesamaan politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

6. International Commision for Jurist menyatakan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan untuk membuat keputusan politik diselenggarakan oleh wakil-wakil yang dipilih bertanggung jawab kepada mereka melalui pemilihan yang bebas.


(47)

7. C.F. Strong menyatakan suatu sistem pemerintahan pada mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan kepada mayoritas.

8. Samuel Huntington menyatakan sistem politik sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan semua orang dewasa mempunyai hak yang sama memberikan suara.

Sebagaimana istilah politik lainnya, demokrasi merupakan salah satu yang komplek. Helena Catt (1999) menyatakan bahwa meskipun secara luas, demokrasi dimaknai sebagai “rule by the people”, dalam praktiknya, artinya beragam. Para ahli menyepakati pandangan bahwa demokrasi itu sangat subjektif dan beragam (Bagchi 1995; Whitehead 2003).

Sorensen (1998) khususnya, menyatakan bahwa perdebatan tentang demokrasi telah tumbuh dan berkembang dengan menggabungkannya dengan aspek dan dimensi yang baru ketika konteks sosial – atau persepsi analis – berubah. Dia menyatakan bahwa pengalaman di banyak negara memperlihatkan bagaimana potensi untuk menekankan aspek-aspek dari demokrasi akan membawa kepada beragam definisi dari demokrasi.

Pemaknaan demokrasi yang netral dikemukakan oleh Catt (1999) sebagai sebuah metoda ideal dalam pengambilan keputusan. Lebih lanjut, Catt berpendapat bahwa pemaknaan seperti inilah yang mengakibatkan demokrasi diterima secara universal. Sebagai sebuah metode, demokrasi dapat diterapkan di organisasi mana


(48)

pun di mana di dalamnya warga membuat keputusan-keputusan. Namun demikian, penggunaan konsep demokrasi selalu dikaitkan dengan sistem pemerintahan nasional atau daerah.

Salah satu definisi demokrasi yang mengikuti pemikiran tersebut adalah yang dikemukakan oleh Brian Barry (1992). Barry mendefinisikan demokrasi sebagai metode untuk menentukan isi dari hukum atau peraturan yang mengikat lainnya (legally binding decisions) yang mana preferensi warga memiliki koneksi formal outputnya dan preferensi tersebut diperhitungkan secara adil. Definisi ini menyiratkan bahwa dalam sebuah sistem demokratis, preferensi warga secara adil diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan dan terefleksi dalam hukum dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Satu poin penting yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa dalam sebuah sistem yang demokratis (Redy & Sabelo 1997)

eligible people in a polity participate actively not only in determining the kind of people that govern them, but also participate actively in shaping the policy output from goverment”.

Sebuah sistem pemerintahan dikategorikan sebagai demokratis tidak hanya karena secara politis responsif terhadap warga melalui pemilu yang periodik, tetapi juga karena sistem tersebut terbuka untuk partisipasi bagi kelompok-kelompok marginal atau yang tersubordinasi. Hanya melalui eksistensi dari mekanisme yang inklusif seperti inilah, apa yang disebut sebagai demokrasi procedural menjadi partisipatory democracy di mana didalamnya “the everyday rights, interests, perspectives and involvement of civil society at large [are] taken into consideration by the powers - that –be, in between elections (Loh 2008).


(49)

Apa yang menjustifikasi demokrasi sebagai sebuah metode ideal pengambilan keputusan? Atau, apa yang menyebabkan demokrasi lebih disukai ketimbang bentuk pemerintahan yang lainnya? Para ahli telah menjawab ini dengan jawaban-jawaban yang beragam (Beetham 1994; Dahl 1998). Pada garis besarnya, demokrasi dijustifikasi berdasar kepada prinsip-prinsip yang mendasarinya, kebaikan-kebaikannya dan juga keuntungan-keuntungan yang didapat ketika menerapkannya (Copp, Hampton & Roemer 1993; Holden 1988).

Dalam kategori yang pertama, prinsip yang mendasari demokrasi, para ahli berpendapat bahwa demokrasi lebih disukai karena menjunjung dan memfasilitasi prinsip-prinsip moral yang mendasar seperti akuntabilitas politik, persamaan politik dan kedaulatan masyarakat. Komitmen atas ketiga prinsip ini sangatlah mendasar karena berakar dari prinsip otonomi personal sebagai manusia (Ng 1997: 21). Ketiganya merupakan manifestasi dari aspirasi mendasar dari manusia atas kebebasan (Wood 2004: 3) dan kesamaan di antara sesamanya (Saward 1998: 21). Dari perspektif ini pula, diyakini demokrasi tidak terikat pada kultur tertentu (culture-bound).

Komitmen atas prinsip dasar ini merupakan dasar untuk penerimaan demokrasi yang mendunia. Hasil survey opini publik di negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa budaya barat tidak memiliki monopoli dalam memahami dan menilai demokrasi (Diamond 2003: 7). Dua per tiga negara-negara di Afrika yang disurvey memandang demokrasi berhubungan erat dengan kemerdekaan sipil, kedaulatan rakyat dan pemilu. Mereka juga menyukai


(50)

demokrasi daripada otoritarian dan percaya bahwa demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik.

Hasil yang sama juga di temukan di Amerika Latin dan Asia. Survey yang dilakukan juga menunjukkan bahwa negaranegara Muslim di Afrika, Asia Tengah dan Timur Tengah juga supportif terhadap demokrasi sebagaimana negara lainnya. Pendeknya, survey tersebut menemukan bahwa demokrasi dipandang sebagai sesuatu yang baik oleh banyak orang di seluruh dunia, terlepas latar belakang budaya mereka (Dryzek 1996: 475).

Kategori yang kedua – kebaikan yang melekat (inherent virtues) – memfokuskan kepada proses demokrasi itu sendiri. Proses demokrasi dipandang penting karena memiliki potensi untuk mengembangkan kapasitas individual. Holden (1988) berpendapat bahwa

political participation itself increases people‟s confidence in their ability to participate efficiently and meaningfully in politics: participation increases their sense of „political efficacy‟.”

Justifikasi lainnya adalah bahwa proses demokrasi dapat meredam konflik karena memungkinkan ketidaksepakatan dan perbedaan untuk di dengar dan didiskusikan dalam suasana yang bebas dan setara, oleh karenaya mengurangi frustasi publik dan meminimalisir konflik yang brutal. Holden lebih lanjut menjustifikasi proses demokrasi atas dasar potensinya, melalui mekanisme pemilu, untuk memfasilitasi suksesi pemimpin yang damai dan tertib. Rezim yang demokratis mampu secara lebih baik dalam menyediakan kondisi-kondisi di mana


(51)

keuntungan-keuntungan di atas dapat diwujudkan daripada rezim lain oleh karena adanya kebaikan yang melekat (inherent virtues).

Kategori yang ketiga – outcomes menguntungkan – menjustifikasi demokrasi dalam hal kemampuannya menyampaikan hasil yang baik seperti mereduksi konflik, kebebasan individual yang lebih besar, keputusan-keputusan yang bijak, realisasi dari kepentingan bersama, kebahagian yang terbesar untuk jumlah yang besar, dan berbagai kebaikan lainya (Saward 1998). Pendapat serupa juga datang dari Mayo (Mayo 1962) yang menyatakan bahwa demokrasi terjustifikasi karena mewujudkan nilai sosial dan individu. Yang dimaksud dengan nilai sosial, Mayo merujuk kepada kemampuan demokrasi untuk memfasilitasi penanganan damai atas pertentangan, perubahan sosial dan suksesi pemimpin. Mayo juga merujuk nilai positif individu atau kualitas individu yang dipromosi oleh demokrasi, seperti independensi, rasionalitas, simpati dan toleran.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Namun dalam perkembangannya demokrasi tidak hanya sebagai bentuk pemerintahan tetapi telah menjadi sistem politik dan sikap hidup.

D. Tinjauan Penelitian Terdahulu dalam Prilaku Pemilih

Lahirnya pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu langkah maju dalam proses demokratisasi di Indonesia. Berangkat dari definisi di atas maka, dapat dipahami bahwa demokrasi memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu maupun sekelompokorang untuk menjadi kepala daerah maupun


(52)

memberikan suaranya dalam pemilihan kepala daerah tanpa menghiraukan latar belakang partai maupun nonpartai, ekonomi, etnis, agama, sipil, militer dan lain sebagainya. Banyak sekali keaneragaman fenomena dari berbagai daerah yang sangat menarik untuk ditinjau dan dikaji. Karena itu, peneliti tertarik untuk meninjau penelitian terdahulu yang masih sejalan dengan penelitian yang akan diadakan yaitu berkenaan dengan priaku pemilih.

Penelitian yang dilakukan oleh Ginanjar Muda, mahasiswa dari Universitas Sumatra Utara (Unsu) dengan judul Perilaku Pemilih dalam Pemilukada (studi kasus: Etnis Karo di Desa Ketaren, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo 2010. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah Karomerupakan salah satu PemilihanUmum Kepala Daerah yang terselenggara secara dua putaran dari berbagai Pemilihan Umum Kepala Daerah yang pernah terlaksana di Negara RepublikI ndonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Namun ada suatu keunikan tersendiri pada Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Karo yaitu pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang pada pemilihan putaran pertama mendapatkan suara terbanyak kemudian kalah pada pemilihan putaran kedua.

Fenomena politik yang terjadi di Kabupaten Karo dapat kita analisis dengan menggunakan pendekatan perilaku atau untuk lebih tepatnya perilaku pemilih. Perilaku pemilih adalah kompleks dan selalu berubah- ubah. Secar umum menurut para ahli perilaku pemilih dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor sosiologis, faktor psikologis dan faktor pilihan rasional.


(53)

Bagaimana dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah Karo tahun 2010? Mengapa calon yang pada pemilihan putaran pertama mendapatkan suara terbanyak ternyata kalah pada pemilihan putaran kedua? Faktor apa yang paling mempengaruhi pemilih Etnis Karo pada Pemilihan Umum Kepala Daerah tersebut mengingat Etnis Karo adalah etnis mayoritas yang sudah barang tentu suaranya akan mempengaruhi hasil pemilihan. Agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul, kemudian dilakukan penelitian di salah satu desa yang ada di Kabupaten Karo yaitu Desa Ketaren. Desa Ketaren dipilih sebagai lokasi penelitian karena secara umum desa ini memiliki karakteristik Kabupaten Karo secara keseluruhan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tri Setya Puspasari dari Universitas Sultan Ageng Serang, dngan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku pemilih dalam pemilihan umum kepala daerah propinsi Banten tahun 2011 di kecamatan Karawachi kota Tanggerang. Hasil peneltian menunjukan bahwa faktor kandidat mempunyai pengaruh tertinggi dalam prilaku pemilih, karena pemilih melihat kandidat dari citra suatu kandidat. Faktor lain adalah social imagery, berpengaruh terhadap faktor pemilih tapi masih tergolong rendah, karena banyak pemilih yang tidak mengetahui program kandidat. Faktor peristiwa tertentu mempunyai pengaruh yang rendah. Dan faktor epitesmi juga mempunyai pengaruh yang rendah karena tidak semua pemilih tertarik dengan wajah baru kandidat.

E. Kerangka Pikir

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, merujuk pada hal yang dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Sedangkan menurut Eep


(54)

Saifullah Fatah, secara umum pemilih dikategorikan kedalam empat kelompok utama, yaitu:

1. Pemilih Rasional Kalkulatif, pemilih tipe ini adalah pemilih yang memutuskan pilihan p0litiknya berdasarkan perhitungan rasional dan logika. Biasanya pemilih ini berasal dari golongan masyarakat yang terdidik atau relatif tercerahkan dengan informasi yang cukup sebelum menjatuhkan pilihannya.

2. Pemilih Primordial, pemilih yang menjatuhkan pilihannya lebih dikarenakan alasan primordialisme. Seperti alasan agama, suku, ataupun keturunan. Pemilih yang termasuk kedalam tipe ini biasanya sangat menganggungkan simbol-simbol yang mereka anggap luhur. Pemilih tipe ini lebih banyak berdomisili diperkampungan.

3. Pemilih pragmatis, pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka. Biasanya mereka juga tidak begitu peduli dan sama sekali tidak kritis dengan integritas dan visi misi yang dibawa kandidat.

4. Pemilih emosional, kelompok pemilih ini cenderung memutuskan pilihan politiknya karena alasan perasaan. Pilihan politik yang didasari rasa iba, misalnya adalah pilihan yang emosional. Atau pilihan dengan alasan romantisme, seperti kagum dengan ketampanan atau kecantikan kandidat, misalnya juga termasuk kategori pilihan emosional. Kebanyakan mereka biasanya berasal dari kalangan hawa/ atau pemilih pemula.


(55)

Kerangka Pikir

Peneliti mengganggap bahwa konsep yang dikembangkan oleh Eep Saifullah Fatah tepat dijadikan konsep teori yang akan dipakai dalam penelitian ini. Karena melihat karakteristik masyarakat desa Bumi Kencana Kecamatan seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah dan dipadukan dengan teori tersebut. Dan peneliti anggap sangat relevan dengan kondisi masyarakat desa tersebut. Dimana teori tersebut tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat terutama bagi para pemilih. Diharapkan dengan teori ini peneliti dapat mendapatkan gambaran secara umum mengenai kondisi para pemilih dalam Pemilihan Kepala Desa khususnya di Desa Bumi Kencana. Dengan penelitian ini akan digambarkan oleh peneliti melalui hasil

Pemilihan Kepala Desa

Pemilih Rasional

Pemilih Primordial

Pemilih Pragmatis

Pemilih Emosional

 Rasional

 Logika

 Agama

 Suku

 Keturunan

 Untung/rugi

 Keuntungan pribadi

 Perasaan

 Romantisme

 Fisik

(ketampanan atau

kecantikan calon)


(56)

penelitian, apakah para pemilih di desa ini merupakan pemilih yang Rasional, pemilih Primordial, pemilih Pragmatis atau pemilih Emisional.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode Penelitian Kuantitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono (2009:14) dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik.

Menurut Emzir (2009:28), pendekatan Kuantitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang secara primer menggunakan paradigma postpositivist dalam mengembangkan ilmu pengetahuan (seperti pemikiran tentang sebab akibat, reduksi kepada variabel, hipotesis, dan pertanyaan spesifik, menggunakan pengukuran dan observasi, serta pengujian teori), menggunakan strategi penelitian seperti eksperimen dan survei yang memerlukan data statistik. Sehingga dalam penelitian kuantitatif, sesuai dengan namanya banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto:2006).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, karena data yang diperoleh lalu diamati dan dideskriptifkan berdasarkan kenyataan yang didapat pada


(58)

saat pengumpulan data. Penulis juga mengacu pada pendapat Sudjana ( 2000; 82 ), yang mengatakan bahwa “metode deskriptif kuantitatif adalah metode yang menggambarkan dengan kata–kata menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan”.

Untuk mengetahui perilaku pemilih dalam pemilihan kepala desa di desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah, peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif yaitu penelitian menggunakan angka/ analisis. Pada umumnya jangka waktu penelitian kuantitatif tidak terlalu lama, karena data yang dikumpulkan menggunakan sistem kueisioner, sehingga bila seluruh kueisioner telah terkumpul dan dilakukan kegiatan analisis data dan telah didapatkan hasil untuk disimpulkan maka penelitian telah selesai.

B. Fokus Penelitian

Penelitian kuantitatif yang menjadi fokus penelitian adalah masalah penelitian itu sendiri. Fokus penelitian sangatlah penting sebagai pembatas rung lingkup penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti, agar peneliti akan mengarah pada suatu arahan yang jelas. Melalui fokus penelitian, peneliti dapat mengetahui indikator data yang akan dicari serta dengan demikian dapat dengan mudah menentukan informan yang dipandang mengetahui data yang dibutuhkan oleh peneliti.

Faktor penelitian adalah untuk menyusun indikator yang relevan untuk pengumpulan data (yakni membedakan indikator penting dengan yang tidak penting); dan untuk memproduksi data serta untuk menjawab pertanyaan riset itu sendiri, (Hidari Nawawi, 2001:111). Sedangkan menurut Lexy Moleong, penentuan fokus


(59)

penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk membatasi studi kuantitatif, sekaligus membatasi peneliti guna memilih mana data yang relevan dan mana pula yang tidak.(2004:237).

Adapun fokus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku pemilih yag termasuk dalam kategori pemilih Rasional Kalkulatif, Pemilih Primordial, Pemilih Pragmatis atau pemilih Emosional. Keempat perilaku ini yang akan dijadikan fokus dalam penelitian.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi yang diambil sebagai tempat penelitian adalah Desa Bumi Kencana Kecamatan Seputih Agung Kabupaten Lampung Tengah. Pertimbangan yang diambil oleh peneliti antara lain karena desa tersebut merupakan desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, kemudiaan didesa ini perilaku masyakat dalam pemilihan kepala desa sangat beragam dalam menentukan pilihannya.

D. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling 1) Populasi

Populasi adalah sekumpulan objek penelitian yang dapat berupa manusia, benda-benda, tumbuhan, gelaja-gelaja nilai tes atau peristiwa sebagai sumber data yang dimiliki karakteristik didalam suatu penelitian. (Hadari Nawawi, 2004:144)


(1)

14)Apakah anda yakin calon yang anda pilih mampu membawa kondisi desa bumi kencana menjadi lebih baik lagi?

No Pilihan Jawaban Jumlah Prosentase

1 Yakin 261 97,03%

2 Tidak 8 2,97%

(Tabel 14. Rekapitulasi angket kuesioner nomor 14)

Hasil jawaban responden terhadap pertanyaan nomor 14 mengindikasikan bahwa secara keseluruhan responden meyakini bahwa calon yang mereka pilih akan mampu melakukan perubahan dengan membawa kondisi desa bumi kencana menjadi lebih baik dimasa yang akan datang.

15)Apakah anda menerima hasil pemilihan kepala desa bumi kencana tahun 2013?

No Pilihan Jawaban Jumlah Prosentase

1 Menerima 269 100 %

2 Tidak menerima 0 0 %

(Tabel 15. Rekapitulasi angket kuesioner, pertanyaan nomor 15) Secara keseluruhan responden menerima hasil pemilihan kepala desa bumi kencana, dengan alasan pertandingan telah selesai, yang menang tidak boleh jumawa dan yang terpenting adalah mampu menjaga amanah masyarakat untuk memajukan desa bumi kencana menjadi


(2)

89

lebih baik lagi. Bagi yang kalah harus mampu menjadi ksatria dan mendorong calon terpilih serta bersama-sama masyarakat yang lainnya menjadikan desa bumi kencana menjadi desa yang mandiri dan sejahtera.

D. Analisa hasil jawaban responden

Dari hasil jawaban responden dari angket dan wawancara, maka penulis mendapatkan dua kategori besar perilaku pemilih pada pemilihan kepala desa Bumi Kencana, yaitu :

1) Pemilih Primordial

Dalam beberapa pendapat para pakar, keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh kedekatan dengan partai atau kandidat yang maju dalam pemilihan. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat dalam pemilihan. Penulis mendasarkan penilaian Dari hasil jawaban responden dan pembahasan diatas, pada pertanyaan nomor 4 sebanyak 81 responden (34,02%) mengaku memiliki hubungan kekerabatan dengan kandidat atau calon dan 97,5% diantaranya mengaku memilih kandidat yang menjadi kerabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh kekerabatan atau primordial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam membentuk perilaku pemilih. Motivasi pemilih primordial juga didukung oleh beberapa pengaruh dari tokoh masyarakat yang dianggap sebagai tetua di


(3)

wilayah desa, hal ini biasanya tokoh masyarakat yang menjadi kerabat dari para calon akan menggunakan pengaruhnya untuk memenangkan salah satu calon.

2) Perilaku Pragmatis

Dalam teori yang disebutkan oleh Eep Saifullah Fatah dalam pendapatnya (Efriza, 2012 : 487), pemilih pragmatis adalah tipe pemilih yang biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka. Biasanya mereka juga tidak begitu peduli dan sama sekali tidak kritis dengan integritas dan visi misi yang dibawa kandidat.

Tetapi perilaku pragmatis ternyata lebih mendominasi dalam proses pemilihan kepala desa tersebut, hal ini ditunjukkan dari hasil jawaban responden pada pertanyaan nomor 5, yang mengaku bahwa mereka menerima imbalan berupa uang dan barang dari para calon yaitu sebanyak 142 responden (52,7%). Pendalaman hasil jawaban responden dilakukan dengan teknik wawancara terhadap beberapa responden untuk menghasilkan hasil yang lebih tajam.

Hasilnya adalah perilaku pemilih yang cenderung pragmatis menunjukkan adanya pola pikir sesaat yang menguntungkan dirinya. Tetapi ada pula yang disebabkan oleh keadaan sekitar yang mayoritas melakukan hal yang sama, dalam hal ini lingkungan sekitar dia menerima imbalan berupa uang atau barang. Ungkapan wani piro


(4)

91

ternyata sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat desa, fenomena tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman yang terdahulu bahwa setelah pemimpin jadi maka mereka biasanya sudah lupa dengan masyarakat yang memilihnya. Itu adalah beberapa alasan yang penulis dapatkan setelah melakukan studi wawancara. Tentu banyak alasan yang penulis dapatkan dari para responden, baik yang bersifat sentimen pribadi ataupun tidak. Sehingga penulis tidak bisa menuliskan satu persatu dalam penelitian ini.


(5)

Adman Nursal. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Budiardjo, Miriam,2008, Dasar – Dasar Ilmu Politik : Edisi Revisi, Gramedia, Jakarta.

David Marsh dan Gerry Stoker. 2011. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Nusa Media,

Bandung.

Efriza. 2012. Political Explore : Sebuah Kajian Ilmu Politik. Alfabeta, Bandung.

______ 2011. Demokrasi Lokal : Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Konstitusi Press,

Jakarta.

Fadillah Putra. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Averroes Press, Yogyakarta

Gaffar Affan.”Javanese Voters, A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System”.1992.Yogyakarta:Gajahmada University Press

Hanif Nurcholis. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Erlangga,

Jakarta.

Hertanto. 2006. Teori-Teori Politik dan Pemikiran Politik di Indonesia. Universitas

Lampung, Bandar Lampung.

http://politik.kompasiana.com/2011/04/13/perilaku-pemilih-di-kota-yogyakarta-fenomena-pemilu-2004-dan-2009/

Huntington, Samuel dan Joan Nelson, 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Terjemahan Sahat Simamora, Rineka Cipta, Jakarta.

Janedjri, M.Gaffar. 2012. Politik Hukum Pemilu. Konstitusi Press, Jakarta

Jurnal Demokrasi dan Otonomi Daerah, Volume 2/Nomor 2/Desember 2004, Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru.

Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau Edisi 1 Januari Tahun 2001, Pekanbaru.

Kabul Budiyono. 2012. Teori dan Filsafat Ilmu Politik. Alfabeta, Bandung.


(6)

Nawawi, Hadari, 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada Universty Press, Yogyakarta.

Onong Uchjana Effendy. 2006. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya,

Bandung.

Sudjarwo dan Basrowi. 2009. Manajemen Penelitian Sosial. Mandar Maju, Bandung

Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta.


Dokumen yang terkait

Relasi Kekuasaan Kepala Daerah Dengan Kepala Desa (Melihat Good Governance Kepala Desa Nagori Dolok Huluan, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

4 83 107

Relasi Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Kasus: Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara)

1 62 186

Konstelasi Politik Dalam Pemilihan Kepala Desa (Studi Kasus : Pemilihan Kepala Desa Huta Ibus Kecamatan Lubuk Barumun Kabupaten Padang Lawas)

5 85 73

Peran Kepemimpinan Kepala Desa Dalam Mewujudkan Good Governance"(Suatu Penelitian Deskriptif Kualitatif di Desa Sigalapang Julu Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal)

27 139 108

Perilaku Pemilih Etnis Karo Dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Karo Periode 2010-2015

4 65 219

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Desa Terhadap Peningkatan Pertisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan (Studi Pada Desa Galang Suka Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang)

18 209 128

Lembaga Adat Sebagai Mitra Kepala Desa Dalam Penyelesaian Sengketa Si Desa (Studi Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir)

0 21 132

(Studi Pada Pemilihan Kepala Desa Marga Dadi Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2007)

1 18 94

OPTIMALISASI USAHATANI KENCUR DENGAN POLA TANAM STRIP INTERCROPPING DI DESA FAJAR ASRI KECAMATAN SEPUTIH AGUNG KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

3 28 89

PELAKSANAAN PERJANJIAN GADAI TANAH PERTANIAN MENURUT HUKUM ADAT (STUDI DI DESA SIMPANG AGUNG KECAMATAN SEPUTIH AGUNG KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

1 34 64