Tujuan Umum Tujuan Khusus

Gambar 1 . Telur dan Ascaris lumbricoides dewasa Keterangan: kirikanan: Telur terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan. Tengah : Cacing Ascaris lumbricoides betina dewasa CDC, 2015. Cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari yang terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi Sutanto et al, 2011. Telur yang dikeluarkan diletakkan di lumen usus. Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi berukuran 40 X 60 µm, ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick hyaline shell. Telur yang tidak dibuahi berukuran 90x40 µm, berbentuk lonjong tidak teratur, dindingnya terdiri dari dua lapisan dan bagian dalam telur bergranula Soedarmo, 2012. Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides tidak terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan CDC, 2015. Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides terfertilisasi pada feses basah tanpa pewarnaan, dengan embrio pada tahap awal pengembangan CDC, 2015. Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi dapat tumbuh pada suhu optimum 25-30˚C. Telur cacing ini tidak akan menetas ditanah dan dapat bertahan hidup selama beberapa tahun Sutanto et al, 2011. Gambar 4. Cacing lumbricoides terdekortikasi, telur matang pada feses basah, pembesaran 200X CDC, 2015 Gambar 5. Larva Ascaris lumbricoides menetas dari telur CDC, 2015. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi akan berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu lebih kurang 3 minggu. Bentuk infektif tersebut yang apabila tertelan oleh manusia, akan menetas di usus. Kemudian larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Di paru, larva menembus dinding pembuluh darah, kemudian dinding alveolus, lalu naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea, larva menuju faring sehingga menimbulkan rangsangan batuk pada faring. Batuk karena rangsangan tersebut menyebabkan larva tertelan kembali ke esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus

Dokumen yang terkait

Hubungan Suku Dengan Pola Hidup Sehat dan Infeksi Soil-Transmitted Helminth pada Anak Usia Sekolah Dasar di Medan Labuhan

0 82 76

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar di SDN 060972 Simalingkar B, Medan

7 53 116

Hubungan kadar serum IgE total pada anak yang terinfeksi soil transmitted helminth dengan kejadian penyakit atopi

2 83 65

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths dengan Kejadian Underweight pada Sekolah Dasar Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang Tahun 2011

0 39 62

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

4 40 53

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

5 116 77

HUBUNGAN FAKTOR SOSIO-EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DENGAN KEJADIAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA SDN 1 KRAWANGSARI NATAR DAN PEMETAAN TEMPAT TINGGAL SISWA TERINFEKSI STH

1 9 63

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN PERTUMBUHAN DAN STATUS ANEMIA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI (SDN) DI KECAMATAN KELUMBAYAN KABUPATEN TANGGAMUS

1 16 87

DERAJAD EOSINOFILIA PADA PENDERITA INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH (STH)

0 0 8