HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN
ABSTRACT
THE RELATIONSHIP BETWEEN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) INFECTION WITH RISK OF ALLERGY INCIDENCE BASED ON QUESTIONNARE ISAAC IN CHILDREN GRADE 1-4 ELEMENTARY SCHOOL 1 KRAWANGSARI NATAR DISTRICT SOUTH LAMPUNG
By
SHEBA DENISICA
Allergy and worm infection are common problems in elementary children. Both of them have same immune response that increase of IgE. Allergy is more common in urban area, while worm infection is more common in rural area because of difference of enviromental sanitary factor. This study aims to analize the relationship between soil transmitted helminth (STH) infection and risk of allergy incidence in elementary school 1 Krawangsari Natar South Lampung.
This research is cross-sectional study or data collection on October-November 2015. Subject of this research is children grade 1,2,3 and 4 in Elementary school 1 Krawangsari Natar South Lampung. The research subjects were collected stool sample and their parent filled ISAAC questionnaires. Stool samples were examined microscopically with qualitative methods (floatation method) in parasitology laboratory. Data analyzed by univariate and bivariate used chi-square test.
The result of study showed that 50% research subject were infected by STH and 33,3% research subjects have history of allergy. Chi-square test result showed p-value=0,777 (CI=90%, OR=0,2) indicating there is relationship between STH infection and risk of allergy incidence.
(2)
ABSTRAK
HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4
BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN
Oleh
Sheba Denisica
Infeksi cacing dan alergi merupakan penyakit yang paling sering mengenai anak-anak sekolah dasar. Keduanya memiliki respon imun yang sama berupa peningkatan dari IgE. Alergi lebih sering ditemukan pada daerah perkotaan, sedangkan infeksi cacing lebih sering di daerah pedesaan karena faktor sanitasi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan.
Penelitian dilakukan secara cross sectional study pada bulan Oktober-November 2015. Subjek penelitian berasal dari siswa kelas 1,2,3 dan 4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan yang berjumlah 36 siswa. Subjek penelitian mengumpulkan sampel feses dan orang tua subjek penelitian mengisi kuesioner ISAAC secara terbimbing. Sampel feses diperiksa secara mikroskopik dengan metode kualitatif berupa metode apung di laboratorium parasit. Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan 50% subjek penelitian terinfeksi cacing dan 33,3% subjek penelitian mempunyai riwayat penyakit alergi. Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,077 (CI=90%, OR=0,2) menandakan terdapat hubungan antara infeksi STH dengan risiko kejadian alergi.
(3)
HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4
BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN
Oleh
Sheba Denisica Nasution
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN
pada
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
(4)
HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4
BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN
(Skripsi)
Oleh
SHEBA DENISICA NASUTION
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
(5)
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan Penelitian ... 5
1.4.Manfaat Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth (STH) ... 8
2.1.1.Ascaris lumbricoides ... 8
2.1.2.Trichuris trichiura ... 13
2.1.3.N.americanus dan A. duodenale ... 16
2.2. Respon imun terhadap infeksi kecacingan ... 20
2.3. Teknik pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis kecacingan 22
2.4. Alergi ... 25
(6)
ii
2.6. Kuesioner ISAAC ... 34
2.7. Kondisi sanitasi Lampung Selatan ... 36
2.8. Kerangka teori ... 37
2.9. Kerangka Konsep ... 38
2.10. Hipotesis ... 38
III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 39
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39
3.2.1.Waktu Penelitian ... 39
3.2.2.Tempat Penelitian... 39
3.3. Populasi dan Sampel ... 40
3.3.1.Populasi Penelitian ... 40
3.3.2.Sampel Penelitian ... 40
3.4. Variabel Penelitian ... 41
3.4.1.Variabel Bebas... 41
3.4.2.Variabel Terikat ... 41
3.5. Definisi Operasional ... 42
3.6. Pengumpulan Data ... 43
3.6.1.Jenis Data ... 43
3.6.2.Alat dan Bahan Penelitian ... 43
3.7. Cara Pengambilan Data... 43
3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 44
(7)
iii
3.8.2.Analisis Data ... 45 3.9. Alur Penelitian ... 46 3.10. Etika Penelitian ... 47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ... 48 4.2. Pembahasan... 52 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 63 5.2. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA
(8)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Telur A. lumbricoides infertil ... 9
2. Telur A. lumbricoides fertil ... 10
3. Siklus hidup A. lumbricoides ... 11
4. Telur dan Cacing T. trichiura dewasa ... 14
5. Siklus hidup T. trichiura ... 15
6. Siklus hidup hookworm ... 18
7. Respon imun terhadap infeksi cacing ... 21
8. Perbedaan respon Th2 pada anak dengan paparan patogen ... 32
9. Pengaruh helminth terhadap respon imun terhadap alergen ... 33
10. Kerangka Teori ... 37
11. Kerangka Konsep ... 38
(9)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Ethical Clearance 2. Prosedur Penelitian
3. Lembar Penjelasan dan Persetujuan Penelitian 4. Kuesioner
5. Foto Lokasi Penelitian 6. Dokumentasi Penelitian
7. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Feses 8. Tabel Hasil Penelitian
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Interpretasi hasil pemeriksaan ISAAC ... 35
2. Definisi Operasional ... 42
3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49
4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49
5. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing STH pada Subjek penelitian ... 50
6. Riwayat Penyakit Alergi pada Subjek penelitian ... 50
7. Jenis Penyakit Alergi pada Subjek Penelitian ... 51
(11)
(12)
“
Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan
dan kehormatan diri dan bersikaplah rendah hati kepada
orang yang mengajar kamu
”
(Hadist Riwayat Ath-Thabrani)
Atas Ridho Allah SWT ku
persembahkan sebuah
karya kepada Papa,
mama dan kakak.
Terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan selama ini
Terimakasih atas kasih sayang yang diberikan
Terimakasih sudah menemani dalam perjuangan hidup ini
(13)
(14)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung pada tanggal 06 Desember 1994, sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Eddy P. Nasution, S.E., S.H. dan Ibu Dra. Harlina.
Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK) Kartini II Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Palapa pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 16 Bandar Lampung pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum Histologi pada tahun 2013-2015. Penulis juga pernah aktif pada organisasi Forum Studi Islam Ibnu Sina sebagai anggota keputrian dan Lunar sebagai ketua danus pada tahun 2013.
(15)
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya.
Skripsi dengan judul “Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung
Selatan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes, Sp.PA. selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
2. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, M.Kes. selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan saran serta nasihat dalam penyusunan skripsi ini;
(16)
3. Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, nasihat serta saran dalam penyusunan skripsi ini;
4. dr. Hanna Mutiara, M.Kes. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan, motivasi bimbingan serta kritik yang membangun dalam proses penyusunan skripsi ini;
5. dr. Betta Kurniawan, M.Kes. selaku penguji tambahan yang sudah memberikan masukan dan saran-saran yang berguna untuk skripsi ini;
6. dr. Susianti, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
7. Seluruh dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang sudah memberikan ilmu dan keterampilan, motivasi serta nasihat,selama pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini;
9. Kedua orang tuaku papa Eddy P. Nasution, S.E., S.H. dan mama Dra. Harlina atas motivasi, kasih sayang, dukungan dan doa yang sudah diberikan;
10.Kakakku Shifra Janeczka Nasution, S.H. yang sudah memberikan motivasi, nasihat dan doa;
11.Oma Siti Chadijah, Keluarga Rahman dan AH Nasution yang sudah memberikan motivasi, kasih sayang dan doa;
(17)
12.Sahabat Fillah Zsa-zsa Febryana, Septina Ashariani, Sartika Safitri, Ria Janita Riduan yang sudah menemani perjuangan dan membuat hari-hari menjadi lebih indah di Fakultas Kedokteran;
13.Sahabat sejak SMA dan SMP Miya Nuraisah, Nina Cynthia, Aldila Putri, Arie Fitri Ana, Kartinia Sari, Syahraini, Resi Bisma Sari, Devi Rahmayani, Maria Christina, Rendi Saputra, Fera Ayu, Andre Fernando serta Muhammad Adnan yang sudah memberikan motivasi dan semangat dalam penyusunan skripsi ini; 14.Kelompok 9 semester 7 (rois, hambali, leo, lutfi, anti, vira, imel, fatia, indik, yesti, siti) yang sudah memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini dan menemani perjuangan di semester terakhir ini;
15.Teman-teman tim skripsi Harmeida Risa, Aulia Rahma, Sevfianti, Nurul Sahana, Eva Nurlizar, Yudha Prasetyo atas kerja samanya dalam penelitian untuk skripsi ini;
16.Inaz Kemala Dewi yang sudah memberi motivasi dalam belajar dan teman berbagi saat suka dan duka;
17.Warga desa Bratasena Mandiri beserta anggota kelompok KKN yang sudah memberikan pengalaman yang berharga untuk pembelajaran hidup penulis; 18.Kepala Sekolah, guru-guru serta siswa-siswi SD Negeri 1 Krawangsari yang
sudah membantu dalam penelitian ini;
19.Sahabat-sahabat di FK UNILA 2012 Huzaimah, Indhraswari Dyah, Aulia Sari, Andika Yusuf, Siti Alvina, Redopatra, Eduard, Hendra, yang sudah memberikan motivasi dan menemani dalam perjuangan di FK UNILA;
(18)
20.Teman-teman seperjuangan FK UNILA 2012 yang sudah menemani hari-hari di FK UNILA semoga kita menjadi dokter yang bermanfaat serta adik-adik angkatan 2013-2015;
21.Kak Nyimas Farisa, Azzaky, Fathan, Azda, kak Wardina, adik kelompok tutorial 14 semester 1 angkatan 2014 (Lala, Karaeng, Aminah, William, Ahmad, Febe, Ica, Oliv, Karen, Diva), Sutansyah yang sudah memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini serta orang-orang yang sudah memberikan doa dalam diam;
22.Guru-guru SMAN 16 Bandar Lampung atas motivasi dan doa yang telah diberikan untuk menggapai cita-cita.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, akan tetapi penulis berharap agar skipsi ini dapat memberikan manfaat bagi orang banyak.
Bandar Lampung, 28 Januari 2016 Penulis
(19)
(20)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing usus yang dapat menginfeksi manusia dengan empat spesies utama yaitu Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancyslotoma duodenale dan Necator americanus (cacing kait) (Brooker et al., 2006; Suchdev et al., 2014). Infeksi STHmerupakan infeksi yang paling sering di daerah tropis terutama negara berkembang dengan sanitasi yang buruk (Brooker et al., 2006; WHO, 2015a). STH diperkirakan menginfeksi dua miliyar orang di dunia dengan 270 juta diantaranya menyerang anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta kasus menyerang anak usia sekolah (WHO, 2012; WHO, 2015b).
Prevalensi kecacingan di 10 kabupaten Indonesia tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013). Infeksi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides yakni sebesar 807 juta-1,12 miliyar, Trichuris trichiura sebesar 604-795 juta dan Ancylostoma duodenale serta Necator americanus sebesar 576-740 juta (CDC, 2013a). Anak-anak sering
(21)
2
menderita infeksi STH dikarenakan aktivitas anak-anak yang banyak berkontak dengan tanah. Anak-anak sekolah dasar paling sering terpajan penyakit alergi dan infeksi cacing (Andiarsa et al., 2013).
Alergi dan infeksi cacing sama-sama merupakan masalah di negara berkembang. Keduanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang kurang baik, polusi dan sanitasi. Prevalensi penyakit alergi semakin meningkat di dunia dan ditemukan lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan (Joprang dan Supali, 2008). Prevalensi penyakit asma, ekzema dan rinitis alergi di dunia berdasarkan kuesioner ISAAC yaitu 12%, 7,88% dan 12,66% (Pols et al., 2015). Prevalensi penyakit asma berdasarkan gejala klinis di Indonesia adalah 4% dan provinsi Lampung memiliki prevalensi asma terendah di Indonesia (1,6%) (Depkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2014). Prevalensi nasional berdasarkan keluhan untuk penyakit dermatitis dan rinitis yaitu 6,8% dan 2,4% (Depkes RI, 2008). Prevalensi rinitis dan dermatitis di Lampung berdasarkan riwayat pernah mengalami yaitu 7,8% dan 40,3%, sedangkan prevalensi penyakit rinitis dan dermatitis di Lampung Selatan 11,5% dan 59,6% (Depkes RI, 2009).
Penyakit alergi tidak mengancam jiwa namun dapat menimbulkan banyak kerugian seperti kerugian fisik, psikologis dan kerugian finansial (Nency, 2005). Kerugian finansial akibat penyakit alergi di Australia pada tahun 2007 adalah 7,8 miliyar dollar dan 72% diantaranya diakibatkan karena kehilangan produktivitas (Mullin et al., 2007). Infeksi soil transmitted
(22)
3
helminth (STH) jarang menyebabkan kematian, namun dapat menyebabkan morbiditas seperti malnutrisi, anemia, kegagalan pertumbuhan dan mental (Menzies et al., 2014; Cabada et al., 2015). Efek STH pada orang dewasa dapat mengurangi produktivitas dan menyebabkan kerugian ekonomi serta meningkatkan risiko anemia defisiensi besi pada wanita yang sedang menyusui (PATH, 2014). Anemia dan defisiensi mikronutrisi seperti vitamin, besi dan folat yang diakibatkan oleh STH sangat berpengaruh terhadap penurunan kapasitas kerja, fungsi kognitif yang buruk dan gangguan kehamilan (Ahmed et al., 2012).
Hubungan penyakit alergi dan infeksi helminth tidak konsisten. Beberapa penelitian melaporkan bahwa infeksi helminth akan menginduksi atau meningkatkan keparahan penyakit alergi. Penelitian lain melaporkan bahwa anak yang terinfeksi beberapa helminth memiliki prevalensi yang rendah dan gejala yang lebih ringan dari alergi (Sitcharungsi dan Sirivichayakul, 2013). Penelitian Amarasekera et al. (2012) menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara infeksi helminth dengan penyakit alergi, tetapi terdapat kecenderungan efek protektif dari helminth terhadap pembentukan alergi. Pada anak yang terinfeksi helminth 68,1% diantaranya tidak memiliki penyakit alergi, sedangkan 31,9% mempunyai satu atau lebih penyakit alergi (Amarasekera et al., 2012) Hasil penelitian Dicky Andiarsa et al. pada tahun 2013 menunjukkan bahwa persentase infeksi cacing dan terkena atopi (7,9%) lebih kecil dibandingkan persentase atopi namun tidak terinfeksi cacing (35,5%) (RR=0,660; CI=0,265-1,642) (Andiarsa et al.,
(23)
4
2013). Pada penelitian yang dilakukan HendriWijaya et al. (2014) pada 84 anak usia 7-13 tahun di Sumatera Utara didapatkan hasil bahwa infeksi STH berhubungan dengan peningkatan gejala asma (p=0,0049) dan eksema (p=0,0440), tetapi tidak berhubungan dengan gejala rinitis alergi (p=0,763) (Wijaya et al., 2014).
Kuesioner ISAAC merupakan kuesioner yang akan mendiagnosis secara kasar prevalensi dan faktor risiko dari penyakit alergi pada anak (ISAAC Steering Committe, 2000). Penelitian mengenai hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak di Indonesia masih sangat jarang serta banyak kesenjangan. Peneliti berkeinginan untuk melakukan penilitian pada SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan dikarenakan lapangan sekolah masih berupa tanah. Selain itu, siswa-siswi SD rata-rata berasal dari keluarga yang kurang mampu dilihat dari lantai rumah yang masih berupa tanah di keraskan dan jamban masih belum memadai. Siswa-siswi SD ini juga ketika bermain di lingkungan rumah dan sekolah tidak menggunakan alas kaki.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dirasakan perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak di SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan.
(24)
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar berlakang tersebut maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berapakah besar prevalensi anak kelas 1,2,3 dan 4 yang menderita infeksi soil transmitted helminth (STH) di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan?
2. Berapakah besar prevalensi riwayat penyakit alergi di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan ?
3. Apakah terdapat hubungan antara infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
a.Mengetahui prevalensi infeksi soil transmitted helminth (STH) pada anak kelas 1,2,3 dan 4 di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
(25)
6
b.Mengetahui prevalensi riwayat penyakit alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
c.Mengetahui hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Menambah, memperkaya data penelitian serta pengetahuan di bidang ilmu penyakit infeksi dan parasitologi tentang penyakit yang sering terjadi di daerah tropis dan negara berkembang khususnya penyakit yang disebabkan oleh soil transmitted helminth. Mendapat informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan risiko kejadian alergi pada anak yang terinfeksi soil transmitted helminth (STH) sehingga dapat digunakan sebagai data pendahuluan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2. Manfaat bagi peniliti
1. Mendapat pengalaman langsung dalam merencanakan penelitian, melaksanakan penelitian dan menyusun hasil penelitian.
2. Menambah pengetahuan tentang pencegahan dan tatalaksana penyakit kecacingan serta mengimplikasikannya ke masyarakat.
(26)
7
1.4.3. Manfaat bagi masyarakat
Mendapatkan pengetahuan mengenai penyakit kecacingan serta pencegahannya dan penyakit alergi pada anak melalui penyuluhan yang diberikan.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil Transmitted Helminth
Soil transmitted helminth adalah cacing usus yang sebagian siklus hidupnya berada ditanah (Prevatt, 2011). Infeksi soil transmitted helminth (STH) terutama ditemukan pada tempat yang hangat dan kelembaban yang adekuat dan sanitasi yang buruk. Kurangnya hygiene perseorangan dan lingkungan, orang yang berjalan tanpa alas kaki, status imun dan nutrisi yang rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan infeksi dari STH (Alelign et al., 2015). Soil transmitted helminth yang biasa menginfeksi manusia yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura¸ Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (WHO, 2012).
2.1.1. Ascaris lumbricoides (cacing gelang)
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar di usus manusia dengan panjang dapat mencapai 40 cm (Longo et al., 2012). Manusia merupakan satu-satunya hospes A. lumbricoides. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut askariasis (Supali et al., 2008). Kebanyakan orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Gejala klinis muncul
(28)
9
dari migrasi larva ke paru-paru atau efek dari cacing dewasa di usus (Longo et al., 2012).
Gambar 1. Telur A. lumbricoides inferrtil (CDC, 2013b)
Askariasis merupakan helminthiasis pada manusia yang paling sering (Patel dan Kazura, 2012). Faktor kunci yang berhubungan dengan prevalensi tinggi dari infeksi yaitu kondisi sosioekonomi yang rendah, pengunaan tanah sebagai fertilizer, sanitasi yang buruk dan geofagia (Patel dan Kazura, 2012; Longo et al., 2012). Askariasis dapat terjadi pada semua umur, namun prevalensi yang lebih tinggi pada anak presekolah dan awal sekolah (umur 5-9 tahun) (Patel dan Kazura, 2012; Ghaffar, 2015). Transmisi yang tersering melalui tangan ke mulut, tetapi bisa juga dari ingesti buah atau sayur yang terkontaminasi (Patel dan Kazura, 2012).
Telur A. lumbricoides terdiri dari dua bentuk yaitu telur infertil dan fertil. Telur infertil berbentuk persegi panjang, lebar 38-45 µm serta panjang 85-95 µm. Telur A. Lumbricoides fertil lebih bulat dibandingkan telur infertil dan berukuran lebar 30-50 µm dan panjang 40-75 µm. Fertilisasi mengubah massa amorf dari protoplasma ke lapisan undeveloped embrio
(29)
10
uniseluler (Zeibig, 2013). Cacing A. lumbricoides dewasa jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Panjang cacing jantan dewasa 15-30 cm dan cacing betina dewasa yaitu 20-35 cm (Supali et al., 2008). Karakteristik cacing jantan dewasa lebih ramping dan memiliki ekor membengkok, sedangkan cacing betina bentuknya yang seperti pensil (Zeibig, 2013).
Gambar 2. Telur A. lumbricoides fertil (ASM Microbe Library, 2014)
Siklus hidup A. lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina sekitar 200.000 telur per hari dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Telur fertil dapat membentuk embrio dan menjadi kondisi infektif (second-stage larva) setelah 10-14 hari pada 28-32 oC atau 45-55 hari pada 16-18oC. Telur dapat bertahan hidup tergantung dengan kondisi yang menguntungkan seperti suhu (5-34oC), tanah yang lembab (kelembaban >4%) dan tanah yang terlindung matahari. Apabila manusia tertelan telur yang infektif, larva akan menetas di jejunum dan melepaskan larva stadium dua. Larva akan menembus dinding usus halus menuju ke venula mesenterika, masuk ke sirkulasi porta, kemudian ke jantung kanan
(30)
11
lalu mengikuti aliran darah ke paru (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Shoff dan Shoff, 2015).
Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015)
Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus dan masuk rongga alveolus. Larva akan menetas menjadi larva stadium 3 dan larva stadium 4 dalam waktu 4-14 hari. Larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkiolus menuju bronkus lalu ke trakea. Larva dari trakea menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus dan menjadi dewasa dalam waktu 14-20 hari. Siklus ini berlangsung sekitar 65-70 hari atau kurang lebih 2-3 bulan (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Shoff dan Shoff, 2015).
(31)
12
Gejala klinis penyakit yang disebabkan oleh A. lumbricoides tergantung dari intensitas infeksi dan organ yang terkena (Patel dan Kazura, 2012). Gejala yang biasanya timbul pada penderita dapat disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Pada infeksi ringan, trauma yang terjadi berupa perdarahan (petechial hemorrhage) dan pada infeksi berat kerusakan jaringan paru dapat terjadi. Gangguan yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa dalam jumlah banyak di usus berupa distensi abdomen dan kram perut (Bethony et al., 2006; Patel dan Kazura, 2012). Cacing dewasa juga dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan (Bethony et al., 2006). Cacing Ascaris dapat bermigrasi ke duktus biliaris dan pankreatikus menyebabkan kolestitis dan pankreatitis. Cacing yang mati dapat menjadi nidus untuk pembentukan batu (Patel dan Kazura, 2012).
Cara penegakkan diagnosis penyakit adalah pemeriksaan mikroskopik feses secara langsung untuk menemukan telur ( Supali et al., 2008; Patel dan Kazura, 2012; Longo et al., 2012). Selain itu, diagnosis dapat ditegakkan bila didapatkan cacing dewasa keluar melalui anus lewat tinja dan mulut atau hidung karena muntah (Supali et al., 2008; Ridley, 2012). Terapi pilihan untuk askariasis gastrointestinal adalah albendazole (400 mg PO dosis tunggal), mebendazole (100 mg 2x/hari PO selama 3 hari atau 500 mg PO 1x/hari) atau pirantel pamoat (11 mg/kgBB PO dosis tunggal, maksimum 1 g). Efek samping dari albendazole berupa migrasi dari A. lumbricoides melewati mulut, gejala gastrointestinal, gejala sistem
(32)
13
saraf pusat dan reaksi alergi (Albonico et al., 2008). Pencegahan dapat dilakukan dengan fasilitas sanitari untuk defekasi, mencuci tangan dan mencuci bahan makanan yang berasal dari tanah (Ridley, 2012).
2.1.2. Trichuris trichiura ( cacing cambuk)
Trichuris trichiura adalah infeksi cacing yang terbanyak pada manusia setelah infeksi A. Lumbricoides (Soedarmo et. al., 2012). Infeksi dari T. trichiura pada usus besar menyebabkan penyakit trichuriasis (Zeibig, 2013). Cacing ini bersifat kosmopolit terutama ditemukan di daerah panas dan lembab. Pada saat ini infeksi sering dijumpai pada anak usia sekolah (Supali et al., 2008). Umur yang paling rentan untuk mendapat infeksi cacing adalah 5-15 tahun (Kazura dan Dent, 2011).
Telur T. trichiura berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub dan berukuran 50-55 µm x 25 µm (Supali et al., 2008; Ridley, 2012). Telur akan dikeluarkan dari hospes bersama tinja dan akan mengalami maturasi kurang lebih 2-6 minggu dan dapat bertahan sampai beberapa bulan. Telur dapat rusak bila terpapar sinar matahari langsung lebih dari 12 jam dan pada temperatur kurang dari 8oC atau >40oC selama satu jam (Supali et al., 2008; Gupta dan Ang, 2015).
Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang inefektif (telur yang mengandung larva) atau kontak dengan yang terkontaminasi. Setelah
(33)
14
tertelan, larva keluar melalui dinding telur, menembus dan berkembang di mukosa usus halus. Setelah menjadi dewasa (±1 minggu), cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon (sekum). Cacing betina di sekum setelah 3 bulan dari infeksi dapat menghasilkan 3000-20000 telur setiap harinya dan akan dikeluarkan bersama tinja (Soedarmo et al., 2012; Gupta dan Ang, 2015).
a) (b)
Gambar 4. (a) Telur Trichuris trichiura (b) Cacing T. Trichiura dewasa jantan dan betina (Bethony et al., 2006)
Panjang cacing betina kira-kira 35-50 mm, sedangkan cacing jantan lebih kecil kira-kira 30-45 mm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh dan mengandung esofagus. Bagian posterior mengandung organ reproduksi serta intestinal dan berbentuk lebih gemuk serta pada cacing betina berbentuk membulat tumpul (Supali et al., 2008; Zeibig, 2013). Masa hidup dari cacing ini adalah 1-3 tahun (Gupta dan Ang, 2015).
(34)
15
Gambar 5. Siklus hidup T. Trichiura (CDC, 2013c)
Trauma (kerusakan) pada dinding usus yang menimbulkan iritasi dan peradangan pada mukosa usus (kolitis) terjadi karena cacing Trichuris memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus. Kolitis yang berkepanjangan dapat menyebabkan inflammatory bowel disease seperti nyeri abdomen kronik, diare dan gejala sisa (kegagalan pertumbuhan, anemia penyakit kronik dan clubbing finger) (Bethony et al., 2006).Gejala pada infeksi ringan dan sedang adalah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, kadang ditemui nyeri epigastrik atau nyeri perut, muntah atau konstipasi, perut kembung dan buang angin. Pada infeksi berat dijumpai mencret yang mengandung darah serta lendir, nyeri perut, tenesmus, anoreksia, anemia dan penurunan berat badan. Pada infeksi yang sangat berat mukosa rektum dapat terjadi prolapsus akibat mengejan penderita pada waktu defekasi (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012).
(35)
16
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam feses dan mukosa rektal yang mengalami prolapsus atau menemukan cacing dewasa (Supali et al, 2008; Soedarmo et al., 2012). Mebendazole (100 mg 2x/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal) adalah obat yang aman dan efektif untuk infeksi T. trichiura serta dapat mengurangi telur sebesar 90-99%. Albendazole (400 mg dosis tunggal) merupakan terapi alternatif, akan tetapi pada infeksi berat albedanzole harus diberikan selama tiga hari (Kazura dan Dent, 2011). Pencegahan adalah pilihan terbaik untuk menghindari infeksi cacing ini dengan cara menjaga personal hygiene dan menghindari makanan dan air yang terkontaminasi (Ridley, 2012).
2.1.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing kait)
Cacing kait terdiri dari dua spesies yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menyebabkan penyakit ancylostomiasis. Infeksi oleh N. americanus lebih sering dibandingkan infeksi oleh A. duodenale di Indonesia (Soedarmo et al., 2012). Penyakit cacing kait terbentuk dari kombinasi faktor-faktor seperti infeksi cacing berat, lamanya durasi infeksi dan tidak adekuat intake besi yang menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia (Longo et al., 2012). Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan di tempat dengan keadaan yang sesuai misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan (Supali et al., 2008). Morbiditas dan mortalitas infeksi cacing kait terutama terjadi pada anak-anak (50% telah terinfeksi sebelum usia 5 tahun dan 90% terinfeksi pada usia 9 tahun.
(36)
17
Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian menjadi stabil (Soedarmo et al., 2012).
Cacing dewasa hidup dan melekat di rongga mukosa usus halus dengan mulut yang besar (Supali et al., 2008). Cacing jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0,45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm, sedangkan A. duodenale sedikit lebih besar dari N. americanus (Soedarmo et al., 2012). N. americanus mempunyai badan kitin dan A. duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks (Supali et al., 2008). Cacing betina N. americanus dapat menghasilkan 9000-10000 butir, sedangkan A. duodenale menghasilkan 25000-30000 butir (Bethony et al., 2006).
Telur cacing kait dikeluarkan bersama feses dan berkembang di tanah. Pada kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal (20-30oC), telur akan menetas dalam 1-2 hari dan mengeluarkan larva rabditiform (L1) (Soedarmo et al., 2012; Haburchak dan Dhawan, 2014). Telur A. duodenale berukuran 56-60 mm x 36-40 mm dan telur N. americanus berukuran 64-76 mm x 36-40 mm (Soedarmo et al.,2012). Telur cacing kait berbentuk bujur dan mempunyai satu lapis dinding tipis. Larva rabditiform (panjang ±250 µm) dalam waktu 5- 10 hari akan mengalami dua kali perubahan dan akan menjadi larva filariform/ L3 (panjang 600µm) dan dapat bertahan hidup sampai 2 tahun di tanah yang lembab (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Haburchak dan Dhawan,
(37)
18
2014). Larva akan menembus kulit manusia (bisa juga termakan) dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena sampai ke jantung lalu ke alveoli paru dalam waktu 10 hari. Larva akan bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea dan faring. Larva akan tertelan serta turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo et al., 2012).
Gambar 6. Siklus hidup hookworm (CDC, 2013d)
Gejala dari nekatoriasis dan ankilostomiasis terbagi berdasarkan stadium yaitu stadium larva dan stadium dewasa. Stadium larva yaitu pada saat larva filariform menembus kulit, bakteri piogenik dapat ikut masuk menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption (cutaneous larva migrans) umumnya disebabkan larva cacing kait yang berasal dari hewan seperti kucing dan anjing, tetapi terkadang disebabkan oleh larva N. americanus dan A. duodenale. Sewaktu larva melewati paru dapat terjadi
(38)
19
pneumositis (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Cacing stadium dewasa dapat menyebabkan gejala tergantung pada spesies serta jumlah cacing, berat ringannya infeksi dan keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Pada fase intestinal awal , orang yang terinfeksi akan mengalami nyeri epigastrik, diare inflamasi atau gejala abdominal lainnya diikuti oleh eosinofilia (Longo et al., 2012). Infeksi cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah 0,03-0,05 ml/darah/cacing/hari, sedangkan A. duodenale 0,16-0,34 ml/ darah/ cacing/ hari. Bila penyakit berlangsung kronis akan timbul gejala anemia defisiensi zat besi, kehilangan protein (hipoprotenemia dan anarsaka) (Suriptiastuti, 2006).
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dan cacing dewasa dalam feses segar (Supali et al., 2008). Pada feses yang tidak segar mungkin telur sudah berubah menjadi larva rhabditiform (Longo et al., 2012). Telur N. americanus dan A. duodenale sulit dibedakan pada pemeriksaan mikroskopik (Hotez, 2011; Longo et al., 2012). Pengobatan bertujuan untuk menghilangkan cacing dewasa dengan obat anti helminth dan nutrisi tambahan untuk anak dengan defisiensi besi dan malnutrisi protein akibat infeksi cacing. Anti helminth seperti benzimidazole, mebendazole (100 mg 2x/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal) dan albendazole (400 mg dosis tunggal) sangat efektif untuk menghilangkan cacing dari usus. Preparasi besi dibutuhkan untuk mengkoreksi defisiensi besi yang berhubungan dengan infeksi cacing (Hotez, 2011).
(39)
20
2.2. Respon Imun Tubuh terhadap Infeksi cacing
Cacing merupakan parasit multiselular, memiliki masa hidup yang panjang dan tidak bisa ditelan oleh fagosit sehingga respon host terhadap infeksi cacing biasanya lebih kompleks dan kuat (Joprang dan Supali, 2008; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Reaksi tubuh untuk melawan infeksi helminth ditandai peningkatan IgE, eosinofil jaringan, mastosit dan sel CD4+ yang memproduksi sel Th2 (Sitcharungsi dan Sirivichayakul, 2013). Infeksi cacing akan menstimuli antigen presenting cell (APC) yang akan merangsang Th0 sehingga respons imun berkembang ke arah Th2. Aktivasi dari Th2 menyebabkan peningkatan sitokin seperti interleukin-4 (4 ), IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13 (Joprang dan Supali, 2008; Andiarsa et al., 2012; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014; Rusjdi, 2015). IgE diproduksi oleh sel B yang dirangsang oleh IL-4. Sitokin IL-5 merangsang perkembangan, diferensiasi dan aktivasi eosinofil (Joprang dan Supali, 2008; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Induksi poligonal IgE akan menghambat pengikatan antigen cacing dengan IgE spesifik ke sel mast atau basofil (Andiarsa et al., 2012). IgE yang akan berikatan dengan permukaan cacing diikat oleh eosinofil (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Hal ini juga disebabkan oleh banyaknya jumlah IgE yang berdampak pada reseptor pada permukaan sel mast menjadi jenuh (Andiarsa et al., 2013). Eosinofil yang sudah teraktivasi akan mensekresi granul, subtansi yang bersifat toksik untuk parasit (metabolit oksigen reaktif, protein alkilik, neurotoksin eosinofil, leukotrien, faktor pertumbuhan,
(40)
21
enzim) dapat merusak kutikula dari helminth (Zdravkovi et al., 2013). Infeksi cacing kronis menyebabkan modifikasi dari Th2 yang melibatkan Treg untuk menghasilkan IL-10 dan TGF- yang berperan sebagai anti inflamasi dan menghambat imunitas selular (Joprang dan Supali, 2008; Andiarsa et al., 2013; Rusjdi, 2015). Aktivitas leukotrien yang biasa menginduksi asma dan aktivitas inflamasi lainnya dihambat oleh IL-10 (Andiarsa et al., 2013). Infeksi dari parasit helminth dapat menyebabkan banyak efek pada vaksin, koinfeksi, alergen dan respon autoantigen pada manusia (Mcsorley dan Maizels, 2012).
Gambar 7. Respon Imun Terhadap Infeksi Cacing (Joprang dan Supali, 2008)
2.3. Teknik Pemeriksaan Tinja untuk Menegakkan Diagnosis Kecacingan
Pemeriksaan mikroskopik dari tinja (feses) terdiri dari dua pemeriksaan yaitu pemeriksaan kualitatif dan kuantiatif. Pemeriksaan kualitatif dapat
(41)
22
dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan secara natif (direct slide), pemeriksaan dengan metode apung, modifikasi merthiolat iodine formaldehyde (MIF), metode selotip (cellotape methode), metode konsentrasi, teknik sediaan tebal (cellophane covered thick smear technic/ teknik kato) dan metode sedimentasi formol ether (ritchie). Pemeriksaan kuantitatif dikenal dengan dua metode yaitu metode stoll dan metode kato katz (Rusmatini 2009).
Pemeriksaan secara natif (direct slide) cocok digunakan untuk infeksi berat tetapi pada infeksi ringan telur-telur cacing sulit ditemukan. Pemeriksaan ini dilakukan mencampurkan feses dengan 1-2 tetes NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2% lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Rusmatini, 2009). Metode ini bila dibandingkan dengan metode lain sangat cepat dipersiapkan dan murah. Namun, metode ini dapat tidak menemukan telur cacing kait bila konsentrasi terlalu sedikit, terlalu banyak debris atau terdapat lemak (Shahid et al., 2012).
Metode apung (floatation methode) digunakan untuk mendeteksi telur A. duodenale, N. americanus (metode terbaik), A. lumbricoides, T. trichiura, H.nana dan Taenia spp. Prinsip kerja dari metode ini berat jenis (BJ) telur yang lebih ringan daripada BJ larutan yang digunakan sehingga telur-telur terapung dipermukaan (Chairlan dan Lestari, 2011). Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan 3 gram tinja dengan 50 mL larutan floatasi (400 g NaCl, air 100 mL, gula 500g) pada beaker lalu diaduk. Hasil
(42)
23
suspensi tinja disaring pada beaker lainnya dan dituangkan pada tabung reaksi (10x12 mm). Taruh cover slip pada tiap tabung selama 20 menit, kemudian pindahkan secara cepat pada objek glass dan lihat telur di mikroskop (Ibidapo dan Okwa, 2008). Sensitivitas dan spesifisitas metode apung dengan menggunakan garam jenuh untuk mendeteksi telur cacing sebesar 44,44% dan 97,2%, sedangkan untuk pemeriksaan telur Trichuris trichiura memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75% dan 97,4% (Maharani dan Sofiana, 2014).
Modifikasi metode merthiolat iodine formaldehyde (MIF) menyerupai metode sedimentasi. Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing nematoda, trematoda, cestoda dan amoeba di dalam tinja (Rusmatini 2009). Metode selotip (cellotape methode) digunakan untuk identifikasi cacing E. vermicularis. Metode ini menggunakan plester plastik yang bening dan tipis dan dipotong dengan ukuran 2 x 1,5 cm yang ditempelkan pada lubang anus dan ditekan dengan ujung jari. Hasil diplester kemudian ditempelkan ke kaca objek dan dilihat dibawah mikroskop untuk melihat telur cacing (Rusmatini, 2009).
Metode konsentrasi sangat praktis dan sederhana. Prosedur pemeriksaan ini yaitu 1 gr tinja dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu tambahkan akuadest dan diaduk sampai homogen. Masukkan ke tabung sentrifusi dan sentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Larutan dibuang, sedimennya diambil dengan menggunakkan pipet pasteur lalu diletakkan diatas kaca
(43)
24
objek kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat dibawah di mikroskop. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sampai 2-3 kali (Rusmatini, 2009).
Metode sedimentasi formol ether (ritchie) yaitu metode dengan prinsip gaya sentrifugal dapat memisahkan supernatan dan suspensi sehingga parasit dapat terendapkan (Chairlan dan Lestari, 2011). Metode ini dilakukan dengan cara 1 gram tinja diemulsikan dengan 7 mL 10% formol saline dan diamkan selama 10 menit untuk fiksasi. Kemudian, disaring dengan kawat kasa, hasil filtrasi ditambahkan ke 3 mL eter dan sentrifusi 200 rpm selama 2 menit. Hasil sentrifusi lalu diamkan, buang bagian supernatan dan sedimen diperiksa (Parameshwarappa et al., 2012). Metode sedimentasi kurang efisien dalam mencari macam telur cacing bila dibandingkan dengan metode floatasi (Rusmatini, 2009).
Teknik harada mori atau metode kultur kertas saring dilakukan dengan cara menempatkan feses segar pada kertas saring yang sudah dibasahi dengan air dan di inkubasi selama 10 hari pada suhu 30oC. Endapan dari air dipantau tiap hari untuk melihat kehidupan dari larva (Requena-Méndez et al., 2013). Keuntungan dari metode ini adalah tidak membutuhkan material organik tambahan, sensitif, sederhana dan ekonomis. Kekurangan dari metode ini adalah kultur harus dipantau secara dekat untuk menghindari desikasi akibat evaporasi (Reiss et al., 2007; Shahid et al., 2012).
(44)
25
Pemeriksaan kuantitatif terdiri dari metode stoll dan katokatz. Metode stoll menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Cara ini cocok untuk pemeriksaan infeksi berat dan sedang (Rusmatini, 2009). Pemeriksaan ini kurang baik untuk infeksi ringan (Rusmatini, 2009). Metode katokatz thick smear direkomendasikan oleh WHO karena metode ini simple dan mudah digunakan (Levecke et al., 2011). Metode katokatz sangat sensitif untuk mendeteksi A. lumbricoides (Levecke et al., 2011). Sensitivitas dan spesifisitas metode katokatz untuk A. lumbricoides (96,9%, 96,1%), cacing kait (65,2%,93,8%) dan T. Trichiura (91,4%, 94,4%) (Tarafder et al., 2010). Rentang waktu dari pengambilan sampel sampai pemeriksaan mikroskopik adalah 24 jam-20 hari dengan rata-rata waktu 4 hari (Tarafder et al., 2010). Telur cacing kait akan menghilang jika rentang waktu dari pengambilan sampel dan pemeriksaan terlalu lama (> 30 menit) (Levecke et al., 2011). Telur cacing kait akan sulit dibedakan dengan telur Schistosoma jika feses tidak diperiksa selama 4 jam dari pengambilan sampel.
2.4. Alergi
Penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik dan alergi makanan merupakan penyakit yang umum dan prevalensi penyakit ini meningkat dalam 30 tahun terakhir (Leung, 2011). Penyakit atopik di definisikan sebagai penyakit yang diperantai Ig E yang timbul secara spontan pada orang dengan predisposisi herediter untuk menghasilkan antibodi Ig E berlebihan dan memiliki respon sistem saraf autonom yang abnormal (Williams, 2006).
(45)
26
Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi dari kulit bersifat kronik, berulang, pruritik dan mengenai 10% anak dan berhubungan dengan peningkatan serum Ig E (Yeung, 2011; Thomsen, 2014). Penyakit ini jarang timbul pada anak usia kurang dari 2 bulan , tetapi 60% timbul sebelum usia 1 tahun dan 85% timbul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 3:2 (Williams, 2006). Interaksi antara genetik, lingkungan dan faktor imunologi berperan terhadap patogenesis dermatitis atopik. Dermatitis atopik (DA) cenderung diturunkan dan lebih dari seperempat anak dari seorang ibu penderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama (Sularsito dan Djuanda, 2013). Kromosom yang berpengaruh adalah kromosom 5q31-33 yang mengandung kumpulan famili gen sitokin seperti 3, 4, 5, IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi DA (Yeung, 2011; Sularsito dan Djuanda, 2013).
Pada kulit penderita dengan dermatitis atopik terjadi peningakatan T-helper 2 (Th2) dibandingkan dengan kulit penderita tanpa dermatitis atopik. Pada lesi kulit dermatitis atopik akut terdapat peningkatan interleukin (IL)-4 dan IL-13 (sitokin Th2), sedangkan pada lesi dermatitis atopik kronik terdapat peningkatan ekspresi IL-5 (sitokin Th2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), IL-12 dan interferon (IFN)- (sitokin Th-1). Lesi dermatitis atopik kronik juga terdapat infiltrasi eosinofil yang lebih besar dibandingkan dengan penderita tanpa dermatitis atopik (Yeung, 2011;
(46)
27
Sularsito dan Djuanda, 2013; Schwartz, 2015). Hygiene hypotesis juga berperan dalam pembentukan dermatitis atopik. Hubungan yang berkebalikan didapatkan diantara infeksi helminth dan dermatitis atopik (Schwartz, 2015).
Lesi dermatitis atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher dan jarang dimuka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dan dapat terjadi erosi, likenifikasi dan infeksi sekunder. Penderita sensitif terhadap wol, bulu kucing, ayam, anjing dan burung (Sularsito dan Djuanda, 2013).
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Irawati et al., 2012). Rinitis alergi biasanya terjadi pada anak-anak dan disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap berbagai macam alergen di mukosa hidung. Sensitisasi terhadap alergen diluar ruangan dapat terjadi rhinitis alergi pada anak yang berumur lebih dari dua tahun. Sensitasi terhadap di dalam ruangan sering terjadi pada anak yang berumur kurang dari dua tahun. Alergen yang paling sering adalah debu, kecoa, jamur, bulu binatang dan pollen (Becker, 2015).
(47)
28
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu reaksi alergi fase cepat (kontak alergen-1 jam setelah kontak) dan reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (Irawati et al., 2012). Jembatan molekul IgE dan alergen pada permukaan sel mast menginisiasi respon awal yang ditandai dengan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin E2 dan leukotrien sistenil. Tempat inflamasi di mukosa nasal yaitu kelenjar mukus, saraf, pembuluh darah dan sinus venosus (Milgrom dan Leung, 2011). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga meningkatkan sekresi (hipersekresi) dari kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga terjadi rinore (Irawati et al., 2012). Reaksi alergi fase lambat diikuti oleh infiltrasi cytokine-secreting dari sel T dan eosinofil dengan sekresi eosinofil-derived-mediator protein dasar utama, eosinofil, protein kationik dan leukotrien yang menyebabkan kerusakan epitel (Milgrom dan Leung, 2011).
Asma adalah kondisi inflamasi kronik, hiperresponsif, perubahan struktural kronik (airway remodelling) dari jalan nafas menyebabkan obstruksi jalur udara (Liu et al., 2011; Papadopoulos et al., 2012). Penyebab utama dari inflamasi jalan nafas adalah alergen (debu, polen, hewan, udara dingin), stress, polusi, asap rokok , latihan, perubahan emosi tiba-tiba dan infeksi
(48)
29
virus (Mullin et al., 2007; Levin dan Weinberg, 2011; Papadopoulos et al., 2012). Inflamasi, penyempitan dan hiperresponsif jalan nafas merupakan hasil dari interaksi sel inflamasi (sel mast, eosinofil, makrofag, limfosit, makrofag, sel dendritik) dan sel struktural (sel epitel dan sel otot polos) yang memproduksi sitokin, kemokin, leukotrin sistenil (Papadopoulos et al., 2012). Inflamasi jalan nafas menyebabkan bronkospasme rekuren atau persisten dan menyebabkan gejala mengi, susah nafas, dada sesak dan batuk yang biasanya pada malam hari atau pada pagi hari (Sharma, 2014).
Asma pada anak terbagi dalam dua tipe yaitu 1) recurrent wheezing pada anak yang lebih muda dan biasanya disebabkan oleh infeksi virus di saluran pernafasan dan 2) asma kronik yang biasanya pada anak yang lebih tua dan dewasa. Bentuk asma yang ketiga adalah emerging type yang biasa terjadi pada wanita obesitas dan pada masa awal pubertas (11 tahun) (Liu et al., 2011). Recurrent wheeze pada anakterbagi dalam tiga bentuk yang berbeda yaitu: 1) transient wheezing yaitu anak yang memiliki wheeze pada 2-3 tahun awal kehidupan, tetapi tidak ada gejala wheeze setelah usia 3 tahun, 2) non-atopic wheezing yang biasanya dicetuskan oleh infeksi virus dan berulang pada akhir masa kanak-kanak dan 3) asma persisten yaitu wheezing yang berhubungan dengan a) manifestasi klinis dari atopi (rinitis alergi, eksema, konjungtivitis, alergi makanan), eosinofilia darah dan peningkatan dari total immunoglobulin E (IgE), b) sensitasi dari mediasi IgE spesifik kepada makanan pada infant dan anak yang lebih muda, c) riwayat asma pada orang tua dan d) sensitisasi dari alergen inhalan sebelum umur
(49)
30
tiga tahun dan 4) severe intermitten wheezing yaitu episode wheezing akut infrekuen dengan morbiditas yang minimal dan karakterisitik atopi (Bacharier et al., 2008).
Cara penegakkan diagnosis asma yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis tanyakan episode rekuren dari batuk, wheeze, susah bernafas, sesak nafas, pemicu seperti stimulus yang berbeda seperti iritan (dingin dan rokok), alergen (hewan, polen), infeksi respirasi, latihan, batuk setelah menangis dan tertawa yang biasanya timbul pada malam hari dan pagi hari. Tanyakan juga tentang frekuensi, keparahan, riwayat atopi, riwayat asma dalam keluarga, kelelahan, absensi sekolah dan pengurangan intensitas serta frekuensi aktivitas fisik (Bacharier et al., 2008; Papadopoulos et al., 2012). Pemeriksaan fisik yaitu berupa aukultasi dada dan melihat tanda dari penyakit atopi lainnya seperti rinitis dan eksema (Papadopoulos et al., 2012). Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru seperti spirometri yang merupakan pemeriksaan baku emas untuk penyakit asma. Diagnosis asma juga dapat didukung dengan melihat respon dari pemberian bronkodilator inhalasi berupa perbaikan dari nilai FEV1 minimal 12%, 200 mL atau 10% dari
prediksi (Papadopoulos et al., 2012; Nataprawira, 2013).
2.5. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth dengan Alergi
Penyakit alergi lebih sering ditemukan di negara industri dibandingkan negara tropis yang endemis penyakit cacing usus (Joprang dan Supali,
(50)
31
2008). Hal ini dapat dihubungkan dengan hygiene hypotesis yaitu kurangnya paparan tubuh terhadap agen infeksi termasuk infeksi parasit akan menyebabkan sistem imun tidak berkembang secara sempurna pada polarisasi Th1 dan terjadi peningkatan polarisasi Th2 yang menyebabkan peningkatan prevalensi alergi. Polarisasi Th2 pada infeksi cacing usus sama dengan polarisasi Th2 pada penyakit alergi (Sitcharungsi dan Sirivichayakul, 2013; Rusjdi, 2015).
Infeksi cacing dapat memberikan efek proteksi terhadap alergi dengan beberapa mekanisme seperti saturasi sel mast, penghambatan oleh IgG4 dan modifikasi Th2 (Rusjdi, 2015). Pada mekanisme saturasi sel mast atau IgE blocking hypothesis yaitu ketika terdapat infeksi helminth maka terjadi peningkatan IgE poliklonal yang tidak spesifik dan menempel pada reseptor Fcϵ sel mast. Penempelan IgE poliklonal menyebabkan penghambatan penempelan IgE spesifik dari alergen pada sel mast, degranulasi histamin dan reaksi immediate hypersensitivity (Yazdanbakhsh et al., 2002; Rusjdi, 2015).
Infeksi parasit dikenal sebagai infeksi asimptomatik yang berkorelasi dengan peningkatan jumlah IgG4 (isotipe dari Th-2 depedent). Antibodi IgG4 akan menghambat degranulasi IgE-mediated dari sel efektor sehingga menekan reaksi alergi. Antibodi ini menetralkan molekul alergen sebelum alergen tersebut berinteraksi dengan IgE yang terikat pada sel mast dan basofil (Yazdanbakhsh et al., 2002; Rusjdi, 2015). Pada infeksi cacing
(51)
32
kronis terjadi hiporesponsif sel T yang menyebabkan induksi antigen presenting cell (APC) untuk mengaktivasi sel Treg yang akan menghasilkan sitokin anti inflamasi yaitu IL-10 dan TGF- . Sitokin anti inflamasi ini dapat menghambat inflamasi alergi dan imunitas seluler. Tingginya kadar IL-10 akan meredam proses inflamasi jaringan dan kontraksi otot polos yang berakibat penghambatan reaksi hipersensitivitas pada saluran nafas (Yazdanbakhsh et al, 2002; Joprang dan Supali, 2008; Rusjdi, 2015).
Gambar 8. Perbedaan respon Th2 pada anak dengan paparan patogen rendah dan tinggi (Yazdanbakhsh et al., 2002; Rusjdi, 2015)
Empat faktor yang dapat mempengaruhi efek kecacingan terhadap alergi yaitu waktu dan lama infeksi, genetik, jenis cacing dan intensitas infeksi. Infeksi baru dan infeksi kronik akan menginduksi efek modulator imun
(52)
33
yang berperan dalam penekanan inflamasi alergi akibat alergen parasit atau non parasit. Infeksi cacing berat akan lebih memberikan efek proteksi terhadap alergi dibandingkan infeksi cacing ringan terutama pada infeksi helminth jaringan (Cooper, 2009; Smits et al., 2010; Rusjdi, 2015). Infeksi berat akan menginduksi supresi imun, sedangkan infeksi ringan akan menyebabkan penyakit alergi (Smits et al., 2010). Genetik dari masing-masing individu juga sangat berperan misalnya individu yang secara genetik rentan terhadap penyakit atopik akan cenderung membentuk respon alergi terhadap alergen.
Gambar 9. Pengaruh helminth pada respon imun terhadap alergen (Fallon dan Mangan, 2007)
Helminth yang berbeda juga akan memberikan efek yang berbeda pada penyakit alergi dan risiko atopi (Cooper, 2009; Smits et al., 2010; Rusjdi, 2015). Hubungan soil transmitted helminth dengan penyakit asma berbeda
(53)
34
tiap spesies. Telur dari A. lumbricoides akan meningkatkan prevalensi asma, T.trichiura tidak memberikan efek terhadap asma dan telur dari cacing kait menurunkan prevalensi asma. Inflamasi langsung pada saluran nafas yang disebabkan oleh migrasi larva dan respon Th2 inflamatory pada saluran nafas menyebabkan peningkatan prevalensi asma akibat askariasis (Cooper, 2009).
2.6. Kuesioner ISAAC
ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood) merupakan organisasi dunia yang dibentuk tahun 1991 untuk memfasilitasi penelitian tentang asma, rinitis alergi dan eksema. Tujuan dari ISAAC adalah mendeskripsikan prevalensi dan keparahan dari asma, rinitis serta ekzema pada anak yang tinggal di daerah yang berbeda dan membandingkannya dengan negara lainnya, menyediakan langkah-langkah dasar untuk menilai prevalensi dan keparahan dari penyakit tersebut dan menyediakan kerangka untuk penelitian etiologi seperti genetik, gaya hidup, lingkungan dan faktor perawatan medik yang berpengaruh dalam penyakit ini (ISAAC Steering Comittee, 1993). Dalam pelaksanaanya, organisasi ISAAC melakukan tiga tahap. Tahap pertama digunakan untuk mendeskripsikan prevalensi dan keparahan dari penyakit asma, rinitis alergi dan eksema pada daerah yang berbeda dan membandingkannya.Tahap kedua digunakan untuk menyelidiki etiologi penyakit serta faktor protektif penyakit alergi yang ditemukan pada tahap pertama . Tahap ketiga adalah pengulangan dari tahap 1 (Ellwod, 2005; ISAAC, 2013).
(54)
35
Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan ISAAC
Pertanyaan Kuesioner Interpretasi
Pernah mengalami gejala berbangkis-bangkis (bersin), ingusan atau hidung mampet meskipun tidak sedang flu
Pernah mengalami rinitis alergi
Pernah mengalami gejala berbangkis-bangkis (bersin), ingusan atau hidung mampet meskipun tidak sedang flu dalam 12 bulan terakhir
Sedang mengalami rinitis alergi
Pernah mengalami mengi atau nafas berbunyi ngik
Pernah mengalami Asma
Pernah mengalami mengi atau nafas berbunyi ngik dalam 12 bulan terakhir
Sedang mengalami Asma
Pernah mengalami kemerahan yang gatal di kulit hilang timbul dalam jangka waktu 6 bulan
Pernah mengalami eksim
Pernah mengalami kemerahan yang gatal di kulit hilang timbul dalam jangka waktu 6 bulan 12 bulan terakhir
Sedang mengalami eksim
Sumber : ( Phathammavong et al., 2008; Kholid, 2013)
Populasi yang diteliti oleh ISAAC di bagi menjadi dua kelompok umur anak yaitu kelompok usia 13-14 tahun dan 6-7 tahun. Usia 6-7 tahun dipilih untuk memberikan refleksi dari anak dengan usia yang lebih muda ketika asma sering terjadi dan tingkat kejadian asma biasanya tinggi. Usia anak yang lebih tua juga dipilih untuk merefleksikan periode dimana tingkat mortalitas asma sering terjadi. Akan tetapi, pertanyaan yang terdapat pada kuesioner ISAAC dapat juga digunakan pada usia 5-19 tahun dengan nilai prediksi positif mencapai 80% dan sensitivitas berkisar 44-94% (ISAAC Steering Committee, 1993). Penelitian Karla Gorozave-Car et al. (2013) tentang kuesioner ISAAC versi meksiko menunjukkan bahwa kuesioner ISAAC
(55)
36
kurang sensitif (35,2%) dan lebih spesifik (93,3%) dibanding dengan gold standard, tetapi sangat berguna untuk penelitian epidemiologi (Gorozave-Car et al., 2013).
2.7. Kondisi Sanitasi Kabupaten Lampung Selatan
Kondisi sanitasi Kabupaten Lampung Selatan digambarkan dalam beberapa aspek yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan promosi hygiene, pengelolaan air limbah domestik, pengelolaan persampahan, pengelolaan drainase lingkungan serta pengelolaan komponen terkait sanitasi (air bersih, air limbah industri rumah tangga dan limbah medis). Aspek PHBS dan promosi hygiene dalam tatanan rumah tangga adalah perilaku rumah tangga yang membuang air besar di jamban dan cuci tangan pakai sabun di lima waktu penting. Perilaku rumah tangga membuang air besar di jamban di Kabupaten Lampung Selatan yaitu sebesar 73%, sedangkan kesadaran ibu membuang tinja bayi ke dalam jamban masih sangat rendah yaitu hanya 30% (70% sembarangan di kebun, sungai dan lain-lain). Perilaku cuci tangan pakai sabun di Kabupaten Lampung Selatan cukup tinggi 78%. Aspek PHBS dan promosi hygiene di dalam tatanan sekolah yang dinilai pada Kabupaten Lampung Selatan yaitu berupa kampanye cuci tangan pakai sabun. Kesadaran dan kemauan murid untuk cuci tangan sebelum jajan dan makan di Kabupaten Lampung Selatan masih sangat rendah dan hampir semua sekolah belum mempunyai sarana sanitasi yang memadai (Pemda Kabupaten Lampung Selatan, 2012).
(56)
37
2.8. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat digambarkan kerangka teori sebagai berikut:
Keterangan:
: Menghambat
Gambar 10. Kerangka Teori(Yazdanbakhsh et al., 2002; Joprang dan Supali, 2008; Rusjdi, 2015)
Infeksi STH Kronis
Modifikasi respon T helper (Th) 2 atau
regulatory network
IgE poliklonal
Antibodi IgG4
IL-10 TGF-
Hiporresponsif sel T
T-Reg
Respon IgE terhadap alergen
Reaksi alergi Penempelan
Ig E Spesifik
Degranulisasi histamin
(57)
38
2.9. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori peneliti ingin menganalisis hubungan antara variabel bebas (Infeksi soil transmitted helminth) dengan variabel terikat (risiko kejadian alergi pada anak) yang digambarkan sebagai kerangka konsep pada gambar 11.
Variabel bebas Variabel Antara Variabel Terikat
Gambar 11. Kerangka Konsep Penelitian
2.10. Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 di SD Negeri 1 Krawangsari Natar, Lampung Selatan.
Waktu dan lama infeksi STH
Genetik
Jenis Cacing
Intensitas Infeksi STH Infeksi soil
transmitted helminth (STH)
Risiko kejadian alergi pada anak
(58)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional, yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu dengan tujuan untuk mencari hubungan antara variabel bebas (infeksi soil transmitted helminth (STH) terhadap variabel terikat (risiko kejadian alergi pada anak).
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1.Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2015.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan, sedangkan pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
(59)
40
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi target penelitian adalah siswa kelas 1 sampai 4. Populasi terjangkau adalah siswa SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan kelas 1-4.
3.3.2. Sampel Penelitian
Sampel menurut Notoadmojo (2010) adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini siswa-siswi SD Negeri 1 Krawangsari kelas 1-4, Kecamatan Natar, Lampung Selatan yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk mendapatkan jumlah sampel minimal maka digunakan rumus sampel seperti di bawah ini:
�= ��
2.�.�(1− �)
�2. � −1 +��2 .�(1− �)
� = 1,64
2. 56.0,6(0,4)
0,12. 56−1 + 1,64 2. 0,6(0,4)
� =36,1536
1,196
�= 31
Keterangan:
n = jumlah sampel N= total populasi
Zα= 1,64 untuk penyimpangan 0,1 p=Proporsi dalam populasi0,6
(60)
41
Berdasarkan rumus tersebut dan kemungkinan drop out sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 34 subjek penelitian. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah total sampling dikarenakan jumlah populasi hanya 56 subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian harus berada dalam kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi:
Siswa dan orang tua yang bersedia mengikuti penelitian ditandai dengan penandatanganan form inform consent oleh orang tua b. Kriteria eksklusi:
Data tidak lengkap (tidak mengembalikan pot tinja atau tidak mengumpulkan kuesioner)
Siswa serta orang tua yang mengundurkan diri ketika penelitian.
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah infeksi soil transmitted helminth (STH) pada anak kelas 1-4 di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
3.4.2. Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
(61)
42
3.5. Definisi Operasional
Tabel 2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Bebas
Infeksi soil transmited helminth
(STH)
Infeksi STH yang
dibuktikan dengan menemukan telur cacing pada pemeriksaan dengan metode apung Mikroskop Object glass Cover glass Tabung Larutan NaCl jenuh Ose Melihat telur cacing STH di
mikroskop
Positif
Ditemukan telur cacing pada tinja anak
Negatif
Tidak ditemukan telur cacing pada tinja anak Nominal Variabel Terikat Risiko kejadian alergi pada anak
Anak-anak yang sedang atau pernah mengalami penyakit alergi (rinitis alergi, eksim dan asma) berdasarkan interpretasi kuesioner ISAAC Kuesioner ISACC dalam bahasa Indonesia Mengisi kuesioner ISAAC dalam bahasa Indonesia secara terbimbing Positif Bila terdapat gejala dari penyakit alergi (asma, rinitis alergi, dermatitis atopik) berdasarkan kuesioner ISAAC Negatif
Bila tidak terdapat gejala dari penyakit alergi berdasarkan kuesioner ISAAC Nominal
(62)
43
3.6. Pengumpulan Data
3.6.1. Jenis Data
Pengambilan data berupa data primer berupa wawancara langsung dan tidak langsung pada orang tua responden dan mengambil sampel tinja responden di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.
3.6.2. Alat dan bahan penelitian
Alat dan bahan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, lembar identitas dan data responden, kuesioner ISAAC, pot tinja, mikroskop, formalin 10%, cover glass, tabung reaksi, tabung, pengaduk, larutan natrium klorida jenuh.
3.7. Cara Pengambilan Data
Pengambilan data berupa identitas responden, wawancara langsung dengan kuesioner ISAAC dan sampel tinja. Adapun proses pengambilan data meliputi:
a. Permohonan izin mengambil data responden kepada komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
b. Permohonan izin mengambil data responden kepada kepala sekolah SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan
c. Melakukan pre-survey penelitian berupa pengumpulan data jumlah siswa dan usia siswa
(63)
44
d. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian kepada orang tua siswa
e. Informed Consent dan Pengisian form Informed Consent oleh orang tua siswa
f. Pengisian kuesioner secara terbimbing oleh orang tua siswa dengan menggunakan kuesioner ISAAC bahasa indonesia yang digunakan untuk mengidentifikasi alergi pada anak
g. Membagikan pot untuk sampel tinja dan penginstruksian untuk mengambil tinja untuk tidak terkontaminasi air dan urin, menyimpan pada tempat yang sejuk dan mencatat waktu pengambilan tinja (Andiarsa et al., 2013)
h. Pengambilan tinja dan sampel tinja diberi formalin 10%
i. Membuat larutan NaCl jenuh dan memeriksa sampel tinja di mikroskop dengan metode apung di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
j. Menganalisis data yang telah diperoleh
k. Melakukan uji statistik terhadap variabel yang diteliti dengan menggunakan perangkat lunak komputer
l. Membaca dan menginterprestasikan hasil uji statistik.
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah menggunakan perangkat
(64)
45
lunak komputer. Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah :
a. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
b. Data entry, memasukkan data dalam ke dalam komputer.
c. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke komputer.
d. Output komputer, hasil analisis yang telah dilakukan komputer kemudian dicetak.
3.8.2. Analisis Data
Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program software statistik pada komputer dimana akan dilakukan dua macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi setiap variabel penelitian. Variabel yang dianalisis yaitu infeksi soil transmitted helminth sebagai variabel bebas dan risiko kejadian alergi sebagai variabel terikat.
2. Analisis Data Bivariat
Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik. Uji statistik yang digunakan dalam
(65)
46
penelitian ini adalah uji Chi Square (χ2) untuk menjelaskan hubungan antara infeksi soil transmitted helminth dengan risiko kejadian alergi pada anak. Perhitungan oods ratio (OR) digunakan untuk mengetahui besar risiko dan dihitung dengan menggunakan tabel 2X2.
3.9. Alur Penelitian
Adapun alur penelitian dari penilitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 13. Alur Penelitian
Survei Pendahuluan dan Pembuatan Proposal
Seminar Proposal
Pengajuan ethical clearance
Permohonan izin untuk mengambil data subjek penelitian
Mengisi kuesioner dengan wawancara pada orang tua responden dan memberikan pot tempat tinja
Mengambil sampel tinja dan melakukan pemeriksaan tinja dengan menggunakan metode apung/ floatation
Menentukan sampel sesuai dengan kriteria inklusi
Pengolahan data
Analisis data
(1)
ISAAC. 2013. Aims of ISAAC. International Study of Asthma and Allergies in Childhood. Tersedia dari: http://isaac.auckland.ac.nz/story/background/aims.php. [Diakses 11 Juli 2015].
ISAAC Steering Committee. 1993. International Study of Asthma and allergies in Childhood Manual Second Edition. Auckland: ISAAC. Hlm 1-36
ISAAC Sterring Committee. 2000. Phase Three Manual International Study of Asthma and Allergies of Childhood:15-37.
Joprang FS. dan Supali T. 2008. Peran Cacing Usus dalam Menekan Atopi. Majalah Kedokteran FK UKI. XXVI(1):17–23.
Kaliappan SP, George S, Francis MR, Kattula D, Sarkar R, Minz S et al. 2013. Prevalence and clustering of soil-transmitted helminth infections in a tribal area in southern India. Trop Med Int Health. 18(12):1452–1462.
Kazura JW dan Dent AE. 2011. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. United States Of America: Elsevier Ltd. Hlm. 1221–1222.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:2269/Menkes/Per/XI/2011: Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kholid Y. 2013. Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Rinitis Alergi Pada Usia 13-14 Tahun di Ciputat Timur dengan Menggunakan Kuesioner International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) Tahun 2013 [Skripsi]. Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Leung DYM. 2011. Allergy and the Immunologic Basis of Atopic Disease. Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 742–745.
Levecke B, Behnke JM, Ajjampur SSR, Albonico M, Ame SM, Charlier J et al. 2011. A Comparison of the Sensitivity and Fecal Egg Counts of the McMaster Egg Counting and Kato-Katz Thick Smear Methods for Soil-Transmitted Helminths. PLoS Neg Trop Dis. 5(6).
Levin M dan Weinberg E. 2011. Childhood asthma. S Afr Fam Pract. 53(4): 333– 335.
(2)
Li F, Zhou Y, Li S, Jiang F, Jin X, Yan C et al. 2011. Prevalence and risk factors of childhood allergic diseases in eight metropolitan cities in China : A multicenter study. BMC Public Health. 11(1):437.
Liu AH, Spahn JD. dan Leung DYM. 2011. Childhood Asthma. Dalam: M. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 760–770.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. 2012. Chapter 217. Intestinal Nematode Infection. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition.New York: McGraw Hill
Maharani AP dan Sofiana L. 2014. Validitas metode apung pemeriksaan kecacingan pada anak sekolah dasar. Medika Respati. 9(4):1–9.
Mcsorley HJ dan Maizels RM. 2012. Helminth Infections and Host Immune Regulation. Clin Microbiol Rev. 25(4):585–608.
Menzies SK, Rodriguez A, Chico M, Sandoval C, Broncano N, Guadalupe I et al. 2014. Risk Factors for Soil-Transmitted Helminth Infections during the First 3 Years of Life in the Tropics; Findings from a Birth Cohort. PLoS Neg Trop Dis. 8(2).
Milgrom H dan Leung DYM. 2011. Allergic Rhinitis. Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 759–760.
Mullin R, Cook M, Douglass J, Mallon D, Smith MJ, Wong M. 2007. The economic impact of allergic disease in Australia: not to be sneezed at, Australia. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA).
Nataprawira HMD. 2013. Diagnosis Asma Pada Anak. Dalam: N. N. Rahajoe, B. Supriyatno dan D. B. Setyanto, eds. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.114–115.
Nency YM. 2005. Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi Pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic, Gern J, Lemanske R et al. 2012. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy: Allergy. 67(8):976–997.
Parameshwarappa K, Chandrakanth C dan Sunil B. 2012. The Prevalence of Intestinal Parasitic Infestations and the Evaluation of Different Concentration Techniques of the Stool Examination. J Clin Diagn Res. 6(7):1188–1191.
(3)
Paramita OD, Harsoyo N dan Setiawan H. 2013. Hubungan Asma, Rinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan IgE Spesifik Anak Usia 6-7 Tahun. Sari Pediatri. 14(6):391–397.
Patel SS dan Kazura JW. 2012. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 1155–1159.
PATH. 2010. New diagnostic tests for soil-transmitted helminthiasis, Seattle, USA:1-2.
Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Lampung Selatan. 2012. Buku Putih Sanitasi Program Percepatan Pembangunan Kabupaten Lampung Selatan. Lampung Selatan: Tim Penyusun Pokja Sanitasi Kabupaten Lampung Selatan. Pemda Kabupaten Lampung Selatan.
Phathammavong O, Ali M, Phengsavanh A, Xaysomphou D, Odajima H, Nishmia S et al. 2008. Prevalence and potential risk factors of rhinitis and atopic eczema among schoolchildren in Vientiane capital, Lao PDR: ISAAC questionnaire. BioSci Trends. 2(5):193–199.
Pols DHJ, Wartna JB, Van Alphen EI, Moed H, Bindels PJE, Rasenberg N. 2015. Interrelationships between Atopic Disorders in Children : A Meta-Analysis Based on ISAAC Questionnaires. PLoS ONE. 10(7):1–15.
Prevatt N. 2011. Soil Transmitted Helminths. Atic Newsletter. 18(1): 1–3.
Reiss D, Harrison LM, Bungiro R dan Capello M. 2007. Short report: An agar plate method for culturing hookworm larvae: Analysis of growth kinetics and infectivity compared with standard coproculture techniques. Am J Trop Med Hyg. 77(6):1087–1090.
Requena-Méndez A, Chiodini P, Bisoffi Z, Buonfrate D, Gotuzzo E, Munoz J. 2013. The Laboratory Diagnosis and Follow Up of Strongyloidiasis: A Systematic Review. PLoS Neg Trop Dis. 7(1):1–10.
Ridley JW. 2012. Intestinal Nematode. Dalam: Parasitology for medical and clinical laboratory professionals. New York: Delmar Cengage Learning. hlm. 139–150.
Rusjdi SR. 2015. Tinjauan Pustaka Infeksi Cacing dan Alergi. JKA. 4(1):322– 325.
Rusmatini T. 2009. Teknik Pemeriksaan Cacing Parasitik. Dalam: D Natadisastra dan R Agoes, penyunting. Parasitologi kedokteran:ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta: EGC. hlm. 383–386.
(4)
Sanchez-Lerma B, Morales-chirivella FJ, Peñuelas I, Guerra CB, Lugo FM, Aguinaga-Ontoso I et al. 2009. High Prevalence of Asthma and Allergic Diseases in Children Aged 6 and 7 Years From the Canary Islands : The International Study of Asthma and Allergies in Childhood. J Investig Allergol Clin Immunol.19(5):383–390
Schwartz RAMMP. 2015. Pediatric Dermatitis Atopic. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/911574-overview#showall. [Diakses 12 Juli 2015].
Shahid SB, Chowdhury A, Shamsuzzaman SM dan Mamun KZ. 2012. Identification of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture. Bangladesh J Med Microbiol. 4(2):3–4.
Sharma GD. 2014. Pediatric Asthma. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1000997-overview#showall. [Diakses 10 Juli 2015].
Shoff W dan Shoff C. 2015. Pediatric Ascariasis. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview#a4 [Diakses 18 Agustus 2015].
Sitcharungsi R dan Sirivichayakul C. 2013. Allergic diseases and helminth infections. Pathog Glob Health. 107(3):110–115.
Smits HH, Everts B, Hartgers FC dan Yazdanbakhsh M. 2010. Chronic helminth infections protect against allergic diseases by active regulatory processes. Curr Allergy Asthma Rep. 10(1):3–12.
Soedarmo SSP, Garna, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2012. Penyakit Infeksi Parasit. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Hlm. 370–384.
Suchdev PS, Davis SM, Bartoces SM, Ruth LJ, Worrel CM, Kanyi H et al. 2014. Soil-Transmitted Helminth Infection and Nutritional Status Among Urban Slum Children in Kenya. J Trop Med. 90(2):299–305.
Sularsito SA dan Djuanda S. 2013. Dermatitis. Dalam: APD. dr. Djuanda, M. dr. Hamzah, dan SPD. dr Aisah, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 136–147.
Supali T, Margono SS dan Abidin SAN. 2008. Nematoda Usus. Dalam: I. Sutanto et al., penyunting. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 6–24.
Suriptiastuti. 2006. Infeksi soil-transmitted helminth : ascariasis , trichiuriasis dan cacing tambang. Universa Medicina. 25(2).
(5)
Tarafder M, Carabin H, Joseph L, Balolong E, Ovelda K, McGarvey ST. 2010. Estimating the sensivity and specificity of kato-katz stool examination technique for detection hookworms, Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura in humans in the absence of a “gold standard.” Int J Parasitol. 40(4):399–404.
Thomsen SF. 2014. Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment. ISRN Allergy. 2014:1–7
USAID’s NTD Program, 2014. Roundworm: Ascariasis. Tersedia dari: http://www.neglecteddiseases.gov/target_diseases/soil_transmitted_helminthiasis/ roundworm/index.html [Diakses 10 Juli 2015].
World Health Organization (WHO). 2011. Manual of Basic Techniques for a Health Laboratory. Alih bahasa: Chairlan., Lestari, E. edisi Bahasa Indonesia: AA Mahode penyunting. Pedoman Teknik Dasar untuk Laboratorium Kesehatan Edisi ke 2. Jakarta: EGC.Hlm. 103-150
World Health Organization (WHO). 2012. Deworming to combat the health and nutritional impact of soil-transmitted helminths. Tersedia dari: http://www.who.int/elena/titles/bbc/deworming/en/index.html. [Diakses 06 Juli 2015].
World Health Organization (WHO). 2015a. Intestinal worms. Tersedia dari: http://www.who.int/intestinal_worms/more/en/. [Diakses 06 Juli 2015].
World Health Organization (WHO). 2015b. Soil-transmitted helminth infections fact sheet. Tersedia dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/. [Diakses 06 Juli 2015].
Wijaya H, Irsa L, Supriatmo, Loebis S dan Evalina R. 2014. Total Serum IgE levels in soil-transmitted helminth infected children with atopy symptoms. Paediatr Indones. 54(3): 149–154.
Williams LW. 2006. Dermatitis Atopik. Dalam: A. M. Rudolph, J. I. E. Hoffman, dan C. D. Rudolph, penyunting. Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 1. Edisi 20. Jakarta: EGC. Hlm. 526–530.
Yazdanbakhsh M, Kremsner PG. dan Ree RV. 2002. Allergy , Parasites , and the Hygiene Hypothesis. Science. 296:490–494.
Yeung DY. 2011. Atopic Dermatitis (Atopic Eczema). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. Hlm. 774–778.
Zdravkovi D, Kostic J, Radovic J, Kostic A, Floranovic MP, Petrovic AR et al. 2013. Immune Response in Infections Caused by Helminthes. Acta Fac Med Naiss. 30(3):117–122.
(6)
Zeibig EA. 2013. The Nematodes. Dalam: Clinical Parasitology A Practical Approach. Missouri: Elsevier Ltd. Hlm. 197–206.