Analisis Hukum terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus Di Kota Medan)

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK

YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU

( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada

Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan

OLEH :

Y U S N A N I

057011100/M.KN

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2007


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK

YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU

( STUDI KASUS DI KOTA MEDAN)

NASKAH PUBLIKASI

OLEH :

Y U S N A N I

057011100/M.KN

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2007


(3)

Telah Diuji Pada :

Tanggal : 31 Juli 2007

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

Anggota : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S.C.N

Notaris Syafnil Gani, SH, M.Kn Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn Notaris Chairani Bustami, SH, M.Kn


(4)

ANALISIS HUKUM TERHADAP AKTA OTENTIK

YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU

(STUDI KASUS DIKOTA MEDAN)

Yusnani1

Syafruddin Kalo2

Muhammad Yamin3

Syafnil Gani4

INTISARI

Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung

jawab moral. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

Dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan maka penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analisis, yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian dilakukan di Kantor-kantor Notaris, Kantor Pengadilan Negeri, dan Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris yang wilayah kerjanya di Kota Medan. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan dan studi lapangan dengan mempergunakan pedoman wawancara dan observasi lapangan.

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta.Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi

1

Mahasiswa Program Studi Magister Kienotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 3

Dosen Pembimbing Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara 4


(5)

suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap. Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni ”secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/ perjanjian itu dibuat.

Disarankan kepada para semua pihak yang berkaitan dengan penerbitan akta otentik seperti pihak penghadap dan notaris, agar berhati-hati dan waspada dalam segala hal yang berhubungan dengan pembuatan akta, disamping itu juga diharapkan kepada pihak yang berkompeten seperti Majelis Pengawas Daerah, pihak kepolisian, pengadilan harus lebih selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris.

Kata Kunci : - Akta Otentik - Keterangan palsu


(6)

1

Student Magister Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.

2

Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.

3

Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.

4

Lecturer Magister of Of Notarial Affairs Study Program School Of Postgraduate Studies, University Of Nort Sumatera.


(7)

Key words : Authentic Notarial Document, Counterfeit Information


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : “ Analisis

Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu (Studi Kasus di Kota Medan)”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

- Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku pembimbing

pertama

- Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku pembimbing

kedua

- Bapak Notaris, Syafnil Gani, SH, M. Hum, selaku pembimbing ketiga; yang telah menyisihkan waktunya untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yth :

1. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus penguji.

2. Ibu Chairani Bustami, SH, MKn, selaku dosen tamu sekaligus penguji.

3. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Ir. T . Chairun Nisa H, Msc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana.

5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua

Program Studi Kenotariatan.

6. Para Guru Besar, Staf Pengajar Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada Notaris-notaris, Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD), Pengadilan Negeri, di Kota Medan, selaku Responden


(9)

8. Para pegawai Administrasi dan pegawai perpustakaan Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas

Sumatera Utara.

Teristimewa kepada kedua orang tua penulis :

- Ayahanda yang tercinta Alm. MUHAMMAD YAHYA Kl

MARPAUNG.

- Ibunda yang tercinta Alm. HASBIAH BUTAR-BUTAR

- Suami Tercinta Chairuddin Panjaitan, SE

- Abangnda, Kakanda dan Adinda yang tersayang;

penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas doa, kasih sayang dan dukungan baik moril maupun materil yang tidak dapat dinilai dalam bentuk apapun, sehingga tetap menyertai penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut isi maupun dari cara penyajiannya. Oleh karena itu penulis menerima masukan dan kritikan dari semua pihak. Harapan penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak.

Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.

Medan, Desember 2007 Penulis,


(10)

DAFTAR RIWAYA HIDUP

Nama : Yusnani, SH

Tempat / tgl lahir : Aek Nagaga Asahan, 15 Maret 1966 Agama : Islam

Jenis kelamin : Perempuan

Nama Orang Tua :

1. M. Yahya KL Marpaung 2. Hasbiah Butar-Butar

Latar Belakang Pendidikan

1. SD. Negeri Bandar Pulau Asahan : 1975 - 1980

2. SMP Negeri II Medan : 1980 – 1983

3. SMU Wage Rudolf Supratman Medan : 1983 - 1986


(11)

DAFTAR ISI

INTISARI ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 8

G. Metode Penelitian ... 37

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU ... 41

A. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Pasal 263, Pasal 264, dan Pasal 266 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) ... 41


(12)

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Akta Mengandung

Keteranga Palsu ... 49

C. Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Keterangan Palsu ... 54

BAB III SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PENGHADAP YANG MEMBERIKANKETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK ... 67

A. Pengertian Sanksi ... 67

B. Tinjauan Umum Tentang Para Pihak ... 68

C. Tinjauan Umum Tentang Saksi-Saksi ... 71

D. Sanksi yang Diberikan Kepada Penghadap yang Memberikan keterangan Palsu Dalam Akta Otentik ... 74

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA YANG MENGANDUNG KETERANGAN PALSU ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91


(13)

DAFTAR ISTILAH

Acta Publica Probant Sese Ipsa : Suatu Akta kelihatannya sebagai

akta otentik

Ambtelijke Akten : Akta Pejabat

Code Penal : Kitab Undang-undang Hukum

Pidana di Negara Perancis

Conviction Intime : Perasaan Belaka

Conviction Raisonee : Pertimbangan Akal

Curator : Pengampun

Darde : Pihak ketiga (orang ketiga)

De Eigenlijke Falsum : Tindak Pidana Pemalsuan

Door Een : Dibuat Oleh (yang membuat)

Dwaling : Salah pengertian atau kekhilafan

Dwang : Paksaan

Ecretures : Tulisan-tulisan

Faux : Pemalsuan

Formale Bewijskracht : Pembuktian Formal

Getuige : Saksi

Gijzeling : Penyanderaan

HAM : Hak Asasi Manusia

Hoge Raad : Mahkamah Agung

INI : Ikatan Notaris Indonesia

Intellectuele Valsheid : Pemalsuan Intelektual

KUHPer : Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata

KUHP : Kitab Undang-Undang Pidana

Law Inforcement : Penegakan Hukum Les Crimes Et Delicts Contre La Paix Publique : Kejahatan-kejahatan dan

pelanggaran-pelanggaran terhadap kepercayaan umum

Machtsstaat : Berdasarkan Kekuasaan

Materiele Bewijskracht : Pembuktian Material

Materiele Valsheid : Pemalsuan Material

Misdrijven : Kejahatan

Notaris Reglement : Peraturan Jabatan Notaris

Nullum delictum noela poena

praevia sine lege poenali : Tidak ada pidana tanpa

undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu

Onrechtmatige Daad : Perbuatan melawan hukum

Onvoldoende Evearing : Kekurangan pengalaman


(14)

Onvoldoende Kennis : Kekurangan pengetahuan

Overtredingen : Pelanggaran

Partij : Pihak

Partij Aktan : Akta Partij (dibuat oleh para

pihak dihadapan pejabat umum)

Person : Orang (perseorangan)

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

Profesional Behaviour : Perilaku Profesional

Quasi Falsum : Pemalsuan yang bersifat semu

Rechtsstaat : Berdasarkan Hukum

Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesia : Peraturan Jabatan Notaris

Saksi attesteren : Saksi yang memperkenalkan di

depan pengadilan

Saksi Instrumentair : Saksi yang memperkenalkan di

depan notaris

Tegen Bewijs : Pembuktian Sebaliknya

Ten overstaan van een : Akta Yang Diperbuat Dihadapan

(Notaris)

Uitwendige bewijskracht : Pembuktian lahiriah

UUJN : Undang-Undang Jabatan Notaris

Van Rechtswege Nietig : Batal Demi Hukum

Vereniging : perkumpulan

Vernietigbaar : Dibatalkan

Waarnemen : menyaksikan sendiri

Wedertrechtlijkheid : Dalam Arti Obyektif

(bertentangan dengan hukum); dalam arti subyektif

(bertentangan dengan kepentingan orang lain)

Wetboek van Strafrecht : Kitab Undang-undang Hukum

Pidana di Indonesia masa Jajahan Belanda

Wilsgebrik : Adanya kecacatan dalam


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beberapa tahun terakhir ini begitu banyaknya perubahan yang terjadi di muka bumi baik yang berskala besar maupun kecil.

Perubahan-perubahan ini terjadi karena arus globalisasi yang melanda dunia sehingga membuat banyak orang khawatir, cemas ataupun takut karena adanya ketidakpastian akan apa yang akan terjadi dimasa mendatang.

Penegakan hukum (Law Inforcement) dan nilai-nilai budaya sudah menjadi salah satu peran penting diera globalisasi dimana dalam sejarah perkembangan hukum dikenal lembaga notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat merupakan seorang pejabat yang dapat di percaya. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum yang tanda tangan serta capnya memberi jaminan dan bukti kuat.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, selain akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi


(16)

kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.1

Akta Notaris lahir dengan adanya keterlibatan langsung dari pihak yang menghadap notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik.

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang, akta yang dibuat notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi.2

Dalam menjalankan jabatannya notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan undang-undang sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik profesinya yaitu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 16 huruf a Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), seorang notaris diharapkan dapat bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Disamping itu notaris sebagai pejabat umum harus dapat mengikuti perkembangan hukum sehingga dalam memberikan jasanya kepada masyarakat dalam membantu mengatasi dan memenuhi kebutuhan hukum yang terus berkembang dapat memberikan jalan keluar yang dibenarkan oleh hukum.

Peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul merupakan sikap yang harus dimiliki notaris sehingga akan menumbuhkan

1 Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

2

Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara (Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari), Milenia Populer, Jakarta, 2001, hal 85.


(17)

keberanian dalam mengambil sikap yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah untuk menolak membuat akta apabila bertentangan dengan hukum, moral dan etika.3

Kepercayaan masyarakat terhadap notaris adalah salah satu bentuk wujud nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya.

Akta yang dibuat notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta, dan sebagainya. Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Rancangan akta yang sudah dibuat berupa konsep minuta akta sebelum penandatanganan dilakukan terlebih dahulu dibacakan dihadapan para penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh notaris yang membuat akta tersebut. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf I Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris wajib membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi-saksi dan notaris.

Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut sebab isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak. Pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat

3


(18)

keterangan atau redaksi akta yang memberatkan atau merugikan terhadap pihak yang lain.

Dalam prakteknya sering terjadi notaris dilibatkan jika terjadi perkara antara para pihak, padahal sengketa yang terjadi bukanlah antara para pihak degan notaris mengingat notaris bukan pihak dalam akta yang dibuatnya, namun notaris sering harus keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan aktanya maupun sebagai saksi.

Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya dan para pihak memberikan keterangan yang tidak benar ataukah adanya kesepakatan yang dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.

Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu suatu jabatan yang dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk pada UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan demikian diharapkan agar notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai integritas moral dengan memperhatikan nilai agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.


(19)

Oleh karena itu seorang notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang mengandung cacat hukum dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa diluar sepengetahuan notaris para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar dan menyerahkan surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituang kedalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung keterangan palsu.

Keterangan palsu adalah suatu keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu, hal mana diatur dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam suatu akta otentik merupakan suatu tindak pidana pemalsuan.4

Dengan terjadinya kasus semacam ini maka akan menyebabkan notaris harus keluar masuk gedung pengadilan untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas notaris dalam mempertanggungjawab

kan akta yang telah diterbitkannya harus terlebih dahulu mendapat izin/ persetujuan dari Majelis Pengawas untuk dapat diperiksa atau diproses oleh Aparat

Hukum. Bagaimana pertanggungjawaban seorang notaris dan bagaimana sanksi

hukum yang dapat dilakukan terhadap penghadap serta bagaimana akibat

4

Adamichazawi, Kejahatan terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 hal 114.


(20)

hukumnya terhadap akta yang mengandung keterangan palsu, hal inilah yang perlu diteliti lebih lanjut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu

2. Bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan

keterangan palsu dalam akta otentik.

3. Bagaimana akibat hukumnya terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

2. Untuk mengetahui sanksi apa yang diberikan kepada penghadap yang

memberikan keterangan palsu dalam sebuah akta otentik.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari suatu akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni :


(21)

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan penambahan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya, khususnya pengetahuan dalam hal pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat khususnya bagi para calon notaris dalam hal mengetahui secara jelas tentang pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1. Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Semu (Schijn Handeling) Dalam Praktek Dengan Akta Notaris (Studi Kasus di Kota Medan), oleh Syafnil Gani.

2. Aspek Hukum Pidana Dalam Kasus Penggunaan Ijazah Palsu Pada Pencalonan Anggota Legislatif, oleh Tarima Saragi, yang menitik beratkan permasalahan dalam penelitiannya adalah bagaimana aspek hukum pidana dalam kasus penggunaan ijazah palsu dan bagaimana penegakkan hukum oleh penegak hukum


(22)

dalam kasus tersebut serta bagaimana pertanggungjawaban pidana partai politik dalam kasus tersebut.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Pengertian notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Kewenangan lainnya dari seorang notaris dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris yaitu :

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang”.

Notaris disebut sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara, minuta akta yang dibuat notaris setelah ditandatangani oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris adalah merupakan dokumen negara.


(23)

Berdasarkan pengertian notaris tersebut diatas maka R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan :

“Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu,umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.5

Akta otentik yang diuraikan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya”.

Pasal 1 Angka 7 UUJN menyatakan :

“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”

R. Subekti, mengemukakan :

Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna”.6

5

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (suatu penjelasan) Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 43.

6


(24)

Syarat-syarat pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya syarat-syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni :7

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3.Suatu hal tertentu

4.Suatu sebab yang halal

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai subjek perjanjian sedangkan kedua syarat yang terakhir dinamakan syarat ojektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila syarat yang pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu batal demi hukum (van rechtswege nietig).

Satochid Kartanegara, mengemukakan :

“Hukum pidana adalah hukum publik yakni yang mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat atau dengan negara”.8

Moeljatno (1975:35) mengemukakan :

“Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi pelanggarnya”9

Tindak pidana pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.10

Drs. P.A.F Lamintang, SH mengemukakan :

7

Mariam Darus Badrul Zaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 73.

8

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Kumpulan Kuliah), Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa , hal 3.

9

Nico, Op. Cit. hal 142.

10


(25)

“Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, dan keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran tersebut oleh pelaku harus dibuat untuk dicantumkan dalam suatu akta otentik oleh pejabat yang memang berwenang untuk membuat akta otentik tersebut”.11

Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP diatur dalam Buku II Bab XII, Pasal 263 sampai dengan pasal 275.

Ketentuan pasal 263 KUHP menyatakan :

(1) Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enama tahun.

(2) Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Ketentuan Pasal 266 KUHP yang menyatakan :

(1) Barangsiapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian.

(2) Di pidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

mempergunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian.

11

P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus (Kejahatan-kejahatan membahayakan kepercayaan

umum terhadap surat-surat,alat-alat pembayaran, alat-alat bukti dan peradilan), Mandar Maju,


(26)

2. Landasan Konsepsional

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Pengertian Notaris

Lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai didaerah Italia, dari Italia berkembang ke Perancis, Belanda dan Indonesia. Lembaga notariat mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke 17 dan pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu beberapa bulan setelah Jakarta dijadikan ibu kota. Notaris di Indonesia diangkat untuk pertama kali adalah Melchior Kerchem. Dalam akta pengangkatan tersebut sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya yakni untuk menjalankan tugas jabatannya untuk kepentingan publik dan kepadanya diwajibkan untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya. Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda menganggap telah tiba waktunya untuk menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pengganti dari peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (notaris reglement) pada tanggal 26 Januari 1860 (STB. No. 3) yang berlaku tanggal 1 Juli 1860 12.

Akan tetapi Peraturan Jabatan Notaris telah diganti dengan sebuah Undang-undang yang mengatur tentang pekerjaan dan jabatan notaris yaitu Undang-Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang Jabatan Notaris, yang telah ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 6

12


(27)

Oktober 2004. Setelah berlakunya Undang-undang ini maka Reglement op Het

Notaris Ambt in indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) yang dikenal dengan Peraturan

Jabatan Notaris sebagaimana yang telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1945 Nomor 101 dinyatakan tidak berlaku lagi .

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Dalam Pasal 1 angka 1 Jo. Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris menyebutkan13 :

” Pengertian notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akte otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa : 1) Notaris adalah pejabat umum.

2) Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik.

3) Akta-akta yang berkaitan dengan pembuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik.

4) Adanya kewajiban dari notaris untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, memberikan grosse, salinan dan kutipan- kutipannya. 5) Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan oleh

suatu peraturan umum kepada pejabat atau orang lain.

13

Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-undang Jabatan Notaris, Medan, 2007, hal 294.


(28)

Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaaan umum (pemerintah), dan diberikan wewenang/kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu. Jabatan notaris adalah jabatan umum sebab notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, notaris menjalankan tugas negara dan akta yang dibuat oleh notaris atau disebut dengan minuta adalah merupakan dokumen negara.14

Jadi pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris adalah pegawai negeri yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah, seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian.

Setelah notaris diangkat dan sebelum menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga pemberhentian notaris dilakukan oleh menteri.

Adapun syarat-syarat untuk diangkat menjadi notaris dalam pasal 3 Undang-undang Jabatan Notaris menyebutkan :

1) Warga negara Indonesia

2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3) Berumur serendah-rendahnya 27 (dua puluh tujuh) tahun. 4) Sehat jasmani dan rohani

5) Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan

6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

14


(29)

7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Setelah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi notaris maka notaris tersebut berkewajiban mengucapkan sumpah/janji sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 Undang-undang jabatan notaris yakni mengucap sumpah/janji jabatan notaris dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.

Apabila pelaksanaan pengangkatan notaris telah selesai dilakukan maka notaris juga tidak terlepas dari kode etik jabatannya yaitu Kode Etik Notaris. ”Kode Etik Notaris adalah suatu sikap seorang notaris yang merupakan suatu kepribadian yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan.”15

Khusus untuk kalangan profesi Ikatan Notaris Indonesia (INI), telah ditetapkan Kode Etik Notaris yang diputuskan dalam kongres INI ke XIII di Bandung pada Tahun 1987.

Dalam penjelasan Kode Etik Notaris disebutkan seorang notaris harus memiliki perilaku profesional (profesional behaviour) antara lain :16

1) Perilaku profesional harus menunjukkan pada keahlian yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman tinggi.

2) Dalam melakukan tugas profesionalnya harus mempunyai integritas moral, dalam arti segala pertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya.

15

Rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya.

16

Himpunan Etika Profesi Berbagai Kode etik Asosiasi di Indonesia, Pustaka Yustisia Yogyakarta, 2006, hal 124.


(30)

3) Harus jujur, tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri.

4) Sekalipun keahlian profesi notaris dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugasnya ia tidak boleh didorong oleh pertimbangan uang.

5) Ia harus memegang teguh etik profesi. Sebab sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan hukum dan harus berbahasa Indonesia yang sempurna sesuai dengan perkembangan Bahasa Indonesia dan Nasional.”

Perilaku profesional yang harus dimiliki oleh notaris maksudnya adalah dalam melakukan tugas profesionalnya harus diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun, dan agama yang berlaku. Misalnya apabila seseorang mengharapkan bantuannya dan orang itu tidak dapat mambayar karena tidak mampu, demi profesionalnya ia harus memberikan jasanya semaksimal mungkin dengan cuma-cuma. Dan notaris tersebut tidak boleh bersikap diskriminatif, yakni membedakan antara orang yang mampu dan orang yang tidak mampu. Memegang teguh kode etik profesi sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan tugas profesi dengan baik, karena dalam kode etik profesi itulah ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh seorang notaris. Notaris didalam dan diluar jabatannya bertata kehidupan yang baik dan menyesuiakan diri dengan norma-norma kebiasaan yang baik di tempat dimana ia bertugas.

Pasal 15 Undang-undang No. 30 tahun 2004 menyebutkan bahwa kewenangan notaris adalah sebagai berikut :

1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan dan

ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.


(31)

2) Notaris berwenang pula :

a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

c) Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya. e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau

g) Membuat akta risalah lelang.

3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris hanya diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di dalam daerah yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam UU Jabatan Notaris dan di dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat (4) hal yaitu sebagai berikut :17

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

17

Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, Center For Documentation and Studies of Business Law (CDBSL), Yogyakarta, 2003, hal 40.


(32)

b. Pengertian Akta Notaris

“Akta18 adalah tulisan yang ditandatangani dan dipersiapkan /dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti bagi kepentingan orang untuk siapa akta itu diperbuat.” Ketentuan pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa :

“ Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.

Akta otentik yang dibahas dalam penelitian ini adalah akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apabila ditinjau menurut defenisinya, ada 3 unsur yang terkandung dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yaitu :

1. Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang 19.

Mengingat notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik maka dalam hal pembuatan akta otentik harus memenuhi syarat/ketentuan yang tercantum dalam pasal 38 undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mengenai bentuk dan sifat akta disebutkan :

a) Setiap akta notaris terdiri atas : (a) Awal akta atau kepala akta (b) Badan akta, dan

(c) Akhir atau penutup akta

b) Awal akta atau kepala akta memuat : (a) Judul akta

(b) Nomor akta

(c) Jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan

(d) Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris

18

M.U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notaris, Fakultas Hukum USU, Medan, 1997, hal 4.

19


(33)

c) Badan akta memuat :

(a) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan , kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili.

(b) Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap.

(c) Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan, dan

(d) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

d) Akhir atau penutup akta memuat :

(a) Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau pasal 16 ayat (7)

(b) Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemah akta apabila ada.

(c) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal tiap-tiap aksi akta,dan

(d) Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabata umum terikat dengan semua ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris sendiri. Adapun yang menjadi tugas pokok dari notaris adalah membuat akta otentik dan di dalam pembuatan akta tersebut, notaris harus mampu menguasai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan formalitas dari akta notaris itu, dengan tujuan agar akta otentik yang dibuat oleh notaris tetap mempunyai otentisitasnya.

Dengan adanya otentisitas akta tersebut akan secara otomatis akan memberikan perlindungan kepada notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk juga pihak-pihak yang membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri notaris dan pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu notaris harus menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya. Dengan notaris menguasai peraturan perundang-undangan maka akta notaris yang


(34)

dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta tersebut batal demi hukum atau akta tersebut dapat dibatalkan.

Di dalam pembuatan suatu akta notaris, notaris harus mengetahui terlebih dahulu bentuk formal akta yang dibuatnya sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang sempurna dan jika notaris tidak mengetahui bentuk formal akta maka akta yang dibuatnya hanya mempunyai kekuatan seperti akta dibawah tangan saja.

Bentuk akta notaris diatur di ABM pasal 29 1921 yaitu dibuat dalam bentuk minuta yang ditulis diatas kertas ukuran A3, tiap halaman terdiri dari maksimum 30 (tiga puluh) baris, tiap baris maksimum terdiri dari 15 (lima belas) suku kata, sepertiga di sebelah kiri dari halaman akta notaris tampak kosong dan dipergunakan untuk mengisi renvooi apabila terjadi perubahan / penambahan pada suatu akta.20

Pengertian bentuk yang dimaksud dari akta otentik ialah syarat-syarat yuridis yang harus dipenuhi seperti hari dan tanggal akta yang diperbuat, nama dan tempat tinggal para penghadap, nama notaris yang membuat akta dan saksi-saksi yang menyaksikan pembuatan akta tersebut. Sedangkan pengertian dari akta dibawah tangan diuraikan dalam Pasal 1874 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan diangap akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

20


(35)

Dengan memenuhi bentuk formal akta tersebut maka akta yang dibuat akan mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan berlaku sebagai alat bukti yang sempurna.

2. Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang21

Dalam hal akta notaris yang berhak membuat akta otentik adalah notaris, sebab notaris telah ditunjuk sebagai satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat semua akta otentik kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.

Akta notaris dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :

a) Akta yang dibuat oleh (door een) notaris atau akta yang dinamakan ”akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat pemegang saham Perseroan Terbatas (PT), akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

Akta relaas dibuat oleh notaris yang menguraikan secara otentik suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris sendiri, dibuat catatannya (aktanya, didalam menjalankan tugas jabatannya selaku notaris).

b) Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij aktan). Akta jenis ini diantaranya jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.

Akta partij dibuat para pihak dihadapan pejabat umum, pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan

21


(36)

bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan keterangan/kehendak para pihak itu sendiri.

3. Dibuat dalam wilayah kerja notaris yang bersangkutan22

Walaupun seorang notaris berhak membuat akta otentik, akan tetapi apabila pembuatan akta tersebut tidak dilakukan didaerah jabatannya maka aktanya tidak otentik, sebab tidak memenuhi syarat pasal 1868 KUHPer maka akta tersebut batal demi hukum. Akan tetapi ada pengecualian bahwa seorang notaris boleh membuat akta diluar daerah jabatannya apabila jasanya sangat diperlukan ditempat tersebut (dalam keadaan darurat).

Berdasarkan sifat suatu akta maka akta terdiri atas akta otentik dan akta dibawah tangan. Kedua akta ini merupakan salah satu alat bukti yang dikenal dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1868 memberikan pengertian dari akta otentik, bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, diperbuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pegawai-pegawai umum disini maksudnya adalah notaris, Pegawai-pegawai-Pegawai-pegawai umum selain notaris yang berhak membuat akta otentik adalah pejabat lain yang ditunjuk oleh Undang-Undang.

Dari pengertian akta diatas maka dapat dibedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan, yaitu : akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, berarti bukti yang sempurna mengenai kepastian tanggal, kepastian penandatanganan dan kepastian isi akta yang

22


(37)

dikehendaki para pihak. Sedangkan akta dibawah tangan dapat dilihat dari bunyi Pasal 1867 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan barang siapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan dibawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Apabila timbul suatu masalah tentang suatu perjanjian antara para pihak yang memerlukan pembuktian, meskipun secara fisik perjanjian dimaksud ada, akan tetapi perjanjian dibuat dibawah tangan, maka masih diperlukan pembuktian lebih lanjut dengan pembuktian atau pemungkiran secara tegas oleh para pihak. Yang lebih menambah kesulitan akibat dari perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah bahwa pemungkiran dari para ahli waris ataupun yang mendapat hak dari salah satu pihak cukup dilakukan dengan sebuah keterangan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan yang mereka wakili.23

c. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Pembuktian merupakan titik sentral dari keseluruhan proses pemeriksaaan perkara di sidang pengadilan, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Dari sinilah akan ditarik kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam menilai perkara yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu hakim tidak boleh menjatuhkan putusan tanpa terlebih dahulu dilakukan pembuktian. Pembuktian sangat penting atas dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan atau tuntutan baik dalam perkara perdata maupun pidana.

23


(38)

Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang ditemukan dalam persengketaan yang diajukan kepengadilan, atau memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah.24

Pengertian pembuktian tebagi atas beberapa bagian yaitu :25 1). Pembuktian Dalam Arti Logis

Dalam arti logis membuktikan berarti memberikan kepastian yang bersifat mutlak berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian yang demikian berlaku dilapangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada aksioma, yaitu suatu dalil atau ketentuan yang sudah nyata dan tidak dapat dibantah kebenarannya.

2). Pembuktian Dalam Arti Konvensional

Mambuktikan dalam arti konvensional berarti juga memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan mempunyai tingkatan-tingkatan, yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka (conviction intime) dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonee)

3). Pembuktian Dalam Arti Yuridis

Membuktikan dalam arti yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan, guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam sidang perkara pengadilan.

Didalam proses pembuktian, hakim menggunakan sarana atau alat untuk memastikan kebenaran suatu peristiwa sehingga hakim dapat mengkonstatir peristiwa, artinya hakim menganggap bahwa suatu peristiwa yang disampaikan kepadanya diakui sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi diantara para pihak yang bersengketa.

Tulisan-tulisan otentik maupun tulisan-tulisan dibawah tangan merupakan suatu hal pembuktian dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Didalam Pasal 1870 dan

24

R. Subekti (I) Op. Cit, hal 1.

25

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni Bandung, 2004, hal 12


(39)

1871 KUH Perdata dikemukakan bahwa akta otentik adalah sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dan ia merupakan suatu bukti yang sempurna berarti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Jadi akta otentik dapat merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.26

Kekuatan Pembuktian akta otentik, demikian juga akta notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka.27

Pada setiap akta otentik termasuk akta notaris, dibedakan 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yakni :28

a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskract)

Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal

26

R. Subekti (I) Op. Cit, hal 27.

27

G.H.S. Lumban Tobing. Op. Cit, hal 56.

28


(40)

1875 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan.

Pasal tersebut menyatakan bahwa :

”Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya. Serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu”.

Pasal 1871 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan :

”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat disitu sebagai suatu penuturan belaka maka tidak ada hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.”

Lain halnya dengan akta otentik, akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya, atau biasa disebut dalam bahasa latin ”acta publica probant sese ipsa”, yaitu suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik maka akta itu dianggap sebagai akta otentik sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak otentik.

b. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht)

Kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Dengan pembuktian formal ini suatu akta otentik selain hanya membuktikan bahwa pejabat atau notaris telah menyatakan dengan tulisan dalam akta yang dibuatnya, juga menegaskan bahwa segala kebenaran yang diuraikan dalam akta itu seperti yang dilakukan dan disaksikan oleh notaris. Berkaitan dengan ini, arti formal dalam akta pejabat dijelaskan bahwa selain akta


(41)

ini membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu dilihat, didengar dan dilakukan oleh notaris juga menjamin kebenaran tentang tanggal, tanda tangan dan identitas dari para pihak yang hadir serta tempat dibuatnya akta itu. Adapun arti formal dalam akta para pihak, dapat dijelaskan adanya keterangan dalam akta itu merupakan uraian yang telah diterangkan oleh para pihak yang hadir sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya dapat dipastikan antara para pihak tersebut. Baik terhadap akta pejabat umum maupun akta para pihak sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang.

c. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang disebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegen bewijs).

Tentang pembuktian material, G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan pendapatnya bahwa :

”Akta notaris mengenai jual beli misalnya, tidak hanya menerangkan bahwa para pihak telah melakukan jual beli dihadapan notaris, akan tetapi juga membuktikan bahwa para pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat dalam akta itu, sehingga akta itu juga adalah untuk membuktikan tentang harga penjualan dan pembelian dan kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak mengenai itu.”

Pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah pasal-pasal yang merupakan kekuatan pembuktian material, yakni bahwa akta


(42)

tersebut benar-benar telah terjadi. Artinya secara material isi dalam akta tersebut adalah benar.

d. Pengawasan Terhadap Notaris

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik diawasi oleh yang berwajib, dengan tujuan agar Peraturan jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris dapat dilaksanakan dengan baik dan notaris dalam menjalankan tugasnya selalu memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-Undang demi terjaminnya kepastian hukum bagi pihak-phak yang membuat perjanjian. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris sangat beralasan karena notaris merupakan pejabat yang memberikan jasanya kepada masyarakat dan memberikan penjelasan msengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan Undang-Undang lainnya memberikan kepercayaan kepada notaris untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan yang sudah diberikan kepada notaris merupakan tanggung jawab yang harus diemban berdasarkan nilai-nilai agama, moral, kesusilaan, etika dan hukum.

Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik diawasi oleh yang berwajib berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dalam hal pengawasan notaris, disebutkan bahwa : pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Menteri, dimana dalam melaksanakan pengawasan tersebut menteri membentuk Majelis Pengawas, yang terdiri atas 3 (tiga) Majelis Pengawasan terdiri dari unsur Departemen, Organisasi Profesi Notaris dan Para Ahli/Akademisi. Majelis Pengawas ini juga terdiri dari :


(43)

Majelis Pengawasan Pusat, Majelis Pengawasan Daerah dan Majelis Pengawasan Wilayah. Pengawasan terhadap notaris meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris.

Hamid Awaluddin29 menegaskan bahwa pembentukan Majelis Pengawas

merupakan amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris khususnya Pasal 67, yang menyatakan bahwa menteri berwenang melakukan pengawasan terhadap notaris dan dalam melakukan pengawasan tersebut, menteri membentuk Majelis Pengawas. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pembinaan dan pengawasan notaris merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM dengan Majelis Pengawasan.

Substansi pengawasan terhadap notaris tidak hanya dalam pelaksanaan jabatan notaris, akan tetapi perilaku notaris juga harus diawasi Majelis Pengawas, misalnya melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat notaris. Apabila notaris terbukti melakukan hal-hal tersebut maka dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan notaris dari jabatannya oleh Menteri berdasarkan laporan dari Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat).30

Sehubungan dengan hal tersebut diatas bahwa pengambilan keputusan oleh Majelis Pengawas untuk menjatuhkan sanksi kepda Notaris yang melakukan

29

Menteri Hukum dan HAM pada Kabinet Indonesia Bersatu, 2004-2009.

30


(44)

pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Organisasi Notaris, dilakukan atas adanya pengaduan masyarakat yang dirugikan.31

Adapun tujuan dari pengawasan terhadap Notaris adalah supaya Notaris memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya tidak hanya oleh hukum dan undang-undang, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien terhadap Notaris. Sifatnya dari jabatan Notaris maupun keluhuran dari martabat jabatannya mengharuskan adanya tanggung jawab dan kepribadian serta etika hukum yang tinggi, karena jabatan yang diamanatkan kepada Notaris adalah suatu jabatan kepercayaan. Oleh sebab itu, seseorang yang telah bersedia untuk mempercayakan sesuatu kepadanya dan adapun konsekuensi dari kepercayaan itu adalah tanggung jawab yang besar bagi Notaris. Notaris yang tidak bertangung jawab dan tidak menjunjung tinggi hukum dan martabat serta keluhuran jabatannya adalah berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat yang dilayaninya.32

Mengingat kewenangan Notaris begitu luas dan sangat berpengaruh dalam lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya rentan terhadap penyalahgunaan yang mungkin dapat menimbulkan kerugian masyarakat, berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengamanatkan agar dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajiban bertindak jujur, seksama,

31

Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris, dilengkapi

Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART, dan Kode etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006. 32


(45)

mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum.33

e. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana 1) Hukum Pidana

Di setiap negara terdapat hukum yang mengatur mengenai negara, pemerintahan dan masyarakat. Hukum yang dimaksud terbagi atas hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis juga disebut hukum kebiasaan, yaitu merupakan ketentuan-ketentuan yang lazim dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini termasuk sebagaian besar hukum adat di Indonesia. Sedangkan hukum tertulis merupakan hukum yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya dan harus di taati oleh seluruh warga negara Indonesia, misalnya hukum publik, hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi.34

Istilah ”hukuman” adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar adalah norma disiplin, ganjarannya adalah hukuman disiplin, untuk pelanggaran hukum perdata diberi ganjaran hukum perdata, untuk pelanggaran hukum administrasi diberi ganjaran hukuman administrasi dan ganjaran atas pelanggaran hukum pidana adalah hukuman pidana. Sedangkan kata ”pidana” adalah derita, nestapa, pendidikan, penyeimbangan.

33

Yusril Ihza Mahendra, Makalah Tentang Penggunaan Terminologi Pejabat Umum Dalam

Tata Hukum Indonesia, Disampaikan pada Panel Diskusi dalam Rangka Pelaksanaan Kongres ke XIX

dan Up Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta 25 Januari 2006.

34

E.Y. Kanter dan S.R, Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hal 9.


(46)

Jadi, hukuman pidana berarti hukuman sebagai akibat dari dilanggarnya suatu norma hukum pidana.35

Pengertian hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang membedakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya ;

b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yanmg telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan ;

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.36

Pompe memberikan pendapatnya mengenai batasan hukum pidana, terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

”Hukum Pidana itu merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana, dan dimana pidana itu sebenarnya menjelma”.37

Dari batasan hukum pidana tersebut diatas, hukum pidana adalah :

1). Perbuatan-perbuatan yang diancam pidana atau syarat-syarat yang harus dipenuhi, sehinga pengadilan menjatuhkan pidana ;

2). Hukum Pidana menetapkan dan mengumumkan reaksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.38

Dalam hukum pidana dikenal asas legalitas yaitu suatu asas yang paling penting dalam hukum pidana. Asas legalitas ini dikenal dengan adagium ”nullum

35

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Op. Cit hal 12.

36

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1995, hal 1.

37

Ibid.

38


(47)

delictum noela poena praevia sine lege poenali” yang artinya tidak ada pidana tanpa

undang-undang. Jadi undang-undang menetapkan dan membatasi perbuatan mana dan pidana (sanksi) mana yang dapat dijatuhkan kepada pelanggarnya.39

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari tiga buku, Buku I berisi aturan umum hukum pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan Buku III mengenai tindak pidana pelanggaran. Pembedaan dan pengelompokan tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) didasarkan pada pemikiran bahwa :40

a) Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang karenanya pada pembuatnya patut dijatuhi pidana walapun kadang-kadang perbuatan itu tidak dinyatakan dalam undang-undang.

b) Disamping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat terlarang dan kepada pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan dalam undang-undang.

2) Tindak Pidana

Tindak pidana / perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman / sanksi yang berupa pidana tertentu bagi pelakunya.41

Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut:42 a) Perbuatan (manusia)

Yang dimaksud dengan perbuatan manusia dalam unsur-unsur tindak pidana adalah kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku

39

Kamoriah Enong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Alumni Bandung, 2002, hal 6. 40

Adamichazawi, Op.Cit hal 1

41

Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit hal 15.

42


(48)

b) Yang Memenuhi rumusan dalam Undang-undang (Syarat formil)

Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi rumusan dalam undang-undang, hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas yakni bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana, apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. c) Bersifat melawan hukum (syarat materil)

Menurut Moeljatno (1983:21):

Disamping memenuhi syarat-syarat formil, maka perbuatan harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan sebab bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang bahagia, adil dan sejahtera

Tindak pidana pemalsuan surat di dalam KUHP pada Buku II Bab XII tidak dapat dilepaskan dari pengaturan tindak pidana pemalsuan yang diatur dalam code

penal di Perancis yang memberi pengertian pada kata ”Faux’ atau ”Pemalsuan”

obyeknya hanyalah ”ecretures” atau tulisan-tulisan saja.43

Menurut hukum Romawi yang dipandang sebagai ” de eigenlike falsum” atau sebagai tindak pidana pemalsuan yang sebenarnya adalah pemalsuan surat-surat berharga dan pemalsuan mata uang kemudian ditambah dengan sejumlah tindak pidana yang sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai pemalsuan, sehingga doktrin menyebutkan Quasi Falsum atau pemalsuan yang sifatnya semu.44

43

P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal 1.

44


(49)

Setelah Pembentuk Code Penal Perancis menyatakan mengenai ”Faux” dengan tindak pidana yang lalu yang disebut ”les crimes et delicts contre la paix

publique” atau ” kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap

kepercayaan umum”, dunia ilmu pengetahuan di Jerman berusaha untuk memperoleh kejelasan masalah ini dan menjadi perdebatan panjang, kenyatan ini membuat pembentuk Wetboek van Strafrecht mendapat kesulitan ketika pembentuk ketentuan-ketentuan pidana yang melarang pemalsuan-pemalsuan khususnya mengenai pemalsuan-pemalsuan tulisan.45

Doktrin membedakan pemalsuan-pemalsuan suatu tulisan yaitu :46 a)Intellectuele Valsheid (Pemalsuan Intelektual)

Artinya suatu keterangan atau pernyataan di dalam suatu tulisan dipandang sebagai suatu pemalsuan intelektual, jika sejak awalnya yang diterangkan atau dinyatakan dalam tulisan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

b)Materiele Valsheid (Pemalsuan Material)

Suatu benda-benda, tanda, merk, mata uang atau suatu tulisan dipandang sebagai telah dipalsukan secara material, jika benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan yang semuanya asli telah diubah sedemikian rupa, sehingga mempunyai sifat lain dari sifatnya yang asli. Dengan pemalsuan secara material itu, isi dari benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan tersebut juga telah menjadi dipalsukan atau membuat seolah-olah asli, padahal kenyataannya tidak demikian.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dapat menjadi obyek pemalsuan intelektual hanyalah tulisan-tulisan atau surat-surat yang tetap dalam keadaan asli dan tidak dirubah, tetapi keterangan atau kenyataan yang terdapat di dalam tulisan atau surat tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

45

Ibid

46


(50)

Tindak pidana pemalsuan surat dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 266 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa tindak pidana menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu didalam akta otentik adalah merupakan tindak pidana pemalsuan.

Yang dimaksud dengan keterangan palsu adalah keterangan yang tidak sesuai dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal atau kejadian yaitu kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu.47

Ketentuan Pasal 263 KUHP menyebutkan :

(1).Barang siapa membikin surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan daripada utang atau yang dapat menjadi bukti tentang sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu dapat mendatangkan kerugian, maka karena memalsukan surat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.

(2).Di pidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalu pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Dalam pasal ini ada 2 (dua) macam pemalsuan surat atau akta yaitu :

a. Membuat surat palsu yaitu perbuatan membuat surat yang isinya tidak benar, namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi palsu) karena tidak ada sesuatu yang dirubah, ditambah atau dikurangi. b. Memalsukan surat yaitu perbuatan merubah, menambah, mengurangi atau

menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya sudah ada tetapi terhadap surat itu kemudian dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya.48

Ketentuan Pasal 266 KUHP menyebutkan :

(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan sebenarnya,

47

Ibid, hal 83.

48


(51)

maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.

Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa akta otentik itu dibuat oleh pejabat umum yang menurut Undang-undang berwenang untuk membuatnya, misalnya seorang notaris, pegawai catatan sipil, pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Pejabat ini dalam pembuatan suatu akta otentik adalah memenuhi permintaan orang yang menghadap, orang yang meminta inilah yang dimaksud orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitan ini adalah ”usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis dan sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.49

Penelitian mengenai ”Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu” bersifat deskriptif analisis, maksudnya adalah : ”untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data, baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisis dengan

49

Soegeng Santosa, Dodi Radjasa Waluyo, dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing

Course Ikatan Notaris Indonesia (27-29 Januari 2005), Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005, hal


(52)

tujuan untuk memperjelas data tersebut secara kategoris, penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas atau dikaji secara logis”.50

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatis dan pendekatan yuridis empiris sebagai pendukung penelitian hukum normatif.

Pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah ”merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang ditujukan pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.51

Pendekatan yuridis empiris maksudnya adalah ”penelitian yang mengkaji korelasi antara kaidah hukum dengan lingkungan tempat itu berlaku. Korelasi ini dapat dilihat dalam kaitan pembuatan atau penerapan hukum.52

2. Lokasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan, karena Kota Medan merupakan kota besar yang terdapat banyak kantor notaris dan tingginya pengguna jasa notaris.

Untuk memperoleh data pelengkap, maka ditentukan 4 (empat) orang Notaris Kota Medan, 2(dua) orang dari Kantor Pengadilan Negeri Medan dan 1 (satu) orang dari Kantor Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris, sebagai narasumber.

50

Joko. P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal 2.

51

Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum

(Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,

Yogyakarta, 2006, hal 32.

52

Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal 13 (Bambang Waluyo I)


(53)

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan, ”yakni dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier”53. Berupa dokumen dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan akta otentik yang mengandung keterangan palsu.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum yang memiliki kaitan dengan Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik yang mengandung keterangan palsu. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara : a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, yaitu baik berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan Analisis Hukum Terhadap Akta Otentik Yang Mengandung Keterangan Palsu.

53

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal 2 (Bambang Waluyo II)


(54)

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu “menghimpun data dengan melakukan wawancara (interview)”54 dengan para nara sumber secara langsung

5. Analisis Data

Dalam penelitian yang diperlukan adanya suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan proses dimana setelah data primer dan data sekunder dikumpul, diolah dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisa secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, kemudian dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deskriptif.55

54

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal 39.

55


(1)

otentik” berdasarkan telah dipenuhinya unsur-unsur dari perbuatan pidana yang tercantum dalam pasal-pasal yang dituduhhkan, sehingga penghadap layak untuk diberi hukuman pidana penjara.

3. Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta otentik tersebut telah menimbulkan suatu sengketa dan diperkarakan dipengadilan, oleh sebab itu maka oleh pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan agar hakim dapat memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan demikian maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum karena telah cacat hukum dan didalam putusannya hakim menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum / perjanjian itu dibuat.

B. Saran

Adapun saran yang dapat dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya kepada setiap penghadap yang datang kepada notaris untuk meminta dibuatkan akta, sebaiknya dalam memberikan surat-surat dan dokumen-dokumen serta keterangan-keterangan yang berhubungan dengan akta yang akan dibuat adalah surat-surat, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan yang sebenar-benarnya. Kepada penghadap yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam pembuatan akta notaris demi untuk kepentingan dirinya layak untuk mengganti kerugian yang ditimbulkannya tersebut dan juga harus diberikan


(2)

hukuman pidana penjara agar membuatnya jadi jera. Sebab perbuatannya tersebut bukan saja menimbulkan kerugian pada hak orang lain akan tetapi juga merugikan notaris.

2. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya selalu berpegang teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Bersikap hati-hati dan waspada dalam meneliti dan memeriksa surat-surat/ warkah dan dokumen-dokumen yang diberikan oleh para penghadap. Disamping itu juga harus benar-benar memperhatikan sikap dan perkataan-perkataan dari penghadap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebanyak mungkin dan mengajaknya berbicara tentang surat/akta yang akan dibuat oleh notaris. Selain itu perlu menggunakan feeling/perasaan notaris itu sendiri untuk mempertajam keyakinan. 3. Hendaknya dengan adanya Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang melakukan

pengawasan terhadap notaris diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap notaris. Dan para notaris mengharapkan kepada MPD agar dapat mengadakan suatu pertemuan /audiensi dengan aparat-aparat hukum seperti pihak Kepolisian, pihak Kejaksaan, Advokat dan Ikatan Notaris Indonesia untuk membentuk suatu sikap “kesepahaman” diantara aparat-aparat hukum tersebut dengan para notaris dalam tugas dan jabatan masing-masing agar tidak terjadi kerancuan/kekeliruan terhadap pemeriksaan yang berhubungan dengan tugas dan jabatan notaris. Selain dari pada itu, diharapkan kepada pihak pengadilan hendaknya harus lebih selektif lagi dalam menentukan kehadiran seorang notaris sebagai saksi dipengadilan adalah memang benar-benar sangat diperlukan, bukan hanya sekedar untuk kepentingan para pihak yang berperkara saja. Pemanggilan


(3)

terhadap notaris sebagai saksi oleh hakim harus merupakan upaya terakhir setelah sarana pembuktian lain telah digunakan secara maksimal.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Alam, Wawan Tunggal, Hukum Bicara (Kasus-kasus Hukum dalam Kehidupan Sehari-hari), Milenia Popular, Jakarta, 2001

Badrulzaman, Mariam, Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. itra Aditya Bakti, Bandung, 2001

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000

Emong, Komariah Saprdjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni Bandung, 2002

Harahap M.Y, Segi-segi hukum perjanjian, Alumni Bandung, 1986

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah), Bagian I Balai Lektur Mahasiswa, 1977

Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Yan Pramadya Puspa, Jakarta, 1977

Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986

M Situmorang Viktor dan Cormentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Marsono, Susunan Dalam Naskah UUD 1945 dengan Perubahan-perubahnnya, Eko Jaya, Jakarta, 2003

Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002 Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centor for Documentation

and Studies of Busines Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003

Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993


(5)

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Kasus (Kejahatan-kejahatan Membahayakan Terhadap Surat-surat, Alat-alat membahayakan, Alat-alat bukti dan Peradilan): Mandar Maju, Bandung, 1991

Pustaka Yustisia, Himpunan Profesi Berbagai Kode Etik Asosiasi di Indonesia, Yogyakarta, 2006

P. Subagyo Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Prodjo Hamidjojo Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Buku II, Pradnya Paramita, Jakarta 1997

Prodjodikoro Wiryono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Balei, Bandung, 1989

Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2005

Santosa Soegeng dkk, Kongres Luar Biasa Up-Grading Refreshing Course Ikatan Notaris Indonesia, PT Grafindo Media Pratama, Bandung, 2005

Samudera, Teguh, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, PT. Alumni Bandung, 2004

Sembiring, MU, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997

Sitorus, Oloan, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum, EdisiRevisi, Yogyakarta, 2006

Sianturi S , Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM – PETEHAEM, Jakarta, 1996

Subekti, Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 ______, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986

Sugandi R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981


(6)

Sukanto, Soerdjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995

Syahril Sofyan, Intisari Kuliah, TPA I, 2006

Syamsuddin A Qiram Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian,Lyberti, Yogyakarta, 1985

Tobing, GHS, Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, 1983

Tunggal, Hadi Setia, Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Jabatan Notaris, Dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi dan AD, ART dan Kode Etik Notaris, Harvarindo, Jakarta, 2006

Untung, Budi, Visi Global Notaris, Andi Yogyakarta, 2001 Utrecht, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Bandung, 1965

Warsito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, 1997

Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996 _______, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

B. Peraturan Perundang-undang

Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Undang-undang Jabatan Notaris Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Himpunan Etika Profesi Berbagai Kode Etik Asosiasi di Indonesia

C. Majalah

Media Notariat, Tahun – I No 2, Oktober 1999 ____________, Edisi Mei – Juni 2004

Renvoi Nomor : 9.21. II Tanggal 3 Februari 2005 ______, Nomor : 10.22. II Tanggal 3 Maret 205


Dokumen yang terkait

Kekuatan Pembuatan Akta Otentik Yang Membatalkan Akta Notaris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 347/PDT.G/2012/PN-MDN)

2 91 133

Analisis Yuridis Atas Perbuatan Notaris Yang Menimbulkan Delik-Delik Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan NO. 2601/Pid.B/2003/PN.Mdn)

0 60 119

Analisis Yuridis Terhadap Grosse Akta Notaris Sebagai Pengikatan Jaminan Dikaitkan Dengan Kredit Macet (Studi Di Kota Medan)

7 62 138

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PEMBERI KETERANGAN PALSU DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK (Studi Putusan Nomor: 885/Pid/B/2011/PN.TK)

1 11 50

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DI HADAPANNYA (STUDI TERHADAP NOTARIS DI KOTA SEMARANG)

1 16 82

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG MEMUAT KETERANGAN PALSU DITINJAU DARI UU NO.2 Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik yang Memuat Keterangan Palsu Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

0 3 16

SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik yang Memuat Keterangan Palsu Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

0 2 12

BAB 1 PENDAHULUAN Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik yang Memuat Keterangan Palsu Ditinjau dari UU No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

2 10 10

TELAAH NORMATIF KESALAHAN DALAM PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH HAKIM SEBAGAI ALASAN HUKUM PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA MEMASUKKAN KETERANGAN PALSU DALAM AKTA OTENTIK.

0 0 15

AKIBAT HUKUM SURAT KETERANGAN WARIS GANDA TERHADAP AKTA OTENTIK YANG TELAH DI BUAT - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 82