Keanekaragaman Lumut (Bryophyta) Di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara
KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN
HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN
PROPINSI SUMATERA UTARA
TESIS
OLEH
HERLINAWATI SIREGAR
087030010
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN
HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN
PROPINSI SUMATERA UTARA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
OLEH:
HERLINAWATI SIREGAR
087030010
PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis : KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI
KAWASAN HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN PROPINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : HERLINAWATI SIREGAR Nomor Induk : 087030010
Program Studi : BIOLOGI
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M. Sc
Ketua Anggota
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc
Dekan
Dr. Sutarman, M. Sc
(4)
PERNYATAAN
KEANEKARAGAMAN LUMUT (BRYOPHYTA) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AEK NAULI KABUPATEN SIMALUNGUN
PROPINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2010 Penulis,
(5)
Telah diuji pada
Tanggal 1 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S Anggota : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, M. Sc
Dr. Suci Rahayu, M. Si Dr. Budi Utomo, SP. MP
(6)
ABSTRACT
The research diversity of Bryophyta plant was conducted in Aek Nauli forest, Simalungun Regency from Maret to Mei 2010. Research area was determined by using Purposive Sampling Method and data were collected with Combination Method between quadrat method and track method on two area of different altitude. The area size was 5 meter x 5 meter. The result shows there are 21 species of Bryophyta that include 10 family and 13 genus. The family that have highest species are Dicranaceae and Leucobryaceae that include 4 species. The highest relative frequensi found is Pyrrhobryum spiniforme with value of 7,39%.
(7)
ABSTRAK
Penelitian keanekaragaman lumut (Bryophyta) dilaksanakan di kawasan hutan Aek Nauli, Kabupaten Simalungun pada bulan Maret sampai Mei 2010. Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan Metode Purposive Sampling dan dalam pengambilan data digunakan Metode kombinasi antara kuadrat dan jalur dengan ukuran petak 5 m x 5 m. Dari penelitian di dapatkan 21 jenis lumut yang termasuk ke dalam 10 famili dan 13 genus. Famili yang memiliki jenis tertinggi adalah Dicranaceae dan Leucobryaceae yaitu diperoleh sebanyak 4 jenis. Jenis yang mendominasi adalah Bryohumbertia walker yaitu sebesar 2997,40. Nilai frekuensi relatif lumut tertinggi terdapat pada jenis Pyrrhobryum spiniforme sebesar 7,39%
(8)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa pengetahuan, kesehatan dan waktu sehingga tesis yang berjudul “ Keanekaragaman Lumut (Bryophyta) di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti,M.S selaku Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik M.Sc selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar terutama saat Penulis memulai penulisan hingga penyempurnaan Tesis ini.
2. Dr. Budi Utomo, SP. MP dan Dr. Suci Rahayu, M. Si, sebagai penguji I dan penguji II yang telah banyak memberikan arahan dan masukkan dalam penyempurnaan penyusunan tesis ini.
3. Kedua orang tuaku, suamiku tercinta dan anakku tersayang yang memberikan motivasi, do’a dan mendampingi dengan sabar selama pendidikan demi keberhasilan studi ini
4. Nurmaini Ginting, S. Si dan Marliya, S. Si yang telah membantu dalam pengambilan dan pengolahan data.
5. Rekan-rekan di Program Studi Biologi Tahun 2008, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. .
(9)
RIWAYAT HIDUP
HERLINAWATI SIREGAR dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1966 di Tanjung Balai, Asahan Provinsi Sumatera Utara. Anak dari pasangan Bapak drh. Kamaludin Siregar dan Ibu Mastiawan Tanjung sebagai anak ke 2 dari 6 bersaudara.
Tahun 1979 penulis lulus dari SD Negeri 1 Tanjung Balai. Pada tahun 1982 lulus dari SMP Negeri 2 Medan dan tahun 1985 lulus dari SMA Negeri 2 Medan. Pada tahun 1985 meneruskan pendidikan di Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Negeri Medan Jurusan Pendidikan Biologi dan tamat tahun 1990. Pada bulan Maret 1992 diangkat menjadi PNS di SMA Negeri Martapura, Kalimantan Selatan kemudian pindah ke SMA Negeri 2 Medan pada tahun 1996 sampai sekarang.
Tahun 2008 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Program Megister (S2) Biologi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan Beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT...
ABSTRAK... KATA PENGANTAR ... RIWAYAT HIDUP... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...
i ii iii iv vii viii x I. PENDAHULUAN... 1 1.1Latar Belakang...
1.2Permasalahan... 1.3Tujuan ... 1.4Manfaat ...
1 3 4 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Pengertian Lumut (Bryophyta)………... 2.2 Ciri-ciri Lumut……… 2.3 Klasifikasi Lumut ………... 2.4 Siklus Hidup Lumut……… 2.5 Manfaat Lumut………...
5 7 9 10 12 III. BAHAN DAN METODE ... 13
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 3.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 3.3 Alat dan Bahan...
13 13 15 3.4 Pelaksanaan Penelitian... 15
3.4.1 Di lapangan ... 3.4.2 Di laboratorium ... 3.4.3 Petunjuk Pengamatan Lumut ... 3. 5 Analisis Data ...
15 17 18 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1 Kekayaan jenis lumut di kawasan hutan Aek Nauli…………... 4.2 Nilai Frekuemsi dan Frekuensi Relatif lumut………..…... 4.3 Dominansi Luas Permukaan Tumbuhan Lumut………... 4.4 Asosiasi Lumut dan Inangnya………. 4.5 Kunci Identifikasi Lumut di Kawasan Hutan Aek Nauli……… 4.5.1 Kunci identifikasi famili………..
21 25 28 29 33 33
(11)
4.5.2 Kunci identifikasi jenis……… 4.6 Kunci Determinasi Lumut di Kawasan Hutan Aek Nauli...
34 35 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
6.1 Kesimpulan ... 6.2 Saran ...
54 55 DAFTAR PUSTAKA ... 56
(12)
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Jenis Lumut yang Diperoleh pada kedua lokasi Penelitian di
Hutan Aek Nauli... 21 2. Nilai Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lumut di Kawasan Hutan
Aek Nauli……… 25
3. Data Faktor Fisik Hutan Aek Nauli... 26 4. Nilai Dominansi dan Dominansi Relatif Lumut di Kawasan
Hutan Aek Nauli……….
29 5. Asosiasi Lumut dengan Inangnya... 32
(13)
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Tumbuhan Lumut... 8
2. Siklus hidup lumut... 10
3. Skema Jalur Pengambilan Sampel………... 16
4. Persentase Jumlah Famili Lumut yang Terdapat di Hutan Aek Nauli………... 23 5. Acroporium LamprophyllumMitten... 35
6. Acroporium Rufum(Reinwardt & Hornschuch). Fleischer... 36
7. Acroporium Sigmatodontium(C. Muller). Fleischer... 37
8. Bazzania sp………….. 38
9. Bazzania trilobata……… 38
10. Lepidozia sp………. 39
11. Bryohumbertia walker(Mitten). Frahm………… 40
12. Campylopus ericoides(Griffith). Jaeger………….. 41
13. Dicranoloma braunii(C. Muller) Paris………. 42
14. Dicranoloma Leucophyllum(Hampe ex Sande Lacoste)…….. 43
15. Hypopterygium ceylanium(Fleischer)……… 43
16. Leucobryum javense(Bridel). Mitten………… 44
17. Leucobryum juniperoides(Bridel) C. Muller……… 45
(14)
19. Leucobryum sumatranumBrothherus ex Fleischer………….. 48 20. Macrothomnium javenseFleischer………. 48 21. Pogonatum cirratum(Swartz) Bridel………… 49 22. Pyrrhobryum spiniformeHedwig………... 50 23. Sphagnum cuspidatumEnhart ex G. F. Hoffmann…………... 51 24. Thuidium cymbifolium (Dozy & Molkenboer)………... 52 25. Thuidium meyenianum(Hampe) Dozy & Molkenboer………. 53
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Peta lokasi penelitian... 59 2. Hasil Identifikasi Lumut... 60 3. Data perhitungan Frekuensi dan Frekuensi Relatif
lumut... 62 4. Faktor fisik-kimia lokasi penelitian... 63 5. Data Curah Hujan di Kawasan Hutan Aek Nauli... 64
6.. Contoh perhitungan nilai Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi dan Dominansi Relatif...
65
7. Data Luas Permukaan Lumut ... 67 8. Foto-foto penelitian... 68
(16)
ABSTRACT
The research diversity of Bryophyta plant was conducted in Aek Nauli forest, Simalungun Regency from Maret to Mei 2010. Research area was determined by using Purposive Sampling Method and data were collected with Combination Method between quadrat method and track method on two area of different altitude. The area size was 5 meter x 5 meter. The result shows there are 21 species of Bryophyta that include 10 family and 13 genus. The family that have highest species are Dicranaceae and Leucobryaceae that include 4 species. The highest relative frequensi found is Pyrrhobryum spiniforme with value of 7,39%.
(17)
ABSTRAK
Penelitian keanekaragaman lumut (Bryophyta) dilaksanakan di kawasan hutan Aek Nauli, Kabupaten Simalungun pada bulan Maret sampai Mei 2010. Lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan Metode Purposive Sampling dan dalam pengambilan data digunakan Metode kombinasi antara kuadrat dan jalur dengan ukuran petak 5 m x 5 m. Dari penelitian di dapatkan 21 jenis lumut yang termasuk ke dalam 10 famili dan 13 genus. Famili yang memiliki jenis tertinggi adalah Dicranaceae dan Leucobryaceae yaitu diperoleh sebanyak 4 jenis. Jenis yang mendominasi adalah Bryohumbertia walker yaitu sebesar 2997,40. Nilai frekuensi relatif lumut tertinggi terdapat pada jenis Pyrrhobryum spiniforme sebesar 7,39%
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia bersama sejumlah negara tropis lain seperti Brazil, Zaire dan Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiversity). Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas hewan, tanaman serta jasad renik di dunia. Diperkirakan 30% tanaman dan 90% hewan di Indonesia belum didata dengan lengkap dan didokumentasikan secara ilmiah (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Kawasan hutan Indonesia umumnya merupakan hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis terkenal dengan keanekaragaman flora termasuk di dalamnya jenis bryophyta (lumut). Menurut Touw (1978), Bryophyta terdiri dari 1500-2000 jenis mosses (lumut sejati) dan 1500-2000 jenis liverwort (lumut hati) yang mewakili 20% - 30% seluruh jenis Bryophyta.
Lumut merupakan kelompok tumbuhan kecil yang tumbuh menempel pada substrat berupa pohon, kayu mati, kayu lapuk, serasah, tanah dan batuan dengan kondisi lingkungan lembab, dan penyinaran yang cukup. Di dalam kehidupannya, faktor lingkungan sangat berpengaruh, seperti iklim mikro yang lebih berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan lumut dari pada faktor makro. Selain itu, dilaporkan satu pohon merupakan habitat komplek bagi lumut. Perlekatan dan ketahanan hidupnya pada pohon akan dipengaruhi oleh karakter perubahan kulit kayu
(19)
dari ranting yang termuda hingga cabang yang tua. Demikian juga dengan intensitas cahaya yang sampai pada permukaan pohon tersebut (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Lumut merupakan salah satu kelompok tumbuhan rendah dan bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak diteliti karena sepintas nampak tidak menarik perhatian dan bahkan sering dianggap sebagai penyebab lingkungan terlihat kotor. Namun, bila diperhatikan secara seksama beberapa jenis tumbuhan lumut ini cukup menarik, baik dari warna maupun kehidupannya yang berkelompok membentuk bantalan seperti karpet, seperti yang terdapat di Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
Penelitian keanekaragaman lumut di beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan antara lain di Sulawesi tercatat 106 jenis (Dixon, 1916), dan di Borneo dilaporkan 607 jenis (Touw, 1978). Di samping itu beberapa pulau yang termasuk dalam kawasan kepulauan Sunda Kelapa pernah juga dilaporkan jumlah lumut daunnya, yaitu di Bali tercatat 169 jenis, Lombok 152 jenis, Sumbawa 44 jenis, Flores 278 jenis, dan Timor 46 jenis (Touw, 1978), sedangkan keragaman lumut daun (Musci) di Bogor dan sekitarnya pernah dilaporkan oleh Fleischer 1900-1908 berjumlah 452 jenis. Dalam rangka pembuatan taman lumut di Kebun Raya Cibodas telah dilakukan eksplorasi di beberapa tempat di Jawa Barat seperti Gunung Gede Pangrango, Gunung Salak, Gunung Geulis Cianjur, dan beberapa tempat lain seperti Gunung Slamet di Jawa Tengah, Jambi dan Kalimantan. Jumlah yang telah dikoleksi dan tersedia untuk ditanam di kebun koleksi lumut sebanyak 235 jenis (Hasan dan Ariyanti, 2004)
(20)
Hutan Lindung Aek Nauli Kabupaten Simalungun merupakan salah satu kawasan hutan yang potensial untuk habitat dari keanekaragaman tumbuhan lumut. Hutan tersebut adalah hutan dataran tinggi di daerah Sumatera Utara yang memiliki ketinggian ±1200-1750 mdpl. Kawasan hutan tersebut memiliki bulan basah (Curah Hujan 7200 mm/bulan) selama sembilan bulan berturut-turut, kisaran suhu antara 150C - 230C, serta kelembaban yang tinggi ± 95% (BKSDA 1 SUMUT, 2003).
Bryophyta merupakan salah satu bagian kecil dari flora yang belum banyak tergali juga merupakan salah satu bagian penyokong keanekaragaman flora. Keanekaragaman tumbuhan Bryophyta di wilayah Sumatera belum banyak terungkap khususnya di Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun. Hal ini didasarkan hasil pengecekan spesimen koleksi herbarium di Herbarium Bogoriense tidak pernah ditemukan spesimennya maupun laporannya tentang lumut Sumatera. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian di Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana keanekaragaman tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun?
2. Bagaimana habitat spesies tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun?
3. Bagaimana frekuensi jenis tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun?
(21)
4. Bagaimana dominansi tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Aek Nauli Simalungun?
5. Bagaimana asosiasi tumbuhan lumut dengan inangnya?
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
2. Mengetahui habitat spesies tumbuhan lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
3. Mengetahui frekuensi jenis-jenis lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
4. Mengetahui dominansi jenis-jenis lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun.
5. Mengetahui Asosiasi tumbuhan lumut dengan inangnya.
1.4. Manfaat
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Sebagai bahan informasi dan data tentang berbagai jenis tumbuhan lumut (Bryophyta) di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Simalungun, sebagai sumber plasma nutfah yang belum banyak digali manfaatnya.
2. Sebagai bahan informasi bagi para peneliti agar termotivasi menggali potensi yang terdapat pada lumut sebagai bahan obat-obatan ataupun untuk mengetahui
(22)
jenis struktur kandungan tanah misalnya Polytricumcommune yang menunjukkan adanya kapur pada habitatnya.
3. Sebagai sumber informasi bagi Dinas Kehutanan dan masyarakat dalam pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati.
(23)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lumut (Bryophyta)
Lumut merupakan kelompok tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan darat. Kelompok tumbuhan ini penyebarannya menggunakan spora dan telah mendiami bumi semenjak kurang lebih 350 juta tahun yang lalu. Pada masa sekarang ini Bryophyta dapat ditemukan disemua habitat kecuali di laut (Gradstein, 2003).
Dalam skala evolusi lumut berada diantara ganggang hijau dan tumbuhan berpembuluh (tumbuhan paku dan tumbuhan berbiji). Persamaan antara ketiga tumbuhan tersebut adalah ketiganya mempunyai pigmen fotosintesis berupa klorofil A dan B, dan pati sebagai cadangan makanan utama (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Perbedaan mendasar antara ganggang dengan lumut dan tumbuhan berpembuluh telah beradaptasi dengan lingkungan darat yang kering dengan mempunyai organ reproduksi (gametangium dan sporangium), selalu terdiri dari banyak sel (multiselluler) dan dilindungi oleh lapisan sel-sel mandul, zigotnya berkembang menjadi embrio dan tetap tinggal di dalam gametangium betina. Oleh karena itu lumut dan tumbuhan berpembuluh pada umumnya merupakan tumbuhan darat tidak seperti ganggang yang kebanyakan aquatik (Tjitrosoepomo, 1989).
Lumut dapat dibedakan dari tumbuhan berpembuluh terutama karena lumut (kecuali Polytrichales) tidak mempunyai sistem pengangkut air dan makanan. Selain itu lumut tidak mempunyai akar sejati, lumut melekat pada substrat dengan
(24)
menggunakan rhizoid. Siklus hidup lumut dan tumbuhan berpembuluh juga berbeda (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Pada tumbuhan berpembuluh, tumbuhan sesungguhnya di alam merupakan generasi aseksual (sporofit), sedangkan generasi gametofitnya sangat tereduksi. Sebaliknya pada lumut, tumbuhan sesungguhnya merupakan generasi seksual (gametofit). Sporofit lumut sangat tereduksi dan selama perkembangannya melekat dan tergantung pada gametofit (Polunin, 1990).
2.2. Ciri-ciri Lumut
Ciri-ciri lumut secara umum adalah sebagai berikut :
o Berwarna hijau, karena sel-selnya memiliki kloroplas (plastida).
o Struktur tubuhnya masih sederhana, belum memiliki jaringan pengangkut.
o Proses pengangkutan air dan zat mineral di dalam tubuh berlangsung secara difusi dan dibantu oleh aliran sitoplasma.
o Hidup di rawa-rawa atau tempat yang lembab.
o Ukuran tinggi tubuh ± 20 cm.
o Dinding sel tersusun atas sellulose.
o Gametangium terdiri atas anteredium dan archegoniom.
o Daun lumut tersusun atas selapis sel berukuran kecil mengandung kloroplas seperti jala, kecuali pada ibu tulang daunnya.
o Hanya mengalami pertumbuhan primer dengan sebuah sel pemula berbentuk tetrader.
(25)
o Belum memiliki akar sejati, sehingga menyerap air dan mineral dalam tanah menggunakan rhizoid.
o Rhizoid terdiri atas beberapa lapis deretan sel parenkim.
o Sporofit terdiri atas kapsul dan seta.
o Sporofit yang ada pada ujung gametofit berwarna hijau dan memiliki klorofil, sehingga bisa melakukan fotosintesis.
Gambar 1. Tumbuhan Lumut (Sumber: Hasan dan Ariyanti, 2004)
2.3. Klasifikasi Lumut
Divisi Bryophyta terdiri dari 4 kelas yaitu Bryopsida (Musci), Anthoceropsida (Anthoceroptae), Hepaticopsida (Hepaticae), Takakiopsida. Hepaticopsida dikenal sebagai lumut hati. Gametofit lumut hati mempunyai struktur
(26)
morfologi bervariasi. Ada 2 tipe lumut hati yaitu lumut hati bertalus (thallose liverwort) dan lumut hati berdaun (leafy liverwort). Lumut hati melekat pada substrat dengan rhizoid uniselluler (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Pada kebanyakan lumut thalloid selain rhizoid juga dijumpai sisik-sisik. Sporofit pada kelompok lumut ini hidupnya hanya sebentar, lunak dan tidak berklorofil. Spora yang telah masak dikeluarkan dari kapsul dengan cara kapsul pecah menjadi 4 bagian memanjang atau lebih (Gradstein, 2003)..
Anthoceropsida atau lumut tanduk mempunyai gametofit bertalus dengan sporofit indeterminate dan berklorofil. Berbeda dengan bryophyta lainnya, sel-sel talus Anthocerpsida mempunyai satu kloroplas besar pada masing-masing selnya. Kapsul berbentuk silindris memanjang dimulai dari bagian ujung kapsul (Hasan dan Ariyanti, 2004).
Bryopsida dikenal sebagai lumut daun atau lumut sejati, merupakan kelas yang terbesar dalam bryophyta. Hampir semua anggotanya mempunyai gametofit yang telah terdifferensiasi sehingga dapat dibedakan bentuk-bentuk seperti batang, cabang dan daun. Sporofit bryopsida berumur panjang, berwarna kecokelatan terdiri atas kaki yang berfungsi untuk menyerap nutrien dari gametofit, dan kapsul yang disangga oleh suatu tangkai disebut seta. Spora masak dibebaskan dari kapsul setelah operculum (struktur semacam tutup pada kapsul) membuka secara perlahan-lahan melalui satu atau dua baris gigi-gigi yang disebut peristom. Takakiopsida hanya mempunyai satu marga yaitu Takakia, dikenal sebagai suatu kelompok baru Bryopsida. Takakiopsida mempunyai ciri-ciri gabungan antara lumut sejati dan lumut hati (Mishler et al., 2003).
(27)
2.4. Siklus Hidup Lumut
Lumut mengalami siklus hidup diplobiontik dengan pergantian generasi heteromorfik. Kelompok tumbuhan ini menunjukkan pergiliran generasi gametofit dan sporofit yang secara morfologi berbeda. Generasi yang dominan adalah gametofit, sementara sporofitnya secara permanen melekat dan tergantung pada gametofit. Generasi sporofit selama hidupnya mendapat makanan dari gametofit seperti pada Gambar 2.2 (Mishler et al., 2003).
Gambar 2. Siklus hidup lumut
Pada siklus hidup tumbuhan lumut, sporofit menghasilkan spora yang akan berkecambah menjadi protonema. Selanjutnya dari protonema akan muncul gametofit. Generasi gametofit mempunyai satu set kromosom (haploid) dan menghasilkan organ sex (gametangium) yang disebut archegonium (betina) yang menghasilkan sel telur dan antheredium (jantan) yang menghasilkan sperma berflagella (antherezoid dan spermatozoid). Gametangium biasanya dilindungi oleh
(28)
daun-daun khusus yang disebut bract (daun pelindung) atau oleh tipe struktur pelindung lainnya (Mishler et al., 2003).
Gametangium jantan (antheredium) berbentuk bulat atau seperti gada, sedangkan gametogonium betinanya (arkegonium) berbentuk seperti botol dengan bagian lebar disebut perut dan bagian yang sempit disebut leher. Gametangia jantan dan betina dapat dihasilkan pada tanaman yang sama (monoceous) atau pada tanaman berbeda (dioceous) (Gradstein, 2003).
Fertilisasi sel telur oleh antherezoid menghasilkan zigot dengan dua set kromosom (diploid). Zigot merupakan awal generasi sporofit. Selanjutnya pembelahan zigot membentuk sporofit dewasa yang terdiri dari kaki sebagai pelekat pada gametofit, seta atau tangkai dan kapsul (sporangium) di bagian ujungnya. Kapsul merupakan tempat dihasilkannya spora melalui meiosis. Setelah spora masak dan dibebaskan dari dalam kapsul berarti satu siklus hidup telah lengkap (Hasan dan Ariyanti, 2004).
2.5. Manfaat Lumut
Suatu penelitian yang menyangkut kegunaan Bryophyta di seluruh dunia telah dilakukan. Berdasarkan data yang ada, lumut dapat digunakan sebagai bahan untuk hiasan rumah tangga, obat-obatan, bahan untuk ilmu pengetahuan dan sebagai indikator biologi untuk mengetahui degradasi lingkungan. Beberapa contoh lumut yang dapat digunakan tersebut adalah Calymperes, Campylopus dan Sphagnum (Glime & Saxena, 1991 dalam Tan, 2003). Selain sebagai indikator lingkungan, keberadaan lumut di dalam hutan hujan tropis sangat memegang peranan penting
(29)
sebagai tempat tumbuh organisme seperti serangga dan waduk air hujan (Gradstein, 2003).
Sphagnum kadang-kadang digunakan sebagai media alternatif untuk mengerami telur buaya oleh para petani buaya di Philipina. Bahkan dilaporkan pula penggunaan lumut yang dikeringkan sebagai bahan bakar dan bahan untuk konstruksi rumah-rumah di daerah-daerah panas tetapi hal ini tidak dapat diterapkan di wilayah Asia Tenggara (Pant & Tewari, 1989 dalam Tan, 2003).
Lumut sering juga digunakan untuk pertamanan dan rumah kaca. Hal lain yang telah dilakukan dengan lumut ini adalah menggunakannya sebagai bahan obat-obatan. Berdasarkan hasil penelitian di Cina, lebih dari 40 jenis lumut telah digunakan oleh masyarakat Cina sebagai bahan obat-obatan terutama untuk mengobati gatal-gatal dan penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri dan jamur (Ding, 1982 dalam Tan 2003).
(30)
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian berlangsung selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai Mei 2010. Lokasi Penelitian ini adalah Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli, Kawasan yang terletak di Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangani Bolon Kabupaten Simalungun.
3.2 Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Hutan Lindung Aek Nauli Parapat secara administratif berada di kawasan ini terletak di Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangani Bolon Kabupaten Simalungun. Selain itu daerah ini juga diapit oleh 2 (dua) kota, yaitu Parapat yang berjarak ± 10,5 km dan kota Pematang Siantar ± 33,5 km. Jarak Aek Nauli ke kota Medan ± 163,5 km yang memerlukan waktu ± 4 jam perjalanan. Letak Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli secara geografis, berada di antara 200 41’ sampai 200 44’ LU dan 980 57’ sampai dengan 980 58’ BT.
Kawasan ini terletak pada ketinggian 1200 m dpl. Mempunyai topografi datar, bergelombang, berbukit dan berada pada kemiringan lereng datar sampai curam. Luas lokasi keseluruhannya ± 1.750 Ha. Kawasan ini berbatasan dengan:
- Sebelah Utara : Danau Toba Parapat - Sebelah Selatan : Kecamatan Lumban Julu - Sebelah Barat : Danau Toba Parapat
(31)
Hutan Lindung Aek Nauli, Kabupaten Toba Samosir yang berada pada ketinggian ± 1.200-1.750 m dpl, merupakan daerah yang terdiri dari tebing-tebing yang tinggi, jurang yang terjal, sungai yang deras, sehingga setengah dari luas wilayah hutan ini praktis tidak tersentuh tangan-tangan manusia (BKSDA 1 SUMUT, 2003). Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Fergusson, hutan penelitian Aek Nauli termasuk iklim tipe A dengan intensitas curah hujan tahunan 2.525,22 mm (data Statistik BPK – PS tahun 1990-2000). Suhu udara rata-rata 19,80C (rata-rata minimum 16,80C dan rata-rata suhu maksimum 230C), rata-rata kelembaban udara 62,7% (rata-rata kelembaban udara minimum dan maksimum adalah 49,6%) (BKSDA 1 SUMUT, 2003).
Hutan ini memiliki tekstur tanah berliat halus, lempung berpasir, lempung berliat, berlempung halus, liat berdebu, lempung berdebu, lempung liat berdebu dan berdebu halus, pH tanah 5,3 – 6,9; Suhu tanah 180C – 200C; Serta kelembaban udara sekitar 83% - 91%. Pada tingkat keasaman tanah di lokasi penelitian ini berada dibawah standart normal (pH = 7). Melihat kisaran pH ini dapat dijelaskan bahwa berkaitan dengan proses pelapukan bahan-bahan organik yang ada dilapisan top soil. Pembusukan dan peristiwa dekomposisi oleh dekomposer yang merubah bahan-bahan organik berupa serasah dedaunan, kayu yang membusuk dan semua sisa hewan mati, mengakibatkan pergeseran derajat keasaman menjadi kurang dari 7,0. (BKSDA 1 SUMUT, 2003).
(32)
3.3Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran/pita ukur, kertas milimeter, alat tulis dan buku lapangan, Buku Identifikasi, parang, gunting tanaman, sasak kayu (alat press), label spesimen, lakban, soil tester, loupe, lux meter, kamera (dokumentasi), altimeter, pH meter, GPS Garmin 12 XL
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah lumut, kantung plastik ukuran 40 x 60 cm, kertas koran bekas, label gantung, dan tali.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Lapangan
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling berdasarkan keberadaan tumbuhan lumut yang dianggap mewakili tempat tersebut, sedangkan untuk pengamatan dan koleksi anggrek di dalam komunitas, menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dengan metode garis berpetak. Cara kerja sebagai berikut:
1. Penentuan daerah sampel pada Hutan Lindung Aek Nauli ditentukan langsung dengan satuan-satuan petak contoh yang diletakkan pada interval jarak yang sama pada seluruh areal populasi berdasarkan jalur yang sudah ada. Kemudian menentukan petak contoh awal dengan luas 5 x 5 m sebanyak 40 plot, seperti yang terlihat pada Gambar 3
2. Menghitung luas tutupan tumbuhan dengan kertas millimeter blok.
(33)
4. Melakukan pencatatan ciri tumbuhan yang hilang atau yang tidak dapat diamati setelah diherbarium.
5. Melakukan pencatatan keterangan lapangan yang penting seperti sifat morfologi, tempat tumbuh, dan substrat tumbuh.
6. Melakukan pengkoleksian di lapangan pada tiap jenis tumbuhan lumut dan juga inangnya untuk keperluan identifikasi lanjutan serta pembuatan herbarium kering di lapangan.
7. Pengambilan data ekologi dan media tumbuh tumbuhan lumut dilakukan berdasarkan pada daerah dimana suatu jenis spesies ditemukan. Adapun data ekologi dan media tumbuh adalah rona lingkungan, ketinggian dan titik kordinat (GPS), kelembaban udara (hygrometer), suhu udara (aerothermo digital), suhu tanah (soil termometer), pH dan kelembaban tanah (soil tester), intensitas cahaya (lux meter).
Jalur
5 m x 5 m Gambar 3. Skema Jalur Pengambilan Sampel
3.4.2. Laboratorium
Setelah pengamatan di lapangan berakhir, tumbuhan lumut yang telah dikoleksi dibuka kembali dan dikeringkan dalam oven pengering. Spesimen yang
(34)
benar-benar kering diidentifikasi di Herbarium MEDANENSE menggunakan beberapa buku acuan sebagai berikut: 'Mosses of The Philippines' (Bartram,1939); 'A Handbook of Malesian Mosses volume 1' (Eddy, 1988); 'A Handbook of Malesian Mosses volume 2' (Eddy, 1990); 'A Handbook of Malesian Mosses volume 3' (Eddy, 1996, selanjutnya untuk spesimen yang tidak dapat diidentifikasi di kirim ke herbarium Bogoriense. Adapun perlakuan spesimen lumut di laboratorium sebagai berikut:
1. Lumut diambil dari tempat tumbuhnya (tanah, permukaan bebatuan, kulit batang) dengan bantuan pisau atau alat pencongkel. Lumut yang hidup menempel pada daun (epifil) dikoleksi bersama dengan daun inangnya. Setiap jenis lumut dimasukkan ke dalam amplop terpisah, kemudian diberi label yang telah diberi nomor urut dan nama kolektor, dan ditulis dengan pensil. 2. Lumut di dalam amplop tersebut akan tahan sampai beberapa hari sebelum
diproses menjadi herbarium. Jika lumut harus diperiksa dalam keadaan segar (terutama lumut hati, untuk diamati bentuk oil body-nya) maka spesimen tersebut harus dimasukkan dalam kantong plastik, diberi tissue basah dan diberi label, kemudian kantong ditutup rapat.
3. Lumut diproses menjadi spesimen herbarium dengan cara diangin-anginkan, atau dimasukkan dalam lembaran-lembaran kertas koran yang setiap hari diganti, atau dimasukkan dalam oven dengan suhu hangat (50-60˚C) sampai lumut benar-benar kering.
4. Lumut berdaging (seperti lumut hati bertalus) dan lumut epifilous (dengan daun inangnya) perlu dimasukkan ke dalam alat pengepres (sasak kayu)
(35)
selama proses pengeringan. Lumut yang sudah dikeringkan disimpan dalam amplop kertas atau kertas yang telah dilipat, kemudian diberi label dengan keterangan tentang nama jenis (apabila telah diketahui nama jenisnya), nama kolektor, nama koleksi, tempat/daerah asal koleksi, evelasi, habitat, determinator dan tanggal determinasi, keterangan lain yang dianggap perlu. Pemakaian stepler, slip kertas dan selotip untuk menempel harus dihindari. 5. Koleksi lumut dapat disimpan dan disusun rapi dalam kotak bekas sepatu atau
kotak bekas tissue. Lumut berukuran besar dapat disimpan seperti menyimpan koleksi tumbuhan tinggi. Spesimen lumut yang benar-benar kering tidak mudah diserang jamur, oleh sebab itu koleksi tidak perlu diberi racun selama penyimpanan. Namun demikian, koleksi perlu diberi kamfer untuk mencegah pengerusakan oleh serangga (Hasan dan Ariyanti, 2004).
3.4.3. Petunjuk Pengamatan Lumut
Pengamatan lumut untuk identifikasi dapat dilakukan berdasarkan spesimen segar ataupun koleksi spesimen herbarium.
1. Pengamatan koleksi lumut dapat dilakukan dengan cara mengambil spesimen secukupnya, kemudian potongan tersebut direndam dalam air, setelah itu dibuat preparat basah supaya lumut dapat diamati di bawah mikroskop. Untuk pengamatan daun dilakukan pembuatan preparat basah dengan cara lumut pada bagian pangkalnya dijepit dengan jarum atau pinset, kemudian daunnya dirontokkan dengan hati-hati dari atas ke bawah, sedangkan batangnya dibuang. Daun diratakan diatas gelas preparat, ditutup dengan gelas penutup,
(36)
kemudian diamati dengan memakai mikroskop. Apabila diperlukan pengamatan irisan melintang daun maka daun diiris tipis dengan pisau silet, kemudian diamati di bawah mikroskop.
2. Pembuatan preparat kapsul dari koleksi memerlukan perlakuan khusus. Kapsul dipotong dari setanya, diletakkan pada gelas preparat, selanjutnya kapsul dipotong membujur dan dilebarkan. Jika kapsul sukar diratakan atau kapsul selalu menggulung maka kapsul dapat dipotong menjadi dua atau lebih. Salah satu potongan diperlihatkan sisi luarnya, sedangkan potongan lain diperlihatkan sisi dalamnya.
3. Kemudian preparat ditutup dengan gelas penutup dan diamat. Kadang-kadang pada preparat terlihat banyak gelembung udara dan spora. Hal ini dapat dihindari dengan cara memasukkan kapsul didalam air mendidih sebentar sebelum dipotong. Jika pengamatan memerlukan waktu yang cukup lama maka dibuat preparat awetan sebagai berikut. Gelas preparat yang telah ada potongan kapsulnya dipanaskan dengan hati-hati di atas nyala lilin, sambil diamati sampai airnya mengering dan sporanya menyebar. Setelah itu preparat ditetesi dengan larutan air, lalu ditutup dengan gelas penutup, dan diberi label. Preparat awetan ini dapat disimpan untuk waktu yang lama (Hasan dan Ariyanti, 2004).
3.5. Analisis Data
Data yang didapat dari lapangan dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(37)
1. Frekwensi (Indriyanto, 2006) sebagai berikut: a. Frekwensi suatu jenis
Dengan rumus :
F = Jumlah petak contoh ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak contoh
b. Frekwensi relatif suatu jenis FR Dengan rumus :
FR = F suatu jenis x 100% F seluruh jenis
2. Dominansi.
Dominansi ditentukan dengan luas permukaan lumut yang dihitung dengan software Auto CAD versi 2009.
a. Dominansi suatu jenis Dengan rumus :
D = Luas permukaan tajuk Jumlah seluruh petak contoh b. Dominansi relatif suatu jenis DR
Dengan rumus :
DR = D suatu jenis x 100% D seluruh jenis
3. Asosiasi dengan inangnya yang dilakukan dengan cara mencatat dan mengoleksi tumbuhan inang yang ditempeli oleh lumut.dalam bentuk tabel.
(38)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kekayaan Jenis Lumut di Kawasan Hutan Aek Nauli
Berdasarkan hasil penelitian tentang keanekaragaman lumut yang telah dilakukan di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Kabupaten Simalungun diperoleh 21 jenis Lumut yang termasuk ke dalam 10 famili dan 13 genus (Tabel 1). Jenis-jenis lumut ini tumbuh pada habitat yang beranekaragam yang meliputi kulit kayu, tanah, batu, daun, ranting dan kayu mati.
Tabel 1. Jenis Lumut yang Diperoleh pada lokasi Penelitian di Hutan Aek Nauli
No Famili Genus Jenis Habitat
Acroporium lamprophyllum Kk
Acroporium rufum Kk
1 2 3
Sematophyllaceae 1. Acroporium
Acroporium sigmatodontium Kk
Bazzania sp. T
4
5 2. Bazzania Bazzania trilobata T
6
Lepidoziaceae
3. Lepidozia Lepidozia sp. Kk, Bc,
4. Bryohumbertia Bryohumbertia walkeri Kk, T
5. Campylopus Campylopus ericoides Bc
Dicranoloma braunii D
7 8 9 10
Dicranaceae
6. Dicranoloma
Dicranoloma Leucophyllum Km
11 Hypoterygiaceae 7. Hypopterygium Hypopterygium ceylanium R
Leucobryum javense T
Leucobryum juniperoides Km
Leucobryum sanctum T
12 13 14 15
Leucobryaceae 8. Leucobryum
Leucobryum sumatranum T
16 Hylocomiaceae 9. Macrothomnium Macrothomnium javense T 17 Polytrichaceae 10. Pogonatum Pogonatum cirratum Kk 18 Rhizogoniaceae 11. Pyrrhobryum Pyrrhobryum spiniforme D
19 Sphagnaceae 12. Sphagnum Sphagnum cuspidatum Kk
Thuidium cymbifolium R
20
21 Thuidiaceae 13. Thuidium Thuidium meyenianum Kk, Km, R Keterangan:
Kk : Kulit kayu (batang pohon), R : ranting, Bc : Batu cadas, D : Daun, T : Tanah, Km : Kayu mati Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa lumut yang ditemukan di hutan Aek Nauli kekayaan jenisnya relatif lebih rendah rendah. Hal ini dapat dibandingkan dari
(39)
penelitian sebelumnya yang dilakukan di lokasi yang berbeda oleh Damayanti (2006), yang melaporkan di Kebun Raya Cibodas ditemukan 235 jenis dalam 49 famili. Windadri (2007), menambahkan di Kawasan Cagar Alam Kakenauwe dan Suaka Margasatwa Lambusango, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara ditemukan 25 jenis lumut. Rendahnya kekayaan jenis lumut di kawasan hutan Aek Nauli kemungkinan diakibatkan oleh kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhannya. Lumut banyak ditemukan pada lokasi yang bervegetasi rapat, teduh, kelembaban cukup tinggi dan datar. Pada lokasi bergelombang dengan kemiringan yang tajam serta lantai hutan berupa batu cadas tidak banyak ditemukan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan Aek Nauli, diperoleh faktor fisik lingkungan sebagai berikut: suhu udara 20,67 °C, kelembaban 90,67%, pH tanah di bawah normal yaitu 6,33 dan intensitas cahaya yang cukup tinggi yaitu sebesar 2686.67 lux meter (Lampiran 3). Kondisi demikian kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan lumut, terutama intesitas cahaya matahari yang tinggi yang mungkin menyebabkan rendahnya kekayaan jenis lumut di kawasan hutan Aek Nauli. Selain itu, jika dilihat dari keadaan tanahnya yang memiliki tekstur lempung berpasir, lempung berdebu dan lempung berliat menyebabkan tanah tersebut tidak dapat menyimpan air meskipun curah hujan cukup tinggi yaitu berkisar antara 2.525,22 mm pertahun.
Lebih lanjut pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa habitat lumut di kawasan hutan Aek Nauli ada 6 jenis, yaitu kulit kayu (batang pohon), ranting, batu cadas, daun, tanah, dan kayu mati. Kebanyakan lumut tumbuh pada kulit kayu (batang pohon) dan tanah yang lembab. Tingginya jenis lumut yang tumbuh menumpang pada kulit kayu
(40)
disebabkan oleh kondisi tekstur kulit kayu di lokasi penelitian yang yang retak atau kasar dan terdapat sedikit serasah serta tanah. Kondisi yang demikian sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan lumut.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Windadri (2007), bahwa lumut merupakan kelompok tumbuhan kecil yang tumbuh menempel pada substrat berupa pohon, kayu mati, kayu lapuk, serasah, tanah dan batuan. Menurut Damayanti (2006), pada umumnya tumbuhan lumut menyukai tempat-tempat yang basah dan lembab di dataran rendah sampai dataran tinggi. Selanjutnya Richard (1984), menambahkan bahwa pohon merupakan habitat yang kompleks bagi lumut. Perlekatan dan ketahanan hidup lumut pada pohon akan dipengaruhi oleh karakter perubahan kulit kayu dari ranting termuda hingga cabang yang tua. Demikian juga dengan intensitas cahaya yang sampai pada permukaan pohon tersebut juga ikut mempengaruhinya.
Famili yang memiliki jenis yang paling banyak adalah Dicranaceae dan Leucobryaceae yaitu diperoleh sebanyak 4 jenis, kemudian diikuti oleh Lepidoziaceae dan Sematophyllaceae sebanyak 3 jenis, famili Thuidiaceae sebanyak 2 jenis dan famili Hypoterygiaceae, Hylocomiaceae, Polytrichaceae, Rhizogoniaceae dan Sphagnaceae masing-masing sebanyak 1 jenis. Persentase jumlah famili yang terdapat di hutan Aek Nauli dapat dilihat pada Gambar 3. berikut ini:
(41)
Gambar 3. Persentase Jumlah Famili Lumut yang Terdapat di Hutan Aek Nauli Berdasarkan Gambar 3. dapat diketahui bahwa famili Dicranaceae dan Leucobryaceae mempunyai persentase yang paling tinggi yaitu 19%, kemudian diikuti oleh Lepidoziaceae dan Sematophyllaceae 14%, famili Thuidiaceae 9% dan famili Hypoterygiaceae, Hylocomiaceae, Polytrichaceae, Rhizogoniaceae dan Sphagnaceae masing-masing 5%. Tingginya jumlah jenis pada famili Dicranaceae dan Leucobryaceae disebabkan oleh faktor fisik lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan lumut jenis tersebut. Pada lokasi penelitian suhu udara 20,67°C, intensitas cahaya 2686.67 lux meter, dan kelembaban udara 90,67%. Berdasarkan kondisi fisik lingkungan yang demikian, dapat dikatakan bahwa di hutan Aek Nauli kondisinya cocok untuk pertumbuhan lumut famili Dicranaceae dan Leucobryaceae. Menurut Furness dan Grime (1982), kebanyakan lumut-lumut famili Dicranaceae dan Leucobryaceae mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhan sekitar 15-25ºC.
(42)
4.2Nilai Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lumut
Frekuensi kehadiran dan frekuensi relatif menggambarkan tingkat kehadiran suatu jenis pada suatu habiat. Dari frekuensi kehadiran dapat tergambar penyebaran jenis organisme pada suatu habitat. Frekuensi relatif suatu jenis adalah proporsi frekuensi jenis tersebut dari frekuensi semua jenis, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lumut di kawasan hutan Aek Nauli
No Spesies Jumlah F FR (%) Kelas
1 Pyrrhobryum spiniforme 40 1.00 7.39 E
2 Pogonatum cirratum 39 0.98 7.21 E
3 Lepidozia sp. 36 0.90 6.65 E
4 Leucobryum sumatranum 35 0.88 6.47 E
5 Dicranoloma braunii 34 0.85 6.28 E
6 Acroporium lamprophyllum 33 0.83 6.10 E
7 Campylopus ericoides 32 0.80 5.91 D
8 Macrothomnium javense 32 0.80 5.91 D
9 Dicranoloma Leucophyllum 31 0.78 5.73 D
10 Thuidium cymbifolium 30 0.75 5.54 D
11 Thuidium meyenianum 29 0.73 5.36 D
12 Acroporium rufum 26 0.65 4.80 D
13 Leucobryum javense 26 0.65 4.80 D
14 Leucobryum juniperoides 22 0.55 4.07 C
15 Leucobryum sanctum 21 0.53 3.88 C
16 Sphagnum cuspidatum 17 0.43 3.14 C
17 Acroporium sigmatodontium 15 0.38 2.77 B
18 Bryohumbertia walkeri 15 0.38 2.77 B
19 Bazzania trilobata 11 0.28 2.03 B
20 Bazzania sp. 9 0.23 1.66 B
21 Hypopterygium ceylanium 8 0.20 1.48 A
J u m l a h 541 13.53 100.00
Keterangan:
Kriteria penyebaran individu-individu spesies dalam suatu komunitas berdasarkan Hukum Frekuensi Raunkiaer: a. Jika A>B>C>=<D<E, maka kondisi komunitas tumbuhan berdistribusi normal
b. Jika E>D, sedangkan A, B dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan homogen c. Jika E<D, sedangkan A, B dan C rendah, maka kondisi komunitas tumbuhan terganggu d. Jika B, C, dan D tinggi, maka kondisi komunitas heterogen
(43)
Dari Tabel 2. dapat dilihat kelas tumbuhan lumut berdasarkan nilai frekuensinya terdiri dari 5 kriteria, yaitu A, B, C, D dan E. Kelas A, yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 1-20%, kelas B yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 21-40%, kelas C yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 41-60%, kelas D yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 61-80% dan kelas E yaitu spesies yang mempunyai frekuensi 81-100% dengan kesimpulan seperti yang terdapat pada keterangan tabel 2. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penyebaran individu-individu dalam kondisi komunitas tumbuhan homogen. Artinya individu-indivu penyusun komunitas hampir mirip. Menurut Indriyanto (2006), nilai frekuensi dapat menunjukkan homogenitas dan penyebaran dari individu-individu spesies dalam komunitas.
Lebih lanjut dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai frekuensi kehadiran lumut tertinggi terdapat pada jenis Pyrrhobryum spiniforme yaitu sebesar 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa lumut jenis Pyrrhobryum spiniforme ditemukan di seluruh lokasi penelitian (plot pengamatan). Menurut Suin (2002), Frekuensi kehadiran suatu jenis organisme di suatu habitat menunjukkan keseringhadiran jenis tersebut pada habitat tertentu. Lebih lanjut dari Tabel 2. dapat diketahui bahwa nilai Frekuensi Relatif (FR) tertinggi pada lokasi penelitian terdapat pada jenis Pyrrhobryum spiniforme sebesar 7,39%, kemudian diikuti oleh jenis Pogonatum cirratum dan Lepidozia sp. yaitu 7,21 dan 6,65%, sedangkan jenis yang memiliki nilai FR yang paling rendah yaitu Hypopterygium ceylanium, yaitu sebesar 1,48%.
(44)
Tingginya nilai Frekuensi Relatif (FR) jenis Pyrrhobryum spiniforme menunjukan banyaknya jumlah jenis tersebut pada lokasi penelitian. Jenis tersebut mampu bertahan hidup dan berkembang serta memiliki penyebaran yang luas. Keadaan ini menunjukan bahwa jenis Pyrrhobryum spiniforme tersebut toleran terhadap kondisi yang ada. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Loveless (1989), bahwa sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung berkembang luas. Berikut data faktor fisik lingkungan di hutan Aek Nauli, tercantum pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Faktor Fisik Hutan Aek Nauli
Faktor Fisik Rata-rata
1. Kelembaban Udara (%) 90.67
2. Suhu Udara (°C) 20.67
3. Suhu Tanah(°C) 22.17
4. pH tanah 6.33
5. Intensitas Cahaya (lux meter) 2686.67
Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat keadaan faktor fisik lingkungan hutan Aek Nauli yaitu suhu udara 20,67 °C, kelembaban 90,67%, suhu tanah 22,17°C, pH tanah 6,33 dan intensitas cahaya yaitu sebesar 2686.67 lux meter. Berdasarkan kondisi faktor lingkungan yang demikian dapat diketahui bahwa lumut jenis Pyrrhobryum spiniforme mampu beradaptasi, hal ini terbukti dari ditemukannya jenis lumut tersebut hampir di seluruh lokasi penelitian. Menurut Windardri (2009), bahwa lumut Pyrrhobryum spiniforme memiliki penyebaran yang luas baik di daerah tropis maupun sub tropis. Menurut Richard (1984) dalam Windardri (2008), bahwa iklim
(45)
mikro seperti suhu, kelembaban, pH substrat dan intensitas cahaya matahari lebih berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan lumut dari pada faktor makro.
Rendahnya nilai FR menunjukkan bahwa jenis tersebut tidak mampu bertahan hidup dan memiliki penyebaran yang sempit, hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang ekstrem seperti suhu yang terlalu rendah, kelembaban yang tinggi, unsur hara yang sedikit serta intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Menurut Resosoedarmo et al.,(1989), dalam suatu komunitas pengendali frekuensi jenis-jenis tumbuhan dapat berupa suhu, sifat-sifat fisik habitat atau juga dapat disebabkan oleh aktivitas para pendaki gunung. Selanjutnya Pramono (1992), menambahkan bahwa pertumbuhan selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh interaksinya dengan lingkungan seperti kompetisi dengan organisme lain.
4.3 Dominansi Luas Permukaan Tumbuhan Lumut
Dominansi merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menunjukkan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Apabila nilai dominansi tinggi, maka dominansi (penguasaan) terpusat (terdapat) pada satu spesies tetapi apabila nilai dominansi rendah, maka dominansi terpusat pada beberapa spesies. Dari data luas permukaan lumut yang telah dianalis dengan menggunakan software AutoCAD versi 2009, diperoleh dominansi luas permukaan jenis lumut. Selain itu juga dapat dilihat habitat dan dominansi relative jenis lumut seperti terlihat pada Tabel 4. berikut ini:
(46)
Tabel 4. Nilai Dominansi dan Dominansi Relatif Jenis Lumut di Hutan Aek Nauli
No Jenis Habitat D DR
(%)
Kk T Bc R Km D
1 Acroporium
lamprophyllum 0.02 0.02 1.32
2 Acroporium rufum 0.06 0.06 3.78
3 Acroporium
sigmatodontium 0.05 0.05 3.51
4 Bazzania sp. 0.18 0.18 11.75
5 Bazzania trilobata 0.04 0.04 2.44
6 Lepidozia sp. 0.01 0.02 0.03 2.11
7 Bryohumbertia walkeri 0.10 0.20 0.30 19.27
8 Campylopus ericoides 0.03 0.03 1.89
9 Dicranoloma braunii 0.06 0.06 4.11
10 Dicranoloma
leucophyllum 0.08 0.08 4.88
11 Hypopterygium
ceylanium 0.04 0.04 2.42
12 Leucobryum javense 0.02 0.02 1.12
13 Leucobryum
juniperoides 0.04 0.04 2.33
14 Leucobryum sanctum 0.03 0.03 1.96
15 Leucobryum
sumatranum 0.07 0.07 4.68
16 Macrothomnium javense 0.07 0.07 4.25
17 Pogonatum cirratum 0.09 0.09 5.63
18 Pyrrhobryum spiniforme 0.19 0.19 12.41
19 Sphagnum cuspidatum 0.06 0.06 3.55
20 Thuidium cymbifolium 0.02 0.04 0.06 3.80
21 Thuidium meyenianum 0.01 0.01 0.02 0.04 2.79
Jumlah 1.56 100
Keterangan:
Kk : Kulit kayu (batang pohon), R : ranting, Bc : Batu cadas, D : Daun, T : Tanah, Km : Kayu mati D : Dominansi, DR : Dominansi Relatif
Dari Tabel 4. dapat diketahui bahwa nilai dominansi tertinggi jenis lumut di kawasan hutan lindung Aek Nauli tertinggi terdapat pada jenis Bryohumbertia walker yaitu sebesar 0,30 (19,21%), sedangkan nilai dominansi terendah jenis lumut terdapat pada jenis Leucobryum javense yaitu sebesar 0,02 (1,21%). Tingginya nilai dominansi pada jenis Bryohumbertia walker menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai peranan yang penting dalam komunitas. Faktor-faktor lingkungan seperti
(47)
suhu udara, suhu tanah, kelembaban udara, kelembaban tanah dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan jenis lumut dan secara tidak langsung juga akan mempengaruhi nilai dominansinya. Selain itu, morfologi dari jenis lumut seperti luas tutupan tajuk juga dapat meningkatkan nilai dominansi jenis lumut tersebut. Menurut Odum (1996), umumnya jenis yang dominan adalah jenis-jenis di dalam suatu komunitas dengan produktivitas yang besar dan sebagian besar mengendalikan arus energi, selanjutnya menurut Loveles (1989), tumbuhan yang dominan mempunyai pengaruh yang besar terhadap habitat dan mendominasi atau merajai seluruh komunitas.
4.4 Asosiasi Lumut dengan Tumbuhan Inangnya
Lumut Epifit merupakan lumut yang hidupnya menumpang dan menempel pada tumbuhan, namun tidak merugikan tanaman yang ditumpanginya. Tumbuhan yang ditumpangi oleh lumut epifit disebut inang. Jenis-jenis pohon inang yang ditumpangi oleh lumut epifit dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5. dapat dilihat bahwa pohon inang yang ditumpangi oleh lumut epifit terdiri dari 8 famili dan 17 jenis yaitu Fagaceae (terdiri dari 6 jenis yaitu Castanopsis rhamifolia, Castanopsis sp., Lithocarpus hystrize, Lithocarpus endeisocarpus, Quercus gemiflora, Quercus maingayi), Lauraceae (terdiri dari 4 jenis yaitu Litsea odoratissima, Litsea sp., Cinnamomum subavenium, Neolitsea cassiifolia). Dipterocarpaceae (terdiri dari 2 jenis yaitu Shorea resinosa dan Dipterocarpus kunstleri), Asteraceae (hanya 1 jenis yaitu Vernonia arborea), Erycaceae (hanya 1 jenis Vaccinium bancanum), Symplocaceae (hanya 1 jenis Symplocos fasciculata) dan Theaceae (hanya 1 jenis
(48)
Gordoniaexcelsa). Banyaknya lumut yang menumpang pada pohon famili Fagaceae ini disebabkan oleh faktor tekstur kulit batang pohon yang kasar dan sedikit retak-retak sehingga banyak debu dan serasah yang terbawa angin dan menempel pada batang tersebut. Dalam kurun waktu yang lama, debu dan serasah ini akan menumpuk dan tersiram oleh hujan menyebabkan batang ini lembab. Kondisi yang demikian sangat cocok untuk pertumbuhan lumut epifit.
Kondisi batang yang kasar dan retak-retak ini menyebabkan debu yang terbang dapat menempel pada kulit batang dan bisa menyimpan air, udara, dan kelembaban. Selain itu dipilihnya famili Fagaceae sebagai inang lumut karena jenis pohon ini mempunyai perawakan pohon yang bercabang, dengan tipe perawakan demikian dimungkinkan ketiak percabangan merupakan tempat yang relatif lebih lembab dan akan ditemukan tumbuhan epifit seperti lumut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hartati (2007) dalam Amalia 2004, bahwa tipe kulit batang pohon dengan permukaan yang kasar dan sedikit retak-retak yang paling banyak jumlah individu epifitnya. Selain itu, dari Tabel 5. juga dapat dilihat bahwa tidak ada jenis lumut tertentu yang menempel khusus pada pohon tertentu, hal ini disebabkan karena yang lebih menentukan bukan jenis pohon inangnya tapi tekstur kulit batangnya dan faktor luar lainnya seperti intensitas cahaya yang sampai ke permukaan batang. Menurut Ewusie (1990), penyebaran epifit (lumut, paku dan anggrek) pada pohon kemungkinan dapat dipengaruhi oleh tipe kulit batang dan umur pohon inang bukan jenis pohon inangnya. Menurut Steenis (2006), tumbuhan epifit akan menempel dan tumbuh dengan baik pada batang pohon yang memiliki banyak tanah sehingga unsur hara dan air untuk fotosintesis terpenuhi.
(49)
Tabel 5. Asosiasi Lumut dengan Tumbuhan Inangnya
Jenis Lumut
No Famili Spesies Nama
lokal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
1 Asteraceae Vernonia arborea Simarnakki √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 Shorea resinosa Meranti
batu √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3
Diptero-carpaceae
Dipterocarpus
kunstleri Logan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4 Erycaceae Vaccinuim bancanum Simar ayin √ √ √ √ √ √ √
5 Euphor-
biaceae Aporusa lunata
Hoting
haraka √ √ √ √ √ √ √ √
6
Castanopsis rhamifolia
H. bunga
putih √ √ √ √ √ √ √ √
7 Castanopsis sp. H. merah √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
8 Lithocarpus hystrize
H. bunga
merah √ √ √ √ √ √ √
9
Lithocarpus
endeisocarpus H. gori √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
10 Quercus gemiflora H. turi √ √ √ √ √ √ √ √ √
11
Fagaceae
Quercus maingayi H. batu √ √ √ √ √ √ √ √ √
12 Litsea odoratissima
Modang
landit √ √ √ √ √ √ √ √ √
13 Litsea sp.
Modang
simarlasiak √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
14
Cinnamomum subavenium
Modang
siak √ √ √ √ √ √ √ √ √
15
Lauraceae
Neolitsea cassiifolia M. putih √ √ √ √ √ √ √
16 Symplocac eae Symplocos fasciculata
Monis-monis √ √ √ √ √ √ √ √ √
17 Theaceae Gordonia excelsa Api-api √ √ √ √ √
Jumlah 10 11 10 7 8 6 5 7 6 8 8 7 8 5 4 7 6 7 7 6 9
Keterangan:
1. Acroporium lamprophyllum, 2. Acroporium rufum, 3. Acroporium sigmatodontium, 4. Bazzania sp.5. Bazzania trilobata, 6. Lepidozia sp., 7.Bryohumbertia walkeri, 8. Campylopus ericoides, 9.Dicranoloma braunii, 10. Hypopterygium ceylanium, 11.Dicranoloma Leucophyllum, 12. Leucobryum javense, 13.Leucobryum juniperoides, 14. Leucobryum sanctum, 15. Leucobryum sumatranum, 16. Macrothomnium javense, 17. Pogonatum cirratum, 18. Pyrrhobryum spiniforme, 19. Sphagnum cuspidatum, 20.Thuidium cymbifolium, 21. Thuidium meyenianum
(50)
4.5 Kunci Identifikasi Lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli
Kunci identifikasi Famili dan Spesies lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli dapat dilihat pada sub bab 4.5.1 dan 4.5.2.
4.5.1 Kunci Identifikasi Famili
1. a. Daun sempit... b. Daun lebar...
Lepidoziaceae 2
2. a. Bentuk daun panjang seperti jarum... b. Bentuk daun lanset...
Dicranaceae 3
3. a. Seta membulat... b. Seta memanjang...
Sphagnaceae 4
4. a. Batang bercabang... b. Batng lurus...
Thuidiaceae 5
5. a. Tulang daun tebal... b. Tulang daun tipis...
Polytrichaceae 6
6. a. Ukuran seta pendek... b. Ukuran seta panjang...
Hylocomiaceae 7
7. a. Ujung seta runcing... b. Ujung seta rata...
Sematophyllaceae 8
8. a. Tepi daun bergelombang... b. Tepi daun lurus...
Hypoterygiaceae 9
(51)
b. Panjang daun 2-3 cm... Hylocomiaceae
4.5.2 Kunci Identifikasi Spesies
1. Acroporium
1. a. Batang tegak... b. Batang menjalar...
Acroporium Rufum 2
2 a. Panjang seta 1 cm... b. Panjang seta 6-10 mm...
Acroporium lamprophyllum Acroporium sigmatodontium
2. Bazzania
1. a. Ujung lurus ... b. Ujung bercabang 2 (dikotom)...
Bazzania sp Bazzania trilobata
3. Dicranoloma
1. a. Daun mengumpul pada bagian ujung………. b. Daun tersebar dari pangkal sampai ujung…………...
Dicranoloma Leucophyllum Dicranoloma braunii
4. Leucobryum
1. a. Seta membulat... b. Seta melengkung seperti arit...
Leucobryum sanctum 2
2. a. Daun terdiri dari 1 baris……… b. Daun terdiri dari 2 baris………...
Leucobryum javense Leucobryum juniperoides
(52)
1 a. Tepi daun bergelombang………. b.Tepi daun rata………..
Thuidium meyenianum Thuidium cymbifolium
4.6. Determinasi Lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli
Determinasi lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli dapat dilihat pada deskripsi berikut ini.
1. Acroporium lamprophyllumMitten
Famili Sematophyllaceae, Merupakan jenis lumut daun yang daunnya berwarna hijau-emas, berumah dua, Tumbuhan pipih, sedikit mengkilap pada tatakan padat. Batang menjalar, memanjang, cabang-cabang tegak atau subtegak. Daun lancet sempit, cekung, perlahan-lahan semakin sempit, panjangnya hingga 1,8 mm dan lebarnya 0,3 mm; sel-sel penyusunnya berbentu garis, dengan lebar 3 sampai 5 μ dan 12 sampai 15 kali panjangnya, sel-sel akar besar. Seta panjangnya sekitar 1 cm. Spesimen : LM 19, 19 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Papua Nugini, Fiji, Samoa. Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(53)
Gambar 5. Acroporium lamprophyllumMitten 2. Acroporium rufum(Reinwardt & Hornschuch). Fleischer
Famili: Sematophyllaceae, ramping. Batang memanjang, cabang biasanya berkait di ujungnya. Daun sering sedikit lancet, sempit, ujung meruncing, seta ramping, panjangnya hingga 2 cm, papillosa di atas; kapsul kecil, sedikit miring. Panjang daun hingga 3 mm, menyebar-tegak secara kaku dan sama sekali tidak lentur; seta jarang panjangnya 1 cm dan papillosa di atas.
Spesimen : LM 16, 19 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan. Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(54)
Gambar 6. Acroporium rufum(Reinwardt & Hornschuch). Fleischer 3. Acroporium sigmatodontium(C. Muller). Fleischer
Famili: Sematophyllaceae, tumbuhan berukuran sedang, agak ramping dalam kumpulan-kumpulan padat, hijau-emas, mengkilap. Batang bercabang secara tak teratur dan lebat, cabang tegak lemah, panjangnya hingga 4 cm. Daun rimbun, sedikit lentur, bentuk oval-lanceat, ujung meruncing sampai tajam, cekung, secara keseluruhan, panjang hingga 2,5 mm dan lebar 0,7 mm; sel-sel linier. Seta ramping, panjangnya 6 sampai 10 mm, papillosa di atas; kapsul kecil, miring, jarang panjangnya 1 mm.
Spesimen : LM 26, 20 Maret 2010
Distribusi : Sri Lanka, Sumatera, Jawa, Papua Nugini, Tahiti. Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(55)
Gambar 7. Acroporium sigmatodontium(C. Muller). Fleischer 4. Bazzania sp.
Famili Lepidoziaceae, daun lateral bulat telur memanjang berwarna hijau gelap dan mengkilap serta di bagian ujung daun dijumpai tiga gigi berbentuk segitiga dan runcing. Sel-sel helaian daunnya mempunyai penebalan di sudut-sudut sel yang disebut dengan trigon. Daun ventralnya tampak transparan tersusun oleh sel-sel berdinding tebal dan tidak mengandung kloroplas, lebarnya kurang lebih dua kali lebar batang, tepinya bergelombang atau bergigi tidak beraturan. Dalam keadaan kering (kurang air) daun akan menutup.
Spesimen : LM 11, 20 Maret 2010 Distribusi : Sumatera Utara
(56)
Gambar 8. Bazzania sp. 5. Bazzania trilobata
Famili Lepidoziaceae, daun kecil, dilihat dengan mata telanjang hampir tidak kelihatan, tumbuh sangat rapat, berkoloni, berwarna hijau-kekuningan. Pada bagian ujung membentuk percabangan dua (dikotom) dan melengkung seperti tumbuhan muda pada divisi pterydopyta (paku). Panjang berkisar antara 1 hingga 2 cm. Jarang dijumpai seta.
Spesimen : LM 25, 20 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, dan Papua Nugini Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(57)
6. Lepidozia sp.
Famili Lepidoziaceae, sering dijumpai di pangkal pohon bersama dengan lumut hati berdaun lainnya seperti Bazzania, berwarna hijau atau hijau kekuningan, dicirikan dengan percabangannya yang menyirip, daunnya dalam tiga baris, daun lateralnya incubous, segi tiga melebar dengan ujung berbagi membentuk empat silia, dilihat dari dorsal tampak cembung, daun ventral bentuknya sama dengan daun ventral tetapi ukurannya lebih kecil
Spesimen : LM 18, 20 Maret 2010 Distribusi : Sumatera Utara
Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
Gambar 10. Lepidozia sp. 7. Bryohumbertia walker(Mitten). Frahm.
Famili Dicranaceae, daun yang panjang seperti bentuk jarum dengan ujung transparan dan runcing. Batang hampir tidak kelihatan karena pertumbuhan daun roset akar. Tumbuh sangat rapat. Panjang batang 5 mm. Memiliki kapsul berwarna coklat dengan seta yang pendek, warna batang seta hijau muda dan panjang seta berkisar antara 1-2,1 cm,
(58)
Spesimen : LM 9, 20 Maret 2010 Distribusi : Sumatera dan Jawa
Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
Gambar 11. Bryohumbertia walker(Mitten). Frahm. 8. Campylopus ericoides(Griffith). Jaeger.
Famili: Dicranaceae. Jenis lumut ini mungkin merupakan salah satu jenis lumut dari kelompok Campylopus yang paling umum ditemukan di hutan yang lembab, tumbuh di permukaan batu. Lumut ini mempunyai daun yang panjang seperti jarum dengan ujung transparan. Pada bagian bawah (dekat rhizoid) berwarna kemerahan. Kapsul berwarna coklat dengan seta yang pendek, namun lumut ini jarang ditemui dengan kapsulnya.
Spesimen : LM 15, 19 Maret 2010
Distribusi : Benua Asia, tetapi menyebar ke Semenanjung Malaysia, Filipina dan Jawa
(59)
Gambar 12. Campylopus ericoides(Griffith). Jaeger. 9. Dicranoloma braunii(C. Muller) Paris
Famili Dicranaceae. Lumut ini mempunyai daun yang panjang seperti jarum dengan ujung transparan, warna putih, pertumbuhan tegak ke atas, Kapsul berwarna hijau dan bagian ujungnya meruncing berwarna orange sampai kecoklatan dengan tangkai seta yang panjang. Panjang tangkai seta 2-3 cm.
Spesimen : LM 17, 20 Maret 2010
Distribusi : Sri Lanka, Sumatera, Jawa, Papua Nugini, Tahiti. Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(60)
Gambar 13. Dicranoloma braunii(C. Muller) Paris 10. Dicranoloma leucophyllum(Hampe ex Sande Lacoste). Paris
Famili Dicranaceae, Tumbuhan mirip dengan D assimile dalam hal habitat, dengan pucuk panjangnya hingga 8 cm dan daun-daun agak teratur namun mempunyai warna hijau-keputih-putihan pucat yang mencolok (kadang-kadang hampir sepucat Leucobryum); batang berwarna coklat-karat pekat dan sering dengan kumpulan-kumpulan filamen-filamen kecoklatan. Daun panjangnya 6-10 mm, lancet agak lebar di bawah dan perlahan-lahan semakin runcing ke ujung dan mempunyai seta, lebar sekitar 1,5 mm pada kira-kira 1-1,5 mm di atas sisipan.
Spesimen : LM 12, 19 Maret 2010
Distribusi : daerah tropis Asia. Sering di S. India dan Sri Lanka tetapi menunjukkan kemunculan spasmodik namun tersebar luas di Malesia: dikenal di daerah ini dari Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua Nugini Habitat : Kayu mati
(61)
Gambar 14. Dicranoloma leucophyllum(Hampe ex Sande Lacoste). Paris 11. Hypopterygium ceylanium(Fleischer)
Famili Hypoterygiaceae, tumbuhan kecil dan lemah, hijau kekuning-kuningan pudar. Batang sekunder tegak, tingginya hingga 3 cm, bercabang lebat di atas. Batang kecil, menyebar, tersebar. Daun oval lebar, asimetris, meruncing, pendek, panjang hingga 2 mm dan lebar 1,5 mm, berbatas sempit dengan 2 baris sel memanjang jauh ke arah ujung (apex), costa berakhir di dekat bagian tengah daun. Daun cabang lebih kecil, terutama pada sisi yang lebih lebar.
Spesimen : LM 28, 20 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, Papua Nugini. Habitat : Ranting
Gambar 15. Hypopterygium ceylanium(Fleischer)
(62)
12. Leucobryum javense(Bridel). Mitten.
Famili Leucobryaceae. Lumut ini merupakan jenis Leucobryum yang berukuran sangat besar, mencapai 50 mm atau lebih. Batang keras, tegak atau menggantung tergantung kondisi tempat tumbuh dengan tinggi 6-8 cm. Daun tersusun lepas, berwarna hijau keputih-putihan dengan permukaan daun berwarna metalik dan halus. Bentuk daun lanset dan melengkung seperti arit, panjang 15 mm, tepi rata dan halus, jika dalam keadaan basah daun akan mekar dan sangat melengkung jika kering.
Spesimen : LM 21, 20 Maret 2010
Distribusi : Daerah tropis Asia, dari Sri Lanka dan India hingga S.China dan Malesia.
Habitat : Tanah
(63)
Gambar 16. Leucobryum javense(Bridel). Mitten. 13. Leucobryum juniperoides(Bridel) C. Muller
Famili Leucobryaceae, tumbuhan berukuran sedang, dengan batang tingginya hingga 4 cm, yang tumbuh dalam kumpulan-kumpulan padat. Daun-daun tersusut erat, dasar berpelepah yang tidak tegak, yang relatif kaku, panjangnya 4-6 mm; anggota-anggota semakin runcing ke ujung, mulus pada sisi abaxial. pada bagian bawah daun lebar, lunak, terdiri dari 8-12 rangkaian persegi-empat berdinding tipis tidak menebal dan tidak berlubang-lubang mencolok.
Spesimen : LM 22, 20 Maret 2010
Distribusi : Eropa, daerah beriklim sedang dan tropis di Asia; di Malesia dari Semenanjung Malaysia dan Filipina hingga Jawa
(64)
Gambar 17. Leucobryum juniperoides(Bridel) C. Muller 14. Leucobryum sanctum(Nees ex Swagrishen) Hampe
Famili Leucobryaceae, bervariasi sifatnya, pendek dan membentuk bantalan atau tatakan dalam situasi terbuka tetapi umumnya lemah, sangat memanjang dan terurai di habitat lembab atau ternaungi dan panjang batang 8 cm atau lebih panjangnya. Daun tidak tersusun bertingkat, biasanya bertekstur lunak, panjangnya 5-7 mm, pelepah agak persegi empat yang biasanya mendadak sempit hingga runcing. Lamina hyalin sempit di atas daun tengah, yang terdiri dari 2-3 deretan yang berdinding-tipis yang semakin lebar di bawah dan biasanya melebar di dasar daun.
Spesimen : LM 3, 19 Maret 2010
(65)
Malesia Habitat : Tanah
Gambar 18. Leucobryum sanctum(Nees ex Swagrishen) Hampe 15. Leucobryum sumatranumBrothherus ex Fleischer
Famili Leucobryaceae, kuat, pucat dan seperti sutera, daun lebih sempit dan lebih mengkilap. Daun-daun tersusun erat, biasanya melengkung dengan jelas, panjangnya berkisar 15 mm, licin, terutama bila kering; bentuk lancet, ujung runcing, lembaran daun lebar pada bahu daun, dengan lebar kira-kira 12 sel, mempunyai dinding yang sangat menebal, berlubang-lubang. kapsul jarang dengan seta kemerah-merahan yang panjangnya 2,5 cm.
(66)
Distribusi : Endemik di Malesia, dengan daerah kemunculan utamanya di Semenanjung Malaysia tetapi juga dicatat dari Sumatera dan Kalimantan
Habitat : Tanah, terutama di humus mentah dan tanah mineral asam lembab di hutan.
Gambar 19. Leucobryum sumatranumBrothherus ex Fleischer 16. Macrothomnium javenseFleischer
Famili Hylocomiaceae, mempunyai ukuran dan warna bervariasi, dari hijau kekuning-kuningan sampai jingga kecoklatan, ramping atau tebal, batang utama merayap biasanya melekat pada substrat dengan menggunakan rhizoidnya. Daunnya berukuran kecil, cabang pendek atau panjang. Daun-daun pada cabang bervariasi namun sering tersusun nyata dalam bentuk garis lurus atau berbentuk spiral yang
(67)
bertingkat pendek. Jika dalam keadaan kering daun akan mengkerut. Sporofit dari lumut ini kadang berambut berwarna kuning kecoklatan
Spesimen : LM 27, 20 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, Papua Nugini, Tahiti. Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
Gambar 20. Macrothomnium javenseFleischer 17. Pogonatum cirratum(Swartz) Bridel.
Famili Polytrichaceae, memiliki daun berwarna hijau gelap berbentuk lurus lanset dan sangat mudah diamati dengan mata telanjang. Jika kering daunnya akan menjadi sangat berliuk-liuk sedangkan jika basah daunnya akan menyebar. Tulang daun tebal. Batang lumut ini tegak dank eras, tingginya hingga 50 mm, berwarna coklat dan ditutupi oleh daun pada hampir setengah batangnya. Kapsul lumut ini mempunyai kaliptra berambut dengan panjang seta hingga 30 mm
Spesimen : LM 20, 20 Maret 2010
Distribusi : Asia Tenggara termasuk Indonesia (Sumatera Utara) Habitat : Kulit kayu (batang pohon)
(68)
Gambar 21. Pogonatum cirratum(Swartz) Bridel. 18. Pyrrhobryum spiniformeHedwig
Famili Rhizogoniaceae, berwarna hijau pudar hingga coklat kemerah-merahan, biasanya berumbai-umbai lunak dengan batang yang tak bercabang dengan tinggi hingga 6 cm. Daun lebar, sempit di dasar dan sedikit melengkung ke atas, sangat bervariasi panjangnya, bentuk lancet, sempit di tengah dan atas dan runcing tajam di ujung, dengan panjang hingga 7 mm dan lebar kurang dari 0,8 mm, tepi menebal tetapi tanpa sel-sel batas, apex semakin runcing perlahan-lahan. Seta sangat panjang hingga mencapai 4-6 cm atau lebih, berwarna coklat dan halus. Kapsul horizontal, melengkung dan cembung dengan panjang 3-4 mm dan lebar 1 mm.
Spesimen : LM 1, 20 Maret 2010 Distribusi : Pantropis dan subtropis Habitat : Daun
(69)
Gambar 22. Pyrrhobryum spiniformeHedwig 19. Sphagnum cuspidatumEnhart ex G. F. Hoffmann
Famili Sphagnaceae, tanaman ini berdaun hijau pucat hingga putih, kadang-kadang ditimpali warna kuning atau coklat, terutama pada cabang-cabang perigonial. Cabang-cabang bersifat monomorfik, pendek atau memanjang hingga panjangnya lebih dari 20 mm. Cabang berdaun, setidaknya di cabang bagian atas, sangat sempit, Batang berdaun dengan bentuk oval-trianguler sampai tingkat yang bervariasi.
Spesimen : LM 2, 20 Maret 2010
Distribusi : Malesia, dicatat dari Malaya, Kalimantan dan Papua Nugini; jarang di Sumatra dan tampaknya tidak ada di Jawa
Habitat : Kulit kayu (batang pohon)
(70)
Gambar 23. Sphagnum cuspidatumEnhart ex G. F. Hoffmann 20. Thuidium cymbifolium (Dozy & Molkenboer)
Famili Thuidiaceae, batang keras, panjang dan menjalar, menghasilkan percabangan pada dua sisinya dengan panjang 10 mm, mempunyai paraphyllia pada batangnya tapi tidak pada cabang. Daun hijau pucat, lembut dan berbulu. Batang daun lebar dan berbentuk bulat telur dengan tepi yang bergerigi, tulang daun menempati 2/3 panjang daun, percabangan daun mempunyai bentuk yang sama. Yang membedakan lumut ini dengan jenis Thuidium yang lain yaitu bentuk daun dari jenis lumut ini tidak mempunyai garis panjang yang keluar dari ujung daunnya.
Spesimen : LM 6, 20 Maret 2010
Distribusi : Sumatera, Jawa, Papua Nugini Habitat : Epifit pada kulit kayu (batang pohon)
(71)
Gambar 24. Thuidium cymbifolium (Dozy & Molkenboer) 21. Thuidium meyenianum(Hampe) Dozy & Molkenboer
Famili Thuidiaceae, lembut dan liat dengan warna hijau muda. Batang sangat teratur. Daun tersebar, ujung meruncing-panjang dari dasar, panjang kira-kira 0,5 mm. Daun cabang lebih kecil, ovate, tumpul, melengkung ke dalam bila kering, cekung, kapsul miring, bentuk oval-silindris, melengkung, dan panjangnya 1 mm. Spesimen : LM 27, 20 Maret 2010
Distribusi : Himalaya, Sri Lanka, Annam, Sumatera, Jawa, Papua Nugini, Kepulauan Solomon
(72)
(73)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang keanekaragaman lumut (Bryophyta) di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli Kabupaten Simalungun, dapat disimpulan sebagai berikut:
a. Ditemukan 21 jenis Lumut yang termasuk ke dalam 10 famili dan 13 genus b. Famili yang memiliki jenis yang paling banyak adalah Dicranaceae dan
Leucobryaceae yaitu diperoleh sebanyak 4 jenis, kemudian diikuti oleh Lepidoziaceae dan Sematophyllaceae sebanyak 3 jenis, famili Thuidiaceae sebanyak 2 jenis dan famili Hypoterygiaceae, Hylocomiaceae, Polytrichaceae, Rhizogoniaceae dan Sphagnaceae masing-masing sebanyak 1 jenis
c. Habitat jenis lumut di kawasan hutan lindung Aek Nauli yaitu, meliputi kulit kayu (batang pohon), ranting, batu cadas, daun, tanah dan kayu mati
d. Dominansi tertinggi jenis lumut di kawasan hutan lindung Aek Nauli tertinggi terdapat pada jenis Bryohumbertia walker yaitu sebesar 0,30 (19,21%), sedangkan nilai dominansi terendah jenis lumut terdapat pada jenis Leucobryum javense yaitu sebesar 0,02 (1,21%).
e. Frekuensi Relatif (FR) tertinggi pada lokasi penelitian terdapat pada jenis Pyrrhobryum spiniforme sebesar 7,39%, kemudian diikuti oleh jenis
(74)
Pogonatum cirratum dan Lepidozia sp. yaitu 7,21 dan 6,65%, sedangkan jenis yang memiliki nilai FR yang paling rendah yaitu Hypopterygium ceylanium, yaitu sebesar 1,48%.
f. Asosiasi tumbuhan lumut dengan inangnya di kawasan hutan Aek Nauli terjadi pada pohon dengan famili sebanyak 8 jenis. Famili yang memiliki banyak jenis adalah famili Fagaceae yaitu Castanopsis rhamifolia (Hoting bunga putih), Castanopsis sp. (Hoting merah), Lithocarpus hystrize (Hoting bunga merah), Lithocarpus endeisocarpus (Hoting gori), Quercus gemiflora (Hoting turi), Quercus maingayi (Hoting batu).
1.2 Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara tumbuhan inang dengan lumut epifit yang berada di Hutan Lindung Aek Nauli
b. Penelitian tentang lumut masih jarang dan terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian yang sejenis di lokasi yang berbeda agar jenis dan kekayaannya dapat dibandingkan
(75)
DAFTAR PUSTAKA
Amalia. 2004. Macroepiphyte diversity and distribution based on surface type of Phorophyte (host) on Mount Tangkubanperahu. (19 Maret 2010)
Bill. dan Malcom, N. 2000. Mosses and Other Bryophytes An Illustrated Glossary. Micro Optics Press. New Zealand.
Balai Konservasi sumber Daya Alam 1 SUMUT. 2003. Informasi Kawasan Konservasi di SUMUT. Medan: BKSDA1. SUMUT.
Bartram, E.B. Mosses of The Philippines. The Philippine Journal of Science.68 (1-4) : 1-437.
Damayanti, L. 2006. Koleksi Bryophyta Taman Lumut Kebun Raya Cibodas. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, Sindanglaya, Cianjur. Hlm. 81
De Luna, Efrain, Angela. E, Newton, dan Brent D. M. 2003. Bryophyta. Mosses. Versi 25 Maret 2003. The Tree of Life Web Project. Diakses Tanggal 2 Maret, 2010.
Dixon, H.N. 1961. On a Colletion of Bornean Mosses Made by The Rev. C.H. Binstead.j.Linn.Soc.Bot.
Eddy, A. 1988. A Handbook of Malesian Mosses Volume 1. Natural History Museum Publications, London.
.1990. A Handbook of Malesiana Mosses Volume 2. Natural History Museum Publications, London.
.1996. AHandbook of Malesiana Mosses Volume 3. Natural History Museum. Publucations, London.
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan Usman Tanuwidjaja. Bandung: ITB. Hlm.298
Gradstein, S.R. 2003. Ecology of Bryophyta. A Handout Lecture of Regional Training Course On Biodeversity and Conservation of Bryophytes and Lichens. Bogor. Indonesia.
(1)
Lampiran 4
(2)
Lampiran 5. Data Perhitungan Frekuensi dan Frekuensi Relatif Lumut
No Spesies Jumlah Total Plot F FR (%)
1 Pyrrhobryum spiniforme 40 40 1.00 7.39
2 Pogonatum cirratum 39 40 0.98 7.21
3 Lepidozia sp. 36 40 0.90 6.65
4 Leucobryum sumatranum 35 40 0.88 6.47
5 Dicranoloma braunii 34 40 0.85 6.28
6 Acroporium lamprophyllum 33 40 0.83 6.10
7 Campylopus ericoides 32 40 0.80 5.91
8 Macrothomnium javense 32 40 0.80 5.91
9 Dicranoloma Leucophyllum 31 40 0.78 5.73
10 Thuidium cymbifolium 30 40 0.75 5.54
11 Thuidium meyenianum 29 40 0.73 5.36
12 Acroporium rufum 26 40 0.65 4.80
13 Leucobryum javense 26 40 0.65 4.80
14 Leucobryum juniperoides 22 40 0.55 4.07
15 Leucobryum sanctum 21 40 0.53 3.88
16 Sphagnum cuspidatum 17 40 0.43 3.14
17 Acroporium sigmatodontium 15 40 0.38 2.77
18 Bryohumbertia walkeri 15 40 0.38 2.77
19 Bazzania trilobata 11 40 0.28 2.03
20 Bazzania sp. 9 40 0.23 1.66
21 Hypopterygium ceylanium 8 40 0.20 1.48
(3)
Lampiran 6. Contoh Perhitungan Nilai F, FR, D dan DR
A. Contoh Perhitungan Frekuensi pada
Pyrrhobryum spiniforme
Frekuensi (F) =
=
=
1,00
B. Contoh Perhitungan Frekuensi Relatif pada
Pyrrhobryum spiniforme
Frekuensi Relatif (FR)
=
x 100%
= x
100%
= 7,39%
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
Jumlah seluruh plot pengamatan
40
40
1,00
13,53
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi total seluruh jenis
(4)
C. Contoh Perhitungan Dominansi pada Pyrrhobryum spiniforme
Dominansi (D)
= Luas permukaan tajuk
Jumlah seluruh petak contoh
=
= 0.019
D. Contoh Perhitungan Dominansi Relatif pada
Pyrrhobryum spiniforme
Dominansi Relatif (DR)
=
x 100%
= x
100%
= 12,41%
19
1000
Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenis
0,019
0,156
(5)
Lampiran 7. Data Luas Permukaan Lumut di Kawasan Hutan Lindung Aek Nauli
No Jenis Habitat
Luas Permukaan
(Cm2)
Jumlah Plot
Kk T Bc R Km D
1 Acroporium
lamprophyllum 205 205 33
2 Acroporium rufum 588 588 26
3 Acroporium
sigmatodontium 546 546 15
4 Bazzania sp. 1827 1827 9
5 Bazzania trilobata 379 379 11
6 Lepidozia sp. 110 218 328 36
7 Bryohumbertia walkeri 1333 1664 2997 15
8 Campylopus ericoides 295 295 32
9 Dicranoloma braunii 640 640 34
10 Dicranoloma
leucophyllum 759 759 31
11 Hypopterygium
ceylanium 376 376 8
12 Leucobryum javense 175 175 26
13 Leucobryum
juniperoides 363 363 22
14 Leucobryum sanctum 305 305 21
15 Leucobryum
sumatranum 729 729 35
16 Macrothomnium javense 661 661 32
17 Pogonatum cirratum 876 876 39
18 Pyrrhobryum spiniforme 1931 1931 40
19 Sphagnum cuspidatum 552 552 17
20 Thuidium cymbifolium 197 394 591 30
21 Thuidium meyenianum 108 123 202 433 29
Jumlah 4515 5740 513 893 1324 2571 15556 541 Keterangan:
(6)