Potensi Sumber Daya Budaya

4.2 Potensi Sumber Daya Budaya

Selain memiliki potensi alam yang menarik, Desa Rianiate juga memiliki potensi budaya yang tak kalah menariknya sebagai daya tarik wisata. Masyarakat Desa Rianiate yang umumnya adalah suku Mandailing, memiliki kebudayaan yang cukup menarik untuk dapat diberdayakan dan dijadikan sebagai atraksi wisata di kawasan Danau Siais. Suku Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus suku bangsa penduduk asli Indonesia. Dari zaman dahulu sampai sekarang suku bangsa tersebut turun temurun mendiami wilayah etnisnya sendiri yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Menurut tradisi, orang Mandailing menamakan wilayah etnisnya sebagai, Tano Rura Mandailing yang artinya ialah tanah lembah Mandailing. Tapi namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan nama suku bangsa yang mendiaminya. Wilayah etnis Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamakan Mandailing Godang Mandailing Besar. Mandailing Godang dipimpin oleh raja-raja dari marga Nasution, berada di bagian utara. Mandailing Julu Mandailing Hulu, berada di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatera Barat, penduduk di kawasan Mandailing Julu dipimpin oleh raja-raja dari marga Lubis. Universitas Sumatera Utara Desa Rianiate termasuk daerah Mandailing Godang Mandailing Besar meskipun sekarang pembagian wilayah etnis tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat Mandailing. Sebagian besar warganya bertempat tinggal di daerah pendesaan dan hidup sebagai petani dengan mengolah sawah dan mengerjakan kebun karet, kopi, kulit manis, dan sebagainya. Meskipun sudah banyak terjadi perubahan, tapi sampai saat ini, masyarakat Mandailing masih memiliki kelompok-kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan. Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan darah oleh orang Mandailing dinamakan marga. Hubungan kekerabatan antara orang-orang Mandailing dalam satu marga disebut kahangi abang-adik. Suku bangsa atau masyarakat Mandailing terdiri dari banyak marga atau kelompok kerabat satu keturunan yang masing-masing punya nama sendiri, dan yang terbesar ialah marga Lubis dan marga Nasution. Setiap marga juga punya tokoh nenek moyangnya sendiri. Tokoh nenek moyang orang-orang Mandailing marga Lubis ialah seorang yang bernama Namora Pande Bosi. Orang-orang Mandailing marga Nasution punya nenek moyang yang bernama Si Baroar. Demikianlah menurut lagenda atau mitos yang diyakini oleh masyarakat Mandailing. Upacara perkawinan dalam adat Mandailing disebut dengan horja pesta. Prosesi upacara perkawinan Mandailing dimulai dari musyawarah adat Makkobar atau Makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus yaitu Universitas Sumatera Utara menggunakan bahasa Mandailing. Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun. Setelah makkobar atau makkatai masuklah ke prosesi mangupa. Upacara adat mangupa merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan hingga sekarang masih diselenggarakan dan amat penting bagi masyarakat Mandailing. Karena menurut tradisi atau adat masyarakat tersebut upacara mangupa merupakan sarana utama bagi para kerabat untuk menyampaikan doa dan harapan mereka agar pengantin yang baru memasuki gerbang perkawinan memperoleh kebahagian dan kesentosaan dalam hidup berumah tangga. Di samping itu, upacara mangupa merupakan ritual yang digunakan oleh para kerabat untuk menetapkan berbagai kebijaksanaan tradisional yang diperlukan oleh sepasang pengantin untuk membina rumah tangga bahagia menurut konsep masyarakat. Kelompok kekerabatan yang dibentuk berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari dua bagian, yaitu kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan yang dinamakan mora dan kelompok kerabat penerima anak gadis yang dinamakan anak boru. Dengan demikian dalam masyarakat Mandailing terdapat tiga kelompok kekerabatan, yaitu mora, kahanggi orang-orang yang se-marga atau yang punya hubungan kekerabatan berabang-adik dan anak boru. Ketiga kelompok kekerabatan tersebut digunakan oleh masyarakat Mandailing sebagai komponen tumpuan untuk sistem sosialnya yang dinamakan Dalian Natolu tumpuan yang tiga. Sistem sosial yang dinamakan Dalian Natolu itu berfungsi sebagai mekanisme untuk melaksanakan adat dalam kehidupan masyarakat Mandailing. wujud pelaksanaan adat yang Universitas Sumatera Utara menggunakan sistem sosial Dalian Natolu dapat dilihat pada waktu penyelenggaraan upacara adat. Dalam masyarakat Mandailing suatu upacara adat hanya dapat diselengarakan jika didukung bersama oleh mora, kahangi dan anak boru yang berfungsi sebagai tumpuan. Kalau salah satu di antaranya tidak ikut mendukung, maka dengan sendirinya upacara adat tidak boleh atau tidak dapat diselenggarakan. Keadaan yang demikian itu menunjukkan dan membuktikan bahwa dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial Dalian Natolu. Oleh karena itu, adat masyarakat Mandailing disebut adat Dalian Natolu. Masyarakat Mandailing juga memiliki ragam bahasa yang dinamakan hata bulung-bulung bahasa daun-daunan. Ragam bahasa tersebut dinamakan hata bulung-bulung karena yang digunakan sebagai kata-katanya ialah daun tumbuh- tumbuhan. Selain mempunyai bahasa sendiri, suku Mandailing juga mempunyai aksara yang dinamakan surat tulak-tulak. Pada masa dahulu aksara tersebut terutama digunakan untuk menuliskan ilmu pengobatan, mantra-mantra, ilmu perbintangan astronomi dan andung-andung ratapan dalam kitab tradisional yang terbuat dari kulit kayu atau beberapa ruas bambu. Kitab tradisional tersebut dinamakan pustaha. Selain upacara adat dan bahasa, budaya masyarakat Mandailing yang bisa dilihat juga dari bangunan dan rumah rumah penduduk dengan arsitektur atau seni Universitas Sumatera Utara bina bangunan adat berupa istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunan bagas godang, sopo godang dan rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar. Pada masa sekarang tidak banyak lagi bangun- bangunan dengan arsitektur tradisional yang dapat ditemukan di Mandailing. Sebagian besar sudah punah dimakan waktu dan yang masih tersisa rata-rata usianya sudah tua. Tetapi mayoritas masyarakat desa rianiate masih tinggal di rumah-rumah panggung. Kesemua adat budaya baik yang berupa seni, bangunan, upacara-upacara adat, maupun tata cara kehidupan masyarakat setempat merupakan sesuatu yang tidak ternilai untuk diberdayakan sehingga menjadi daya tarik bagi orang yang berkunjung ke daerah ini. Universitas Sumatera Utara

4.3 Potensi Sumber Daya Manusia