Tujuan penelitian Manfaat penelitian Reklamasi Lahan Pasca Tambang

membutuhkan perbaikan dan peningkatan teknologi reklamasi untuk mendapatkan hasil yang baik, terjangkau dan efisien. Permasalahan reklamasi pasca tambang diantaranya adalah keasaman tanah, tekstur tanah dan genangan. Selain itu, kelerengan lahan yang terjal tebing merupakan suatu permasalah juga dalam kegiatan reklamasi, karena dalam operasi penambangan akan menghasilkan tebing yang terjal dari pengambilan batubara atau mineral dalam tanah. Tebing sukar untuk ditanami vegetasi, belum lagi tanah yang bertebing sangat mudah tererosi oleh aliran drainase dari air hujan. Maka perlu dilakukan metode revegetasi dan jenis tanaman yang cocok dengan kondisi tebing ini. Revegetasi dengan metode hydroseeding memberikan hasil yang baik pada tebing-tebing pasca penambangan, tetapi metode ini kurang ekonomis. Mansur 2010 menyatakan kelemahan revegetasi dengan hydroseeding adalah biayanya mencapai 40-50 juta per ha. Dengan demikian perlu adanya metode lain dalam revegetasi tebing pasca penambangan yang memberikan hasil baik dan terjangkau. Melihat dari pentingnya metode revegetasi tebing pasca penambangan, maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian metode revegetasi dengan metode rambatan. Metode rambatan adalah metode revegetasi tebing dengan tanaman merambat yang penanamannya menggunakan kerangka penjalar sebagai media merambat untuk menutup tebing. Dalam penelitian ini digunakan tanaman Waluh Cucurbita moschata, Cipir Psophocarpus tetragonolobus dan Koro Canavalia gladiata untuk diuji sebagai tanaman merambat yang cocok dalam penggunaan metode rambatan, serta pengujian dalam penggunaan kerangka penjalar coconet yang cocok untuk penerapan metode rambatan dalam melakukan revegetasi tebing pasca penambangan.

1.2 Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Menguji apakah metode rambatan cocok diterapkan dalam melakukan revegetasi pasca penambangan 2. Mendapatkan jenis tanaman merambat dan ukuran kerangka penjalar coconet yang tepat untuk revegetasi tebing pada lahan bekas tambang.

1.3 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Memberikan informasi tentang tanaman rambat yang mampu tumbuh dengan baik pada lahan miring bekas kegiatan pertambangan 2. Memberikan data kecepatan tumbuh tanaman rambat pada areal reklamasi lahan bekas tambang 3. Mendapatkan teknik reklamasi tebing pada lahan bekas tambang yang efektif dan efisien 4. Sebagai acuan strategis untuk pengembangan tanaman penutup tanah pada lahan reklamasi tambang batubara.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah 1. Tanaman merambat dengan jenis Waluh Cucurbitha moschata, Cipir Psophocarpus tetragonolobus dan Koro Canavalia gladiate dapat digunakan sebagai tanaman penutup pada tebing di lahan bekas penambangan batubara. 2. Kerangka penjalar dari sabut kelapa coconet dapat meningkatkan laju penutupan tebing pada tanaman merambat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reklamasi Lahan Pasca Tambang

Kegiatan penambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam berupa bahan tambang galian bumi yang terdapat di bawah permukaan bumi atau di dalam perut bumi. Berdasarkan undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan mineral dan batubara ditentukan tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Kegiatan penambangan merupakan kegiatan dengan penggunaan lahan yang bersifat sementara. Kegiatan ini berlangsung ketika material berharga yang akan ditambang masih tersedia dan masih bersifat ekonomis pada lahan tersebut. Apabila cadangan material berharga tersebut sudah habis atau sudah tidak mempunyai nilai ekonomi, maka akan dilakukan penutupan tambang. Kegiatan penambangan memang menghasilkan keuntungan yang tinggi, tetapi hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pertambangan juga mempunyai dampak negatif pada lahan dan lingkungan operasi penambangan. Ketika suatu daerah dibuka untuk operasi tambang maka daerah tersebut berpotensi menjadi rusak. Dalam rangka mengembalikan kondisi tanah dan lingkungan sehingga dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai dengan peruntukannya, maka pada lahan pasca penambangan selain dilakukan penutupan penambangan juga harus dilakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan ESDM 2010 Setelah operasi pertambangan selesai dilakukan, biasanya meninggalkan tanah dengan kondisi yang kritis. Tanah kritis yang ditimbulkan adalah sifat tanah yang tidak subur, miskin unsur hara, tanah padat, tanah timbunan rawan erosi dan longsor, tanah tergenang dan mengandung banyak racun bagi tanaman Mansur 2010. Tanah bekas operasi penambangan juga mempunyai kemampuan mengikat nutrisi yang rendah, Setiadi 2011 menyampaikan bahwa di lahan pasca tambang, air tidak dapat tersimpan tahan lama pada tanah karena KTK Kapasitas Tukar Kation tanah di bawah 16 me100 g, sehingga ketika air disiramkam ke tanah tambang air hanya lewat saja dan tidak terikat dan tersimpan pada tanah. KTK merupakan kemampuan tanah untuk menjerap kation yang tersimpan pada air tanah. Sedangkan kebutuhan nutrisi paling banyak diserap oleh tanaman berasal dari air Hardjowigeno 2003. Penambangan batubara dan mineral juga menimbulkan tebing-tebing yang curam dan menyulitkan dalam kegiatan revegetasi. Pada lahan yang terbuka apa lagi dengan kondisi miring, limpasan air tanah sangatlah tinggi, yang mana limpasan air permukaan ini dapat menurunkan kualitas permukaan tanah, dan nilai estetika. Pada kondisi semacam ini biasanya diikuti oleh menurunnya kesuburan tanah, rendahnya kelembaban tanah, serta tingginya suhu permukaan tanah. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan pada reklamasi lahan tambang adalah dengan menanam tanaman penutup Rasmussen 1998 dalam Daru 2009. Sebelum penanaman penutup tanah, penataan lahan diperlukan untuk mempermudah kegiatan revegetasi, mengurangi erosi, meningkatkan keberhasilan penanaman dan meningkatkan keberhasilan pertumbuhan penutup tanah dan tanaman tahunan Mansur 2010. Setelah dilakukan reklamasi lahan bekas tambang, langkah selanjutnya adalah revegetasi lahan pasca tambang. Secara ekologis revegetasi merupakan bagian dari program reklamasi lahan pasca tambang. Dalam pelaksanaan revegetasi sering kali mengalami kesulitan yang diakibatkan oleh sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya. Tidak adanya top soil merupakan keadaan nyata pada lahan pasca tambang. Kalaupun ada, kandungan nitrogen dan unsur esensial lainnya sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman. Kondisi seperti ini karena tidak ada proses pelapukan material tanamanbahan organik yang telah mati. Selain itu kurangnya makroba tanah, yang membatasi pembusukan material tanaman. Kondisi ini juga diperburuk lagi dengan kondisi permukaan tanah yang berbatu, sehingga mempersulit perkembangan vegetasi akibat rendahnya laju infiltrasi dan retensi tanah Singh 2004 dalam Daru 2009. Kondisi lapangan menunjukan bahwa pada lahan pasca tambang batubara secara umum dicirikan oleh tekstur fisik yang sangat kasar dan beragam, mulai lempung sampai lempung berpasir. Pada beberapa lokasi penambangan tampak berbatu, dan pada tekstur yang halus tidak mengandung bahan organik, sangat kompak, dan laju infiltrasinya sangat rendah. Pada umumnya tanah pasca tambang memiliki kandungan hara makro yang jauh di bawah kebutuhan tanaman, terutama kandungan N, P, K, Na, dan Ca, serta tingkat kemasaman tanah pH dan kapasitas tukar kation KTK yang sangat rendah. Sumbangan mineral-mineral inorganik, ataupun sumbangannya dalam zat pengatur pertumbuhan, juga sangat rendah Hetrick et al. 1994 dalam Daru 2009 Dalam tahapan revegetasi di lahan pasca tambang, pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam pada lahan tersebut harus memiliki kesesuaian terhadap lingkungan dan perlu dilakukan upaya perbaikan kondisi tapak untuk mendukung daya hidup pertumbuhan tanaman tersebut. Pada tahap awal revegetasi, tanaman yang masuk dalam famili Leguminoseae dapat memberikan kontribusi penambahan nitrogen melalui fiksasi nitrogen dari udara Skousen Zipper 1996, Vance 2001 dalam Daru 2009.

2.2 Erosi dan Stabilitas Lereng