Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kerja dakwah dalam masyarakat, sehingga akan lebih efektif jika ditunjang dengan konsep yang matang. Dakwah ini lebih berorientasi pada
pengembangan masyarakat. Pada beberapa titik, dakwah akan bersinggungan dengan kegiatan sosial
kemasyarakatan. Sehingga nantinya muncul terma kesalehan sosial. Iman merupakan simbol dari hal-hal yang bersifat ritual, sedangkan amal saleh
merupakan simbol dari amal sosial yang bersifat sosiologis. Ironisnya, kesalehan sosial sering dilupakan dan orang lebih mementingkan kesalehan ritual, atau
kesalehan ritual dianggap lebih tinggi derajatnya dari kesalehan sosial. Orang yang beribadah biasa-biasa saja tetapi ia aktif dalam berbagai aktivitas sosial, dan
memiliki kepedulian yang tinggi dengan situasi yang terjadi, sering kali masih dianggap orang yang tingkat religiusitasnya rendah. Hal yang lebih naif lagi,
kedua dimensi ini kesalehan sosial dan kesalehan ritual sering dianggap tidak memiliki hubungan apa-apa. Karena itu, orang yang rajin ibadah, yang setiap
tahun mengerjakan ibadah haji, namun mereka tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan yang terjadi di sekitarnya banyak kita temui.
Dari perpektif ini, kita bisa memahami, sekalipun tempat ibadah berkembang di mana-mana, kuantitas orang yang mengerjakan haji semakin
meningkat, majelis taklim tumbuh pesat di kantor-kantor, namun pada saat yang sama korupsi juga semakin meningkat, kebocoran anggaran terjadi di mana-mana.
Ternyata hal demikian juga dilakukan oleh orang-orang yang secara ritual keagamaan di nilai cukup taat, seperti melaksanakan ibadah salat, haji, zakat, dan
lain-lain. Selain itu, kekerasan yang bersifat kultural dan struktural, eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah juga berkembang di mana-mana.
4
Di Indonesia, sosok pekerja sosial amat banyak jumlahnya. Bahkan nyaris tak terhitung. Akan tetapi yang tetap konsisten dan berada di wilayah keislaman
bisa dihitung dengan jari. Roostien Ilyas, satu dari jutaan manusia Indonesia yang dedikasinya dalam bidang sosial sangat layak untuk diapresiasi. Pada pundak
perempuan kelahiran Sumenep, 22 Januari 1950 itu tersemat sebuah label pekerja sosial. Sejak tahun 1989 ia telah terjun dalam kerja-kerja sosial yang diawali
dengan „mengasuh’ para pelacur di Kramat Tunggak. Pada saat itu, di Kramat Tunggak ada 1.800 pelacur, hampir semuanya Cuma pendidikan SD. Mereka
umumnya berasal dari desa-desa miskin di kawasan Pantura Pantai Utara Jawa. Pada saat itu belum ada penanganan pelacuran secara komprehensif, yang
ada hanya sebatas penyediaan lokalisasi. Juga, belum ada penelitian seperti yang pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa Unair tentang kompleks pelacuran
Dolly di Surabaya. Untuk sementara, Roostien menggunakan asumsi, bahwa pelacuran itu akibat masalah perut, atau konsekuensi dari problem kemiskinan.
Melarat itu masalah perut, kalau sudah melarat, sebagian dari mereka menjadi pelacur. Berdasarkan asumsi ini, ia mulai bekerja, dengan menemui dan mengenal
para pelacur di Kramat Tunggak. Kemudian Roostien merasa menemukan suatu teknik pendekatan
pemecahan masalah yaitu memberikan masukan kepada mereka dan mengembangkan wacana untuk mencari jawaban mengenai untung-ruginya
menjadi pelacur. Dengan pendekatan ini wacana tentang dimensi-dimensi negatif
4
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi Jakarta: Erlangga, 2003, h. 79-81.
pelacuran sangat mereka pahami. Tetapi, bila masalah perut sudah berbicara, anak harus dihidupi, dan sebagainya, pada akhirnya melacur tetap menjadi satu-satunya
pilihan. Sangat sulit melakukan perubahan, karena budaya mereka sudah berubah. Dari budaya kemiskinan, berubah menjadi budaya konsumeristik. Masalah
pelacuran ternyata jauh lebih kompleks dan sulit dipecahkan dari pada yang dibayangkan semula. Penanganannya tidak bisa hanya dengan sekadar
membangun wacana supaya para pelacur itu sadar, atau bahkan membubarkan sama sekali keberadaan lokalisasi.
5
Masa kerja pelacur di Kramat Tunggak sangatlah singkat. Pada kategori 13 hingga 20 tahun adalah masa efektif bagi mereka. Sedangkan 25 tahun keatas
sudah sangat turun nilainya. Dari kenyataan itulah seharusnya titik awal solusi dapat dilakukan bagi mereka. Seringkali Roostien mengingatkan mereka, “kamu
itu ibarat mobil. Bukan mobil pribadi, tapi mobil yang dipakai beramai-ramai dan tidak pernah diperbaiki. Kalau sudah rusak, ya sudah, dilempar saja di situ, di
Cililitan, jadi rongsokan besi tua. Kalau sudah tidak laku, terus kamu mau apa?” Dengan menanamkan kesadaran seperti itu, Roostien berharap supaya
mereka mau belajar menjahit, atau belajar ini dan belajar itu, apa saja. Tetapi, kita tidak bisa menyetop mereka dari kegiatan menjadi pelacur. Mereka mendapat
uang dari menjual diri. Kesadaran akan kehidupan hanya untuk hari ini. Esok hari mau jadi apa, tidak perlu dipikirkan. Jadi, yang dapat diberikan hanyalah sekadar
keterampilan alternatif saja, sebagai persiapan kalau suatu saat mereka sudah tidak laku lagi jadi pelacur.
5
Roostien Ilyas, Anak-Anakku yang Terlantar Jakarta: Pensil-324, 2006, Cet 1, h. 15- 16.
Pengalaman lain menyangkut urusan agama. Kalau menyangkut ritual agama, pelacur-pelacur itu sangat rajin. Salat, dan kegiatan doa mereka justru
lebih aktif dibandingkan “orang biasa.” Itu karena di hati kecilnya, mereka sudah merasa bersalah. Jadi, aktivitas keagamaan mereka berangkat dari perasaan
berdosa itu. Suatu kali, Roostien mengirim mereka untuk ikut MTQ Musabaqoh Tilawah Qur’an tingkat DKI. Pada waktu itu yang menjabat sebagai Gubernur
ialah Wiyogo. Salah seorang pelacur itu akhirnya menjadi juara harapan satu MTQ tahun 1989.
6
Roostien termasuk salah seorang yang menentang keras penggusuran komplek Kramat Tunggak. Sebab ia beranggapan bahwa sampah saja butuh
tempat agar tidak berhamburan. Dengan menutup Kramat Tunggak sama halnya dengan membiarkan pelacur-pelacur itu berhamburan menyebar kemana-mana
dan tidak terlokalisir. Mereka cenderung „jemput bola’ dan itu lebih berbahaya. Beranjak dari Kramat Tunggak, Roostien menuju Kramat Jati. Ia percaya
bahwa mencegah lebih baik, dari pada mengobati. Sekian lama ia berpikir dan akhirnya menemukan kesimpulan bahwa para pelacur menjual dirinya karena
faktor kemiskinan. Mereka tahu jika melacur merupakan sebuah dosa dan akan dikucilkan di masyarakat. Tapi mereka tak punya pilihan lain. Melihat kenyataan
itu Roostien lalu memilih mengambil langkah preventif edukatif. Sebab ia merasa rehabilitasi dan tindakan kuratif seolah hanya menangani ekornya saja. Renungan
tersebut membawanya pada pemikiran, barangkali penanganan masalah sosial harus dilakukan sedini mungkin, yakni pada anak-anak.
6
Roostien Ilyas, Anak-Anakku yang Terlantar Jakarta: Pensil-324, 2006, Cet 1, h. 21.
Berangkat dari kesadaran menangani masalah harus dari hulu baru ke hilir, Roostien pun penuh mengabdikan diri untuk menangani anak-anak jalanan.
Difokuskan kepada mereka yang bekerja di sektor informal dan masih pada usia sekolah. Seiring waktu, berdirilah Yayasan Nanda Dian Nusantara YNDN.
Sebuah satuan tim kerja sekaligus payung yang senantiasa menaungi kemanapun Roostien bergerak. Dibantu oleh orang-orang yang penuh dedikasi, Roostien
melakukan kerja-kerja pendampingan anak jalanan. Perkembangan selanjutnya, Roostien menggelar acara Pesantren Ramadhan anak-anak jalanan setiap bulan
Ramadhan yang berlangsung rutin sejak 1998 hingga sekarang. Adapun Pesantren Ramadhan untuk anak jalanan ini sudah menjadi brand tersendiri dari YNDN.
7
Selama mengurus anak-anak jalanan, Roostien mendapat kesadaran- kesadaran baru. Di antaranya menyangkut hubungan agama dengan orang-orang
pinggiran. Kiranya siapapun sepakat jika nilai-nilai agama perlu ditanamkan kepada anak sejak dini. Namun bagi anak-anak jalanan pelajaran dan nilai-nilai
agama justru mereka jauhi. Alasannya sederhana: Mereka merasa Tuhan yang menjauhi mereka. Tuhan hanya berpihak kepada orang-orang kaya, yang dalam
kacamata anak-anak mempunyai kehidupan yang mapan dan nyaman. Mengapa pikiran seperti itu timbul di benak mereka? Mereka bukan hanya
melihat, tapi mengalami sendiri. Sehari-hari mereka tinggal di rumah yang bisa digusur kapan saja. Sekolah mereka juga bukan sekolah
–sekolah permanen di mana mereka bisa tenang belajar. Sekolah mereka adalah sekolah alternatif yang
sewaktu-waktu dibubarkan oleh aparat yang merasa berwenang.
7
Roostien Ilyas, Anak-Anakku yang Terlantar Jakarta: Pensil-324, 2006, Cet 1, h. 1-8.
Sementara itu, rumah-rumah ibadah berdiri mewah. Satu sama lain seakan berlomba untuk menjadi yang paling megah. Akan tetapi saat anak-anak itu
datang ke rumah ibadah, mereka mendapat cibiran, bahkan dihalau, seakan-akan mereka akan mengotori tempat ibadah nan suci. Mereka melihat, orang-orang
datang ke tempat ibadah dengan pakaian bersih dan rapi, bahkan mahal. Belum lagi aromanya yang wangi dan menyegarkan. Pemandangan seperti itu membuat
mereka berkesimpulan bahwa Tuhan itu jauh, bahwa ibadah itu mahal. Kenyataan itulah yang membuat mereka mencari „tuhan-tuhan’ yang lain. Hal itu pula yang
selalu menjadi kegelisahan Roostien dan terus dilawannya.
8
Apa yang dilakukan Roostien Ilyas selama ini adalah cermin kesalehan sosial. Berdakwah
di „jalanan’ seperti yang dikerjakan Roostien Ilyas memang tidak mudah. Lantaran segala persoalan ada di dalamnya. Dalam pengertian yang
luas inilah, dakwah bukan hanya berkaitan dengan persoalan menambah jumlah pemeluk Islam, akan tetapi yang paling utama adalah bagaimana dakwah dapat
berpihak pada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.
9
Roostien Ilyas mempraktikkan hal tersebut.
Berangkat dari latar belakang di atas, penulis bermaksud menulis skripsi berjudul
“DAKWAH DAN KESALEHAN SOSIAL: KIPRAH DAKWAH ROOSTIEN
ILYAS”.
8
A. Zakky Zulhazmi dan Nasihin Aziz Raharjo, Tuhan Kenapa Salat Itu Mahal Ya? Jakarta: Pensil-324, 2014, cet 1, h. 155-157.
9
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, Cet-1, h. 5.