Indikator Kesalehan Sosial Kesalehan Sosial

kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba- Mu yang saleh.” Surat An-Naml QS 27 : 19. Dalam ayat lain, Al- Qur’an menegaskan bahwa indikator kesalehan individual seseorang adalah kebiasaan bertobat atas maksiat dan dosa yang pernah dilakukannya. Dengan kata lain, tobat menjadi persyaratan utama terwujudnya kesalehan dalam diri seseorang. Allah berfirman:                     ”kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki iri dan berpegang teguh pada agama Allah dan dengan tulus ikhlas menjalankan agama mereka karena Allah. Maka, mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman .” Surat An-Nisa QS 4 : 146. Kesalehan individu itu lebih identik dengan hablum minallah. Hubungan antara manusia dan Tuhannya. Bisa kita ambil contoh: Ibadah shalat sunnah, shalat wajib dan lain-lain. Kedua, kesalehan sosial. Indikatornya adalah mempunyai kepekaan sosial yang tinggi yang berawal dari keinginannya untuk memberdayakan orang-orang di sekelilingnya. Contohnya dengan memberi perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak yatim dan mencukupi kebutuhan orang-orang miskin. Pada hakikatnya, kesalehan sosial ini, adalah buah dari kesalehan individual yang sempurna. Berkaitan dengan kesalehan sosial, Allah berfirman:                 “Tahukan kamu orang yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Surat Al-Ma’un QS 107 : 1-3. Setiap muslim tidak cukup dan jangan berbangga diri hanya dengan kesalehan individual dan lalai terhadap kesalehan sosial. Keduanya adalah esensi dari keberagamaan. Beragama tanpa kesalehan adalah sia-sia yang berarti tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan positif baik secara individual maupun sosial.

3. Pandangan Islam Tentang Kesalehan Sosial

KH MA Sahal Mahfudh merupakan seorang ulama dari NU. 24 Sejak santri, Sahal Mahfudh menguasai ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab, dan Ilmu Kemasyarakatan yang memang digemarinya. Namun kepakaran Kiai Sahal diuji 24 KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta: LKiS, 1994, Cet 1, h. xvi. oleh sebuah situasi sosial ekonomi local yang timpang. Kajen, Desa kecil di mana lebih dari 15 pesantren berada di situ, merupakan desa yang tak tersedia sejengkalpun sawah maupun lahan perkebunan, namun dijejali penduduk miskin yang hidup dari kerajinan „kerupuk tayamum’. Sangat tidak menarik secara ekonomis, namun di situ pula agama diuji untuk berekperimentasi, berdialog dengan kenyataan yang timpang. Maka sebuah perjumpaan dialektik antara agama dan kenyataan harus terjadi. Penghindaran perjumpaan dengan semangat realitas sosial akan membuat agama stagnan dan segera kehilangan relevansi kemanusiaannya. Dalam jagat pesantren, ilmu fiqih yang dimiliki Kiai Sahal tak dapat dielakkan merupakan bagian ilmu yang paling besar tantangannya. Pergulatan Kiai Sahal untuk mengoperasionalkan fiqih, dilakukan antara lain melalui forum bahtsul masail di tingkat MWC NU Kecamatan Margoyoso. Forum itu sangat produktif dan efektif., hampir-hampir menjadi pengadilan rakyat karena masalah yang digelar tak hanya masalah keagamaan, tetapi masalah ekonomi, kebudayaan, bahkan politik. 25 Berawal dari bahtsul masail tingkat Kecamatan itu, sebuah keputusan penting tentang nasib petani pernah dihasilkan, ketika Muktamar NU ke-28 di Krapyak memutuskan bahwa Tebu Rakyat Intensifikasi TRI merupakan transaksi ekonomi yang tidak sah mu’amalah fasidah, dank arena itu haram diterapkan. Pencarian relevansi fiqih itu tidak berenti di dalam ruang bahtsul masail, melainkan bergulir menjadi program kemasyarakatan, seperti pada program pemanfaatan dana zakat untuk kegiatan produktif di Pati dan biro 25 KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta: LKiS, 1994, Cet 1, h. xvii-xviii. pengembangan masyarakat dari pesantren di Kajen sendiri dan desa-desa di sekitarnya. Di tingkat itu saja tampak, tugas seorang seperti Kiai Sahal lalu tidak sekedar mengawal keberlangsungan pengajaran funun yang telah dikuasainya, tetapi juga dituntu untuk melakukan penyegaran atasnya. Dari ulasan tentang Kiai Sahal terlihat bahwa kita semua dituntut untuk melakukan kesalehan sosial. Karena kesalehan sosial adalah buah kesalehan individual yang tertanam mantap dalam hati. Islam secara luas memandang kesalehan sosial itu dalam banyak aspek. Bahkan dari rukun islam saja dua diantaranya mengutamakan kesalehan sosial, yaitu puasa dan zakat. Di luar itu ada lagi yang mengandung makna kesalehan sosial yaitu sedekah, menyantuni anak yatim dan sebagainya.  Sedekah Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha ahli fikih disebuh sadaqah at-tatawwu sedekah secara spontan dan sukarela. 26 Di dalam Al-Qur ’an banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya : 26 http:sedekahindahberkah.blogspot.com201004pengertian-sedekah.html, diakses tanggal 7 Juni 2014 pukul 19.45.