Pengantar, Latar belakang dan Batas-batas wilayah dengan Malaysia

BAB II TINJAUAN TENTANG KONSEP WILAYAH PERAIRAN INDONESIA SEBAGAI NUSANTARA

A. Pengantar, Latar belakang dan Batas-batas wilayah dengan Malaysia

Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu tanah sekitar 1,937 juta km2, luas laut kedaulatan 3,1 juta km2, dan luas laut ZEE Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2. Jarak dari barat ke timur lebih panjang dari pada jarak antara London dan Siberia sebagaimana yang pernah digambarkan oleh Multatuli. Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 18.108 pulau besar dan kecil. Termasuk dalam kawasan kepulauan ini adalah pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, sekitar tiga perempat Borneo, Sulawesi, kepulauan Maluku dan pulaupulau kecil di sekitarnya, dan separoh bagian barat dari pulau Papua dan dihuni oleh ratusan suku bangsa. Pulau-pulau ini terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81,000 km dan sekitar 80 persen dari kawasan ini adalah laut. Jadi di dalam daerah yang demikian luas ini terkandung keanekaragaman baik secara geografis, ras maupun kultural yang seringkali menjadi kendala bagi proses integrasi nasional. 39 Dengan konstruksi kewilayahan yang semacam itu laut merupakan unsur yang dominan dalam sejarah Indonesia. Sebagai kawasan bahari insular region, 39 http:ajhieb.blogspot.com200912penetapan-batas-landasan-kontinental.html diakseskan tanggal 28 Desember 2010 26 Universitas Sumatera Utara Indonesia tidak hanya memiliki satu laut utama atau heartsea tetapi paling tidak ada tiga laut utama yang membentuk Indonesia sebagai sea system yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda. Di antara kawasan-kawasan laut yang disebutkan di atas, kawasan Laut Jawa merupakan kawasan jantung perdagangan laut kepulauan Indonesia. Kawasan Laut Jawa telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum datangnya bangsa Barat. Bahkan menurut Houben, Laut Jawa bukan hanya sebagai laut utama bagi Indonesia, tetapi juga merupakan laut inti bagi Asia Tenggara. Peranan kawasan Laut Jawa dan jaringan Laut Jawa masih dapat dilihat sampai saat ini. Jadi dapat dikatakan bahwa Laut Jawa merupakan Mediterranean Sea bagi Indonesia, bahkan bagi Asia Tenggara. Sebagai “Laut Tengah” kepulauan Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, sudah barang tentu Laut Jawa menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai komunitas yang berada di sekitarnya baik dalam kegiatan budaya, politik, maupun ekonomi. Kondisi geografis dan ekologis yang lebih bercorak kebaharian itulah yang menempa bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari di dalam perjalanan sejarahnya. 40 Sejak awal abad masehi telah memprekondisikan penduduk kepulauan Indonesia terlibat secara aktif dalam pelayaran dan perdagangan internasional antara dunia Barat Eropa dengan dinia Timur Cina yang melewati selat Malaka. Dalam hal ini penduduk Nusantara tidak menjadi objek aktivitas perdagangan itu, tetapi telah mampu menjadi subjek yang menentukan. Bukan merupakan suatu kebetulan jika berbagai daerah di Nusantara memproduksi 40 http:www.tnial.mil.idMajalahCakrawalaArtikelCakrawalatabid125articleTypeArt icleViewarticleId896menegakkan-kedaulatan-nkri-dengan-visi-bahari.aspx diakseskan tanggal 29 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara berbagai komoditi dagang yang khas agar bisa ambil bagian aktif dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan itu. Bahkan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit telah menguasai pintu gerbang pelayaran dunia yaitu Selat Malaka. Dari kegiatan perdagangan itulah kemudian muncul berbagai kerajaan maritim besar di Indonesia pada periode berkembangnya agama Hindu dan Budha seperti kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang berhasil menguasai Selat Malaka dan perdagangan Nusantara selama beberapa abad lamanya. 41 Pada masa selanjutnya, yaitu pada jaman kerajaan-kerajaan Islam, ketika perdagangan rempah-rempah sangat ramai, jalur-jalur perdagangan antar pulau di Nusantara misalnya antara Sumatera-Jawa, Jawa-Kalimantan, Jawa- Maluku, Jawa-Sulawesi, Sulawesi-Maluku, Sulawesi-Nusa Tenggara, dan sebagainya, menjadi bagian yang inheren dalam konteks perdagangan internasional. Bahkan mungkin negeri Cina bukan satu-satunya tujuan utama perdagangan internasional, tetapi juga kepulauan Indonesia. Selama periode penyebaran Islam ini telah muncul berbagai kerajaan maritim yang bercorak Islam di kawasan Nusantara seperti kerajaan Samudera Pasai, Aceh, dan Palembang di pulau Sumatra; Kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten di pulau Jawa; Kerajaan Banjarmasin di pulau Kalimantan; Kerajaan Makassar di Sulawesi; Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku, dan sebagainya. Selama abad ke-15 hingga abad ke-17 mereka-lah yang menguasai perdagangan di kepulauan Nusantara. Hal ini berkembang lebih pesat lagi ketika orang-orang Eropa mulai datang sendiri ke Nusantara untuk mencari komoditi rempah-rempah. Indonesia mampu bertindak sebagai besi 41 http:www.tabloiddiplomasi.orgprevious-isuue105-september-2010932-batas-laut- zee-di-perairan-selat-malaka.html diakseskan tanggal 29 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara semberani yang menarik para pedagang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai konsekuensinya jalur perdagangan dunia yang menuju ke Nusantara bukan hanya route tradisional lewat selat Malaka saja tetapi juga route yang mengelilingi benua Afrika kemudian menyeberangi Samudera Hindia langsung menuju kepulauan Indonesia. Di samping itu bangsa Spanyol dengan gigihnya juga berusaha mencapai Indonesia dengan menyeberangi Samudera Atlantik dan Pasifik. Pada saat pertama kali bangsa-bangsa Barat datang di perairan Nusantara batas wilayah laut belum merupakan persoalan yang penting di antara kekuatan-kekuatan lokal di Nusantara sebab mereka menggunakan prinsip perairan bebas. Namun demikian persoalan batas wilayah ini menjadi persoalan yang serius ketika bangsa-bangsa Barat mulai memperoleh kemenangan-kemenangan dalam konflik dengan kekuatan lokal. 42 Mereka kemudian menentukan batas-batas wilayah laut tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masyarakat lokal baik di bidang ekonomi maupun politik. Pada saat datangnya bangsa-bangsa Barat, perdagangan Nusantara sudah memiliki supply and demand yang relatif teratur baik dari segi perdagangan internasional maupun perdagangan antardaerah. Sistem perdagangan laut yang relatif sudah mapan mengalami penyesuaian-penyesuaian setelah banga- bangsa Barat bisa menanamkan dominasinya di Nusantara. Sistem perdagangan yang dipersenjatai armed-trading system yang telah dikembangkan oleh bangsa- bangsa Barat menyebabkan para pelaut lokal semakin tersingkir. 43 42 http:minartyplace.blogspot.com201012konsep-landas-kontinen-dalam- konvensi.html diakseskan tanggal 30 Desember 2010 43 Heri Sutrisno. “Pengamanan Pulau-Pulau Terluar Dan Perairan Perbatasan: Kesiapan TNI AL. Majalah WIRA. Edisi Khusus 2007. hal 38-42 Universitas Sumatera Utara O.W. Wolters mengatakan bahwa laut di Asia Tenggara merupakan area yang netral di mana para penguasa baik penduduk asli maupun para pendatang berusaha untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka. Hingga datangnya bangsa-bangsa Barat, para penguasa lokal di Nusantara cenderung telah menerapkan kebijakan laut bebas free ocean policy yang dalam istilah Barat disebut sebagai mare liberum. Contoh menarik dari persoalan ini dapat dilihat dari kasus hubungan yang penuh ketegangan antara Makassar dengan VOC pada awal abad XVII. Pada tahun 1616, VOC di Ambon mengirim delegas1i ke Makassar. Mereka melarang orang Makassar untuk melakukan perdagangan dengan kepulauan Maluku tetapi penguasa Makassar menentang larangan ini. Pada tahun 1607, jauh sebelum penaklukan Belanda atas Makassar, Sultas Ala’uddin mendeklarasikan kepada Belanda bahwa negerinya tebuka kepada semua bangsa termasuk Belanda dan Portugis. 44 Oleh karena itu jika Belanda memaksakan untuk melarang orang-orang Makassar berlayar ke Maluku maka itu berarti Belanda telah mengibarkan bendera perang. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa datangnya banyak bangsa Barat di perairan Nusantara menyebabkan kawasan ini menjadi battle field di antara kekuatan-kekuatan yang bersaing. Tidak mengherankan jika periode ini selalu diwarnai dengan persaingan, konflik dan peperangan laut yang tak terhitung jumlahnya. Pada prinsipnya perang yang terjadi pada periode ini merupakan perang memperebutkan monopoli perdagangan. 45 44 Turmudzi, Didi, Prof. Dr. H.M. Membangun Visi Negara Kepulauan. http:www.pikiran-rakyat.com , diakseskan tanggal 30 Desember 2010 45 Ibid Universitas Sumatera Utara Dalam hubungan itu akhirnya VOC memperoleh kemenangan yang gemilang di beberapa daerah di Nusantara termasuk Malaka. Ada beberapa kunci kemenangan VOC antara lain: penerapan politik devide at impera, memecah belah dan menguasainya. Taktik ini memang tidak selalu disengaja, tetapi kadang- kadang hanya memanfaatkan dan memperbesar konflik yang telah ada sebelumnya. Dengan cara demikian akhirnya VOC dapat menguasai titik-titik penting ekonomi Nusantara. Setelah perusahaan dagang ini bangkrut tahun 1799, segala asetnya diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda yang melanjutkan dan memperluas kolonisasi di kepulauan Indonesia hingga tahun 1942 ketika bala tentara Jepang mengusirnya dari Indonesia. 46 Bagian ini akan mengkaji munculnya ide mengenai penyatuan wilayah daratan dan lautan yang seringkali diverbalisasikan dalam bentuk istilah ‘tanah- air’ yang menjadi dasar utama tuntutan Indonesia mengenai konsep negara kepulauan atau archipelagic state principle. Tuntuan ini pada waktu itu masih merupakan sesuatu yang asing dalam sistem hukum laut internasional karena pada waktu itu belum ada satu negara pun di dunia yang sudah mengimplementasikannya. Pada waktu itu negara-negara maju biasanya menerapkan konsep sistem wilayah pulau demi pulau yang tentu saja tidak sesuai dengan ide mengenai konsep ‘tanah air’ tersebut. 47 Oleh karena itu sangat menarik untuk mengkaji sejarah muinculnya istilah ‘tanahair’ ini dalam khasanah sejarah Indonesia. Istilah ‘tanah air’ atau kadang- 46 Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia. http:www.kompas.com , diakseskan tanggal 30 Desember 2010 47 Basril, Chaidir ., 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta. hal 25 Universitas Sumatera Utara kadang disebut sebagai ‘tanah tumpah darah’ daerah tempat darah ditumpahkan tanah kelahiran telah banyak digunakan oleh berbagai kelompok etnik di Nusantara untuk merujuk kepada daerah asal di mana seseorang dilahirkan. Pada awalnya, ketika berbagai kelompok etnik di kepulauan Indonesia belum mengenal konsep Indonesia, atau ketika mereka masih hidup dalam semangat ‘local patriotism’ atau ‘ethno-nationalism’, konsep ‘tanah tumpah darah’ mungkin mengacu kepada tempat kelahiran dalam bentuk desa atau kampung atau daerah di mana secara tradisional diklaim sebagai hak milik dari kelompok etnik tertentu. Istilah ini masih dapat dilacak dari istilah yang begitu tersebar di Nusantara seperti Tanah Jawa, Tatar Sunda, Negeri Minang, dan sebagainya. 48 Sebelum terjadinya ekspansi politik yang didasarkan atas etnisitas, masing-masing kelompok etnik tentunya sudah merupakan suatu kawasan budaya tersendiri. Hal ini berarti bahwa pada awalnya istilah ‘tanah air’ atau ‘tanah tumpah darah’ atau ‘tanah kelahiran’, dan sebagainya merupakan suatu konsep budaya atau cultural concept. Konsep ini berubah ketika kekuasaan politik yang berbasiskan etnisitas memperluas kekuasaan politiknya menembus batas-batas kawasan budaya kelompok etnik yang lain. 49 Ketika kerajaan Majapahit di Jawa mulai melakukan ekspansi menembus batas kawasan budaya kelompok etnik lain misalnya, kemudian mereka menyebut daerah yang baru ditaklukkan dan dipengaruhi yang sebagian besar terletak di luar Jawa sebagai Nusantara sebagaimana disebut dalam kitab Negarakertagama. 48 Basril, Chaidir, Ibid, hal 26 49 Ibid, hal 27 Universitas Sumatera Utara Adalah konsep Nusantara yang selama periode pergerakan nasional di Indonesia ditemukan kembali reinvented dan direinterepretasi reintrepreted kembali oleh para tokoh pergerakan nasional. Konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ secara evolosioner dipadukan menjadi konsep yang pada gilirannya selaras dengan konsep negara kepulauan atau archipelagic state principle pada pertengahan abad XX. 50 Proses yang bersifat evolusioner tersebut, sebagai contoh, dapat dilihat dari kasus ketika raja Makassar pada awal abad XVII mendeklarasikan bahwa Tuhan telah membagi bumi secara adil kepada setiap bangsa tetapi laut diberikan oleh Tuhan kepada semua manusia tanpa mengenal kebangsaannnya. Setelash ditaklukkan oleh VOC, orang-orang Makassar kemudian menyadari betapa pentingnya mengontrol dan menguasai laut. Hal serupa itu juga pernah dialami oleh Belanda ketika pada awal abad XVII menerapkan kebiajakan laut bebas atau free ocean policy mare liberum. Akan tetapi pada periode selanjutnya, demi logika bisnis, mereka mengubah keyakinan mereka dari mare liberum menjadi mare clausum kebijakan laut tertutup ketika mereka hendak menegakkan monopoli perdagangan laut terhadap Makassar dan berbagai kerajaan di Nusantara. 51 Setelah VOC mengalami kebangkrutan, penguasa penggantinya yaitu pemerintah kolonial Hindia Belanda cenderung untuk mengimplementasikan prinsip ‘mare liberum” namun dengan pembatasan laut teritorial sejauh tiga mil laut. Hal ini dapat dilihat dari produk hukum yang diciptakan oleh pemerintah 50 Sarwono Kususmaatmadja. “Membangun Daerah dengan Paradigma Baru”. Majalah Tempo. Edisi khusus akhir tahun. Desember 2007. hal 8. 51 Boer Mauna, 2008, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, P.T Alumni, hlm. 357 Universitas Sumatera Utara kolonial Belanda yang mengatur tentang penangkapan ikan, pelayaran, perompakan, dan sebagainya. Jadi sesunguhnya pemerintah kolonial Belanda tidak mewariskan konsep politik dan ideologis mengenai konsep penyatuan antara daratan dan lautan sebagai suatu wilayah negara yang terintegrasi. Oleh karena itu sangat menarik bahwa konsepsi kewilayahan yang menyatukan antara wilayah daratan dan lautan sebagai suatu entitas muncul selama masa akhir pemerintah kolonial Belanda dan berpuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Adalah sangat beralasan untuk berpikir bahwa fonemena itu berkaitan erat dengan proses ‘inventing’ dan ‘reinventing’ konsep batas wilayah dalam sejarah Indonesia modern. 52 Ide mengenai pengintegrasian wilayah daratan dan lautan dapat dilacak kembali melalui sejarah penggunaan konsep ‘tanah air’ oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional. Istilah ‘tanah air’ pertama kali digunakan oleh Mohammad Yamin pada tahun 1920 ketika ia menggubah sebuah syair yang berjudul ‘Tanah Air’. Pada awalnya, istilah ‘tanah air’ ditujukan sebagai pujian terhadap tanah kelahirannya dan tanah asal nenek moyangnya yaitu Sumatra. Pada periode selanjutnya, patriotisme terhadap tanah kelahiran atau homeland patriotism mengalami evolusi dalam maknanya dan berubah maknanya menjadi nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari fenomena Kongres Sumpah Pemuda yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1928 yang diselenggarakan di Batavia. Kongres dipimpin oleh pemuda-pemuda nasionalis 52 Andreas Pramudianto, Perjanjian Internasional di Bidang Lingkungan Laut yang Telah Diratifikasi Indonesia, 1 Desember 2009, http:www.andreaspramudianto’s.blogspot.com diakseskan tanggal 30 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara seperti Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, Sukiman, dan Asaat yang menyepakati sebuah tekat dengan semboyan ‘satu nusa, satu bangsa, satu bahasa dan menyetujui untuk menggunakan ‘Indonesia Raya’ sebagai lagu kebangsaan. 53 Penggunaan istilah ‘tanah tumpah darah’ dan ‘tanah-air’ menjadi semakin populer ketika para tokoh nasionalis menghubungkannya dengan negara merdeka yang dicita-citakan, yaitu Indoneia. Istilah-istilah tersebut kemudian digunakan secara ekstensif oleh pers, nyanyian-nyanyian, karya sastra, pidato-pidato politik, dan sebagainya. Periode kebangkitan nasional menandai berkembangnya proses ideologisasi dan politisasi dari konsep budaya ‘tanah-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ menjadi konsep wilayah negara. Versi asli dari lagu kebangsaan Indonesia Raya menyatakan: Meskipun belum dilakukan penelitian secara detail, periode tahun 1930-an menyaksikan peningkatan popularitas konsep ‘tahan-air’ dan ‘tanah tumpah darah’ melalui aktivitas organisasi-organisasi politik, pers, polemik kebudayaan, dan sebagainya. Menjelang kemerdekaan Indonesia, ide mengenai unifikasi wilayah daratan dan lautan semakin menjadi isu politis. Persoalan itu menjadi salah satu isu penting yang dijadikan sebagai bahan diskusi di dalam sidang-sidang BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kepemrdekaan Indonesia. 54 Setelah proklamasi kemerdekaan, para pemimpin Indonesia hampir tidak memiliki waktu yang cukup untuk berdiskusi mengenai batas wilayah negara secara pasti ‘tanah air’ Indonesia karena peperangan melawan Belanda yang ingin 53 Harian Seputar Indonesia 12 Januari 2007. “Penyelamatan Pulau-Pulau Terdepan” Ali Motchar Ngabalin- Anggota Komisi I DPR-RI 54 Prasetianingsih, Yuli. Membaca Sengketa Ambalat dengan Reaktualisasi Nasionalisme. http:www.balipost.co.idbalipostcetak2005318o2.htm , diakseskan tanggal 30 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara kembali menjajah Indonesia. Selama perang kemerdekaan itu dan selanjutnya juga selama konflik mengenai Papua Barat, para pemimpin Indonesia menyadari betapa pentingnya untuk menentukan batas wilayah ‘tanah air’ secara jelas yang pada waktu itu belum dilakukan. Untuk mengklaim bahwa wilayah Indonesia bukanlah semata-mata warisan Hindia Belanda, maka konsep ‘tanah air’ dan nusantara sekali lagi ‘ditemukan’ oleh para pemimpin Indonesia. Bahkan Sukarno pernah mengatakan pada tahun 1917 bahwa nama Indonesia sebetulnya sama dengan Nusantara pada masa kerajaan Majapahit. Dalam kaitannya dengan isu batas wilayah negara, konsep Nusantara dipandang sama dengan konsep ‘tanah- air’. Jika konsep ‘tanah-air’ cenderung merupakan konsep kultural, maka konsep ‘nusantara’ lebih merupakan konsep politik. 55 55 Ibid Pertanyaan menarik perlu diajukan, mengapa konsep Nusantara diperlukan? Hal ini berkait erat dengan kenyataan bahwa Indonesia sering dipandang sebagai warisan kolonial Belanda yang sistem batas teritorinya didasarkan atas sistem pulau demi pulau ‘island by island’’ dengan luas wilayah laut teritorial seluas tiga mil laut dari garis pantai pada waktu air surut. Penemuan kembali konsep ‘nusantara’ dan ‘tanah-air’ dapat melingkupi seluruh kawasan Nusantara yang mencakup baik wilayah daratan maupun lautan atau bahkan laut-laut dan pulau-pulaunya. Dalam konsep itu tidak memungkinkan adanya ‘enclave’ dalam bentuk perairan internasional di dalam wilayah Nusantara. Proses ideologisasi ini mencapai puncaknya pada tahun 1957 ketika pemerintah mengumumkan Deklarasi Djuanda. Deklarasi itu berisi klaim untuk melakukan unifikasi wilayah daratan dan lautan yang ada di Indonesia. Hal itu Universitas Sumatera Utara berbeda dengan visi negara kolonial mengenai konsepsi batas wilayah laut tiga mil dari garis pantai pada waktu air surut dari setiap pulau. Visi Nusantara memandang semua perairan yang ada di dalam dan di antara pulau-pulau yang ada merupakan wilayah Indonesia sebagai sebuah entitas daratan dan lautan. 56 Secara strategis, Deklarasi Djuanda memiliki dimensi internal dan eksternal. Secara internal, deklarasi tersebut dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai kebijakan pemerintah untuk menindak segala macam kemungkinan yang dilakukan oleh gerakan separatis dan secara eksternal hal itu berkaitan erat dengan upaya untuk menemukan kembali justifikasi historis dan kultural untuk menyatukan wilayah daratan dan lautan dalam rangka menghadapi tekanan- tekanan negara Barat yang tidak sepaham atas klaim yang dilontarkan oleh pemerintah Indonesia. 57 Blok Gosong Niger, konflik dua negara tersebut akibat adanya klaim Malaysia terhadap landas kontinen di perairan Ambalat. Pemerintah Malaysia 16 Februari 2005 memberikan konsesi kepada Shell dan Petronas Carigali di Blok ND6 dan ND7. 58 56 Ibid Padahal sebelumnya pemerintah Indonesia telah memberikan konsesi pengusahaan migas di perairan tersebut kepada beberapa pengusaha perminyakan tanpa ada keberatan dari negara tetangga termasuk Malaysia. Selama ini media massa maupun pejabat di Indonesia ini menyoroti konflik perbatasan tersebut secara kurang benar dan belum menyentuh permasalahan utamanya. 57 Ibid 58 Ibid Universitas Sumatera Utara Misalnya, konflik tersebut diasumsikan akan mengancam hilangnya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah perbatasan. 59 Hal ini juga didukung oleh pernyataan pejabat Departemen Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan konflik perbatasan tersebut akan mengancam hilangnya 12 pulau kecil di wilayah perbatasan. Menurut Hasjim Djalal dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta beberapa waktu lalu, sebenarnya secara hukum tidak ada pulau kecil yang akan hilang dalam konflik wilayah perbatasan. Misalnya, Pulau Miangas yang selama ini selalu dikatakan rawan diklaim oleh Filipina sebenarnya tidak benar, karena Filipina sendiri sudah mengakui pulau tersebut milik Indonesia berdasarkan keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional, kalau kita cermati, penyebab utama konflik perbatasan tersebut adalah ketidakjelasannya batas-batas wilayah laut Indonesia dan negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh kelalaian pemerintah Indonesia sendiri yang sampai saat ini belum menetapkan batas wilayahnya di laut sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982. Indonesia sendiri sudah meratifikasi UNCLOS tersebut tahun 1986, tetapi sampai saat ini belum terlihat adanya upaya yang serius dalam menetapkan batas-batas wilayah laut tersebut. 60 59 Agoes, Etty, R., 1998. masalah sekitar Ratifikasi dan Implementasi konvensi hukum Laut 1992. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hal 67 Apabila pemerintah Indonesia serius dalam memperhatikan batas-batas wilayahnya di laut, misalnya dengan cara menetapkan dan mendepositkannya titik-titik batas wilayahnya tersebut ke Sekjen PBB supaya diakui secara internasional, mungkin konflik di wilayah perbatasan dapat diminimalisasi. 60 Djalal, Hasyim., 1999, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Bina Cipta, Bandung, hal 55 Universitas Sumatera Utara Nilai penting sebuah Pulau Perbatasan, Makna hilangnya sebuah pulau dapat dipandang dari tiga sudut: ekonomi, politik, dan hukum. Secara ekonomi pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila dikelola negara lain padahal secara hukum pulau tersebut milik Indonesia. Pulau kecil tersebut bisa saja didapat secara legal dari pemerintah Indonesia, misalnya dengan cara menyewa, bisa juga secara ilegal. 61 Secara politik pulau-pulau kecil dapat dikatakan hilang apabila masyarakatnya lebih mengakui negara lain dari negaranya sendiri. Misalnya Miangas. Secara hukum pulau itu milik Indonesia tetapi secara politik milik Filipina karena bahasa yang dipakai bahasa Tagalog, bukan bahasa Indonesia. Juga mata uang yang dipakai masyarakat Peso, bukan Rupiah. Pulau-pulau kecil juga dapat dikatakan hilang apabila ada keputusan secara hukum internasional yang menyatakan pulau-pulau kecil tersebut merupakan milik negara lain . Ini memerlukan waktu yang lama karena harus melalui perundingan internasional dan bahkan peperangan. Selain itu juga memerlukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menunjukan keberadaan pulau-pulau kecil tersebut di wilayahnya. 62 Dengan tiga gambaran di atas, pemerintah dapat mencarikan solusinya secara benar. Artinya jangan sampai pemerintah mengatasi perbatasan laut dengan cara yang dapat menimbulkan permasalahan baru, misalnya memberikan hak secara legal kepada pihak investor asing untuk mengelola pulau kecil tersebut. Indikasi ke situ sangat ”kental” dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal ini dapat dilihat dari ”ngototnya” departemen itu mendesak Presiden 61 Hidayat, Imam dan Mardiono., 1983. Geopolitik. Usaha Nasional, Surabaya, hal 71 62 Ibid, hal 72 Universitas Sumatera Utara menanda-tangani Keppres tentang pengelolaan 92 pulau kecil di perbatasan. Padahal pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil tersebut jelas merupakan kewenangan pemerintah daerah, seperti diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 63 Pemberdayaan Ekonomi Lokal, alangkah bijak bila pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil lebih terfokus pada upaya menumbuhkan kekuatan ekonomi lokal yang dikelola masyarakat di wilayah tersebut. Juga mempercepat pengembangan armada transportasi antarpulau di wilayah perbatasan. Hal ini untuk menghilangkan keterisoliran masyarakat di pulau-pulau kecil tersebut. Pemerintah hendaknya lebih fokus pada: Pertama, secepatnya merevisi kembali UU No. 1 Tahun 1973 agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter UNCLOS 1958 dengan pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang UNCLOS 1982 adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia. Sementara UU No 1 Tahun 1973 tersebut masih berdasarkan UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi Undang-undang serta mendepositkannya kepada Sekjen PBB. 64 63 http:stevenpailah.blogspot.com200807pengelolaan-pulau-pulau-terluar-nkri.html diakseskan tanggal 30 Desember 2010 64 http:www.tnial.mil.idMajalahCakrawalaArtikelCakrawalatabid125articleTypeArticl eViewarticleId66Default.aspx diakseskan tanggal 30 Desember 2010 Universitas Sumatera Utara Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-titik perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-batas wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas lantas kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009 untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil dari garis pangkal kepulauannusantaranya. Apabila sampai batas waktu tersebut belum menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas landas kontinen sampai jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang sudah mengajukan klaim landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang sudah meratifikasi UNCLOS 1982, yaitu Rusia 2001, Brasil 2004 dan Australia 2004. 65 Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan secara lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya tidak melanggar prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai ”menghilangkan” pulau-pulau kecil tersebut secara ekonomi dari tangan Indonesia. 66 Sementara itu di lain pihak, Malaysia tidak tepat menggunakan Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 untuk mengklaim Blok Ambalat dan Ambalat Timur sebagai bagian dari kedaulatan negaranya, karena negeri jiran itu bukanlah negara kepulauan. UNCLOS 1982 memang berlaku untuk semua negara anggota 65 Ibid 66 Ibid Universitas Sumatera Utara PBB, tetapi penerapan konvensi hukum laut tersebut hanya bagi negara kepulauan archipelago state. Malaysia kan bukan negara kepulauan, kata pengamat hukum laut internasional, Nixon RC Willa di Kupang, Kamis 1003. Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Undana Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya mengenai sikap tegas Malaysia yang tetap menggunakan UNCLOS 1982 dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Indonesia di Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Dalam konsep negara kepulauan archipelago state, kata dia, tidak mengenal adanya istilah laut bebas, sehingga klaim Malaysia atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur sebagai bagian dari teritorinya, sangat tidak rasional. 67 Ditekankan lagi oleh Kasal Laksamana TNI Tedjo Edhy Purdijatno mengemukakan bahwa hingga kini antara Indonesia dengan Malaysia belum selesai menentukan batas wilayah laut, khususnya di Perairan Ambalat. Malaysia dengan kita memang beda paham soal batas wilayah itu, katanya, seusai pelantikan perwira lulusan Pendidikan Pembentukan Perwira di Komando Pengembangan dan Pendidikan TNI AL Kobangdikal, Surabaya. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso dalam dengar pendapat dengan DPR, mengungkapkan pasukan Malaysia masih kerap melakukan pelanggaran wilayah di kawasan Blok Ambalat. Menurut Kasal, kalau Indonesia menganggap bahwa kapal Malaysia melakukan pelanggaran batas wilayah, Malaysia juga menganggap kapal Indonesia demikian. Karena itu memang harus ditentukan batas wilayah. Kasal mengemukakan bahwa dua pekan lalu, masalah itu telah ditindaklanjuti 67 Ibid Universitas Sumatera Utara dengan rapat di Kementerian Politik hukum HAM yang diikuti Menteri Koordinator Polhukam, Menlu, Panglima TNI dan jajaran kepala staff angkatan bersenjata serta Kapolri. Dalam rapat itu kita bahas bahwa Malaysia memang masih banyak melakukan pelanggaran di Ambalat, sementara ini kapal-kapal mereka hanya kita usir keluar melalui komunikasi atau kita giring, ujarnya. Ia mengemukakan, sementara ini perkembangan sitasi di wilayah itu sudah dilaporkan secara berjenjang dari Pangarmatim, Kasal, Panglima TNI, Menhan dan kepala Menlu untuk dibuatkan nota diplomatik ke Malaysia. Mengenai kapal TNI AL yang berpatroli di kawasan itu, Kasal mengemukakan ada lima KRI yang memang selalu siaga. Kapal-kapal itu disiagakan dan setiap beberapa bulan sekali digantikan dengan kapal lainnya. Upaya yang ditempuh Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara sahabat dengan semangat good neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga yang baik di antaranya dengan negara sahabat Malaysia, Thailand, Australia dan India. 68 Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km. 69 68 Ibid Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut. Implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan 69 Arsana, I MA. 2007 Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 41 Universitas Sumatera Utara langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.1 Luasnya wilayah Indonesia yang berbatasan dengan sejumlah negara baik di wilayah darat dan laut memerlukan pengelolaan perbatasan yang komprehensif, baik pengelolaan dalam lingkup keamanan dan penegakan hukum, serta pengelolaan perbatasan yang secara administratif terencana dan kebijakan pembangunan wilayahnya dapat berjalan secara sinkron antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang menaungi kota atau wilayah perbatasan tersebut. Hal ini sangat diperlukan mengingat luasnya wilayah Indonesia dan sejumlah persoalannya yang terkait dengan isu perbatasan. 70 Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai Coastal Baseline setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. 71 Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan 70 Gatra 2009 Malaysia Kembali Langgar Batas Wilayah. Diakses dari http:www.gatra.comartikel.php?id=126654 tanggal 15 November 2010. 71 YPMI 2004. Membangun Daya Maritim Indonesia. Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia. 2004. Universitas Sumatera Utara zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia. 72 Maka Konsep dari batas laut wilayah Indonesia telah disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 bahwa; “Landas kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang di luar laut territorial,sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapaijarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.” Walaupun Indonesia tidak menghadapi konflik perbatasan yang serius berupa bentrokan bersenjata dengan negara-negara tetangga. Namun sejumlah wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga masih terdapat sejumlah persoalan klaim wilayah perbatasan, yang masing-masing pihak merasa memiliki kekuatan hukum. Bahkan terkadang terjadi sejumlah insiden pelanggaran perbatasan, khususnya di wilayah perbatasan laut, baik yang dilakukan oleh pihak sipil seperti nelayan dan pelanggar lintas batas sipil lainnya, sampai kepada aparat pemerintah atau keamanan masing-masing negara. Kondisi yang demikian mejadikan wilayah perbatasan terkendala untuk dapat dikembangkan sebagai sentra pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan pada karakteristik wilayah perbatasan yang nota bene seharusnya memiliki intensitas 72 Ibid Universitas Sumatera Utara tinggi dalam arus lalu lintas, manusia, barang dan jasa. Karena tanpa adanya kepastian hukum akan batas wilayah masing-masing negara, akan sulit untuk membangun suatu kerjasama antar aparat berwenang pengelola perbatasan. Hal seperti inilah yang kadangkala dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan litas negara. Yakni dengan memanfaatkan “loop hole” kelemahan kerjasama antar aparat serta adanya grey area yang menjadi sengketa perbatasan. 73 Dapat dikatakan bahwa para bajak laut yang beroperasi di perairan selat Malaka, antara lain juga memanfaatkan “grey area” sengketa perbatasan. Sehingga walaupun kerjasama antar aparat keamanan perbatasan secara bilateral ataupun multilateral dilakukan, namun apabila sejumlah negara yang memiliki sengketa tidak mampu menyelesaikan sengketa wilayah perbatasannya, akan menjadikan wilayah perbatasan sebagai derah operasi para pelaku kejahatan lintas batas negara trans national border crime. 74 Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah Republik Indonesia telah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan BNPP melalui perpres No.12 tahun 2010, sebagai lembaga yang memiliki tanggungjawab utama untuk mengelola perbatasan dengan leading sector Kementerian Dalam Negeri. Dimana dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri bersama-sama dengan sejumlah instansi pemerintah lainnya seperti; Kementerian Luar Negeri, Pertahanan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keuangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, dan Kehutanan, bertanggungjawab dalam menjalankan lembaga ini. Bahkan BNPP juga beranggotakan Menteri Koordinator Politik, hukum dan keamanan, serta Menko 73 Arsana, I MA, Op.Cit, hal 43 74 Ibid Universitas Sumatera Utara Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua dari BNPP. Dengan terlibatnya sejumlah kementerian dalam lembaga ini diharapkan tidak menjadikan BNPP sebagai lembaga koordinatif yang justru tidak memiliki kemampuan dalam menggerakan alur koordinasi dan implementasi kebijakannya. 75 Karena fungsi koordinatif dari BNPP atas sejumlah instansi pemerintah yang bertanggungjawab dalam mengelola perbatasan diragukan dapat terimplementasikan dalam tataran operasional. Mengingat terdapatnya berbagai instansi yang selama ini merupakan stake holder bidang perbatasan kerapkali kesulitan dalam melakukan koordinasi satu sama lain. Hal ini antara lain diakibatkan oleh tumpang tindihnya penanggungjawab persoalan perbatasan, yang seharusnya dapat di definisikan dan dan dibagi tanggungjawabnya secara jelas berdasarkan pada ruang lingkup kerja masing-masing instansi yang antara lain dengan merujuk pada tanggungjawab perbatasan akan fungsi-fungsi CIQS Custom Imigration Quarantine, and Security. Di sejumlah negara pengelolaan tanggungjawab CIQS terkadang berada dibawah suatu instansi utama yang memiliki kewenangan operasional seperti Home Land Security Department di Amerika Serikat atau Border Guard Hungaria, yang sebelumnya merupakan lembaga tersendiri, namun sekarang berada dibawah Kepolisian Nasional, yang mana Kepolisian Nasional Hungaria berada dibawah Kementerian Hukum. 76 75 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Diplomasi Perbatasan: Strategi Indonesia Mengalahkan Klaim Malaysia dalam Perundingan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada pada tanggal 8 Desember 2010 di Yogyakarta 76 Ibid Universitas Sumatera Utara Untuk mengamankan wilayah perairan Indonesia saja terdapat sejumlah instansi yang harus berkoordinasi satu sama lain, seperti TNI AL, Kepolisian Air dan Udara, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perhubungan, dan Bakorkamla. Lantas dipelabuhan juga terdapat lagi instansi “berbeda” lainnya untuk mengurus arus masuk dan keluar manusia dan barang yang melalui moda transportasi laut, disitu antara lain terdapat petugas Bakorkamla, Polairud, TNI AL, Imigrasi, Karantina, Bea dan Cukai, serta Syahbandar Pelabuhan, yang masing-masing berbeda instansi atau kementeriannya. 77 Dengan begitu banyaknya instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan perbatasan, baik dari sisi pengelolaan keamanan maupun administrasi yang menyangkut pembangunan atau bahkan pengembangan perbatasan, maka tampaknya jika pengeloalan perbatasan dibebankan kepada BNPP yang merupakan lembaga koordinatif yang dipimpin oleh Menteri dalam negeri secara ex-oficio, maka dapat diprediksikan sulit untuk dapat berfungsi secara optimal keberadaan lembaga ini sesuai dengan perpres. 78 Pengelolaan perbatasan di Indonesia memang tidak dapat dengan cara mencontoh secara mentah-mentah dari keberadaan lembaga pengelola perbatasan negara lain, namun contoh dari yang ideal juga bisa dijadikan referensi, seperti di Amerika Serikat, ataupun dari negara-negara yang melakukan reformasi di bidang manajemen perbatasan, terutama dari negara-negara post-authoritarian yang sebelumnya mengedepankan pendekatan militeristik seperti Hungaria atau Rusia. 77 Ibid 78 Ibid Universitas Sumatera Utara Salah satu contoh menarik adalah apa yang dilakukan oleh Rusia dalam mengatur mekanisme pengelolaan perbatasannya. 79 B. Peraturan Pemerintah Tahun 1937Deklarasi Juanda Berdasarkan pasal 11 Krosok Ordonnantie 1937 maka besarnya pemungutan atas pengeluaran krosok dari wilayah Indonesia tiap tahun takwin ditetapkan dengan suatu Peraturan Pemerintah. Sebagaimana diketahui, maka hasil pemungutan itu disediakan untuk pembiayaan Badan Urusan Tembakau Ordonnantie 1937 dan yang bertugas mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki produksi, pengolahan, perdagangan dan pasaran tembakau Indonesia didalam dan diluar Negeri. 80 Indonesia merupakan kawasan kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau itu terbentang dari timur ke barat sejauh 6.400 km atau sepadan dengan jarak London dan Siberia dan sekitar 2.500 km jarak antara utara dan selatan. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer dan sekitar 80 dari wilayah ini adalah laut. Dengan bentang geografis itu, Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas yaitu 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta kilometer persegi. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan dengan beragam suku, bahasa, dan budayanya. Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena 79 Ibid 80 Kusumastanto, Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan Republik Indonesia. http:www.kompas.com , diakseskan tanggal 19 Januari 2011 Universitas Sumatera Utara seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial dan kultural. 81 Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. 82 Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia. 83 Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik- titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis Ordonantie 81 Basril, Chaidir ., 1992. Pengetahuan tentang Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara, CV. Chitra Delima, Jakarta. hal 25 82 Ibid 83 Ibid Universitas Sumatera Utara 1939 tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulaupulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut. 84 Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim “Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritime. 85 Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. 86 Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah: 1 Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia; 2 Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia darat, laut dan udara. 87 84 http:www.facebook.comnote.php?note_id=164769430202602 diakseskan tanggal 19 Januari 2011 85 http:sasmini.staff.uns.ac.id20090714teori-hak-lintas-damai-dan-pengaturannya-di- indonesia diakseskan tanggal 19 Januari 2011 86 Ibid 87 Ibid Universitas Sumatera Utara Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi, sumberdaya alam yang tak terbarukan seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya, juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC Ocean Thermal Energy Conversion, maupun jasa- jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut. 88

C. Undang-Undang Nomor 4PRP 1960