Subekti, Loc. Cit, hal. 42.
tersebut. Adapun pertimbangan putusan Hoge Raad adalah sebagai berikut:
“…bahwa peraturan yang menentukan pengluasan dan penambahan perikatan-perikatan yang timbul dari suatu perjanjian,
hingga sampai diluar lingkungan ketentuan-ketentuan yang dituliskan dengan tegas, tidak bertujuan yang sebaliknya yaitu
untuk menghilangkan kekuatan dari apa yang secara tegas ditetapkan dan dengan demikian menghapuskan perikatan-
perikatan yang timbul dari perjanjian…”
Lebih lanjut, putusan Hoge Raad yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik yang dapat penulis sajikan disini adalah
Kasus Sarong Arrest yang berkaitan dengan turunnya nilai uang Jerman setelah Perang Dunia Pertama. Kasus Sarong Arrest bermula
pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar f 100.000,-. Karena
keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir,
pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia
memenuhi prestasi tetapi dengan harga yang lebih tinggi, karena apabila harga tetap sama ia akan menderita kerugian, yang
berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.
90
Pembelaan yang ia penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata dikesampingkan oleh Hoge Raad dalam arrest tersebut.
Menurut putusan Hoge Raad tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya,
berhak berpedoman pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan Hoge Raad masih memberi harapan tentang
hal ini dengan memformulasikan, mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu
putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan. Putusan Hoge Raad ini
selalu berpedoman pada saat dibuatnya kontrak oleh para pihak. Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual
harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
91
Di Indonesia, kita bisa merujuk pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 11 Mei 1955. Putusan tersebut merupakan
putusan yang dapat kita banggakan sebagai putusan yang sangat baik
90
Salim, Op. Cit, hal. 10.
91
Ibid.
dalam pemakaian “itikad baik” dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Dalam putusan tersebut, oleh Mahkamah Agung dipertimbangkan
bahwa adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak memikul masing-masing
separuh dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai tukar rupiah, diukur dari perbedaan emas pada waktu menebus tanah tersebut.
Sawah yang sebelum perang digadaikan dengan Rp 50,- oleh Mahkamah Agung ditetapkan harus ditebus dengan 15 x Rp 50,- atau
Rp 750,- karena harga emas sudah naik mencapai 30 kali lipat.
92
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga “kebiasaan”. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1339
KUH Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.”
Kebiasaan costum adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu
kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu
92