Subekti, Ibid, hal. 40. Anatomi Perjanjian Franchise Pizza Hut
Berdasarkan ketentuan di atas baik yang bersumber pada undang- undang maupun pada doktrin dari para ahli hukum, maka untuk dapat
mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian antara para pihak franchisor dan franchisee dapat dicermati dari
pasal-pasal yang ada dalam perjanjian tersebut. Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan kepentingan antara franchisor dan
franchisee mengingat perjanjian ini dibuat oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini
bentuknya sudah baku dan calon franchisee hanya punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft
perjanjian. Pada perjanjian “Hak Pemakaian nama Pizza Hut” dapat diketahui
jumlah pasal yang mengatur Hak Franchisee jumlahnya ada empat pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8, Pasal 14. Kewajiban franchisee
dalam perjanjian ini jumlahnya ada enam belas pasal, yaitu Pasal 1 sd Pasal 11, Pasal 14 sd Pasal 16, Pasal 18 sd Pasal 19.
Contohnya adalah dalam pembayaran bulanan seperti yang tercantum dalam Pasal 9, yaitu “Semua pembayaran kepada
franchisor berdasarkan Perjanjian ini dapat ditentukan jumlah penuh di sini, bebas dan bersih dari pajak apapun karena dan karena oleh
franchisee sehubungan dengan pembayaran tersebut dan dikurangi
pajak yang diperlukan yang harus dibayar kepada pemerintah
Indonesia oleh franchisee atas nama franchisor.” Pasal ini tidak adil
bagi franchisee, karena franchisee yang menanggung pajak semuanya, sedangkan franchisor menerima bersih pembayaran dari
franchisee. Seharusnya pihak franchisor juga menanggung pajak, jangan hanya membebankan pajak kepada pihak franchisee.
Selain itu Pasal 15, i yang mengatur mengenai pengakhiran perjanjian, yaitu, “Perjanjian ini dan semua hak yang diberikan kepada
franchisee, kontrak ini akan berakhir tanpa pemberitahuan kepada franchisee, jika franchisee menjadi bangkrut atau dibubarkan.”
Rumusan ini sangat tidak adil karena seharusnya franchisor memberitahukan dahulu kepada franchisee jika ingin mengkahiri
perjanjian, sehingga franchisee lebih siap menghadapinya. Mungkin saja sebenarnya franchisee masih bisa membangun kembali
usahanya tapi karena franchisor tidak memberitahukan terlebih dahulu, maka franchisee tidak sempat membangun kembali usahanya.
Dari paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa ada ketidak seimbangan pengaturan antara hak dan kewajiban para pihak
pembuat perjanjian di dalam perjanjian tersebut. Pengaturan hak franchisee sangat sedikit dibanding kewajibannya, dengan kata lain
hak franchisor lebih banyak dibanding kewajiban franchisor. Itikad baik
dan kepatutan adalah asas yang memberikan perlindungan kepada pihak yang lemah di dalam suatu perjanjian terhadap tindakan pihak
yang kuat. Berdasarkan Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik
kepatutan dan kesusilaan, maka hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian,
apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk
menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan
dengan itikad baik apabila pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil. Hal ini bisa
dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian ketertiban dan menciptakan keadilan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hal di atas adalah pihak yang kuat dengan alasan kebebasan berkontrak dapat menentukan pasal-
pasal di dalam sebuah perjanjian yang isinya lebih memberikan keuntungan kepada pihaknya, akan tetapi hakim berhak menilai dan
membatalkan pasal-pasal di dalam suatu perjanjian yang berat sebelah, yang dapat diduga akan memberikan keuntungan yang lebih
besar pada satu pihak dengan cara merugikan pihak yang lain. Tidak
dapat dipungkiri kepentingan bisnis lebih menjadi pertimbangan bagi para pebisnis dibanding dengan pertimbangan hukum dan keadilan
bagi para pihak, sehingga keinginan mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya lebih mengedepan. Pertimbangan ini juga yang
menjadi pembatas dari pihak yang kuat untuk tidak terlalu memaksakan kehendaknya di dalam sebuah perjanjian. Apalah arti
sebuah perjanjian yang secara tertulis akan memberikan keuntungan yang sangat besar dan tanggung jawab yang sedikit pada pihak yang
kuat, akan tetapi dalam prakteknya sulit dilaksanakan oleh pihak lain, sehingga keuntungan yang sudah direncanakan akhirnya tidak dapat
diraih justru karena pengaturan perjanjian yang sangat membebani pihak yang posisi hukumnya lebih lemah.
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu.
72
Sebagai konsekuensi dibuatnya perjanjian tersebut adalah keharusan adanya suatu pelaksanaan
perjanjian. Menurut Abdulkadir Muhammad, pelaksanaan perjanjian adalah
realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan
72