BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian mengenai aturan hukum pidana terhadap tindak pidana cybercrime, Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP masih
memiliki kekurangan dalam menjerat pelaku tindak pidana cybercrime dikarenakan tindak pidana tersebut merupakan suatu kejahatan yang bersifat
transnasional atau bisa disebut kejahatan yang melibatkan kepentingan antar negara.
Dengan disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka asas-asas keberlakuan peraturan pidana
yang diatur dalam KUHP dapat diperluas. Hal ini dicantumkan pada Pasal 2 UU ITE tentang ketentuan tindak pidana cyber berlaku bagi setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU ITE baik yang berada dalam wilayah hukum Indonesia maupun diluar wilayah hukum Indonesia
danatau diluar wilayah hukum Indonesia tapi menimbulkan kerugian bagi kepentingan Negara Indonesia.
Berdasarkan pasal 2 UU ITE, ketentuan-ketentuan tindak pidana cyber sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 s.d. 37 UU ITE berlaku bukan hanya
kepada orang perseorangan saja, melainkan badan hukum, baik badan hukum yang berada di wilayah Negara Indonesia maupun yang berada di luar wilayah
Indonesia atau badan hukum asing.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian dalam hukum pidana sangat dibutuhkan untuk mendukung semua persangkaan atas telah terjadinya suatu tindak pidana. Namun, di era
perkembangan teknologi yang juga menyebabkan berkembangnya jenis kejahatan berbasis teknologi informasi salah satunya yaitu cybercrime. Sebagai contoh yaitu
penggunaan transaksi elektronik yang tidak menggunakan kertas paperless transaction dalam sistem pembayaran. Hal tersebut menimbulkan permasalahan
terkait dengan permasalahan pembuktiannya dipersidangan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP, mengenai pembuktian diatur
dalam Pasal 184 KUHAP pada ayat 1 mengatur tentang alat bukti yang sah berupa keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa. Pembuktian tentang tindak mpidana cybercrime adalah bersifat khusus lex specialis akan tetapi terhadapnya diharuskan untuk mengacu kepada
pembuktian umum yaitu pembuktian yang sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 KUHAP. Tentang pembuktian alat bukti elektronik maka akan dihubungkan
antara keterkaitan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP dengan Undang-undang terkait yang mendukung tentang pembuktian dengan
menggunakan alat bukti elektronik seperti Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak
Pidana Terorisme, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-udang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Universitas Sumatera Utara
Informasi dan Transaksi Elektronik yang mendukung perluasan dari alat bukti sesuai dengan hukum acara pidana di Indonesia.
B. Saran