Teori Janji dalam Pembentukan Kontrak Teori Perlindungan Hukum

b. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada. c. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan pada ketentuan umum di dalamnya. Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian atau kontrak harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran offer menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwa mungkin ia tidak membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 12

1.7.2 Teori Janji dalam Pembentukan Kontrak

Berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak yang berkaitan dengan konsep janji dalam kontrak : 13 a. Teori Hasrat Will Theory. Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” will atau intend dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa yang mereka inginkan. 12 Subekti, 1979, Hukum Perjanjian , Cet VI, Intermasa, Jakarta, h.29-30. 13 Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.5-11. b. Teori Tawar Menawar Bargaining Theory. Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai equivalent theory dan sangat mendapat tempat dalam negara-negara yang menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan tawar menawar dan kemudian disetujui oleh para pihak. c. Teori Sama Nilai Equivalent Theory. Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai equivalent. d. Teori Kepercayaan Merugi Injurious Reliance Theory. Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.

1.7.3 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum melihat dari tahapan lahirnya yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Teori Perlindungan Hukum menurut Fitzgerald, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 14 Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia HAM yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 15 Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan pengayoman kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Perlindungan hukum kaitannya dengan konsumen juga mengalami perkembangan teori dan doktrin. Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. 16 14 Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53. 15 Ibid, h.54. 16 Az. Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.64-65. Konsumen memperoleh perlindungan hukum dari hukum perlindungan konsumen diantaranya untuk : 17 1. Menghindari iklan promosi yang menyesatkan misleadingadvertising; 2. Mengontrol transaksi yang dapat menimbulkan resiko tertentu terhadap konsumen; dan 3. Secara umum memberikan kontrol terhadap keadaan yang tidak seimbang unfair dan ”tidak sadar” unconsciousness dalam perjanjian business-to-consumer B to C. Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Adam Smith bahwa yang berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen yang melahirkan dua teori besar yaitu : 1. Perlindungan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah, dan 2. Perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar. 18 Dasar dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak konsumen. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah: 19 1. Let the buyer beware caveat emptor Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan 17 Chris Reed, 2004, Internet Law Text and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, h. 296. 18 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Cet.I, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.26. 19 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.61. konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri. 2. The due care theory Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, penggugat konsumen yang melakukan pembuktian. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, tergugat membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian. Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti- bukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini. 3. The prifity of contract Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum.Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan posisi pelaku usaha.

1.7.4 Teori Kepastian Hukum