Konsep Janji Dalam Iklan Sebagai Dasar Perlindungan Hak Konsumen.

(1)

TESIS

KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

NI KETUT DEWI MEGAWATI NIM :1490561004

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

KONSEP JANJI DALAM IKLANSEBAGAI DASAR

PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI KETUT DEWI MEGAWATI NIM :1490561004

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 20 JUNI 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum. Dr. I Ketut Westra, S.H.,M.H. NIP.196207311988031003 NIP.195809171986011002

Mengetahui

Ketua Program Studi Direktur

Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) S.H.,M.Hum.,LLM


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji Pada Hari Senin, Tanggal 20 Juni 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2406/UN.14.4/HK/2016, Tanggal 6 Juni 2016

Ketua : Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum. Sekretaris : Dr. I Ketut Westra, S.H.,M.H.

Anggota : 1. Dr. I Made Udiana, S.H.,M.H. 2. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H.


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ni Ketut Dewi Megawati Program Studi : Ilmu Hukum

Judul Tesis : Konsep Janji Dalam Iklan Sebagai Dasar Perlindungan Hak Konsumen.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar, 25 April 2016 Yang Menyatakan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas segala rahmat dan petunjuk-Nya maka tesis ini dapat penulis selesaikan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMDbeserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr.A.A Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LL.M beserta jajarannya atas berbagai dukungan administratif dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi pada Program StudiMagister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Prof.Dr.Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum sebagai Pembimbing I dan Dr.I Ketut Westra, S.H.,M.H sebagai


(7)

vii

Pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Seluruh dosen penguji tesis ini, Bapak Dr. I Made Udiana, S.H.,M.H., Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.Hum., dan Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H.,M.Hum, yang telah dengan sabar meluangkan waktu, memberikan semangat, dan berkenan memberikan koreksi dan penilaian atas tesis ini.

Seluruh guru besar dan dosen mata kuliah Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis atas wawasan keilmuan yang telah diberikan selama penulis mengikuti masa studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Seluruf staff administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan pelayanan administrasi dan bantuan selama penulis mengikuti masa studi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Ucapan terima kasih juga kepada orang-orang terdekat penulis, I Made Marta dan Ni Gusti Made Raji selaku bapak dan ibu penulis, I Wayan Gayun Widharma, S,E.,M.Si, Ni Putu Regina Paramitha dan Ni Made Diandra Maharani selaku suami dan anak penulis, I Gede Mardika, A.Md dan Ni Made Yuni Astuti, S.E, selaku kakak penulis, yang selama ini selalu memberikan dorongan moral dan menjadi sumber motivasi penulis dalam mengikuti perkuliahan hingga penulis menyelesaikan tesis ini. Bapak Gede Erlangga Gautama, S.H.,M.H, Bapak I Nyoman Bagiastra, S.H.,M.H, Bapak Agoes Ganesha Rahyuda, S.E.,M.T.,Ph.D, rekan-rekan


(8)

viii

mahasiswaProgram Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana angkatan 2014 , dan seluruh pejabat dan staff di Bagian Kepegawaian Rektorat Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa selalu melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua.


(9)

ix

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Konsep Janji Dalam Iklan Sebagai Dasar Perlindungan Hak Konsumen”. Permasalahan dari tesis ini adalah Pertama : Bagaimanakah janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji berdasarkan hukum kontrak? Kedua :Bagaimanakah pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimanakah janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.Sumber bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua janji dalam iklan merupakan janji hukum.Janji dalam iklan yang dapat di kategorikan sebagai janji yang dapat ditegakkan melalui pengadilan harus memenuhi unsur-unsur janji yang perbuatannya dapat mengakibatkan seseorang merubah sikap atau kedudukannya sebagai akibat janji tersebut dan janji yang merupakan hasil tawar menawar dan didukung dengan sufficient consideration.Konsep janji belum diatur dalam KUHPerdata baik konsep mengenai konsep janji yang menimbulkan akibat hukum dan konsep janji yang tidak menimbulkan akibat hukum sehingga menimbulkan kekosongan norma/hukum.Pasal-pasal dalam KUHPer tidak ada yang mendefinisikan tentang janji, dimana janji yang dibuat pelaku usaha dan konsumen dapat menimbulkan akibat hukum.


(10)

x

ABSTRACT

The title of this thesis is “The concept of the Promise in the Advertisement as the Basis for Consumer Protection”. The research questions in this thesis are: 1) How is a promise in advertisement categorized as a promise in term of the contract law?

2) How is a promise regulated as one of contract law elements in the content of the Indonesian Civil Code and how this promise is used as the basis for consumer protection?

This research applied normative research method,and using statutory and conceptual approaches as its basis. The sources of law used in this research werethe primary and the secondary sources of law.

This research found that not all the promises in the advertisement are an element in the contract law. The kind of promises in the advertisement that can be categorized as an element in the contract law should meet some basic requirements such as: the promises could influence the individual’s attitudes or standing position, and these promisesare the result of bargaining and are supported by sufficient consideration. The concept of promise has not been regulated in the Indonesian Civil Code, either the promise that has legal consequences or the promise that does not. This situation leads to a vacuum in the law. In particular, not a single article in the Indonesian Civil Code has defined the concept of promise, where the promise that is created by businessmen and consumers will be having several legal consequences.


(11)

xi

RINGKASAN

Tesis ini membahas tentang “Konsep Janji Dalam Iklan Sebagai Dasar

Perlindungan Hak Konsumen” yang pembahasannya terbagi dalam 5 (lima) bab.

Bab I yang merupakan pendahuluan, diawali dengan penguraian latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. Pada latar belakang masalah menggambarkan iklan sebagai sarana promosibagi pelaku usaha untuk memperkenalkan produk serta menarik perhatian konsumen terhadap produk yang akan dijual.Dan untuk mencapai tujuan berupa keuntungan yang optimal, iklan yang benar dan tepat harus dilakukan, karena pada dasarnya iklan mempunyai tujuan penting yang akan mendukung tercapainya keuntungan optimal bagi pelaku usaha. Namun untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, ada kecenderunganpelaku usaha melakukan praktek bisnis tidak jujur yang dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen selaku pemakai produk karena iklan yang dilakukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tanpa memikirkan kepentingan konsumen.Pelaku usaha terkadang membuat iklan yang mengabaikan kebenaran dan kejujuran dalam kegiatan promosinya dengan tujuan semata-mata untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Konsumen yang percaya dengan janji-janji yang diiklankan akan merasa dirugikan karena produk yang mereka beli tidak sesuai dengan janji yang ditampilkan dalam iklan.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal konsep janji sebagaimana dikenal dalam tradisi hukum kontrak Common Law dan tidak mengatur mengenai kategori janji yang dapat dikualifikasikan sebagai janji hukum dan janji bukan hukum. Masalah ini merupakan bentuk kekosongan norma dalam KUHPerdata yang mengakibatkan konsumen tidak dapat menggunakan fasilitas norma hukum perjanjian untuk melindungi hak-hak mereka dari janji-janji yang terkandung di dalam iklan yang dapat dikategorikan sebagai janji hukum


(12)

xii

Bab II membahas tentang tinjauan umum tentang iklan, hak konsumen, perlindungan hak konsumen, kontrak bisnis, dan janji. Tinjauan umum tentang iklan meliputi pembahasan : pengertian iklan, jenis-jenis iklan dilihat dari tujuannya, syarat ideal suatu iklan, dan pelaku periklanan. Tinjauan umum tentang hak konsumen meliputi pembahasan : pengertian hak konsumen dan uraian tentang hak-hak konsumen. Tinjauan umum tentang perlindungan hak konsumen meliputi pembahasan : pengertian perlindungan hak konsumen dan pengaturan perlindungan hak konsumen. Tinjauan umum tentang kontrak bisnis meliputi pembahasan : pengertian kontrak bisnis dan syarat sahnya kontrak. Tinjauan umum tentang janji meliputi pembahasan : pengertian janji dan konsep janji yang dapat ditegakkan di pengadilan.

Bab III membahas tentang kategori janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak sebagai jawaban dari rumusan masalah pertama dari tesis ini. Pembahasan ini meliputi : karakteristik janji dalam iklan, konsep janji dalam hukum kontrak, dan konsep janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak. Dari pembahasan tersebut didapatkan jawaban bahwa kategori janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak adalah janji yang memenuhi ketentuan janji yang pembuatannya mengakibatkan seseorang mengubah sikap atau kedudukannya sebagai akibat dari janji tersebut dan janji yang merupakan hasil tawar menawar dan didukung dengan sufficient consideration.Berdasarkan hukum kontrak, kategori janji dalam iklan dapat digolongkan sebagai kontrak apabila memenuhi syarat sahnya kontrak sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata.

Bab IV membahas tentangpengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata sebagai dasar perlindungan konsumen, sebagai jawaban dari rumusan masalah yang kedua. Pembahasannya meliputi :hak-hak konsumen atas kebenaran janji dalam iklan, bentuk-bentuk kekosongan norma dalam pengaturan janji,implikasi kekosongan norma dalam pengaturan janji terhadap perlindungan hak-hak konsumen, dan konsep yang digunakan untuk mengisi kekosongan norma dalam pengaturan janji. Dari pembahasan tersebut didapatkan jawaban bahwa belum adanya


(13)

xiii

pengaturan mengenai janji yang dapat ditegakkan melalui pengadilan, maka hukum kontrak yang berlaku secara internasional dapat digunakan sebagai acuan terkait konsep mengenai janji.Dengan menggunakan konsep mengenai kontrak bahwa kontrak merupakan suatu janji (promise) atau kesepakatan (an agreement) yang penataan dan pelaksanaannya dapat ditegakkan melalui pengadilan, atau yang oleh hukum diakui menciptakan hak-hak hukum.Dan tidak semua janji dapat ditegakkan melalui pengadilan, hanya janji yang dapat ditegakkan melalui pengadilan yang dapat dikategorikan sebagai kontrak.

Bab V yang merupakan bagian penutup yang terdiri dari simpulan dari pembahasan rumusan masalah serta saran yang perlu diperhatikan oleh pihak terkait.


(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ……...………. i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ……….. iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ………. iv

HALAMAN SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT . ………. v

HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH ……….. vi

HALAMAN ABSTRAK ……….. ix

HALAMAN ABSTRACT ……… x

HALAMAN RINGKASAN ………. xi

HALAMAN DAFTAR ISI……… xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2.Rumusan Masalah ……… 10

1.3.Ruang Lingkup Masalah ……….. 10

1.4.Tujuan Penelitian ………. 11

1.4.1 Tujuan Umum ……… 11

1.4.2 Tujuan Khusus ……… 11

1.5.Manfaat Penelitian ……….. 11


(15)

xv

1.5.2 Manfaat Praktis ………. 12

1.6. Orisinalitas Penelitian ……… 12

1.7. Landasan Teoritis ……….. 14

1.8. Metode Penelitian ……….. 26

1.8.1 Jenis Penelitian Hukum……… 26

1.8.2 Jenis Pendekatan ………. 26

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ………. 27

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ….……….. 27

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum……… 28

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Pengertian dan Konsep Iklan ……….. 29

2.2. Pengertian dan Konsep Hak Konsumen ………. 40

2.3. Pengertian dan Konsep Perlindungan Hak Konsumen ... 46

2.4. Pengertian dan Konsep Kontrak Bisnis ... 49

2.5. Pengertian dan Konsep Janji ... 55

BAB IIIKATEGORI JANJI BERDASARKAN HUKUM KONTRAK 3.1. Karakteristik Janji dalam Iklan ……….. 57

3.2. Konsep Janji dalam Hukum Kontrak ………. 63


(16)

xvi

BAB IV PENGATURAN JANJI SEBAGAI UNSUR HUKUM KONTRAK DI DALAM KUH PERDATASEBAGAI DASAR PERLINDUNGAN HAK KONSUMEN

4.1. Hak-Hak Konsumen Atas Kebenaran Janji dalam Iklan ………. 78 4.2. Bentuk Bentuk Kekosongan Norma Dalam Pengaturan Janji ……... 84 4.3. Implikasi Kekosongan Norma Dalam Pengaturan Janji Terhadap

Perlindungan Hak-Hak Konsumen ………... 93 4.4. Konsep yang Digunakan Untuk Mengisi Kekosongan Norma dalam

Pengaturan Janji ……….... 97

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ………... 103

5.2. Saran ……….... 104


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumen merupakan salah satu komponen dari transaksi perdagangan yang memegang peranan penting dalam roda perekonomian suatu negara selain pelaku usaha dan produk yang dipasarkan. Dalam kegiatan bisnis, konsumen adalah komponen yang tidak terpisahkan dalam interaksi perdagangan. Tidak akan tercipta sebuah interaksi perdagangan tanpa ada konsumen.

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa. Sehingga barang atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang atau jasa yang dibutuhkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah.

Persaingan bisnis secara global yang semakin ketat juga menimbulkan persaingan diantara para pelaku usaha dalam menunjukkan keunggulan produknya. Pemasaran memasuki era persaingan global karena sekat dan batasan geografis tidak lagi menjadi kendala akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat. Memenangkan persaingan menjadi semakin sulit karena ketatnya kompetisi diantara pelaku usaha. Daya saing menjadi tuntutan bagi pelaku usaha apabila ingin unggul dari kompetitornya. Daya saing merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan


(18)

efisiensi sumber daya serta strategi pemasaran yang tepat. Keunggulan daya saing yang dimiliki membuka peluang pelaku usaha memenangkan persaingan di pasar bebas.

Suatu perusahaan atau pelaku usaha dapat memenangkan persaingan apabila mereka memiliki keunggulan kompetitif atau komparatif. Menurut Kotler, keunggulan kompetitif adalah keunggulan atas pesaing yang didapat dengan menyampaikan nilai pelanggan yang lebih besar, melalui harga yang lebih murah atau dengan menyediakan lebih banyak manfaat yang sesuai dengan penetapan harga yang lebih tinggi.1 Keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui banyak cara seperti menyediakan barang dan jasa dengan harga yang murah atau menyediakan barang dan jasa yang lebih baik dari pesaing. Untuk mencapai keunggulan kompetitif, pelaku usaha harus mampu menggunakan dengan baik sumber daya konseptual maupun sumber daya fisik untuk mencapai tujuan usahanya. Keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang dimiliki perusahaan dimana mereka akan fokus untuk berproduksi di jenis barang yang paling efisien diantara berbagai jenis barang yang mereka produksi. Mereka akan melakukan spesialisasi produk yang mereka anggap paling efisien dari segi biaya sehingga harganya mampu bersaing dan diharapkan pelaku usaha mendapatkan keuntungan maksimum dari penjualan produk tersebut.

Pelaku usaha yang ingin menguasai pasar harus memilih apakah akan mengutamakan keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif, karena keduanya tidak bisa sejalan. Penentuan pilihan didasarkan pada kondisi sumber daya yang ada, baik itu sumber daya manusia, kondisi keuangan, sumber daya alam dan lainnya. Pilihan antara keunggulan kompetitif dan komparatif berpengaruh terhadap strategi pemasaran produk yang mereka hasilkan. Produk yang dihasilkan dengan efisiensi yang tinggi memiliki harga pokok produksi yang lebih rendah dari

1

Kotler, Philip, dkk, 2000, Manajemen Pemasaran dengan Pemasaran efektif dan Pofitable, cetakan Kedua, Gramedia Pusat Utama, Jakarta, h.95.


(19)

produk sejenis. Keunggulan yang dimiliki tersebut harus disampaikan kepada konsumen melalui pemasaran, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang lengkap terhadap produk yang dijual. Tanpa itu, keunggulan yang dimiliki suatu produk tidak akan sampai pada konsumen. Banyak produk yang memiliki banyak keunggulan tetapi tidak laku di pasar karena kesalahan strategi pemasaran maupun kurang efektifnya iklan dalam mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk tersebut.

Menurut Deborah Goldring, attracting new clients and retaining loyal clients is a primary marketing goal. This can only be achieved by delivering a high level of service quality such that client expectations are met or exceeded.2 Bagi pelaku usaha yang bergerak dalam usaha perdagangan atau penjualan produk, promosi penjualan memegang peranan penting dalam mencapai tujuan utama pemasaran. Melalui promosi, diharapkan konsumen mau mencoba penggunaan produk dan mendorong konsumen yang sudah ada untuk menggunakan produk lebih sering lagi.

Untuk mencapai tujuan pelaku usaha yang diinginkan, promosi penjualan yang benar dan tepat harus dilakukan dengan berbagai cara dan media, baik yang menggunakan biaya kecil seperti brosur sampai yang memerlukan biaya besar antara lain iklan melalui media cetak maupun media elektronik. Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir ini, bentuk-bentuk promosi penjualan khususnya iklan mengalami tranformasi yang sangat pesat. Bentuk dan jenis iklan sangat beragam dengan berbagai tujuan, mulai dari memberikan informasi, mengajak atau membujuk untuk membeli sampai menekankan tentang brand awareness tentang produk yang telah dipakai oleh konsumen setianya.

2

Deborah Goldring, 2013, Aligning Communicated and Conceived Brand Promise in Professional Services Firms, Journal of Marketing Development and Competitiveness, Vol.7(2), Stetson University, Florida, h.72.


(20)

Salah satu bentuk promosi penjualan adalah melalui iklan. Iklan merupakan sarana promosi bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan produk serta menarik perhatian konsumen terhadap produk yang akan dijual. Iklan berfungsi menginformasikan, diantaranya tentang kualitas, harga, garansi, suku cadang, manfaat, kelebihan dibanding produk lain, keamanan, syarat dan atau cara untuk memperoleh produk tersebut, purna jual serta hal-hal lain yang terkait dengan itu. Dalam dunia marketing “doing business without advertising is like a winking at the girl in the night. You know what you are doing but nobody else does.”3 Iklan bagi pelaku usaha merupakan keharusan dan dianggap sebagai darah yang mengisi denyut nadi kehidupan usaha baik pada sektor barang maupun jasa.4

Iklan juga merupakan media informasi barang dan jasa yang menimbulkan efek tertentu terhadap konsumen. Efek yang dimaksud bukan berarti konsumen diharapkan langsung membeli produk yang diklankan tersebut karena iklan diciptakan tidak hanya untuk mendapatkan penjualan seketika. Iklan juga bersifat jangka panjang, karena efeknya baru dirasakan dalam jangka panjang terlebih lagi dengan adanya beberapa iklan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan konsumen akan suatu barang dan jasa atau untuk menanamkan dibenak konsumen citra merek atau brand barang yang dijual sehingga konsumen yang sudah memakai barang dan jasa tersebut tidak berpindah ke produk lain.

Untuk mencapai tujuan berupa keuntungan yang optimal, iklan yang benar dan tepat harus dilakukan, karena pada dasarnya iklan mempunyai tujuan penting yang akan mendukung tercapainya keuntungan optimal bagi perusahaan. Namun untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, ada kecenderungan pelaku usaha melakukan praktek bisnis tidak jujur yang

3

Steuart Henderson Britt, 1978, Marketing Management and Administrative Action, McGraw-Hill Companies, New York.

4

Zaim Saidi dalam Rampen, Felicia Lidya, 2013, Jurnal Lex ex Societatis, Vol.I, No. 2, April-Juni, Universitas Sam Ratulangi, Manado, h.116.


(21)

dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen selaku pemakai produk karena iklan yang dilakukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tanpa memikirkan kepentingan konsumen. Konsumen membutuhkan berbagai informasi mengenai produk yang akan dibeli terutama dalam tahapan pra-transaksi karena informasi yang di dapat dari iklan menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam membeli suatu produk. Karena pentingnya informasi yang tercantum dalam iklan, maka pelaku usaha berusaha mengemas informasi tersebut semenarik mungkin bahkan beberapa iklan memuat klaim yang berlebihan. Pelaku usaha terkadang membuat iklan yang bombastis dengan mengabaikan kebenaran dan kejujuran dalam kegiatan promosinya dengan tujuan semata-mata untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya. Informasi yang termuat dalam iklan cenderung satu arah sehingga kebenaran akan informasi itu baru dapat dibuktikan apabila konsumen sudah membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa yang ditawarkan.

Praktek bisnis yang tidak sehat (unfair trade practice) dari pelaku usaha berpotensi menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Konsumen sering kali merasa tidak puas terhadap produk yang telah mereka beli karena terdapat beberapa perbedaan kondisi, harga, fasilitas, performa dan lain-lain dengan informasi dan janji yang tercantum dalam iklan yang mereka lihat. Dalam beberapa kasus klaim-klaim dan janji-janji yang tertera pada iklan bahkan tidak terbukti sama sekali kebenarannya sehingga konsumen menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha yang terlibat.

Banyaknya iklan yang cenderung menyesatkan dan mengandung pernyataan bohong karena belum ada standar atau perumusan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan iklan yang menyesatkan, termasuk di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia maupun New


(22)

Zealand.5 Sedangkan kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, yaitu dengan telah mempergunakan fakta-fakta material yang harus dipenuhi dalam proses periklanan sebagaimana tertuang dalam pasal 10 dan pasal 17 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK) tetapi pengaturan tentang kategori iklan yang menyesatkan belum diatur sehingga tidak terdapat ketentuan yang tegas dalam penentuan kategori iklan menyesatkan. Dalam rumusan Pasal 10 UUPK hanya berkaitan dengan fakta materil dalam suatu iklan dimana pernyataan menyesatkan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.

Sedikitnya kasus periklanan yang sampai di pengadilan juga menjadi penyebab tidak adanya efek jera bagi pelaku usaha yang membuat iklan menyesatkan, sehingga masih banyak iklan menyesatkan di berbagai media massa dan sarana periklanan lainnya. Untuk menentukan misleading atau informasi menyesatkan yang terdapat pada iklan dapat dilihat apakah pada iklan tersebut ada pernyataan yang secara eksplisit maupun inplisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam praktek klaim, representasi atau kepercayaan yang masuk akal tidak dipaparkan kepada konsumen yang dapat mengakibatkan konsumen menyimpulkan informasi yang diterima secara salah. Praktek pemberian informasi yang menyesatkan dapat berupa keterangan yang tidak benar, mengelabui dan memberikan janji-janji yang berlebihan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan,

5

Lysonski. Steven dan Duffy, Michael F, 1992, The New Zealand Fair Trading Act of 1986 : Deceptive Advertising, The Journal of Consumer Affair, Vol 26. Madison.


(23)

jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang/jasa yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.6

Bentuk-bentuk klaim produk tanpa disertai bukti konkrit merupakan bentuk penyesatan informasi yang cukup banyak ditemukan di berbagai media cetak, elektronik maupun sarana promosi lainnya. Melalui penonjolan klaim-klaim tersebut, pelaku usaha berusaha menunjukkan keunggulan produk mereka dari kompetitor. Beberapa klaim produk bersifat subyektif misalnya

iklan shampo “pakailah shampo ini selama 6 hari dan rambut anda akan hitam berkilau.” Tetapi

faktanya konsumen yang membeli produk tersebut rambutnya tidak mengalami perubahan.

“Hanya 15 menit ke bandara dari Nusa Dua”. Tetapi faktanya jarak tempuh 15 menit tersebut

hanya bisa ditempuh saat jam 2 dini hari dan bukan pada jam padat kendaraan. Klaim-klaim tersebut cenderung berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Konsumen yang percaya dengan janji-janji yang diiklankan akan merasa dirugikan karena produk yang mereka beli tidak sesuai dengan janji yang ditampilkan dalam iklan. Kebanyakan konsumen enggan menuntut ganti rugi atau memidanakan pelaku usaha yang menampilkan iklan menyesatkan dikarenakan biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan hal tersebut sangat besar dan banyak. Terlebih lagi apabila harga barang yang mereka telah beli tidak sebanding dengan biaya dan/atau ganti rugi yang mungkin akan mereka dapatkan. Keengganan konsumen untuk memproses secara hukum pelaku usaha yang menampilkan iklan menyesatkan membuat para pelaku usaha tetap melakukan praktek-praktek bisnis tidak jujur. Konsumen hanya dapat mengeluh dan menceritakan keluhan-keluhan mereka melalui media maupun bercerita ke orang lain agar orang itu tidak membeli produk serupa. Konsumen pada umumnya tidak

6

Dedi Harianto, 2008, Standar Penentuan Informasi Iklan Menyesatkan, Jurnal Equality, Vol 13. No.1 Februari, Universitas Sumatera Utara, Medan, h.44.


(24)

mengetahui bahwa janji-janji yang disebutkan dalam iklan dapat menimbulkan akibat hukum apabila tidak ditepati.

Janji dalam tradisi hukum kontrak Common Law merupakan janji yang penegakannya dapat dilakukan melalui pengadilan. Tidak semua janji adalah janji dan tidak semua janji dapat ditegakkan melalui pengadilan.7 Sehingga janji dalam iklan berdasarkan konsep ini dapat dikategorikan atas 2 jenis yaitu janji yang mengandung akibat hukum dan janji yang tidak mengandung akibat hukum, atau iklan yang semata-mata merupakan informasi produk.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat KUHPerdata) tidak mengenal konsep janji sebagaimana dikenal dalam tradisi hukum kontrak Common Law dan tidak mengatur mengenai kategori janji yang dapat dikualifikasikan sebagai janji hukum dan janji bukan hukum. Hal tersebut merupakan bentuk kekosongan norma dalam KUHPerdata yang mengakibatkan konsumen tidak dapat menggunakan fasilitas norma hukum perjanjian untuk melindungi hak-hak mereka dari janji-janji yang terkandung di dalam iklan yang dapat dikategorikan sebagai janji hukum.

Masalah tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan hukum yang timbul dari akibat kekosongan hukum yang perlu diisi dengan formulasi norma yang dapat digunakan sebagai pijakan bagi konsumen untuk melindungi hak-haknya dari janji-janji iklan yang bersifat hukum yang menimbulkan kerugian pada konsumen. Aturan-aturan hukum sangat dibutuhkan karena pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bisnis membutuhkan sesuatu yang lebih dari hanya sekedar janji serta itikad baik saja dan adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak memenuhi janjinya. Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan tentang janji sangat penting

7

Ida Bagus Wyasa Putra, 2014, Hukum Kontrak Internasional (Bahan Ajar), Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.37.


(25)

dalam dunia bisnis untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan keadilan apabila terjadi pelanggaran atas janji dari pelaku usaha dan pelaku usaha pun akan menjalankan bisnisnya sesuai dengan koridor hukum dan tidak mempraktikkan bisnis yang dapat merugikan konsumen.

Untuk mengisi kekosongan tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap konsep janji di dalam iklan berdasarkan konsep janji di dalam tradisi hukum kontrak Common Law untuk mengisi kekosongan konsep dan kekosongan norma di dalam KUHPerdata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji berdasarkan hukum kontrak ?

2. Bagaimanakah pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimanakah janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah permasalahan pertama dibahas tentang bagaimana janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji menurut hukum kontrak dan yang kedua membahas tentang bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata sehingga janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum


(26)

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu tentang hukum kontrak yang berkaitan dengan konsep janji yang merupakan esensi dari perjanjian di dalam KUHPerdata sebagai norma dasar yang mengatur tentang hukum perikatan di Indonesia.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa konsep janji dalam iklan kaitannya dengan konsep janji berdasarkan hukum kontrak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimana janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat dalam usaha mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis khususnya dalam memahami aspek hukum kontrak.

2. Memberi sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum terkait pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.5.2Manfaat Praktis


(27)

1. Bagi masyarakat sebagai konsumen diharapkan dengan hasil penelitian dari tesis ini memberikan pemahaman kepada konsumen berkenaan dengan konsep janji dalam iklan sebagai dasar perlindungan hak konsumen.

2. Bagi marketing atau perusahaan yang memasarkan produknya melalui iklan diharapkan dengan hasil penelitian dari tesis ini dapat memberikan masukan tentang konsep periklanan sehingga dapat melindungi hak konsumen.

3. Penulis sendiri, dalam rangka membekali penulis dengan pengetahuan dan pemahaman untuk menganalisis konsep hukum janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Untuk menunjukkan gambaran bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, maka penulis mengemukakan penelitian-penelitian antara lain:

1. Penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Promosi Dalam Bentuk Brosur Kendaraan Bermotor Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus : Gugatan Ludmilla Arief Melawan PT.Nissan Motor Indonesia di BPSK Propinsi DKI Jakarta) yang diteliti oleh Ambar Ditya Hanesty, dari Universitas Indonesia Tahun 2012, yang meneliti tentang kedudukan brosur dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan apakah promosi yang dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia melalui brosur Nissan March dalam kasus Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaimanakah bentuk tanggungjawab yang harus dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia sebagai pelaku usaha terhadap praktik promosi melalui brosur yang tidak jujur dalam kasus Ludmilla Arief


(28)

melawan PT.Nissan Motor Indonesia dan apakah putusan Badan Penyelesaian Sengketa dalam kasus Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini lebih menekankan pada perlindungan konsumen dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penjual sebagai pelaku usaha terhadap brosur yang tidak jujur sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Penelitian tentang Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Melalui Iklan Penjualan Dalam bentuk Brosur di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diteliti oleh Oktaviana Kusuma Anggraini, dari S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Tahun 2010. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris yang menekankan pada sejauh mana efektifitas pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada konsumen dalam melakukan transaksi jual beli perumahan sehubungan dengan adanya iklan dalam bentuk brosur yang ditawarkan.

3. Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dari Iklan Televisi yang Menyesatkan Perspektif Hukum Indonesia yang diteliti oleh Djudju Hendro dari Fakultas Hukum Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang meneliti tentang kategori iklan yang menyesatkan menurut hukum di Indonesia. Dalam kesimpulannya peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud iklan televisi menyesatkan adalah iklan yang mengelabui konsumen (misleading) dalam hal kualitas, kuantitas, harga, tarif, jaminan garansi dan hal lain yang termuat dalam iklan dimana pelaku usaha tidak bertanggung jawab dan memenuhi janji-janji dalam iklan sebagaimana yang ditayangkan di televisi. Pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang keliru, tidak lengkap ataupun


(29)

memberikan informasi yang berlebihan mengenai sifat, kualitas, kuantitas, harga, tarif, jaminan dan garansi serta membuat perbandingan dengan produk sejenis melalui klaim-klaim tertentu. Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui perlindungan hukum yang bersifat preventif atau represif. Perlindungan hukum preventif dilakukan dengan membuat regulasi mengenai hal-hal yang belum diatur agar hak-hak konsumen tetap terlindungi. Perlindungan represif dilakukan dengan memberikan perlindungan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku apabila terjadi sengketa karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha.

1.7 Landasan Teoritis

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.8 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.

Dalam menjawab permasalahan sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah penelitian ini, maka dikemukakan landasan teoritis antara lain teori pembentukan kontrak dan teori janji dalam pembentukan kontrak dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang pertama. Teori perlindungan hukum dan teori kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang kedua. Berikut uraian singkat mengenai teori-teori tersebut diatas :

1.7.1 Teori Pembentukan Kontrak

8


(30)

KUHPerdata tidak menentukan standar prosedur yang teknis berkenaan dengan pembentukan kontrak. Satu-satunya ketentuan yang menunujukkan indikasi pengaturan mengenai hal itu adalah Pasal 1313 yang menyatakan bahwa setiap kesepakatan merupakan perbuatan dua orang atau lebih yang mengikatkan dirinya sendiri terhadap satu atau lebih orang lainnya. Tetapi, tidak lagi ada ketentuan lain yang secara lebih teknis mengatur tentang apa yang

dimaksud dengan “perbuatan” dan “mengikatkan diri” itu. Dari sisi praktis dapat disimpulkan bahwa “pernyataan kehendak” dapat saja dilakukan secara langsung oleh para pihak atau dengan bantuan seorang notaris.9

Dalam tradisi Civil Law, setiap orang yang akan membuat kontrak harus mencari sendiri atau menentukan sendiri cara untuk membuat perjanjian, sepanjang persyaratan sahnya perjanjian terpenuhi sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. 10Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuah perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak dalam perjanjian sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari perjanjian tersebut.

Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian yaitu asas yang menentukan lahirnya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kesepakatan ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

Persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara para pihak merupakan momentum terjadinya perjanjian (lahirnya perjanjian). Namun, adakalanya tidak terjadi persesuaian antara pernyataan dan kehendak. Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut,

9

Japan International Cooperation Agency dan Pusat Kajian Regulasi, 2009, Studi Formulasi Tentang Hukum Economi yang Terkait Dengan Iklim Investasi di Indonesia, Jakarta, h.277.

10


(31)

yaitu Teori Kehendak, Teori Pernyataan, dan Teori Kepercayaan.11 Berikut ini penjelasan dari teori - teori tersebut :

a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Menurut Teori Kehendak, perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Kelemahan teori ini adalah dapat menimbulkan kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

b. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)

Teori ini mengajarkan bahwa kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui oleh orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan , perjanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya, teori ini menimbulkan berbagai kesulitan, seperti bahwa yang dinyatakan berbeda dengan yang dikehendaki. Misalnya, A menyatakan Rp.500.000,- tetapi yang dikehendaki sebenarnya hanya Rp.50.000,-.

c. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)

Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit dinilai.

Alternatif sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori ini adalah : a. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian itu terjadi

apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Pemecahannya adalah pihak lawan berhak mendapat ganti rugi karena pihak lawan mengharapkannya.

11


(32)

b. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.

c. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan pada ketentuan umum di dalamnya.

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian atau kontrak harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (offer) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwa mungkin ia tidak membaca menjadi tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.12

1.7.2 Teori Janji dalam Pembentukan Kontrak

Berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang dikutib Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak yang berkaitan dengan konsep janji dalam kontrak :13

a. Teori Hasrat (Will Theory).

Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dari pihak yang memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dari suatu kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam suatu kontrak bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa yang mereka inginkan.

12

Subekti, 1979, Hukum Perjanjian , Cet VI, Intermasa, Jakarta, h.29-30. 13

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.5-11.


(33)

b. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory).

Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai (equivalent theory) dan sangat mendapat tempat dalam negara-negara yang menganut system Common Law. Teori sama nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan (tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.

c. Teori Sama Nilai (Equivalent Theory).

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).

d. Teori Kepercayaan Merugi (Injurious Reliance Theory).

Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak terlaksana.

1.7.3 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum melihat dari tahapan lahirnya yakni perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai


(34)

dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.

Teori Perlindungan Hukum menurut Fitzgerald, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.14

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.15 Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.

Perlindungan hukum kaitannya dengan konsumen juga mengalami perkembangan teori dan doktrin. Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup.16

14

Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53.

15

Ibid, h.54.

16

Az. Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.64-65.


(35)

Konsumen memperoleh perlindungan hukum dari hukum perlindungan konsumen diantaranya untuk :17

1. Menghindari iklan/ promosi yang menyesatkan (misleadingadvertising);

2. Mengontrol transaksi yang dapat menimbulkan resiko tertentu terhadap konsumen; dan 3. Secara umum memberikan kontrol terhadap keadaan yang tidak seimbang (unfair) dan

”tidak sadar” (unconsciousness) dalam perjanjian business-to-consumer (B to C).

Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Adam Smith bahwa yang berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen yang melahirkan dua teori besar yaitu : 1. Perlindungan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah, dan

2. Perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar.18

Dasar dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak konsumen. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah:19

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan

17

Chris Reed, 2004, Internet Law Text and Materials, Second Edition, Cambridge University Press, Cambridge, h. 296.

18

Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Cet.I, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.26.

19


(36)

konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

2. The due care theory

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, penggugat (konsumen) yang melakukan pembuktian. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, tergugat membela dirinya, misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali tidak ada kelalaian. Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini.

3. The prifity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar perbuatan melawan hukum.Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha


(37)

dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan posisi pelaku usaha.

1.7.4 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A.Hart mengungkapkan tentang kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa makna dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A.Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.20

Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yaitu :21

1. Kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada diluar undang-undang tersebut.

2. Kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.

Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata (law in the

20

H.L.A.Hart, The Concept of Law, (New York : Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M.Khozim, 2010, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, h.230

21


(38)

books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan menyentuh kepada masyarakatnya.22

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, bahwa hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.23 Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya yang berbeda-beda.

Kepastian hukum pada negara dengan sistem civil law, positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam law in the books. Kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan dilaksanakan secara substantif bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.

Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan

22

Ibid, h.118

23


(39)

kepastian penegakan hukum seharusnya sejalan, tidak hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum. 24

1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Hukum

Penelitian hukum ini tergolong penelitian hukum normatif yaitu metode yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan, dengan jalan mempelajari buku literatur, perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan kategori janji dalam iklan menurut hukum kontrak dan pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Penelitian ini akan menggunakan beberapa jenis pendekatan antara lain :

1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa peraturan perundang-undangan, dimana penelitian akan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan janji dalam iklan dan janji menurut hukum kontrak serta pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

24

Mahmul Siregar, 2008, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.4, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, h.58


(40)

2. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach)

Penelitian ini juga akan mengkaji konsep-konsep berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti, dimana konsep tersebut merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum yang berkembang di bidang hukum kontrak. Konsep yang akan dikaji adalah konsep janji iklan kaitan dengan janji dalam hukum kontrak dan konsep janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer.

Yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Bahan Hukum Sekunder

Dalam hal menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum bisnis tentang kontrak dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan janji dalam iklan dan kontrak.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan dan undang-undang terutama yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran dan pencatatan mengenai bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik itu bahan hukum primer maupun sekunder.


(41)

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, analisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif analitis. Beberapa aspek akan dianalisa dengan demikian akan diketahui janji dalam iklan apakah merupakan janji menurut hukum kontrak. Selanjutnya akan dikaji pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.25

25

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, 2013, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 32.


(42)

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Pengertian dan Konsep Iklan

Iklan sebagai sarana informasi bagi konsumen selain untuk mengetahui semua jenis produk barang dan jasa yang ada di pasaran juga untuk mengetahui produk konsumsi yang mereka butuhkan baik melalui media cetak maupun elektronik. Melalui iklan, pelaku usaha mencoba memancing dan membangkitkan minat (animo) konsumen untuk membeli produk. Di samping sebagai alat informasi, iklan bagi pelaku usaha adalah media yang sangat dibutuhkan untuk memasarkan produknya, menaikkan jumlah penjualan dan dianggap sebagai media yang paling ampuh menarik konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan.1

Advertising also has an important role to play in signaling the promise of service quality and helps to establish a positive image of the firm. Quality service delivery must be promised and delivered with both the unequivocal resource commitment from the provider and the explicit awareness by the provider of client expectations.2 Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi massa melalui berbagai media massa yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi non profit dan individu-individu yang teridentifikasi dalam pesan periklanan dengan maksud memberi informasi atau mempengaruhi pemirsa dan golongan tertentu yang bentuknya dapat berupa tulisan, gambar, film, ataupun gabungan dari keseluruhan unsur tersebut. Bagi produsen, iklan bukan hanya menjadi alat promosi barang maupun jasa, melainkan juga untuk menanamkan citra kepada konsumen tentang produk yang ditawarkan. Iklan seringkali

1

Taufik H. Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan Perspektif Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1. PT. Citra Bakti, Bandung, h.9.

2


(43)

menggiring konsumen untuk percaya pada produk, sehingga mendorong konsumen untuk mengkonsumsi maupun mempertahankan loyalitas konsumen.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iklan berasal dari bahasa Latin, ad-vere yang berarti berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda atau jasa yang ditawarkan.3 Iklan mengandung pengertian any paid form of nonpersonal communication about an organization, product, service, or idea by an identified sponsor.4 Iklan adalah semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu.

Adapun maksud dibayar pada defenisi tersebut menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli.5 Seperti yang diungkapkan oleh Kotler mengartikan iklan sebagai semua bentuk penyajian non personal, promosi ide-ide, promosi barang produk atau jasa yang dilakukan oleh sponsor tertentu yang dibayar.6 Artinya, dalam menyampaikan pesan tersebut, komunikator memang secara khusus melakukannya dengan cara membayar kepada pemilik media atau membayar orang yang mengupayakannya. Maksud kata nonpersonal berarti suatu iklan melibatkan media massa (TV, radio, majalah, koran) yang dapat mengirimkan pesan kepada sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan.7 Dengan demikian, sifat nonpersonal iklan berarti pada umumnya tidak tersedia kesempatan untuk mendapatkan umpan balik yang segera dari penerima pesan. Karena itu, sebelum pesan iklan dikirimkan, pemasangan iklan harus mempertimbangkan bagaimana audien akan menginterpretasikan dan memberikan respons terhadap pesan iklan dimaksud.

3

Depdikbud, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.322.

4

Ralp S. Alexander, ed, 1965, Marketing Definition, American Marketing Association, Chicago, dalam Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu, 2010, Jakarta, Kencana, h. 17.

5

Ibid

6

Philip Kotler, 1994, Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan dan Pengendalian, Jilid II, Erlangga, Jakarta, h.5.

7


(44)

Beberapa ahli memaknai iklan dalam beberapa pengertian. Ada yang mengartikan dalam sudut pandang komunikasi, murni periklanan, pemasaran, dan ada pula yang memaknai dalam perspektif psikologi. Kesemua definisi tersebut membawa konsekuensi arah yang berbeda-beda. Menurut Wright sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri, menuliskan bahwa iklan merupakan sebentuk penyampaian pesan sebagaimana kegiatan komunikasi lainnya. Secara lengkap, ia menuliskan bahwa iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa iklan merupakan bentuk penyampaian sebagaimana dalam komunikasi seperti pada umumnya tetapi lebih menekankan iklan sebagai alat pemasaran yaitu menjual produk sehingga dari perspektif psikologi pesan iklan harus persuasif.

Beberapa peraturan perundang-undangan mendefinisikan tentang iklan. Peraturan Menteri Kesehatan No.329 Tahun 1976, Pasal 1 Butir ke 13 menetapkan “ iklan adalah usaha dengan cara apapun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung ”. Sedangkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dalam Pasal 1 angka 5 mendefinisikan iklan sebagai siaran iklan, yaitu “siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang

bersangkutan”. Dalam konteks ini, Undang-Undang Penyiaran menambahkan satu kriteria lagi, yaitu gagasan. Klasifikasi yang dibuat oleh Undang-Undang Penyiaran cukup sederhana. Jika produk yang diiklankan itu terkait barang dan/atau jasa, maka kategorinya akan masuk dalam kelompok iklan niaga. Namun, jika materi muatannya adalah gagasan, maka ia masuk dalam kelompok iklan layanan masyarakat.


(45)

Putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Juli 1972 No. 27 K/SIP/1972, dalam kasus S.P. de Boer vs N.V.Good Year Sumatra Plantantions Ltd. Cs. tersirat bahwa iklan memuat unsur-unsur : 1. Pengumuman;

2. Memuat kata-kata dan tentang format; 3. Untuk (mengejar) suatu maksud atau tujuan;

4. Tentang patokan/tidak melampaui batasan-batasan dari yang diperlukan.

UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan apa yang dimaksud dengan iklan, yang terdapat dalam undang-undang ini hanyalah berbagai larangan berkaitan dengan periklanan. Menurut ketentuan dari UU No 8 Tahun 1999 tentang UUPK Pasal 9 ayat (1) berbunyi “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar atau seolah olah terdapat keistimewaan pada barang/atau jasa tersebut”.

Definisi yang lebih tegas tentang iklan dapat ditemukan dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Etika ini terakhir kali direvisi pada tahun 2005. Menurut EPI, iklan adalah pesan komunikasi pemasaran tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”. Produk yang diiklankan, pada dasarnya dapat terdiri dari barang dan/atau jasa.8

Berdasarkan beberapa pengertian iklan diatas, maka pada dasarnya konsep dan makna iklan secara umum yaitu :

Iklan

Sarana pemberian informasi.

Mengandung unsur-unsur bentuk dan format iklan.

Unsur pencapaian tujuan bisnis (memperkenalkan atau meningkatkan penjualan produk).

8

Shidarta, 2009, Iklan Politik dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi, Jurnal Komunikasi, Vol.1, No.1, Universitas Tarumanegara, Jakarta, h.2.


(46)

Iklan tidak boleh melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuan bisnisnya dengan mengorbankan kepentingan konsumen akan informasi yang benar dan jujur.

Dari uraian tersebut, suatu iklan dapat dikatakan iklan apabila memenuhi unsur-unsur seperti yang tersebut diatas. Secara mendasar pengertian iklan sebagaimana dimaksud dalam yurisprudensi Mahkamah Agung telah mencakup unsur-unsur periklanan pada umumnya.9 Bahwa iklan adalah sarana komunikasi dan informasi dengan bentuk dan format tertentu dalam rangka menyajikan dan mempromosikan ide, barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen untuk mencapai tujuan bisnis yang ingin dicapai dengan tetap bertumpu pada aturan-aturan hukum yang berlaku sehingga hak konsumen tetap terlindungi.

Makna iklan erat kaitannya dengan sasaran periklanan itu sendiri. Sasaran periklanan bisa ditentukan berdasarkan klasifikasi apakah tujuan periklanan bermaksud menginformasikan, membujuk, ataukah untuk mengingatkan. Ada 3 jenis iklan dilihat dari tujuan yang ingin dicapai perusahaan melalui iklannya10 :

1) Iklan informatif (informative advertising). Pada dasarnya semua iklan berisikan informasi sebab mengiklankan sebenarnya berarti menginformasikan informasi yang ada pada iklan, yaitu segala hal mengenai apa (produk) yang diiklankan itu. Iklan informatif ini menitikberatkan pada tahap awal kategori produk, dimana tujuan yang ingin dicapai adalah membangun permintaan yang utama. Ini berarti perusahaan harus merancang iklan sedemikian rupa agar hal-hal penting mengenai produk bisa disampaikan dalam pesan

9

Dedi Harianto, 2010, Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Iklan yang Menyesatkan. Ghalia Indonesia, Bogor, h.98.

10

James R.Situmorang, 2008, Mengapa Harus Iklan?, Jurnal Administrasi Bisnis, Vol.4 No.2, Universitas Parahyangan, Bandung, h.191


(47)

iklan. Iklan membuat konsumen sadar akan adanya produk baru, memberikan informasi mengenai merek tertentu, dan menginformasikan karakteristik serta keunggulan suatu produk. Iklan yang menonjolkan aspek manfaat produk biasanya dikategorikan sebagai iklan yang bersifat informatif. Misalnya, produsen ekstrak kulit manggis awalnya menginformasikan kepada konsumen bahwa ekstrak kulit manggis memiliki banyak nutrisi yang bermanfaat.

2) Iklan membujuk (persuasive advertising). Selain berisikan informasi, iklan juga dapat berupa pengaruh/bujukan, yaitu mempengaruhi/membujuk konsumen sedemikian rupa supaya mau membeli atau memakai/mengkonsumsi produk yang diiklankan. Iklan dalam kategori ini juga mengandung ajakan/undangan, yaitu mengajak atau mengundang konsumen agar datang memenuhi maksud dari pelaku usaha. Iklan ini berperan penting bagi perusahaan dengan tingkat persaingan tinggi, dimana tujuan yang ingin dicapai perusahaan adalah membangun permintaan yang selektif untuk merek tertentu. Iklan yang efektif akan membujuk konsumen untuk mencoba menggunakan/mengkonsumsi suatu produk, dimana pelaku usaha mencoba meyakinkan konsumen bahwa merek yang ditawarkan adalah pilihan yang tepat. Iklan yang membujuk biasanya dituangkan dalam pesan-pesan iklan perbandingan atau menggunakan comparative advertising yang memberikan perbandingan atribut dari dua atau lebih merek/produk secara eksplisit. Pelaku usaha berusaha membandingkan kelebihan produk yang ditawarkan dengan produk lain yang sejenis. Iklan dengan tujuan ini dapat pula mengandung janji-janji dari pelaku usaha sedemikian rupa bahwa konsumen akan mendapatkan kemanfaatan/kegunaan tertentu lebih dari produk lainnya kalau memakai/mengkonsumsi produk yang diiklankan. Atau dapat juga mengandung sejumlah jaminan yang diberikan oleh pelaku usaha yang akan diperoleh


(48)

konsumen apabila memakai/mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Contoh, iklan pengobatan alternatif yang membujuk dan mempengaruhi konsumen dengan memberikan janji-janji dapat menyembuhkan segala jenis penyakit tanpa operasi dengan jaminan uang kembali apabila tidak berhasil sembuh.

3) Iklan mengingatkan (reminder advertising). Mengandung peringatan bagi konsumen akan kegunaan, kualitas, dan hal-hal lain dari produk yang diiklankan, peringatan mengenai kemungkinan dapat diperoleh di tempat tertentu atau kemungkinan adanya barang tiruan. Iklan ini dapat membuat konsumen tetap ingat pada merk/produk perusahaan. Iklan dengan tujuan mengingatkan ini sangat penting untuk produk matang. Banyak produk-produk yang dulu mapan dan menguasai pasar kini hilang karena tidak adanya iklan yang bersifat mengingatkan. Contoh, iklan handphone merek Samsung yang mengingatkan konsumen bahwa handphone merek Samsung hadir kembali dengan fitur dan kualitas yang semakin canggih.

Dari jenis iklan yang dijabarkan maka parameter suatu iklan dalam mencapai tujuannya sesuai dengan yang diharapkan oleh pelaku usaha adalah :

Jenis Tujuan Parameter

Iklan informatif (informative advertising).

Menginformasikan, membentuk atau menciptakan

kesadaran/pengenalan dan pengetahuan

tentang produk atau fitur-fitur baru dari produk yang sudah ada

- Mengandung informasi. - Alat promosi bagi

perkenalan produk baru. - Membangun permintaan. - Menonjolkan aspek

keunggulan dan manfaat produk.


(49)

Iklan membujuk (persuasive advertising).

Menciptakan keyakinan sehingga konsumen mau membeli dan

menggunakan barang dan jasa.

- Mengandung ajakan / undangan.

- Mengandung pengaruh / bujukan.

- Mengandung janji/ jaminan.

- Alat promosi bagi produk yang bersaing.

- Membangun permintaan yang selektif untuk merek tertentu.

- Mempengaruhi dan meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan adalah produk yang terbaik agar

konsumen mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Iklan

mengingatkan (reminder advertising).

Mendorong pembelian ulang barang dan jasa.

- Mengingatkan pembeli dimana bisa membeli dan mendapatkan produk tersebut.

- Alat promosi bagi produk yang sudah matang. - Mengimpresif konsumen

sehingga produk yang diiklankan selalu diingat, dipilih untuk didapatkan dan memberikan loyalitas terhadap produk tersebut.


(50)

Untuk mencapai sasaran yang diinginkan oleh pelaku usaha, maka iklan yang ideal menjadi syarat utama untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Kasali suatu iklan dapat dikatakan ideal apabila iklan itu 11 :

1. Dapat menimbulkan perhatian

Iklan yang ditayangkan hendaknya dapat menarik perhatian pemirsa, oleh karena itu iklan harus dibuat dengan gambar yang menarik, tulisan dan kombinasi warna yang serasi dan mencolok, serta kata-kata yang mengandung janji, jaminan, serta menunjukkan kualitas produk yang diiklankan.

2. Menarik

Iklan yang diberikan kepada konsumen harus dapat menimbulkan perasaan ingin tahu dari konsumen untuk mengetahui merek yang diiklankan lebih mendalam, dan biasanya dilakukan dengan menggunakan figur iklan yang terkenal disertai dengan alur cerita yang menarik perhatian. Iklan berkaitan dengan bagaimana konsumen berminat dan memiliki keinginan lebih jauh. Dalam hal ini konsumen harus dirangsang agar mau membaca, mendengar, atau menonton pesan-pesan yang disampaikan.

3. Dapat menimbulkan keinginan

Selain dapat menimbulkan perhatian dan menarik, sebuah iklan yang ideal juga seharusnya dapat menimbulkan keinginan dalam diri konsumen untuk mencoba merek yang diiklankan. Dalam hal ini, penting bagi pelaku usaha untuk mengetahui motif dari pembelian konsumen, sebab dengan mengetahui motif pembelian konsumen, pelaku usaha dapat mengetahui apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan konsumen. Dan melalui

11

Renald Kasali,1995, Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Grafiti, Jakarta, h.83.


(51)

manfaat yang ditawarkan melalui iklan, pelaku usaha berharap untuk dapat mempengaruhi sikap konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong atau menimbulkan keinginan konsumen untuk mencoba merek yang diiklankan.

4. Menghasilkan suatu tindakan

Setelah timbul keinginan yang kuat, maka konsumen akan mengambil tindakan untuk membeli merek yang diiklankan. Dan jika konsumen merasa puas dengan produk dari merek tersebut, maka konsumen akan mengkonsumsi atau melakukan pembelian ulang produk tersebut.

Secara spesifik, terdapat perbedaan dan persamaan antara iklan dan periklanan. Persamaannya adalah bahwa keduanya merupakan pesan yang ditujukan kepada konsumen. Perbedaannya yaitu iklan lebih cenderung kepada produk atau merupakan hasil dari periklanan, sedangkan periklanan merupakan keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyampaian iklan.

Pelaku periklanan yang menjadi faktor penentu lahirnya iklan merupakan hasil kerjasama beberapa pihak yaitu : 12

1. Perusahaan Periklanan (advertising), yaitu perusahaan yang menjual jasa periklanan bagi produk barang atau jasa. Perusahaan atau biro ini bidang usahanya adalah mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya.

2. Media Periklanan, yaitu setiap media komunikasi massa, baik berupa media cetak (surat kabar, majalah, tabloit) maupun media elektronik (televisi dan radio), termasuk juga media luar ruangan, seperti pamflet dan spanduk.

3. Pemasang Iklan (pengiklan), yaitu setiap badan hukum (perusahaan) dan perorangan yang mengiklankan suatu produk barang atau jasa.

12


(1)

Definisi ini tidak begitu jelas karena dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja. Hal ini berarti bukan perbuatan hukum saja yang termasuk ke dalam perjanjian, tetapi diluar perbuatan hukum pun termasuk perjanjian. Terdapat perbedaan antara perbuatan hukum dengan diluar perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.21

Jadi, menurut doktrin yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Jadi kontrak pada dasarnya adalah perjanjian itu sendiri akan tetapi lebih bersifat sempit karena pengertian kontrak ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis).22 Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asalkan kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.

Menurut Peter Mahmud Marzuki mengatakan ”bahwa suatu perjanjian mempunyai arti yang lebih luas daripada kontrak. Kontrak merujuk kepada suatu pemikiran akan adanya keuntungan komersil yang diperoleh kedua belah pihak, sedangkan perjanjian dapat saja berarti

21

Arthur S. Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, 1995, Contract Law in Netherlands, Kluwer Law International, The Hague, London, Boston, hlm 33.

22


(2)

social agreement (kesepakatan umum) yang belum tentu menguntungkan kedua belah pihak secara komersil.”23

Di dalam Black’s Law Dictinionary, yang diartikan dengan contract is an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do particular thing. Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu secara sebagian. Inti definisi ini adalah persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik melakukan atau tidak melakukan secara sebagian.

Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Atas dasar ini Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.24 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan kontrak.

Kontrak adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dengan kata lain hubungan hukum yang terjadi karena adanya perjanjian tertulis dikatakan kontrak karena kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat didalamnya yaitu hak dan kewajiban yang timbul didalamnya. Pada kontrak, masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya yang sudah sepakat untuk terikat.

23

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,Yuridika, Volume 8, No. 3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h.5.

24


(3)

Dengan demikian hubungan antara perjanjian dengan kontrak adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan kontrak. Perjanjian adalah sumber kontrak, disamping sumber-sumber lainnya yang mencakup undang-undang. Ada kontrak yang lahir dari perjanjian dan ada kontrak yang lahir dari undang-undang.25 Jadi perikatan yang dilakukan dengan suatu kontrak tidak lagi hanya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji tetapi sudah merupakan perjanjian yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai alat bukti bagi para pihak.

Dengan terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakannya karena setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak menimbulkan akibat hukum adalah bukan perikatan. Bagaimana perjanjian yang dapat menimbulkan akibat hukum? Yaitu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian atau kontrak. Suatu perjanjian yang sah harus memenuhi empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang.26

Harus dibedakan antara syarat obyektif dan syarat subyektif. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya atau pihak-pihak dalam melakukan perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif karena mengenai obyeknya.

25

Ibid, h.1. 26

Zaeni Asyhadie, 2008, Hukum Bisnis (Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.24-25.


(4)

Dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi maka pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan tetap mengikat, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.27

Sedangkan dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak untuk melahirkan perikatan adalah gagal. Dengan demikian maka tidak ada dasar untuk saling menuntut. Perjanjian yang demikian ini disebut perjanjian yang null atau void.28

Dengan sekian banyak pengertian perjanjian yang telah dipaparkan di atas, ada tiga unsur yang dapat ditarik kesimpulan, yaitu:

1. Ada orang yang menuntut, atau dalam istilah bisnis biasa di sebut kreditor. 2. Ada orang yang dituntut, atau yang dalam istilah bisnis biasa disebut debitur.

3. Ada sesuatu yang dituntut, yaitu prestasi. Prestasi umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu: (a) berbuat sesuatu; (b) tidak berbuat sesuatu; (c) menyerahkan sesuatu.

Pihak yang tidak melakukan prestasi disebut bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini dapat terjadi dalam hal :

1. Tidak berbuat sesuatu yang diperjanjikan.

2. Tidak menyerahkan sesuatu yang telah diperjanjikan.

27

Ibid 28

Hasanudin Rahman, 2003, Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis, Citra Adiyta Bakti, Bandung, h.8.


(5)

3. Berbuat sesuatu atau menyerahkan sesuatu tetapi terlambat atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian seharusnya tidak dilakukan.

2.5. Pengertian dan Konsep Janji

Janji merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu.29 Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.30

Janji menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat. Pengertian lain menyebutkan, bahwa yang disebut dengan janji adalah pengakuan yang mengikat diri sendiri terhadap suatu ketentuan yang harus ditepati atau dipenuhi. Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.31

Menurut Wyasa Putra, tidak semua janji adalah janji. Tidak semua janji dapat ditegakkan melalui pengadilan. Hanya janji yang penegakannya dapat dilakukan melalui pengadilan yang dikualifikasi sebagai kontrak. Janji yang dapat ditegakkan melalui pengadilan diuraikan seperti berikut ini : 32

29A.G. Guest, (ed), 1979, Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, h. 2. 30

J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.146.

31

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, h.110. 32


(6)

1. Janji yang merupakan hasil tawar menawar (bargained exchange, offer-acceptance) yang didukung dengan suffident considerant;

2. Janji yang perbuatannya mengakibatkan seseorang merubah sikap atau kedudukannya sebagai akibat janji tersebut;

3. Janji yang memenuhi persyaratan hukum untuk ditegakkan, misalnya diisyaratkan oleh hukum bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, dari segi waktu dan/atau kapasitas perbuatannya;

4. Janji yang oleh hukum ditugaskan oleh pengadilan untuk menegakkannya;

5. Janji yang oleh hakim, berdasarkan pertimbangan hukum tertentu, dipandang harus ditegakkan.