67
subjek tidak memiliki keinginan untuk diakui kemampuannya bekerja. Subjek juga tidak memiliki usaha untuk menunjukkan kemampuannya
bekerja, sehingga kurang diterima di lingkungannya bekerja, dipandang rendah dan akhirnya berpindah kerja.
C. Pembahasan
Penelitian ini menghasilkan tema-tema yang mengarah kepada pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana pengalaman bekerja penyandang
disabilitas tubuh. Ketiga subjek menyatakan bahwa pengalamannya bekerja dimulai dari kondisi disabilitas yang menyebabkan mereka mengalami
keterbatasan dalam beraktivitas dan bergantung pada alat bantu. Hal ini menyulitkan subjek untuk mendapatkan pekerjaan, karena diragukan
kemampuannya bekerja, sehingga subjek merasa marah dan tidak dipahami. Adler dalam Ansbacher Ansbacher, 1958 mengatakan bahwa
kelemahan fisik menimbulkan perasaan inferioritas pada individu. Orang yang sehat akan memperjuangkan inferioritasnya untuk menjadi superioritas.
Perjuangan ini juga tidak terlepas pada bagaimana pandangan subyektif orang tersebut pada dirinya sendiri. Individu yang sehat akan mengembangkan
perasaan inferiornya dari kondisi disabilitasnya dan minat sosial yang tinggi untuk menuju kesukesan atau superior. Hal ini terlihat dari hasil temuan
peneliti pada tipe pertama dan tidak terjadi pada tipe kedua. Pada tipe pertama, mereka memiliki keinginan untuk diakui
kemampuannya bekerja
sehingga mereka
menjalin relasi
dengan
68
lingkungannya dan menunjukkan kemampuannya bekerja. Dorongan untuk diakui dan menunjukkan kemampuannya ini bagi Adler didasarkan pada
keinginan untuk
mengembangkan perasaan
inferior dari
kondisi ketidaklengkapan diri, untuk menjadi lebih baik, lengkap dan superior. Pada
akhirnya, tipe pertama dapat diakui kemampuannya bekerja, dapat diterima di lingkungan tempatnya bekerja sehingga merasa dirinya tidak memiliki
kekurangan sebagai penyandang disabilitas. Pengalaman ini juga menimbulkan perasaan senang, nyaman saat bekerja.
Pada tipe kedua, kondisi disabilitas tubuh membuat mereka merasa rendah diri dan tidak dapat menerima kondisi diri. Hal ini senada dengan Adler
dalam Alwisol, 2009 yang mengatakan bahwa keterbatasan fisik dapat menyebabkan munculnya perasaan inferior. Tidak hanya itu, pada tipe kedua
menunjukkan pandangan subyektif yang negatif terhadap kondisi dirinya berupa ketidakmampuan menerima kondisi diri. Bagi Adler, mereka yang
inferior karena kondisi fisik seperti kecacatan dapat mengkompensasikan kondisi disabilitasnya dengan menarik diri dari orang lain dan memanfaatkan
kecacatannya untuk mendapatkan belas kasihan dari orang lain. Hal ini terlihat pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa, pada tipe kedua terdapat
keinginan untuk dikasihani. Perasaan ini yang membuat tidak adanya keinginan untuk diakui kemampuannya bekerja dan tidak memiliki usaha untuk
menunjukkan kemampuannya bekerja. Hal tersebut menyebabkan mereka menjadi kurang diterima di lingkungannya bekerja, dipandang rendah dan
akhirnya berpindah kerja.
69
Dalam penelitian ini, perbedaan tuntutan pekerjaan dan kondisi disabilitas tubuh menghasilkan tema kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan
dan diragukan kemampuannya bekerja. Selain karena kondisi disabilitas yang disandang, Scultz, 2010 menjelaskan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki
seseorang juga mempengaruhi pengalaman mereka ketika bekerja. Orang yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik lebih berhasil dan lebih cepat
berkembang dari pada mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan. Pada konteks subjek pertama, subjek memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi. Subjek merupakan lulusan sarjana di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Dalam menjalani pekerjaannya terlihat subjek memiliki keinginan
untuk diakui dan dapat menunjukkan kemampuannya bekerja, sehingga subjek diterima dan diakui kemampuannya.
Pada subjek kedua, selain karena kondisi disabilitasnya, kesulitannya untuk mendapatkan pekerjaan terjadi karena tingkat pendidikannya yang hanya
lulus di tingkat sekolah menengah pertama. Hal ini menyulitkannya dan membuat dirinya tidak mendapatkan upah yang layak ketika bekerja.
Pada subjek ketiga, kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan tidak hanya karena kondisi disabilitasnya, tetapi juga karena pendidikan terakhirnya pada
jenjang sekolah menengah atas. Pada subjek ketiga terlihat bahwa dirinya mampu menunjukkan kemampuannya sehingga dapat diakui dan diterima di
lingkungan kerjanya. Wattimena 1995, mengatakan bahwa situasi dalam bekerja,
merupakan situasi yang memiliki banyak tantangan ketika menjalankan
70
pekerjaannya. Seorang pekerja akan menghadapi berbagai tantangan ketika menjalani pekerjaannya. Dalam menghadapi tantangan tersebut, seorang
pekerja dapat memunculkan berbagai reaksi. Dalam penelitian ini reaksi yang muncul berupa reaksi positif dimana pada tipe pertama, pekerja mengerahkan
tenaganya yang lebih besar ketika menghadapi persoalan saat menjalani pekerjaannya dengan menunjukkan kemampuannya yang didorong oleh
keinginan untuk diakui kemampuannya bekerja. Reaksi berbeda ditunjukkan pada tipe kedua. Pada tipe kedua reaksi
yang ditunjukkan adalah reaksi negatif. Menurut Wattimena 1995 terdapat pula pekerja yang bereaksi negatif ketika menghadapi tantangan saat menjalani
pekerjaannya. Dalam penelitian ini pekerja berespon pasif karena merasa rendah diri, sehingga tidak menunjukkan kemampuannya bekerja dan
menerima nasibnya. Pada tipe kedua ini ditemukan juga reaksi berpindah kerja karena kurang diterima di lingkungannya bekerja dan reaksi regresi karena
ingin dikasihani oleh lingkungannya. Pada penelitian ini terdapat suatu keunikan. Keunikan tersebut terdapat
pada sikap subjek terkait pengalamannya bekerja dengan kondisi disabilitasnya yang berbeda. Alder dalam Awilsol, 2009 juga mengatakan bahwa,
inferioritas fisik adalah anugrah. Hambatan fisik menjadi bermakna jika dapat merangsang perasaan inferior yang subjektif menjadi pemicu perjuangan untuk
mencapai superioritas. Pemicu perjuangan ini, dipengaruhi pada bagaimana seorang individu yang memiliki perasaan inferior memandang dirinya atau
71
pandangan subjektif terhadap diri individu dan ditunjukkannya dengan adanya minat sosial.
Pada subjek pertama, kondisi disabilitas yang disandang merupakan kondisi bukan bawaan atau pasca kelahiran ketika subjek masih bayi, sehingga
belum pernah merasakan kondisi normal. Kondisi ini diyakini subjek bahwa dibalik keterbatasan fisik yang dimiliki oleh dirinya diyakini bahwa dirinya
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Keyakinan tersebut membuat dirinya memiliki keinginan untuk menunjukkan kemampuannya dan
berusaha menunjukkan kemampuannya tersebut dalam dunia kerjanya. Subjek pertama, berhasil menunjukkan kemampuannya dan diakui kemampuannya
bekerja sehingga dirinya merasa tidak memiliki kekurangan sebagai penyandang disabilitas tubuh. Keberhasilan yang dicapai pada subjek,
mendorong subjek untuk membantu penyandang disabilitas lain dengan membentuk organisasi penyandang khusus disabilitas. Hal inilah yang
membuat subjek merasa kondisi disabilitas merupakan anugrah Tuhan. Pada subjek kedua, kondisi disabilitas yang disandang sejak dirinya
dalam masa kanak-kanak, sehingga subjek pernah merasakan dalam kondisi normal. Kondisi disabilitas yang dimiliki tersebut dipandang sebagai
kekurangan dan hambatan karena subjek pernah merasakan kondisi normal. Keyakinan yang dimilikinya terhadap kondisi dirinya tersebut membuat dirinya
merasa inferior. Perasaan inferior ini membuat dirinya merasa ingin dikasihani lingkungannya dan membentuk perilakunya ketika bekerja dengan tidak
menunjukkan adanya keinginan untuk menunjukkan kemampuannya bekerja,
72
sehingga dipandang rendah dan kurang diterima di lingkungannya. Keyakinan bahwa kondisi disabilitas merupakan hambatan dan kekurangan inilah yang
membuat subjek memandang kondisi disabilitas sebagai suatu ganjaran dari Tuhan.
Pada konteks subjek yang ketiga, pada awalnya subjek tidak dapat menerima kondisi dirinya yang mengalami kondisi disabilitas sejak lahir.
Kondisi disabilitas yang dialami subjek tersebut, dianggap sebagai takdirnya yang harus dijalani karena dilahirkan dengan kondisi tersebut. Hal ini karena
kondisi disabilitas tersebut terjadi ketika subjek berada di dalam kandungan karena suntikan obat dari luar. Anggapan subjek terhadap kondisi
disabilitasnya membuat subjek dapat menerima kondisi dirinya. Penerimaan terhadap
kondisi diri
tersebut membuat
subjek memperjuangkan
superioritasnya. Perjuangannya untuk mencapai superioritasnya tersebut, terlihat pada
pengalaman subjek dalam konteks bekerja. Dorongan mencapai superioritasnya tersebut terlihat dengan adanya keinginan untuk diakui kemampuannya
bekerja, sehingga subjek berusaha menunjukkan minat sosial dengan menjalin relasi dan menujukkan kemampuannya bekerja. Hasil usahanya tersebut
membuat subjek diakui kemampuannya bekerja dan diterima kemampuannya bekerja. Pengalaman tersebut juga membuat subjek tidak merasa memiliki
kekurangan sebagai penyandang disabilitas. Superioritas juga didukung oleh peranan gender seseorang di
masyarakat. Berdasarkan sudut pandang gender yang menganut sistem
73
patriarki seorang wanita diposisikan lebih lemah dari pada seorang laki-laki Baron Byrne, 2004. Pandangan gender ini dapat mempengaruhi
superioritasnya ketika dapat melakukan pekerjaan atau bekerja yang seharusnya menjadi peranan laki-laki. Sementara laki-laki akan semakin
merasa inferior ketika tidak dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi perannya.
Pada subjek pertama dan ketiga adalah seorang wanita yang memiliki kondisi disabilitas. Dalam hal ini superioritasnya didukung oleh peranan subjek
yang dapat bekerja disaat tidak semua wanita dapat bekerja, terutama wanita yang memiliki kondisi keterbatasan. Di sisi lain, pada subjek kedua yang
merupakan seorang laki-laki dimana memiliki peranan sebagai kepala keluarga yang dituntut untuk bekerja akan merasa inferior ketika tidak dapat melakukan
peranannya sebagai kepala keluarga dengan kondisi disabilitas. Hal tersebut akan mendukung perasaan inferior yang dimilikinya, selain menyandang
kondisi disabilitas tubuh. Dalam penelitian ini sikap terhadap tantangan bekerja dipengaruhi
oleh pandangan subjektif terhadap diri yang membentuk perilaku. Hal ini dapat dilihat pada subjek pertama dan ketiga yang dapat menerima kondisi disabilitas
mereka dan meyakini terdapat suatu kelebihkan dibalik kekurangan tersebut. Pada subjek kedua meyakini bahwa kondisi disabilitas sebagai hambatan dan
kekurangan. Pandangan yang positif inilah yang mendorong mereka untuk memperjuangkan superioritasnya. Berbeda pada subjek kedua dimana memiliki
pandangan subjektif terhadap diri yang negatif, sehingga merasa inferior. Hal
74
ini sesuai dengan Adler, yang mengatakan bahwa perilaku memperjuangkan superioritas salah satunya dipengaruhi oleh bagaimana pandangan subjektif
individu terhadap dirinya.
75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tipe dalam pengalaman bekerja penyandang disabilitas tubuh. Secara
umum, pengalaman bekerja penyandang disabilitas tubuh dimulai dari kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena diragukan kemampuannya
bekerja dengan kondisi disabilitasnya. Hal ini menyebabkan perasaan marah dan tidak dipahami. Pada tipe pertama mereka yang memiliki
keinginan untuk
diakui kemampuannya
akan menunjukkan
kemampuannya, sehingga dapat diakui dan diterima di lingkungan kerjanya. Pengalaman ini membuat pekerja penyandang disabilitas tubuh
merasa senang dan nyaman. Pada tipe kedua, pekerja tidak memiliki keinginan untuk diakui
kemampuannya bekerja, akan tetapi memiliki keinginan untuk dikasihani. Keinginan tersebut membuat dirinya dipandang rendah dan kurang
diterima di lingkungan kerjanya.