Uji toksisitas subkronik Uji toksisitas kronik

70 m = log LD 50 a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan jumlah kematian 100 tiap kelompok b = beda log dosis yang berurutan pi = jumlah hewan yang mati

2.3.2 Uji toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik adalah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji toksisitas subkronik sesuatu zat uji, utamanya ditujukan untuk mengungkapkan efek toksik dan jenis organ yang terkena, maupun hubungan antara dosis dan efek toksik. Selain itu, dengan uji toksisitas subkronik, memungkinkan terlihatnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat dan tidak dapat terdeteksi pada uji toksisitas akut Donatus, 1996. Prinsip dari uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama waktu pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang mati selama periode pemberian sediaan uji segera diotopsi dan organ serta jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode pemberiaan sedia uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi dan histopatologi pada setap organ dan jaringan OECD, 2008 Universitas Sumatera Utara 71 Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, memperoleh informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, memperoleh informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan reversibilitas atau irreversibiltas zat uji OECD, 2008. Efek reversibilitas adalah efek toksik yang hilang bila pemaparan sediaan uji berhenti atau mereda. Efek irreversibilitas adalah efek toksik yang tidak akan hilang atau permanen meskipun sediaan uji telah berhenti atau hilang Wisaksono, 2002. Uji toksisitas subkronik bertujuan untuk menentukan organ sasaran organ yang rentan Priyanto, 2009.

2.3.3 Uji toksisitas kronik

Uji toksisitas kronik oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh umur hewan. Perlu dilakukan uji toksisitas kronik mengingat pemakaian obat seringkali memerlukan waktu yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang masa hidup si pemakai. Uji toksisitas kronik pada prinsipnya sama dengan uji toksisitas subkronik, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12 bulan OECD, 2008. Keracunan yang bersifat kronis efek toksisitasnya baru dapat terlihat atau teridentifikasi dalam waktu lama, yang umumnya tidak disadari Wirasuta dan Niruri, 2006. Tujuan dari uji toksisitas kronik oral adalah untuk mengetahui profil efek toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu Universitas Sumatera Utara 72 yang panjang, memperoleh informasi efek toksik zat uji yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas subkronik dan untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek toksik OECD, 2008. Pada uji toksisitas kronis ini dilakukan evaluasi patologi lengkap Loomis, 1978.

2.4 Hati

Hati merupakan kelenjar yang paling besar dalam tubuh dan banyak sekali fungsinya. Fungsi hati adalah sebagai berikut Setiadi, 2007: 1. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan. 2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu dan urin. 3. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen. 4. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam sistem retikuloendotelium, dialirkan ke empedu. 5. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin. 6. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air. Semua darah yang didistribusikan ke saluran pencernaan kembali ke jantung melalu sistem portal hati untuk menjalani beberapa proses. Dengan demikian semua zat yang ada dalam darah akan melewati hati dan beberapa zat dapat menyebabkan kerusakan Priyanto, 2009. Universitas Sumatera Utara