1.5. Tujuan dan manfaat penelitian a. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1.
Mengetahui dalam kondisi masyarakat yang bagaimana karate lahir. 2.
Mengetahui perkembangan karate di Indonesia 3. Mengetahui sejarah berdirinya karate Kala Hitam di Indonesia.
b. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1.
Menambah pengetahuan tentang sejarah lahirnya karate dan kondisi masyarakatnya.
2. Menambah pengetahuan tentang perkembangan karate di Indonesia.
3. Menambah pengetahuan sejarah berdirinya karate Kala Hitam di Indonesia.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaranlukisan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-
fakta, sifat-sifat serta hubungan hubungan antara fenomena yang diselidiki Nazir, 1985. Studi kepustakaan merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam kegiatan
penelitian yang ditujukan untuk mewujudkan jalan memecahkan masalah penelitian. Beberapa aspek penting yang perlu dicari dan digali, meliputi : masalah, teori, konsep dan
penarikan kesimpulan dan saran Nasution,2001:14.
Universitas Sumatera Utara
Peneliti berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data jadi yang menyajikan data-data menganalisis dan menginterpretasi.
Peneliti menggunakan teknik library research merupakan penelitian yang dilakukan dengan membaca berbagai macam literatur dan koleksi pribadi peneliti. Peneliti juga
mengambil data yang terdapat disitus-situs internet yang berhubungan dengan hal yang dibahas.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN UMUM KARATE
2.1 Pengertian dan sejarah Karate 2.1.1 Pengertian Karate
Menurut Chuck Norris dalam A Dictionary of the Martial Arts Ohara Publication Inc.,Burbank CA,-2003 terminology Karate-Do dijabarkan sebagai: “a kind of oriental
martial art” atau dalam bahasa Indonesianya “sebuah seni beladiri dari Timur.” SENI sendiri menurut Plato adalah hasil karya manusia sesuai kejiwaannya untuk
sebuah tiruan alam. Sementara itu , beladiri menurut W.J.S. Poerwadarminta adalah sebuah frasa gabungan yang berkonotasi kepada upaya atau tindakan seseorang dalam
mempertahankan keselamatan jiwa dan raganya dari pihak lain. Dari kesimpulan semua penjelasan diatas, saya mendefinisikan Karate-do secara
lengkap sebagai: “Sebuah metode khusus untuk mempertahankan diri melalui penggunaan anggota tubuh
yang terlatih secara baik dan alami yang didasari dan bertujuan sesuai nilai filsafat Timur”Wahid, 2007:5
Memang dalam keseharian frase Karate lebih sering digunakan ketimbang Karate- do, hal ini agaknya lebih disebabkan oleh peran media massa yang mempopulerkan,
namun sekaligus melencengkannya dari makna awal. Disamping itu badan dunia resmi yang memayunginya pun WKFWorld Karate Federation secara jelas tidak
menambahkan kata Do pada nama resminya. Dengan demikian, bolehlah rasanya kita mengatakan bahwa saat ini istilah Karate agaknya lebih cocok dipakai untuk mengacu
pada penegasan unsur olahraganya saja Karate is a martial Sport dan istilah karate-do agaknya lebih cocok dipakai padanya sebuah penegasan pada terhadap keseluruhan ruang
Universitas Sumatera Utara
lingkup yang berkaitan dengan seni beladiri ini karate is a not just a sport, it’s a martial art. Peran penting frasa pertama juga patutlah tidak dinafikan begitu saja dalam hal
perubahan eksistensinya hingga dapat menjadi ikon sebuah kategori olahraga popular yang sangat profesional dan manajerial dewasa ini. Karate bahkan dapat bersaing dengan
jenis olahraga popular lain yang notabene murni bersifat permainan dan hiburan.
2.1.2 Sejarah Karate
Lebih dari 4.000 tahun yang lalu sebelum abad ke-20 SM bangsaras Aria yang berasal dari suku-suku yang buas, namun cerdas di daerah padang rumput Eropa Timur
dan Asia Tengah mulai melakukan penyerbuan ke arah selatan yang lebih subur. Persia serta anak benua Hindustan di Asia kini India dan Pakistan yang makmur adalah sasaran
utamanya. Dengan kemampuan teknik berperang yang tinggi dan penuh kedisiplinan, dalam tempo sekejap mereka berhasil menaklukkannya dan mendirikan negara dengan
golongan mereka sebagai kaum penguasa yang mengatur kehidupan bangsaras Dravida yang merupakan penduduk asli. Inilah yang menjadi cikal bakal sistem kasta dalam agama
Hindu di India sampai saat ini. Ras Aria umumnya memosisikan dirinya dalam kasta Ksatrya kaum bangsawan militer karena hal itu sesuai dengan keahlian turun temurun
yang mereka bawa. Dipenghujung abad ke-10 SM terjadi banyak peperangan diantara sesama kerajaan
ras Aria di wilayah barat India yang diabadikan dalam dua epos besar, yaitu Mahabharata- Bhatarayudha dan Ramayana. Dalam dua epos ini banyak sekali dipaparkan secara
mendetail mengenai teknik maupun nasihat moralitas dalam medan laga yang dipakai para ksatrya dalam pertempuran yang mereka jalani. Kurang lebih lima ratus tahun kemudian
agama Budha lahir dan memberikan semacam tuntunan kejiwaan yang lebih bersifat menolak kekerasan maupun aturan tentang kasta. Terkombinasi dengan ajaran Budha,
teknik pertarungan primitif lokal bangsa Dravida yang terinspirasi dengan gerakan
Universitas Sumatera Utara
binatang yang sering dijumpai di India harimau, gajah, singa, beruang, ular, elang, dan sebagainya dan terakhir lewat proses waktu, maka metode pertempuran itu pun
menghasilkan sebuah rangkuman pengetahuan kuno yang disebut Mallavidya Malla = peperanganpertempuran, Vidya = pengetahuan – bahasa Sanskerta yang berisikan
sekumpulan petunjuk taktik pertempuran yang disertai semacam kode disiplin moral sederhana bagi para ksatrya. Dalam perkembangannya demikian, ia mempunyai banyak
cabang dalam hal penerapannya dimedan perang, baik dengan senjata atau tanpa senjata. Cabang yang mengkhususkan diri pada teknik tanpa senjata yang disebut Vajramusthi
vajra = halilintarpetir, musthi = pukulantinjukepalan, yang jejaknya pada saat ini masih bisa ditelusuri pada negara-negara bagian di wilayah India bagian selatan.,yaitu
Kerala, Malabar, dan Tamil Nandu. Kini ia disebut dengan Verumkai Prayogam Verum = hanya, kai = tangan, prayogam = menggunakanpenggunaan, sebuah metode pertarungan
tangan kosong yang merupakan salah satu cabang dari seni beladiri
KallaripayatKallaripayatu. Di luar wilayah India ia pun berkembang pesat, dibawa para penebar agama Hindu dan Budha dari India kemanapun mereka pergi dan menetap.
Setelah disesuaikan dengan faktor lokal yang telah lebih dulu ada yaitu fisik manusianya secara umum, alam dan cuaca yang menjadi lingkungan, serta adat dan
budaya sebagai hasil proses perkembangan peradaban, maka ia pun bertransformasi dalam banyak variasi yang dalam tampilannya tetap memiliki ikatan kuat dalam hal
subtansi dasar dengan cikal bakalnya di India tersebut. Pencak silat di Indonesia dan Muay-Thai di Thailand adalah contoh kasus yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh
keberadaannya dari sudut pandang sosio-historis yang menyeluruh. Pada awal abad ke-6 M, salah satu raja India yang bernama Suganda dari kerajaan
Baramon memiliki seorang putra yang bernama Jayavarman. Pangeran ini sebagaimana layaknya golongan ksatrya pada zaman itu tentu saja diharuskan memiliki ketrampilan
militer yang sesempurna mungkin, dan ia ternyata dengan cepat dapat menguasai semua
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan yang diajarkan padanya oleh seorang guru tua yang bernama PrajanatraPrajnatra. Namun belakangan, dengan sebab yang tidak diketahui dengan pasti
dari sudut pandang religutisitas Budhis disebutkan faktor reinkarnasi leluhurnya mungkin berperan sebab ia merupakan keturunan ke-28 Sidharta Gautama, mendadak Jayavarman
meninggalkan kehidupan duniawinya dengan cara menekuni dengan total ajaran agama Budha sebagai seorang pendetabiksu aliran Mahayana.
Ia pun mengganti namanya menjadi Bodhi Darma di Cina disebut Ta Mo, di Jepang disebut Daruma TaishiBodidaruma dan kemudian melakukan perjalanan ke Cina
untu menyebarkan ajaran agama Budha pada tahun 527. Disana ia menetap disebuah kuil yang bernama Shaolin, kuil ini sendiri didirikan pada tahun 405 dan berlokasi di Gunung
Shongsan, yang saat ini masuk wilayah propinsi Henan. Ia menerjemahkan teks ajaran Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina dan mendirikan sektenya sendiri yang
di sebut Chan Zen dalam bahasa Jepang. Selama menjadi guru di kuil itu ia melihat bahwa kondisi fisik muridnya sangat
buruk sehingga gampang jatuh sakit atau sering menjadi korban tindakan kekerasan didunia luar. Maka berbekal pengalamannya, sebagai seseorang mantan Ksatrya dari
India, ia pun mulai melatih para biksu di kuil Shaolin dengan metode-metode dasar Vajramusthi karena biksu sesuai ajaran Budha tidak boleh menggunakan senjata yang
bisa mengarah opada kekerasan yang merupakan dosa besar yang dipadukan dengan teknik Yoga sistem meditasi ala Hindu untuk melatih lebih jauh kosentrasi kejiwaan
mereka dalam latihan pernapasan. Ia juga mengadopsi beberapa teknik pertarungan lokal Cina banyak dinisbatkan pada gerakan beberapa binatang dala arca Cina kuno seperti
harimau, ular, elang, bangau, monyet, dan lain-lainnya. Semua inilah yang menjadi dasar dari ch’uanfa nama kuno untuk kungfuwushu asli Shaolin yang selanjutnya terbagi
menjadi dua aliran besar, yaitu Utara yang lebih dominan dengan gerakan lompatan dan kelincahan san Selatan yang lebih dominan kepada kosentrasi, pernapasan, dan kekuatan
Universitas Sumatera Utara
tubuh bagian atas yang keduanya dianggap sebagai barometer semua ilmu beladiri di wilayah Asia Timur.
Sekte ChanZen mulai dikenal Jepang pada abad ke-14 dibawa dari China lewat semenanjung Korea maupun pulau Okinawa. Di Korea jejak tranformasi Chuanfa yang
merupakan produk zen bisa ditemui pada saat ini dalam bentuk Tae Kwon Do, sedangkan di Okinawa sendiri ch’uanfa bertranformasi menjadi TeToteTode transliterasi kata
Chin-te dari bahasa Cina yang berarti pukulantangan Cina kedalam dialek khas Okinawa setelah dikombinasikan dengan teknik pertarungan kuno lokal dengan teknik pertarungan
kuno kalangan Samurai Jepang yang disebut Bu-gei, yang untuk jenis teknik tanpa senjatanya disebut YawarBu-jutsu. Tote kadang-kadang juga disebut sebagai Okinawa-
Te atau Ryukyu KempoKenpo mungkin disebabkan oleh proses transliterasi kata kungfuwushukang-ouw dari bahasa Cina kedalam dialek khas Okinawa. Di kemudian
hari Bu-jutsu bertransformasi sesuai urutan perkembangannya menjadi Ju-jutsu, Judo, dan Aikido.
Okinawa sendiri merupakan sebuah pulau yang termasuk dalam rangkaian kepulauan Ryukyu, yang menjadi pelabuhan transit penghubung Jepang dengan dunia lura
pada zaman kuno. Menurut Drs. N.Daldjoeni lihatRas-ras Umat Manusia,PT Citra Aditya Bakti, 1991 tentang teori penyebaran manusia di benua Asia dalam wahid 2007 : 24
maka besar kemungkinan penduduk asli Okinawa ditilik secara antrofisiologis bukan temasuk subras yang sama dengan umumnya penduduk Jepang Ainu Mongoloid,
melainkan lebih dekat dengan subras yang dominan di Asia Tenggara Paleo Mongoloid. Hal ini tidaklah mengherankan karena secara geografis ia lebih dekat dengan pulau
Formosa daripada dengan empat pulau lainnya Shikoku, Kyushu, Honshu, dan Hokkaido. Bukti kuat yang mendukung hal itu bisa dilihat dari pada penggunaan alat-alat
pertanian tradisional yang kemudian dipakai sebagai alat pelengkap dalam seni beladiri mereka yang berasal dan memiliki kemiripan dengan dengan alat-alat pertanian
Universitas Sumatera Utara
tradisional yang ada di Asia tenggara. Okinawa yang memiliki tiga kota besar sebagai kota utamanya pada zaman itu, yaitu Tomari, Shuri, dan Naha selama ratusan tahun sesuai
catatan sejarah ternyata sangat menarik minat kekaisaran Cina, Korea dan Jepang untuk silih berganti menancapkan pengaruh di daerah kepulauan yang strategis tersebut, Hal ini
memungkinkan terjadinya pencampuran unsur-unsur budaya termasuk seni beladiri dari ketiga negara tersebut. Masuknya pengaruh seni beladiri Cina yang paling awal tercatat
dalam sejarah resmi adalah ketika pada tahun 1393 sebuah ekspedisi militer yang dikirim dan lalu menetap disana sebagai semacam tentara bantuan oleh kaisar Hung Wu dari
dinasti Ming pada raja Satto, penguasa Okinawa pada saat itu, dengan dampak sampingan diperkenalkannya beberapa keunggulan teknik perang mereka Meitoku Yagi, salah
seorang guru besar Goju-Ryu di Okinawa pada abad ke-20 merupakan keturunan langsung dari salah seorang anggota ekspedisi militer tersebut. Namun akhirnya, pada
tahun 1429 dibawah Kaisar Shohasi dari Chuzan, Okinawa dapat disatukan dan dikuasai secara penuh oleh Jepang hingga saat ini.
Rupanya setelah penaklukan itu masih banyak terjadi usaha perlawanan dan pemberontakan dari para penduduk asli yang mendapat bantuan penuh secara rahasia dari
Cina; sehingga untuk “mengamankannya” secara lebih efektif , pada zaman kaisar Shoshin 1477-1526 dikeluarkannya suatu aturan yang ketat tentang pengaturan
kepemilikan senjata pada rakyat Okinawa. Keekstriman aturan ini mencapai puncaknya pada masa penguasaan Okinawa oleh Shimazu Ihisa dari klan Satsuma yang mulai
berkuasa pada tahun 1609. Disebutkan bahwa hanya ada boleh sebuah pisau untuk sebuah desa dan itupun diikat dengan rantai di pos patroli tentara yang ada. Faktor inilah yang
mengakibatkan kembali gairah untuk menggunakan kembali Tote sebagai “senjata pengganti” yang paling utama dan siap digunakan kapan saja dalam usaha untuk
mempertahankan diri dalam penindasan tentara maupun ancaman para penjahat bersenjata yang banyak berkeliaran.
Universitas Sumatera Utara
Klan Satsuma yang berasal dari Kagoshima ini berkuasa pada tahun 1872. Dan selama 260 tahun masa kekuasaan mereka dihitung hanya sampai dengan dimulainya
restorasi Meiji pada tahun 1868 catatan sejarah resmi tentang Tote di Okinawa sangat minim. Yang sempat tercatat hanyalah tentang partisipasinya sebagai sebuah kemampuan
khusus dalam perjaungannya dan dianggap sangat berbahaya dan mengancam secara tak langsung bagi kalangan militer yang berkuasa. Oleh karena itulah, disebutkan bahwa seni
beladiri ini sangat dijaga kerahasiaannya dan dikembangkan kerahasiaannya secara turun temurun di kalangan pria dari kepala keluarga hanya pada putra tertuanya yang akan
menjadi penggantinya dalam keluarga bangsawan shizoku Okinawa. Bahkan dalam banyak kasus didapati anggota keluarga yang tak diwarisitidak mempelajari Tote
dipastikan akan tidak akan mengetahui sama sekali bahwa ada diantara anggota keluarga mereka yang menguasai seni beladiri tersebut. Ada dua ungkapan yang menggambarkan
kondisi di atas pada zaman itu, yaitu Reimyo Tote tangan yang ajaib dan Shimpi Tote tangan yang misterius.
Baru kemudian mulai akhir abad ke-17 ada beberapa nama yang “berani” muncul kehadapan publik, karena mereka memiliki posisi yang cukup kuat dalam dalam elit
politik klan Satsuma yang memerintah. Mereka dihormati namanya sampai saat ini dalam dunia Karate-do karena mereka juga merupakan pencipta beberapa buah kata standar yang
paling umum dipakai. Mereka itu berasal dari tiga kelompok yang berbeda, yaitu sebagai berikut.
1. Dari kalangan perwira intelijen militer kekaisaran Cina yang “difungsikan” sebagai semacam atase perdagangan di Okinawa, nama-nama yang dikenal adalah Iwah lalu
WansuWhansu yang menciptakan kata jenis Enpi dan terakhir Guan Kui atau dalam bahasa Jepang ia dilafalkan menjadi KunshankuKoshokon dan merupakan pencipta
kata jenis kanku.
Universitas Sumatera Utara
2. Dari kalangan samurai punggawa militer yang mengabdi dikastil bangsawan kalan Satsuma yang berkuasa, namun mereka aslinya adalah orang Okinawa yang mungkin
pernah merantau ke Cina untuk mempelajari teknik-teknik ch’uanfa tingkat tinggi. Tercatat nama-nama berikut: peichin Takahara, Tode Tokugawa, Gusukuma, dan yang
paling terkenal tentu saja Sokon “Bushi” Matsumura yang merupakan penggubah Kata jenis Bassai.
3. Dari kalangan penduduk asli yang sangat militan dalam melawan kekuasaan kekaisaran Jepang dan pergi ke Cina selama bertahun-tahun untuk memeperdalam pengalaman
pengetahuan mereka tentang Tote dan Ch’uanfa dan kembali lagi ke Okinawa untuk mengajarkan kemampuan mereka itu pada temen-teman seperjuangannya. Yang
paling dikenal adalah Yara yang berasal dari kota Chatan, dimana ia mengubah beberapa buah kata yang sudah ada kedalam versinya sendiri yang didasari pada jenis
ch’uanfa dari Cina bagian selatan. Saat ini hasil karyanya itu dikenal dalam golongan Kata jenis ChatanyaraChatan Yara.
Seiring melemahnya pengaruh kekuasaan klan Satsuma di Okinawa pada abad ke - 19, maka pewaris Tote pada masa itu mulai berani menunjukkan taringnya didepan
umum dan juga menerima murid dari luar kalangan rahasia mereka Dikatakan sering semacam terjadi persaingan yang cukup keras diantara keluarga bangsawan yang
memiliki perguruan Tote. Hal ini lebih disebabkan oleh factor melemahnya kekuatan musuh bersama, yaitu klan Satsuma sehingga masing-masing dari mereka pun mulai
menunjukkan ego untuk mendapatkan kewibawaan di lkalangan rakyat kebanyakan.. Barulah setelah restorasi Meijipersaingan yang “ketat” itu mulai berkurang sedikit
demi sedikit karena mulai terbukanya kontak budaya Jepang dengan luar negeri sehingga pola kehidupan keras samurai ala zaman Shogun berangsur ditinggalkan
kearah modernisasi. Ada tiga tokoh besar yang sangat menonjol pada “angkatan” ini,
Universitas Sumatera Utara
yaitu Yasutsune “Anko” Itosu, dan Kanryo Higoanna. Mereka bertiga secara kebetulan pernah menimba ilmu dari guru yang sama, yaitu Sokon Matsumura.
1. Berdasarkan aliran ch’uanfa yang mempengaruhinya secara dominan dalam Kata maka ada dua aliran besar dari Tote, yaitu sebagai berikut.
a. Shorin, berasal dari ch’uan-fa aliran utara yang memiliki banyak teknik melompat sehinnga mengembangkan kekuatan pinggul dan kaki. Hal ini terjadi karena bagian
utara Cina terdiri dari padang rumput dan tanah datar luas yang gersang sehingga dampak pada sebuah gaya pertarungan adalah jarak yang cukup jauh, pergerakan
yang lebih dominan dalam sebuah garis lurus, kedinamisan kuda-kuda yang panjang dan tampilan yang kaku dari sebuah teknik, namun memiliki keakuratan yang tinggi
pada sasaran. b. Shorei, berasal dari Ch’uan-fa aliran selatan yang memiliki keunggulan dalam hal
keseimbangan dan kekuatan tubuh bagian atas. Hal ini terjadi karena wilayah bagian selatan Cina terdiri dari areal persawahan dan rawa-rawa yang lunak dan licin
sehingga dampak pada gaya sebuah pertarungan adalah jarak yang dekat, pergerakan yang didasari pada teori titik tengah sebuah lingkaran, kekokohan kuda-kuda yang
pendek dan keluasan tampilan sebuah teknik terutama tangan, namun secara dominan diiringi pengerahan tenaga secara besar.
2. Berdasarkan tempat perkembangannya selama ratusan tahun di Okinawa, maka dikenal ada tiga jenis Tote, yaitu sebagai berikut.
a. Shuri-Te, yaitu Tote yang berkembang di kota Shuri dan pada umumnya teknik pertarungan dan jenis kata yang dikembangkan disini termasuk kelompok Shorin. Saat
ini di Okinawa ada tiga perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Shuri-te secara aslinya:
- Matshubayashi-ryu, didirikan oleh Shoshin Nagamine;
Universitas Sumatera Utara
- Kobayashi-ryu, didirikan oleh Chosin Chibana; - Shorin-ryu, disebutkan sebagai perguruan tertua yang bersumber dan didirikan lang
sung oleh Sokon Matsumura, b. Naha-Te, yaitu Tote yang berkembang dikota Naha dan pada umumnya teknik pert
rungan dan jenis kata yang dikembangkan disini termasuk kelompok Shorei. Saat ini di Okinawa ada dua perguruan besar yang masih mengajarkan ajaran Naha-Te
secara aslinya: c. Tomari-Te, yaitu Tote yang berkembang di kota Tomari dan pada umumnya teknik
pertarungan serta jenis Kata yang dikembangkan disini adalah kombinasi dari kelompok Shorin dan Shorei. Nama-nama tokoh yang bisa dimasukkan dalam aliran
ini adalah Gusukuma, Kosaku Matsumura, Kokan Oyadomari, Sanda Kanaghushiku, dan Gichin Funakoshi meskipun tidak mengadopsi 100 persen sesuai aslinya,
namun tetap dihitung sebagai salah satu penerusnya Dewasa ini Tomari-Te dinggap secara lebih umum sebagai salah satu cabang dari Shuri-Te.
Di perempat terakhir abad ke-19 muncullah nama-nama yang kelak di kemudian hari dianggap sebagai para perintis yang merenovasi Tote untuk dapat diagi menjadi apa yang
kita kenal sebagai karate. Mereka itu diantaranya adalah Ankichi Arakaki, Chojun Miyagi, Kanbun Uechi, Shosin Nagamine, Gichin Funakoshi,dan lain-lain.
2.2. Aliran-Aliran Karate di Jepang