Desain dan Uji Kinerja Emitter Irigasi Cincin

(1)

RESKIANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Thesis berjudul Desain dan Uji Kinerja

Emitter Irigasi Cincin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Reskiana


(4)

(5)

BUDI INDRA SETIAWAN dan SATYANTO K.SAPTOMO.

Keterbatasan air menyebabkan pemanfaatan lahan kering belum maksimal dalam mendukung produksi pertanian di Indonesia. Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas produktivitas lahan, salah satu yang bisa diupayakan adalah menjaga ketersediaan air untuk tanaman pada setiap musim tanam. Hal ini membutuhkan upaya untuk menggunakan air seefisien mungkin.

Salah satu cara pemberian air secara efisien adalah dengan sistem irigasi mikro (irigasi tetes, sprinkler, dan irigasi kendi). Sistem irigasi ini mampu menyediakan air sesuai dengan kebutuhan air tanaman dan zona perakaran, namun jenis irigasi tersebut masih memiliki beberapa kekurangan, oleh karenanya dalam penelitian ini mencoba untuk mendesain emitter yang berbentuk cincin dengan mengkombinasikan prinsip kerja dari irigasi tetes dan irigasi kendi.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain emitter pada irigasi cincin guna meningkatkan pemanfaatan air di lahan kering. Kinerja dari desain emitter

dalam penelitian ini merupakan kemampuan emitter dalam memberikan air yang sesuai dengan jenis tanah dan kebutuhan tanaman yang dinyatakan dengan konduktivitas emitter. Desain emitter meliputi dimensi cincin (ketebalan, diameter dalam, diameter luar) dan jenis bahan porus yang digunakan. Parameter pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, panjang akar dan berat buah juga dilakukan untuk mengetahui respon tanaman terhadap air yang diberikan melalui irigasi cincin serta produktivitas air yang dihasilkan oleh irigasi cincin.

Analisis konduktivitas tanah dan konduktivitas bahan porus emitter dengan menggunakan metode tinggi muka air menurun (falling head). Desain emitter dan pemilihan bahan porus disesuaikan dengan konduktivitas tanah dan jenis tanaman (kedalaman daerah perakaran tanaman). Pengujian lapangan dilakukan di rumah tanaman (greenhouse) pada tanaman melon (Cucubis melo L.) selama 3 bulan dari Maret s.d Mei 2014 dimana kondisi lingkungan (Suhu, kelembaban, radiasi matahari) dalam greenhouse diukur secara otomatis dengan menggunakan sensor suhu, kelembaban dan radiasi matahari dan datanya tersimpan dalam data logger

Decagon EM50. Emitter yang diuji ke tanaman adalah emitter yang dilapisi oleh bahan porus Legacy, Colosal, Parasut, Kyramat dan Veronica.

Emitter cincin didesain dengan diameter emitter 20 cm, jarak diameter inlet dan outlet air 0.5 cm, serta diameter dalam container 1.4 cm. Emitter didesain menyerupai cincin yang dilapisi oleh bahan porus dari tekstil dengan nilai konduktivitas bahan antara 0.06 cm/jam – 8.16 cm/jam. Nilai konduktivitas tersebut menghasilkan debit aliran antara 0.04 liter/jam – 1.60 liter/jam. Laju rembesan emitter mampu menyediakan air selama masa pertumbuhan melon yang menghasilkan berat buah berkisar 622 gram – 1196.7 gram dengan produktivitas air tanaman sebesar 0.31 – 3.14 Kg/m3. Pertumbuhan tanaman yang optimal dicapai pada tanaman yang diairi dengan irigasi cincin yang berbahan Legacy dan Colosal.


(6)

SUMMARY

RESKIANA. Design and Performance Analysis of Ring-Shaped Emitter Irrgation. Supervised by BUDI INDRA SETIAWAN and SATYANTO K.SAPTOMO.

Water scarcity causes the utilization of dryland is not maximal in supporting agricultural production in Indonesia. To improve and maintain the stability of land productivity, one that can be pursued is to maintain the availability of crop water requirements in each growing season. It requires effort to use water as efficiently as possible.

One methode can be used is micro irrigation systems (drip irrigation, sprinkler, and pitcher irrigation). The system is capable of providing irrigation water according to the water requirements of plants and the root zone, but the type of irrigation is still has some shortcomings, therefore in this study tries to design a ring-shaped emitter by combining the working principle of drip and pitcher irrigation. Pitcher systems have been utilizing porous media to control soil moisture and drip systems deliver water at a point on the surface and the root zone.

This research aimed to provide an irrigation ring typed emitter that can be placed under the soil surface. In this research, porous materials made of textiles were tested for its permeability that matches the permeability of the soil. Performance of the design of emitters in this study is the ability to provide water in accordance with the type of soil and crop water requirements. The Parameters of study are ring dimensions (thickness, inner diameter, outer diameter) and hydrolic conductivity of some porous materials. Plant growth parameters including plant height, leaf number, leaf width, root length and weight of fruit was also conducted to determine the response of plants to water supplied through ring-shaped irrigation as well as crop water productivity .

Analysis of soil conductivity and conductivity of porous materials used

“falling head” methode. Emitter design and selection of materials matches to the conductivity of the porous soil and crop types (the depth of the root zone of the plant). Ring-shaped irrgation applied in greenhouse with melon plants (Cucubis melo L.) for 3 months from March to May 2014 in which the environmental conditions (temperature, humidity, solar radiation) in the greenhouse was measured automatically using temperature sensors, humidity and solar radiation. The data stored in the data logger decagon EM50. Emitters are tested to plant coated by porous materials Legacy, colosal, Parachute, Kyramat and Veronica.

Ring emitters is designed with a diameter of 20 cm, the distance the water inlet and outlet diameter of 0.5 cm, and 1.4 cm in diameter in the container. Emitters designed to resemble a ring coated with porous material of textile materials with range conductivity between 0:06 cm / hour - 8:16 cm / h. The conductivity values produce flow rates between 0:04 liter / h - 1.60 liters / hour. The rate of seepage emitters are able to provide water during the growing period melon produces fruit weight ranges from 622 grams - 1196.7 grams of crop water productivity at 0:31 to 3:14 kg / m 3. Optimal plant growth achieved in plants irrigated with irrigation ring that made Legacy and colosal.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

(9)

RESKIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(10)

(11)

Judul Tesis : Desain dan Uji Kinerja Emitter Irigasi Cincin

Nama : Reskiana

NIM : F451120011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Budi Indra Setiawan, MAgr Ketua

Dr Satyanto K.Saptomo, STP MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknik Sipil dan ingkungan

Dr Satyanto K.Saptomo, STP, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 13 Agustus 2014


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Desain dan Uji kinerja

Emitter Irigasi Cincin berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M. Agr. dan Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si selaku pembimbing, serta kepada seluruh Dosen dan Staf Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Pascasarjana Teknik Sipil dan Lingkungan Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Bahan 11

Alat 11

Metode Penelitian 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

5 SIMPULAN DAN SARAN 36

Simpulan 36

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 39


(14)

DAFTAR TABEL

1. Matriks Perbandingan Jenis Irigasi 5

2. Management Allowed Deficit (MAD) 7

3. Jumlah air tanah tersedia 8

4. Kedalaman daerah perakaran efektif untuk berbagai tanaman 9 5. Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Melon pada berbagai tahap

pertumbuhan. 10

6. Nilai Konduktivitas Hidrolika Tanah Jenuh diukur dengan metode

tinggi permukaan air menurun (falling head). 17

7. Nilai Konduktivitas (K) Bahan Emitter dengan metode falling head 18

8. Debit Emitter 20

9. Sifat Fisika Media Tanam 22

10. Evapotranspirasi tanaman (Etc) melon pada tiap pertumbuhan 24 11. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Legacy. 27 12. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Colosal. 28 13. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Parasut. 28 14. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Kyramat. 29 15. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin berbahan Veronica. 29

16. Neraca Air dan Pemberian Air pada Tanaman Melon 31

17. Biaya Pemakaian Air terhadap Produksi Tanaman Melon yang

dihasilkan 36

DAFTAR GAMBAR

1. Rancangan dasar emitterring/ cincin 6

2. Bagan Alir Penelitian 12

3. Skema Pengukuran Konduktivitas Bahan Emitter 13

4. Skema Pengujian Emitter Tanpa Tanaman 14

5. Emitter Cincin 19

6. (a) Laju dan akumulasi rembesan emitter bahan Legacy dan (b)

Colosal 20

7. Kurva pF Media Tanam 23

8. Kadar air media tanam pada tahap pertumbuhan tanaman melon. 25 9. Debit Rata-rata maximum pada masing-masing jenis emitter 26 10. Parameter Pertumbuhan Tanaman Rata-rata pada ke lima Jenis Bahan

Emitter 32

11. Berat buah melon pada setiap emitter 33

12. Panjang akar tanaman pada setiap emitter 34


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Uji Emitter tanpa Tanaman 39

2. Tabel Faktor Pemberat (w) berdasarkan ketinggian di atas permukaan

laut dan suhu rata-rata 40

3. Data Evapotranspirasi Acuan (ETo) Tanaman Melon dengan Metode

Radiasi 41

4. Kadar Air Media Tanam pada Setiap Tahap Pertumbuhan Tanaman

Melon. 44

5. Debit Emitter pada Pengujian dengan Tanaman Melon 45

6. Data Pertumbuhan Tanaman 46

7. Data Berat Buah dan Produktivitas air 49

8. Panjang Akar 50


(16)

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan. Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70.20 juta ha, sekitar 61.53 juta ha diantaranya berupa lahan kering. Potensi lahan kering belum sepenuhnya dioptimalkan pengelolaannya karena beberapa faktor seperti keterbatasan air.

Permasalahan ketersediaan air ini tentunya semakin berdampak terhadap produktivitas lahan kering yang tidak memiliki infrastruktur irigasi dan mengandalkan air hujan. Untuk meningkatkan dan menjaga stabilitas produktivitas lahan, salah satu yang bisa diupayakan adalah menjaga ketersediaan air untuk tanaman pada setiap musim tanam. Hal ini membutuhkan upaya untuk menggunakan air seefisien mungkin.

Salah satu cara pemberian air secara efisien adalah dengan sistem irigasi tetes dimana pemberian air pada tanaman secara langsung baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah secara sinambung dengan debit yang kecil (Prastowo, 2010). Sistem irigasi yang hemat air lainnya adalah irigasi kendi (pitcher irrigation) yang telah dikembangkan sebagai upaya meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi untuk tanaman hortikultura di Indonesia (Setiawan, 1998). Sistem pemberian air secara efisien masih terus dikembangkan baik dari segi teknologi maupun sistem manajemen penggunaan air.

Selain penggunaan air yang efisien, juga mempertimbangkan teknologi yang dihasilkan bisa diaplikasikan dan dikembangkan atau ditiru oleh petani baik skala kecil maupun skala besar yang tentunya bahan dan komponen yang digunakan bisa diperoleh di daerah setempat. Oleh karena itu dibutuhkan teknologi sistem irigasi sederhana dan dapat dirakit oleh petani sendiri.

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini mencoba untuk menghasilkan emiter yang berbentuk cincin (irigasi cincin) dimana air dirembeskan oleh bahan porus (kain) secara sircle-shape yang ditempatkan di bawah permukaan tanah (sub-surface irrigation) di daerah perakaran tanaman. Rancangan emiter ini menggunakan komponen lokal dan relatif murah sehingga diharapkan petani dengan mudah membuat sendiri dan emiter ini juga mampu menjaga kelengasan tanah pada rentan air tersedia bagi akar tanaman dengan meminimalisasi laju evaporasi, aliran permukaan dan perkolasi. Sehingga diharapkan diperoleh peningkatan bobot produk persatuan unit volume air yang dipergunakan, atau yang dikenal sebagai produktivitas air (water productivity) secara fisik (Molden, 2007).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh desain emitter pada irigasi cincin guna meningkatkan pemanfaatan air di lahan kering. Kinerja dari desain


(18)

1. Kemampuan emitter dalam memberikan air yang sesuai dengan jenis tanah dan kebutuhan tanaman yang dinyatakan dengan konduktivitas emitter. 2. Desain emitter meliputi dimensi cincin (ketebalan, diameter dalam,

diameter luar) dan jenis bahan yang digunakan.

3. Respon hasil produksi tanaman melon terhadap pemberian air dengan irigasi cincin

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan desain emitter cincin pada sistem irigasi dan bisa menjadi salah satu alternatif pengembangan sistem irigasi di lahan kering.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan terbatas pada desain emitter irigasi yang berbentuk cincin dengan melakukan studi konduktivitas berbagai bahan yang disesuaikan dengan konduktivitas tanah. Kinerja dari desain emitter yang dihasilkan meliputi efektivitas emitter cincin dengan indicator ; laju pemberian air irigasi yang dialirkan oleh emitter (liter/jam) sesuai dengan kebutuhan air tanaman, luas dan kedalaman tanah yang terbasahi. Pada penelitian ini juga dibatasi pada pengujian emitter pada tanaman melon dengan melihat pertumbuhan tanaman yang mencakup tinggi tanaman, lebar daun, jumlah daun dan berat buah, serta produktivitas air tanaman.

2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Irigasi Mikro

Sistem irigasi mikro merupakan metode pemberian air irigasi dengan debit yang kecil di sekitar perakaran tanaman dengan memanfaatkan beda tekanan antara saluran utama dengan emitter. Beberapa jenis irigasi mikro yaitu Irigasi tetes, irigasi sprinkler (irigasi curah), dan irigasi kendi.

1. Irigasi Tetes

Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di sekitar tanaman. Setelah keluar dari penetes (emitter), air menyebar ke dalam profil tanah secara horizontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Luas daerah yang terbasahi tergantung pada besarnya debit keluaran, jenis tanah (struktur dan tekstur), kelembaban tanah dan permeabilitas tanah (Prastowo, 2010).

Beberapa kelebihan sistem irigasi tetes antara lain :

a. Efisiensi dalam pemakaian air irigasi relatif tinggi dibandingkan dengan irigasi lain karena kecepatan pemberian air lebih lambat dan


(19)

hanya pada daerah perakaran, sehingga mengurangi penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah, dan aliran permukaan. b. Pada beberapa jenis tanaman tertentu, kondisi tanaman yang tidak

terbasahi akan mencegah penyakit leaf burn (daun terbakar). Selain itu kegiatan budidaya secara manual maupun mekanis dapat terus berjalan walaupun kegiatan irigasi sedang berlangsung.

c. Dapat menekan aktifitas organisme pengganggu tanaman karena daerah yang terbasahi hanya disekitar daerah perakaran.

d. Dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida, karena pemberiannya dapat diberikan secara bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan didaerah perakaran.

e. Sistem irigasi tetes dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pemberian air irigasi mapupun pemupukan karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis.

f. Pemberian air yang sinambung dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan unsur-unsur beracun lainnya di daerah perakaran tanaman. g. Mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi topografi dan sifat

media tumbuh tanaman.

h. Dengan dukungan tenaga kerja berkemampuan tinggi, sistem ini mempunyai akurasi yang tinggi dalam menentukan waktu dan jumlah air irigasi yang harus diberikan pada tanaman.

Kelemahan atau kekurangan dari sistem irigasi tetes antara lain : a. Memerlukan perawatan yang intensif

Penyumbatan pada penetes merupakan masalah yang paling sering terjadi pada irigasi tetes, karena akan mempengaruhi debit dan keseragaman pemberian air. Untuk itu diperlukan perawatan yang intensif terhadap jaringan irigasi tetes agar resiko penyumbatan dapat diperkecil.

b. Penumpukan garam

Bila air yang digunakan mengandung garam yang tinggi dan pada daerah yang kering, resiko penumpukan garam menjadi tinggi. c. Membatasi pertumbuhan tanaman

Pemberian air yang terbatas pada irigasi tetes menimbulkan resiko kekurangan air bila perhitungan kebutuhan air kurang cermat. d. Keterbatasan biaya dan teknik

Sistem irigasi tetes memerlukan investasi yang tinggi dalam pembangunannya. Selain itu diperlukan teknik yang tinggi untuk merancang dan mengoperasikannya. (Prastowo, 2010).

2. Irigasi Sprikler (Irigasi Curah)

Irigasi Sprinkler (Sprinkler or spray Irrigation) adalah suatu metode pemberian air ke seluruh lahan yang akan diirigasi dengan menggunakan pipa yang bertekanan melalui nozzle. Sistem sprinkler dapat diklasifikasikan menjadi sistem permanen ( Fixed/solid set), portable dan semi portable (hand move atau

mechanical move), traveling irrigator (gun atau boom), center pivot atau linear move

Pada metoda irigasi curah, air irigasi diberikan dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. Penyemprotan


(20)

dibuat dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil atau nozzle. Tekanan biasanya didapatkan dengan pemompaan. Untuk mendapatkan penyebaran air yang seragam diperlukan pemilihan ukuran nozzle, tekanan operasional, spasing sprinkler dan laju infiltrasi tanah yang sesuai (Kusnadi et al., 2006).

Beberapa keuntungan irigasi curah antara lain: a) Efisiensi pemakaian air cukup tinggi.

b) Dapat digunakan untuk lahan dengan topografi bergelombang dan kedalaman tanah (solum) yang dangkal, tanpa diperlukan perataan lahan (land grading).

c) Cocok untuk tanah berpasir di mana laju infiltrasi biasanya cukup tinggi. d) Aliran permukaan dapat dihindari sehingga memperkecil kemungkinan

terjadinya erosi.

e) Pemupukan terlarut, herbisida dan fungisida dapat dilakukan bersama-sama dengan air irigasi.

f) Biaya tenaga kerja untuk operasi biasanya lebih kecil dari pada irigasi permukaan

g) Dengan tidak diperlukannya saluran terbuka, maka tidak banyak lahan yang tidak dapat ditanami

h) Tidak mengganggu operasi alat dan mesin pertanian.

Berbagai faktor pembatas penggunaan irigasi curah adalah: a. Kecepatan dan arah angin berpengaruh terhadap pola penyebaran air. b. Air irigasi harus cukup bersih bebas dari pasir dan kotoran lainnya. c. Investasi awal cukup tinggi.

d. Diperlukan tenaga penggerak dimana tekanan air berkisar antara 0,5 - 10 kg/cm2 (Kusnadi et al., 2006).

3. Irigasi Kendi

Irigasi kendi merupakan metode irigasi dengan menggunakan media kendi yang bersifat porus sebagai penampung air sementara di bawah permukaan tanah dan sekaligus merembeskan air ke sekitar perakaran tanaman. Air merembes sedikit demi sedikit melalui pori-pori dinding media porus ke zona perakaran karena adanya tekanan hydrostatis dan atau hisapan matriks tanah serta konduktivitas hidrolik jenuh kendi (Kkendi). Perbedaan tekanan hidrostatiknya merupakan beda tinggi relatif air dalam kendi terhadap muka air di luar kendi (Setiawan, 1998).

Menurut Batchelor et al (1996) kelebihan dari sistem irigasi bawah permukaan dengan menggunakan bahan gerabah (kendi) sebagai penetes adalah : (1) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, (2) bahan gerabah dapat dibuat oleh industri lokal, (3) menghemat sedikit tenaga kerja, (4) memberikan keseragaman pembasahan tanah pada perakaran tanaman, (5) biaya murah, sederhana dan mudah dipelajari, (6) satu kali instalasi dapat digunakan untuk beberapa musim tanam. Sedangkan kekurangannya adalah diperlukan keahlian khusus dalam instalasi awal dan proses pembuatan, kerusakan kendi tidak langsung tampak akan merugikan, industri gerabah tidak tersedia di beberapa daerah, hanya cocok untuk small scale agriculture.


(21)

Tabel 1. Matriks Perbandingan Jenis Irigasi

Keterangan Jenis Irigasi

Irigasi Curah Irigasi Tetes Irigasi Kendi Aspek Teknis - Sesuai untuk daerah

dengan keadaan topografi yang kurang teratur dan profil tanah yang dangkal. - Pemberian air melalui

penyemprotan dengan tekanan tinggi. - Keragaman distribusi

air dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin - Efisiensi irigasi lebih kecil dibandingkan irigasi tetes dan irigasi kendi - Radius pembasahan

tanah lebih besar memungkinkan laju evaporasi lebih besar - Tidak membatasi

pertumbuhan tanaman

- Sesuai untuk lahan berlereng.

- Pemberian air langsung di sekitar tanaman melalui tetesan oleh emitter - Efisiensi pemakaian

air relatif tinggi - Mengurangi penetrasi

air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah dan aliran permukaan - Meningkatkan

efektifitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida - Pada daerah yang

tidak terbasahi berpotensi terjadi penumpukan garam - Terjadi penyumbatan

emitter oleh faktor fisik, kimia dan biologi. - Membatasi

pertumbuhan tanaman

- Pemberian air melaui bawah permukaan melalui rembesan dari dinding kendi ke zona perakaran tanaman. - Mengurangi terjadinya

evaporasi, perkolasi dan aliran permukaan - Diperlukan

pengntrolan untuk pengisian air dalam kendi untuk menjaga air tidak tumpah - Usia pakai kendi relatif

lama 3 – 6 tahun. - Pemberian pupuk bisa

dilakukan bersamaan dengan air irigasi. - Penyebaran air dalam

tanah lebih seragam. - Tidak membatasi

pertumbuhan tanaman.

Konsumsi Energi

- Memerlukan

konsumsi energi yang lebih besar untuk menggerakkan pompa.

- Energi yang dibutuhkan relatif sedikit. Bisa menggunakan gaya gravitasi untuk mengalirkan air.

- Energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Bisa

menggunakan tenaga manusia untuk melakukan pengisian air dalam kendi. Pengoperasian

dan manajemen pengelolaan

- Diperlukan rancangan tata letak yang cukup teliti untuk

memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi.

- Memerlukan perawatan yang intensive khususnya emitter.

- Dibutuhkan teknik yang tinggi dalam desain, instalasi dan pengoperasian sistem.

- Penyediaan bahan baku kendi relatif susah. - Pengoperasian lebih

mudah.

- Mulut kendi perlu ditutup untuk

mengindari penguapan dan pertumbuhan jamur

Biaya Memerlukan biaya investasi dan biaya operasional yang cukup tinggi khususnya operasi pompa dan tenaga kerja terampil

Biaya investasi dan operasional yang tinggi.

Biaya investasi dan perawatan relatif murah dibandingkan irigasi curah dan tetes.

B. Sistem Irigasi Cincin

Pemberian air dengan sistem irigasi cincin merupakan penggabungan dua prinsip kerja dari irigasi tetes dan irigasi kendi dimana sistem tetes mampu menyediakan air sesuai kebutuhan tanaman di daerah perakaran sehingga mengurangi kehilangan air irigasi berupa perkolasi dan limpasan (run-off) dan


(22)

sistem irigasi kendi memanfaatkan media porus untuk mengendalikan kelembaban tanah.

Sistem irigasi cincin mengalirkan air pada tanaman dengan debit yang kecil di daerah perakaran tanaman dan menjaga kelembaban tanah dengan media yang berbentuk cincin sebagai emitter. Dimensi dan luasan cincin tergantung pada luas daerah perakaran tanaman. Jenis material cincin yang digunakan memberikan peranan penting dalam mengendalikan laju air irigasi ke dalam tanah, terutama pada karakteristik konduktivitas hidrolikanya. Material yang digunakan adalah bahan yang porus, dapat berupa bahan keramik seperti irigasi kendi (Setiawan 2002) ataupun dari bahan tekstil yang dirancang khusus dengan tingkat permeabilitas tertentu agar mampu mempertahankan tetesan air yang menyebar di seluruh permukaan cincin dan mempertahankan kelembaban tanah.

Gambar 1. Rancangan dasar emitterring/ cincin C. Emitter

Emitter merupakan alat pengeluaran air yang disebut pemancar. Emitter

mengeluarkan dengan cara meneteskan air langsung ke tanah ke dekat tanaman.

Emitter mengeluarkan air hanya beberapa liter per jam. Dari emitter air keluar menyebar secara menyamping dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Daerah yang dibasahi emitter tergantung pada jenis tanah, kelembaban tanah, permeabilitas tanah. Emitter harus menghasilkan aliran yang relatif kecil dan menghasilkan debit yang mendekati konstan. Penampang aliran perlu relatif kecil dan menghasilkan debit yang mendekati konstan. Penampang aliran perlu relatif lebar untuk mengurangi tersumbatnya emitter

Emitter atau penetes merupakan komponen yang menyalurkan air dari pipa lateral ke tanah sekitar tanaman secara sinambung dengan debit yang rendah dan tekanan mendekati tekanan atmosfer. Alat aplikasi ini bisa dibuat dari berbagai bahan seperti PVC, PE, keramik, kuningan dan sebagainya. Alat aplikasiyang baik harus mempunyai karakteristik debit yang rendah dan konstan, toleransi yang tinggi terhadap tekanan operasi, tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu, dan umur pemakaian cukup lama (Prastowo, 2010).

Inlet water

outlet water

Porous material


(23)

D. Kebutuhan Air Tanaman

Jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh optimal ditentukan oleh faktor iklim, jenis tanaman dan fase pertumbuhan. Kondisi areal penanaman seperti sifat dan jenis tanah, keadaan topografi dan luas areal penanaman juga mempengaruhi besar kebutuhan air tanaman (Doorenbos & Kassam, 1979).

Kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan tanaman untuk dapat tumbuh normal (consumptive use) atau evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi tanaman (ETc) diduga dengan menggunakan evapotranspirasi acuan (ETo) yang diperoleh dari data iklim setempat. Besarnya evapotranspirasi tanaman ditentukan dengan persamaan :

ETcrop = Kc x ETo………. (1)

dimana kc adalah koefisien tanaman dan ETo adalah evapotranspirasi acuan. Koefisien tanaman dapat dibedakan dalam 4 tingkatan:

I. Tingkatan awal (initial stage) dari tanggal tanam sampai permukaan tanah ditutupi tanaman (Sc) sekitar 10 %

II.Tingkatan pertumbuhan tanaman (crop development stage) yaitu dari Sc = 10 % sampai Sc = 70 – 80 %

III.Tingkatan pertengahan (mid-season stage) yaitu dari Sc = 70 – 80 % sampai tanaman dewasa

IV.Tingkatan akhir (late season stage) yaitu dari tanaman dewasa sampai berbuah atau panen.

Banyaknya air irigasi yang diberikan ditentukan berdasarkan kapasitas memegang air dari tanah yang menunjukkan jumlah air tanah tersedia serta penyerapan air oleh tanaman. Jumlah air tanah tersedia, yang merupakan selisih antara kapasitas lapang dengan titik layu permanent, untuk beberapa jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 3. Akan tetapi, air irigasi harus segera diberikan sebelum kadar air tanah mencapai titik layu permanent, yang disebut dengan deficit air dibolehkan (MAD, Management Allowed Deficit) seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Management Allowed Deficit (MAD)

MAD (%) Tanaman dan kedalaman akar

25 - 40 Perakaran dangkal, tanaman sayuran dan buah-buahan bernilai tinggi.

40 - 50 Buah-buahan1), perdu, berri dan tanaman dalam baris dengan perakaran sedang.

50 Tanaman pakan, tanaman biji-bijian dan tanaman baris dengan perakaran dalam.

sumber : Doorenbos,J.; A.H. Kassam, 1979. Yield Response to Water. FAO, Rome 1)

beberapa tanaman buah-buahan mempunyai MAD yang lebih rendah pada masa akhir pembuahan


(24)

Tabel 3. Jumlah air tanah tersedia

No. Tekstur Tanah

Kapasitas Menahan air selang

(mm/m)

Rata-rata (mm/m) 1 Tekstur sangat kasar - pasir sangat kasar 33 - 62 42 2 tekstur kasar - pasir kasar, pasir halus, dan pasir berlempung 62 - 104 83 3 tekstur agak kasar - lempung berpasir 104 - 145 125 4

tekstur sedang - lempung berpasir sangat halus, lempung dan

lempung berdebu 125 - 192 167

5

tekstur agak halus - lempung berliat, lempung liat berdebu,

dan lempung liat berpasir 145 - 208 183

6 tekstur halus - liat berpasir, liat berdebu dan liat 133 - 208 192

7 gambut 167 - 250 208

Sumber : Doorenbos,J.; A.H. Kassam, 1979. Yield Response to Water. FAO, Rome E. Sifat Hidrolika Tanah

a. Kadar Air Tanah

Jumlah air yang tersimpan dalam pori-pori tanah sering disebut dengan kadar air tanah (soil moisture content). Dikenal dua istilah kadar air tanah, yaitu 1) kadar air volumetri (volumetric water content) dengan simbol θ dan 2) kadar air tanah gravimetri (gravimetric water content). Dalam pertanian khususnya, kadar air volumetri lebih tepat digunakan karena menggambarkan volume air yang tersimpan dalam pori-pori tanah (Setiawan et al., 2009).

b. Retensi Air Tanah

Retensi air (water retension) tanah merupakan salah satu sifat hidrolika tanah yang menggambarkan kemampuan tanah menyimpan air dalam pori-porinya. Tanah dikatakan jenuh air (saturated) bila semua pori-porinya terisi air. Demikian sebaliknya, tanah tersebut menjadi tidak jenuh (unsaturated) bila terdapat sejumlah udara dalam pori-pori tersebut. Semakin sedikit jumlah air dalam pori-pori tanah semakin sulit air tersebut dapat diserap akar tanaman. Tanaman akan memperoleh air bila kemampuan menyerap air tersebut lebih besar dibandingkan hisapan air oleh permukaan partikel tanah. Kemampuan tanaman menyerap air dalam kisaran pF = 2.54 (tanah pada saat kapasitas lapang) sampai pF= 4.2 (kondisi titik layu permanen) (Setiawan et al., 2009).

Retensi air tanah sangat dipengaruhi oleh struktur (soil structure) dan tekstur tanah (soil texture). Salah satu model empiris yang sering digunakan untuk menyajikan retensi air tanah adalah model Genutchen (1980) dan dimodifikasi oleh Setiawan (1990) :

m n r s r h h                      1 ) ( ……….(2) Dimana :


(25)

Θr = residual volumetric water content (cm3/cm3) Θs = saturated volumetric water content (cm3/cm3) H = soil potential (cm)

α = air entry potensial (cm) n,m = konstanta

F. Konduktivitas Hidrolik Tanah

Konduktivitas hidrolika tanah merupakan sifat yang menyatakan kemampuan tanah untuk melewatkan air atau sering disebut sebagai permeabilitas tanah dinyatakan dalam satuan jarak per satuan waktu, misalnya cm/jam atau cm/menit. Menurut Koorevar et al (1983) konduktivitas hidrolika tanah adalah koefisien transport air yang sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah dan potencial metric, ukuran dan agihan pori tanah.

Hubungan antara konduktivitas hidrolik tanah tidak jenuh dengan data retensi air tanah diperoleh dengan menggunakan model Mualem (van Genutchen, 1980; Setiawan et al., 2009) yaitu :

1

2

1 / 1 1 1 )

( Ks Se m m

K      ……… (3)

r s r       

 ………..(4)

Dimana Ks adalah konduktivitas hidrolik jenuh, Θ adalah derajat kejenuhan efektif, λ adalah parameter empiric tak berdimensi yang secara rata-rata bernilai 0.5 dan m1 = 1-1/n.

Setiawan dan Nakano (1993) juga telah mengembangkan persamaan yang menyatakan hubungan antara konduktivitas hidrolik tidak jenuh dan kadar air tanah sebagai berikut :

 

1

1 s b

a Exp Ks

K      ………...(5).

Dimana θ adalah kadar air tanah (cm3

/cm3), a1 dan b1 adalah parameter-parameter empirik.

G. Daerah Perakaran Efektif

Daerah perakaran efektif adalah kedalaman akar dimana akar tanaman cukup dewasa mampu mengisap lengas tanah. Perkembangan akar tanaman bervariasi tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah. Tabel 4. di bawah ini menggambarkan rerata kedalaman perakaran efektif tanaman yang tumbuh di lahan subur, berdrainase baik, dan tidak ada hambatan lapisan kedap.

Tabel 4. Kedalaman daerah perakaran efektif untuk berbagai tanaman

Karakteristik Perakaran

Dangkal

(60 cm) Padi, kentang, kol bunga, kubis, lettuce, bawang, brokoli Sedang

(90 cm)

Gandum, tembakau, jarak, kacang tanah, melon, wortel, kacang-kacangan, cabe, rumput pakan tenak, ubi manis, strawberi.

Dalam

(120 cm) jagung, kapas, cantel, pearl miller, kedelai, gula bit, tomat Sangat dalam

(180 cm)

tebu, kopi, jeruk, apel, anggur, saffflower, lucerne, kapas, semangka, alfalfa, asparagus


(26)

H. Tanaman Melon (Cucumis melo L.)

Melon merupakan tanaman semusim, sekulen, menjalar dan termasuk menyemak dengan kedalaman akar 45- 90 cm. melon tumbuh dengan baik pada kondisi panas, iklim kering dan dapat tumbuh di daerah arid dan semi arid dengan irigasi. Tanaman melon tumbuh pada ketinggian 0-700 dpl.

Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapatkan sinar matahari penuh sekitar 10 -12 jam/hari, suhu udara hangat dan kelembaban udaranya relatif rendah. Selama proses perkecambahan tanaman melon membutuhkan suhu udara ideal berkisar antara 28oC – 30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal antara 25oC – 30oC, bahkan tanaman melon masih tumbuh dengan baik bila udaranya kering pada kelembaban ± 60 % dan suhu udaranya antara 35oC – 37oC. Tanaman melon masih toleran pada daerah yang mempunyai kelembaban udara antara 70 % - 80 %, tetapi bila suhu udara urang dari 18oC pertumbuhannya tidak dapat berkembang baik. Pada sistem pemeliharaan yang intensif, produksi melon yang dapat dicapai berkisar antara 25 – 30 ton/Ha (sistem tanaman lanjaran) atau 15 – 20 ton/Ha untuk sistem tanam dijalarkan dipermukaan tanah (Rukmana, 1994).

Jenis tanah yang cocok ditanami melon adalah tanah geluh berpasir yang lapisan olahnya dalam dengan pH 6.0 – 6.8, meskipun masih toleran pada pH antara 5.8 – 7.2. Tanaman melon pada umumnya sensitif sedang terhadap salinitas. Panjang total pertumbuhan tanaman berkisar antara 80 – 110 hari tergantung pada varietas dan iklim.

Doorenbos dan Kassam (1979) selanjutnya menyatakan bahwa kebutuhan air bervariasi tergantung pada tipe tanah dan praktek irigasi. Tanaman masih dapat menerima kondisi penurunan air tanah tersedia hingga 40 % - 50%. Untuk maksimum produksi yang dihasilkan nilai koefisien tanaman (Kc) melon disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Nilai Koefisien Tanaman (Kc) Melon pada berbagai tahap pertumbuhan.

No Tahap Pertumbuhan Lama (Hari) Nilai Kc*)

1 Tahap Awal (Inisial) 10 – 15 0.65

2 Tahap Pengembangan (Development) 15 – 25 0.81

3 Tahap tengah musim (mid season) 10 – 20 0.97

4 Tahap akhir musim (Late season) 15 – 20 1.16

5 Tahap panen (harvest) Setelah 70 – 105 0.85

*

) angka awal untuk RH>79%, angka akhir untuk RH < 70% Sumber : Raes, (1987)

Melon merupakan buah non-klimaterik (tidak dapat diperam), dipanen apabila tanaman menunjukkan tanda ketuaan (beraroma harum, warna kulit kekuning-kuningan, tangkai buahnya retak dan garis pemisah antara tangkai dan buahnya tampak jelas, pada melon yang berjala (berjaring), struktur jalanya penuh dan sempurna dan pada umumnya setelah berumur 75 – 90 hari setelah tanam. Tempat penyimpanan antara 4oC – 5oC dengan kelembaban 80% - 85%.


(27)

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dibagi dua tahap yaitu tahap pertama studi emitter yang dilakukan pada Juli 2013 – Desember 2013 di Laboratorium Sumber Daya Air Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, IPB dan aplikasi desain emitter pada tanaman melon yang dilakukan di greenhouse milik Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB di Leuwikopo, Bogor pada bulan Februari – Mei 2014.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Tanah, sekam dan kompos untuk media pertumbuhan tanaman dengan perbandingan 2 : 1 : 1

2. Bahan porus emitter dari bahan tekstil atau kain 3. Tanaman Melon (Cucubis melo L.)

4. Material perpipaan (3/4’), selang dan kran air untuk rangkaian jaringan irigasi

5. Material besi untuk dudukan reservoir air

6. Tabung mariot yang berukuran 35 liter sebagai reservoir (5 buah).

7. Bak percobaan yang berisi dengan tanah dengan ukuran bak (diameter 50 cm dan tinggi 40 cm) sebanyak 5 buah untuk percobaan konduktivitas emitter

dan debit emitter.

8. Tabung mariot (5 buah) yang terbuat dari tabung acrylic dengan tinggi 50 cm dan diameter 10 cm untuk pengukuran konduktivitas dan debit emitter. 9. Pot tanaman dengan diameter 40 cm dan tinggi 35 cm (25 Buah).

10.Emitter dengan 5 jenis bahan porus yang berbeda dengan diameter 20 cm a) Bahan Legacy (A = 5 buah)

b) Bahan Colosal (B = 5 buah) c) Bahan Parasut Taslan (C= 5 buah) d) Bahan Kyramat (D = 5 buah) e) Bahan Veronica (E = 5 buah)

Alat Alat-alat yang digunakan yaitu :

1. Mistar ukur untuk mengukur tinggi tanaman, diameter dan kedalaman daerah pembasahan oleh emitter.

2. Meteran digunakan untuk mengukur panjang pipa. 3. Perangkat komputer untuk pengolahan data.

4. Sensor kadar air tanah untuk mengukur kelembaban tanah

5. Sensor suhu dan kelembaban udara untuk mengukur suhu dan kelembaban udara di greenhouse

6. Sensor radiasi matahari untuk mengukur radiasi matahari di greenhouse 7. Stopwatch untuk mengukur waktu penurunan tinggi air dalam tabung mariot


(28)

8. Gelas ukur untuk menampung air pada saat pengujian konduktivitas bahan

emitter.

9. Ring sampel tanah sebagai wadah untuk menyimpan tanah pada pengujian sampel tanah di laboratorium.

Metode Penelitian

Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 2, dimana dibagi 4 tahapan utama yaitu, (1) tahap persiapan meliputi : persiapan bahan, alat dan lahan percobaan, studi konduktivitas tanah dan material emiter, (2) tahap desain, (3) tahap uji coba skala laboratorium dan lapangan, dan (4) tahap analisis.

Gambar 2 Bagan Alir Penelitian

Desain dan Penentuan dimensi cincin (diameter dalam, diameter luar, tebal cincin, inlet dan outlet)

Analisis konduktivitas berbagai material emitter

Merakit emitter cincin ke jaringan irigasi

Uji Laboratorium dengan tanaman dan tanpa tanaman

Analisis Data Analisis konduktivitas tanah

Persiapan Alat, Bahan dan Lahan

selesai Ktanah = Kemitter

ya


(29)

1. Analisis Konduktivitas Hidrolik tanah

Konduktivitas Hidrolik tanah dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Setiawan dan Nakano (1993) yaitu :

 

1

1 s b

a Exp Ks

K      

... (6).

Dimana θ adalah kadar air tanah (cm3

/cm3), a1 dan b1 adalah parameter-parameter empirik.

Konduktivitas hidrolika tanah (Ks) jenuh diukur dengan menggunakan metode falling head dengan persamaan berikut :

2 1 log 3 . 2 h h t A l a Ks     ………..(7) Dimana :

Ks = Konduktivitas hidrolik jenuh (cm/detik) A = Luas Permukaan sampel tanah (cm2) a = Luas permukaan buret (cm2)

l = ketebalan sampel tanah (cm) t = waktu (detik)

h1 = tinggi awal (cm)

h2 = tinggi pada waktu t (cm) 2. Analisis Konduktivitas Material emitter

Metode pengukuran Konduktivitas material emitter cincin merupakan metode pengukuran konduktivitas tanah jenuh di laboratorium yaitu metode tinggi permukaan air menurun.

Gambar 3. Skema Pengukuran Konduktivitas Bahan Emitter

Metode tinggi permukaan air menurun

Peralatan : tabung mariotte, selang plastik, wadah penampung air,

stop watch, mistar, dan gelas ukur. Cara kerja :

1. Material cincin atau bahan kain dimasukkan ke tabung/ring dengan diameter 5 cm

a Bahan emitter Gelas Ukur h1 h2 Wadah penampung A


(30)

2. Tabung atau ring diisi air sampai batas atas penuh, kemudian air yang menetes dari bahan kain atau material porus emitter ditampung ke wadah penampung.

3. Air yang tertampung dialirkan oleh selang kecil ke gelas ukur.

4. Mengukur penurunan muka air pada pipet ukur pada waktu (t), dan pengukuran sedikitnya 5 kali.

5. Menghitung besarnya Konduktivitas bahan emitter (K) cincin dengan persamaan 2 1 log 3 . 2 h h t A l a Kbahan     ... (8) Dimana :

K = Konduktivitas bahan porus (cm/detik) A = Luas permukaan bahan cincin (cm2) a = Luas permukaan buret (cm2)

l = ketebalan bahan kain (cm) t = waktu (detik)

h1 = tinggi awal (cm)

h2 = tinggi pada waktu t (cm)

3. Pemilihan material porus emitter untuk desain emitter tergantung pada konduktivitas material porus dengan syarat konduktivitas tanah = konduktivitas material emitter. Jika syarat tidak terpenuhi maka dilakukan pengujian konduktivitas material hingga mencapai syarat tersebut.

4. Penentuan Dimensi cincin

Penentuan dimensi emitter cincin terkait dengan konduktivitas bidang poros cincin, jenis tanah, radius tanah yang terbasahi dan kedalaman perakaran tanaman. Konduktivitas emitter sama dengan konduktivitas tanah yang merupakan fungsi dari kadar air tanah.

5. Uji coba lapang skala laboratorium dengan tanaman dan tanpa tanaman.

Pengujian Emitter tanpa tanaman dilakukan dengan menghubungkan

emitter cincin dengan tabung mariot berdiameter 10 cm dan tinggi 50 cm.

Emitter cincin ditempatkan pada bak percobaan diameter 50 cm dan tinggi 40 cm yang berisi tanah untuk mengukur konduktivitas emitter dan debit emitter, skema pada Gambar 4 berikut :

Gambar 4. Skema Pengujian Emitter Tanpa Tanaman

Tabung mariotte

Bak berisi tanah Tabung

mariotte Selang transparan

d=0.5 cm Emitter cincin Tabung mariotte Bak berisi tanah Selang transparan d=0.5 cm Emitter cincin Tabung mariot


(31)

Penurunan air pada tabung mariot dicatat pada setiap 60 menit dan dihitung debit emitter dengan persamaan berikut :

t v

Q ... (9) Dimana :

Q = Debit (liter/detik) v = volume (liter) t = waktu (detik)

Uji performansi emitter dengan tanaman dilakukan untuk melihat berapa konsumsi air yang dibutuhkan oleh tanaman dan pengaruh pemberian air melalui emitter cincin terhadap pertumbuhan tanaman sehingga diperoleh produktivitas air. Metode yang dilakukan dalam pengujian emitter terhadap tanaman yaitu :

a. Uji karakteristik sifat fisik media tanam

Media tanam di lokasi peneitian merupakan campuran tanah, sekam dan pupuk kompos dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Campuran tersebut dimasukkan dalam pot tanaman dengan diameter 40 cm dan tinggi 32 cm.

Pengambilan contoh media tanam menggunakan ring sample pada kedalaman 10 -15 cm kemudian dianalisis bulk density, porositas, laju perkolasi, permeabilitas serta kadar air tanah pada pF 1, 2, 2.54 dan 4.2. dengan mengetahui kadar air tanah pada pF tersebut kemudian dibuat kurva retensi air tanah. Selanjutnya ditentukan kadar air yang tersedia yaitu TAW dan RAW sebagai berikut Raes et al. (1987) :

TAW p RAW

S S

TAW fc wp

 

 

……….. (10) Dimana :

TAW = Total air tanah tersedia (mm) RAW = air tanah siap tersedia (mm)

Sfc = kadar air tanah pada kapasitas lapang (mm) Swp = kadar air tnah pada saat titik layu permanen (mm)

P = faktor tanaman atau Management Allowed Deficit /MAD (%) b. Penentuan Kebutuhan air tanaman

Kebutuhan air tanaman melon yang dibudidayakan di dalam greenhouse

tidak memperhitungkan curah hujan Efektif (CHE = 0). Besarnya kebutuhan air sebesar evapotranspirasi tanaman (Doorenbos & Pruitt, 1977), yang dihitung dengan mengalikan koefisien tanaman (Kc) pada Tabel 5 dengan evapotranspirasi Acuan (ETo). Untuk menghitung nilai ETo dengan metode radiasi dibutuhkan data suhu, kelembaban dan radiasi matahari dalam rumah kaca yang diperoleh dari hasil pengukuran sensor suhu-kelembaban dan sensor radiasi yang datanya tersimpan pada data Logger Decagon EM50. Besarnya evapotranspirasi acuan dinyatakan dengan persamaan (Raes, 1989) ;

) (W Rs c

ETo   ………. (11) Dimana ;

ETo = evapotranspirasi acuan ( mm/hari)


(32)

W = konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian Rs = radiasi matahari (mm/hari)

c. Pengukuran kadar air media tanam

Pengukuran kadar air media tanam dilakukan untuk mengetahui kandungan air di dalam media tanam selama penanaman dan untuk mengetahui pola pembasahan dari sistem irigasi cincin yang dioperasikan.

Pengambilan contoh media tanam dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada 2 hari setelah pindah tanama (hspt), 30 hspt, 50 hspt, dan 70 hspt pada kedalaman 15 cm dengan jarak 5 cm dari titik tengah emitter. Perhitungan kadar air media tanam dengan analisa gravimetri yaitu dengan menggunakan persamaan : % 100 ) ( ) (           Mc Mb Mb Ma

W ……….(12)

Dimana :

W = kadar air media tanam (% berat kering) Ma = berat wadah dan contoh media tanam awal (g)

Mb = berat wadah dan contoh media tanam setelah dikeringkan pada suhu 110oC selama 24 jam sampai beratnya konstan (g)

Mc = berat wadah (g) d. Analisa Kinerja Irigasi Cincin

Analisa irigasi cincin dengan mengukur debit keluaran emitter cincin. Pengukuran dilakukan dengan mencatat perubahan tinggi air (∆h) pada tabung mariot/tendon air pada setiap waktu kemudian dihitung debit dengan persamaan Q = V/A.

Pengukuran jarak pembasahan dilakukan dengan cara mengukur jarak tanah yang basah terhadap emitter dengan pita ukur pada waktu (30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam dan 1 hari).

e. Pengamatan Perumbuhan tanaman

Pengamatan pertumbuhan tanaman meliputi pengamatan jumlah daun, tinggi tanaman dan panjang tulang daun pada ruas ke 13 Pengamatan dilakukan selama 10 hari.

f. Efektivitas Penggunaan air dan produksi (produktivitas air)

Dalam kaitan efektivitas penggunaan air irigasi dan produksi tanaman Nadipineni (2001) merumuskan sebagai berikut :

) ( ) ( emiter setiap tanaman produksi 3 m diberikan yang air volume Kg

Ep  ………(13)

6. Analisis Data

a. Analisis konduktivitas hidrolika tanah yang meliputi konduktivitas tanah jenuh dan tanah tidak jenuh dengan persamaan (6 dan 7).

b. Analisis Konduktivitas bahan emitter dengan menggunakan persamaan (8). c. Menghitung debit dan konduktivitas emitter cincin dengan menggunakan

persamaan (8) dan (9).

d. Analisis sifat fisik media tanam meliputi bulk density, porositas, laju perkolasi, permeabilitas serta kadar air tanah pada pF 1, 2, 2.54 dan 4.2. e. Menghitung kebutuhan air tanaman dengan menggunakan persamaan (1).


(33)

f. Analisa kadar air media tanam pada setiap masa pertumbuhan tanaman dengan menggunakan persamaan (12).

g. Analisa kinerja irigasi cincin pada tanaman melon meliputi pengukuran debit emitter, jarak pembasahan emitter pada arah R dan Z, dan pertumbuhan tanaman.

h. Analisa produktivitas air irigasi cincin pada tanaman melon dengan meggunakan persamaan (13).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Konduktivitas Hidrolika Tanah

Konduktivitas hidrolik tanah sangat menentukan pergerakan air dalam tanah. Pada saat jenuh, pergerakan air sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik jenuh, dan pada saat kondisi tidak jenuh sangat ditentukan oleh konduktivitas hidrolik tidak jenuh yang besarnya tergantung pada kadar air tanah atau tegangan air pori negatif (suction, -Uw) dimana nilai K ini sangat penting untuk memperkirakan volume air di dalam zona tidak jenuh (Revil and Cathles, 1999).

Hasil analisis konduktivitas tanah dalam nilai konduktivitas tanah disajikan pada tabel 6 berikut :

Tabel 6. Nilai Konduktivitas Hidrolika Tanah Jenuh diukur dengan metode tinggi permukaan air menurun (falling head).

Sampel Kedalaman Ks (cm/jam)

A.18 5 -10 cm 11.25

A.20 5 -10 cm 8.16

E.29 5 -10 cm 13.48

A.31 15 -20 cm 2.68

A.24 15 -20 cm 2.80

F.21 15 -20 cm 2.80

Max 13.48

Min 2.68

Rata 6.86

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013

Berdasarkan hasil analisis konduktivitas tanah jenuh menunjukkan bahwa korelasi antara kedalaman tanah dan nilai konduktivitas berbanding lurus, semakin dalam tanah semakin kecil nilai konduktivitasnya. Makin besar nilai K tanah, berarti tanah tersebut makin mudah dilewati air. Arah pergerakan air dalam tanah (ke atas, ke bawah, atau ke samping) tergantung pada arah dan besarnya gradient

potensial hidrolik dan derajat penjenuhan tanah. Nilai K tanah jenuh yang diperoleh dari hasil analisis menunjukkan kelas tekstur lempung.

Perbedaan konduktivitas hidrolik tanah baik jenuh maupun tak jenuh tiap lapisan kedalaman tanah dapat sebagai petunjuk cepat atau lambatnya aliran air pada tiap kedalaman, sehingga berpengaruh pada distribusi air tiap lapisan


(34)

kedalaman tanah. Distribusi air tiap kedalaman tanah berpengaruh pada kelarutan hara. Selain itu, pergerakan air yang cepat berpotensi membawa hara baik yang masih berupa pupuk, terlarut, maupun yang terikat oleh koloid tanah; sehingga menentukan kadar hara pada setiap lapisan profil tanah (Bejat et al., 2000).

b. Konduktivitas Bahan Emitter

Analisis Konduktivitas material emitter dilakukan dengan menggunakan metode falling head dan mengukur volume air yang diserap oleh bahan material

emitter pada setiap waktu (detik). Sehingga diperoleh nilai Konduktivitas material

emitter disajikan pada tabel 7 berikut :

Tabel 7. Nilai Konduktivitas (K) Bahan Emitter dengan metode falling head No Jenis Bahan K (cm/jam)

1 Legacy 1.54

2 Colosal 0.76

3 Peredam 28.16

4 Veronica 8.16

5 Kyramat 5.28

6 ADH Super 1.39

7 Diadora 1.11

8 Parasut 0.06

9 RIB Plis 0.93

10 Karpet 8.82

Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2013

Pengujian nilai konduktivitas material emitter yang terdiri dari 10 jenis bahan kain diperoleh nilai konduktivitas material yang paling kecil adalah bahan parasut dengan nilai K = 0.06 cm/jam dan nilai K terbesar pada bahan peredam dengan niai K = 28.16 cm/jam. Selanjutnya pada tahap desain dipilih beberapa jenis bahan dengan konduktivitas yang mendekati konduktivitas tanah yaitu jenis bahan Legacy, Colosal, Parasut, Kyramat dan Veronica.

Nilai konduktivitas bahan emitter sangat penting diketahui untuk mengetahui kemampuan bahan porus tersebut merembeskan air ke tanah dalam pemenuhan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Semakin besar nilai konduktivitas maka semakin cepat merembeskan atau meloloskan air karena memiliki pori atau rongga yang lebih besar.

c. Desain Emitter Cincin

Penetes (emitter) mengeluarkan air hanya beberapa liter/jam. Dari penetes air menyebar secara menyampig dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar pada arah vertikal oleh gaya gravitas. Daerah yang terbasahi oleh

emitter tergantung pada besarnya aliran, jenis tanah, kelembaban tanah, dan permeabilitas tanah vertikal dan horisontal (Hansen et al., 1979)

Emitter cincin memberikan air dengan cara merembeskan air melalui dinding emitter yang dibuat dari bahan porus (kain), yang akan mengalirkan air sesuai dengan kondisi kesetimbangan air di tanah dan di dalam bahan porus. Air yang berada di dalam emitter dirembeskan secara melingkar di sekeliling akar


(35)

tanaman untuk memperoleh hasil pembasahan yang optimal sehingga air dapat menjangkau area perakaran dengan cepat dan seragam.

Emitter cincin dibuat dari silinder yang terbuat dari bahan fleksibel seperti selang plastik yang cukup keras sehingga tidak mudah berubah bentuk atau terlipat. Selang plastik dengan diameter 5/8 inc dan panjang 60 cm di buat melingkar hingga memiliki diameter 20 cm, kemudian diberi lubang inlet air dan

outlet 5 lubang (diameter lubang inlet dan outlet = 5 mm) untuk jalan air disepanjangnya. Material porus (kain) dipasang untuk melapisi tabung tersebut, yang akan mengendalikan aliran air keluar dari container ke dinding emitter dan tanah.

iner ke dalam tanah.

Gambar 5. Emitter Cincin

Gambar 5 (a) Emitter Tampak Atas, (b) Potongan Emitter d. Kinerja Emitter Tanpa Tanaman

Untuk mengetahui kinerja emitter cincin yang didesain dilakukan pengujian

emitter meliputi laju rembesan air atau debit emitter dan daerah terbasahi. Emitter

yang digunakan adalah bahan Legacy (Kbahan = 1.54 cm/jam), bahancolosal (Kbahan = 0.76 cm/jam), bahan parasut (Kbahan = 0.06 cm/jam), bahan kyramat (Kbahan = 5.28 cm/jam) dan bahan veronica (Kbahan = 8.16 cm/jam). Pada masing-masing jenis bahan emitter dibuat 5 sampel emitter sehingga diperoleh 25 buah emitter..

Tabel 8 menunjukkan bahwa emitter dengan bahan Veronica memiliki laju aliran atau debit yang paling besar (0.60 – 0.72 liter/jam) sedangkan bahan parasut


(36)

memiliki debit yang paling kecil (0.02 – 0.05 liter/jam). Besar kecilnya laju aliran

emitter dipengaruhi oleh nilai konduktivitas emitter.

Air yang merembes keluar dari emitter melalui dinding bahan porus dan terdistribusi ke dalam tanah mengisi pori-pori tanah disebabkan beda potensial kelembaban tanah dan konduktivitas hidrolik tanah. Rembesan pada dinding bahan porus emitter cincin merupakan kinerja yang paling penting dari sistem irigasi cincin, karena akan menentukan kebutuhan air tanaman dan efisiensi penggunaan air irigasi. Hasil pengukuran laju rembesan dan kumulatif rembesan oleh emitter disajikan pada Gambar 6 (a), (b), (c), (d) dan (e).

Tabel 8. Debit Emitter

Jenis Bahan Debit (liter/jam)

Legacy

Max 0.48

Min 0.18

Rata-rata 0.33

Colosal

Max 0.42

Min 0.18

Rata-rata 0.30

Parasut

Max 0.05

Min 0.02

Rata-rata 0.04

Kyramat

Max 0.48

Min 0.30

Rata-rata 0.39

Veronica

Max 0.72

Min 0.60

Rata-rata 0.66 Sumber : Data Primer setelah diolah, 2013

Gambar 6. (a) Laju dan akumulasi rembesan emitter bahan Legacy dan (b) Colosal


(37)

Gambar 6 (c) Laju rembesan dan akumulasi rembesan emitter bahan Parasut

Gambar 6 (d) Laju rembesan dan akumulasi rembesan emitter bahan Kyramat, (e) bahan Veronica.

Dari grafik di atas menunjukkan laju rembesan lebih besar di awal irigasi dan kemudian perlahan-lahan menurun sampai pada laju rembesan yang tetap dimana pada saat awal irigasi kondisi tanah disekitar emitter kering menyebabkan laju rembesan dari dinding bidang porus emitter cepat dan kemudian akan menurun jika tanah disekitar emitter telah lembab. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stein (1997) dan Setiawan (1998) tentang kendi sebagai emitter dimana dinding kendi yang porus merupakan sistem yang dapat mengatur secara otomatis lajunya rembesan yang dikenal dengan autoregulative sistem.

Hasil pengukuran rembesan dinding emitter menunjukkan laju rembesan dan akumulasi rembesan dipengaruhi oleh kondisi fisik tanah sekitar emitter cincin. Laju rembesan akan meningkat secara cepat pada awal pemberian air dan kemudian menurun sampai menjadi konstan (Gambar 6). Peningkatan laju rebesan di awal pemberian air karena perbedaan pressure head (h) pada dinding emitter

dengan matric head (Ψ) tanah yang kering. Penurunan laju rembesan terjadi setelah tanah lembab dan menjadi konstan setelah terjadi kesetimbangan antara h pada dinding emitter cincin dan Ψ pada tanah sekitarnya. Laju rembesan yang konstan ini menurut Stein (1997) akan berubah jika ada pengaruh luar seperti evaportanspirasi. Kemampuan dinding porus emitter cincin merespon perubahan kelembaban tanah ini dapat mensuplai air sesuai dengan kebutuhan air tanaman, yaitu jika saat evapotranspirasi tinggi maka laju rembesan akan meningkat. Oleh karena itu diyakini sistem emitter cincin dapat memberikan air secara efisien dan hemat air.

e. Performansi Irigasi Cincin pada Tanaman Melon

Untuk melihat performansi emitter cincin dilakukan pengujian emitter

dengan membuat jaringan irigasi cincin untuk tanaman melon di greenhouse


(38)

hujan efektif = 0. Pada tahapan budidaya melon dengan suplai air irigasi cincin di

greenhouse diperoleh hasil analisis dari beberapa pengamatan sebagai berikut : 1. Sifat Fisik Media Tanam

Media tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah tanah, kompos dan arang sekam dengan perbandingan 2 : 1 : 1, media tanam dengan perbandingan tersebut sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Tanah yang digunakan adalah tanah yang berasal dari Laboratorium Wageningen yang telah diukur nilai konduktivitas sebelumnya yaitu antara 2.68 cm/jam - 13.48 cm/jam, sedangkan media arang sekam berfungsi untuk mempermudah aerasi sehingga jika media tanam jenuh akar tanaman tidak mudah rusak dan campuran kompos pada media tanam untuk meningkatkan bahan organik dan mengikat air yang baik bersama dengan tanah. Media tanam tersebut dimasukkan ke dalam pot dengan diameter pot 40 cm dan tinggi pot 35 cm. Media tanam diuji sifat fisikanya di Laboratorium Fisika Tanah pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian.

Hasil analisa sifat fisika media tanam disajikan pada berikut (Tabel 9) : Tabel 9. Sifat Fisika Media Tanam

Parameter Unit Besaran

Pasir % 27

Debu % 62

Liat % 11

Bulk Density g/cc 0.55

Particle Density g/cc 2.05

Pori Drainase Cepat % Volume 45.5

Pori Drainase Lambat % Volume 6.4

Ruang Pori Total % Volume 73

Kadar Air % Volume 31.4

Air Tersedia % Volume 7.8

Perkolasi cm/jam 5.55

Permeabilitas cm/jam 62.14

Kadar Air

pF 1 % Volume 71.0

pF 2 % Volume 27.5

pF2.54 % Volume 21.1

pF 4.2 % Volume 13.3

Sumber : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, 2014

Kurva hubungan antara kadar air % volume dengan hisapan matrik (pF) pada media tanam dapat dilihat pada Gambar 7 yang menunjukkan kondisi kapasitas lapang media tanam campuran tanah, sekam dan kompos (pF 2.54) adalah 21.1 % volume dan pada kondisi titik layu permanen (pF 4.2) adalah 13.3 % volume, sehingga total air tersedia pada media tersebut adalah 7.8 % (0.78cm).


(39)

Gambar 7. Kurva pF Media Tanam

Doorenbos dan Pruitt (1977) mengemukakan bahwa kedalaman perakaran tanaman melon berkisar antara 45 – 90 cm dan factor p (fraction ov available soil water) sebesar 0.5. Dengan demikian nilai kedalaman perakaran sebesar 0.45 m, maka besarnya RAW (Ready Available Water) sebesar 175.5 mm. artinya air akan dipertahankan dari air tersedia untuk kedalaman perakaran 45 cm adalah 175.5 mm atau 17.55 cm. Pemberian air melalui irigasi cincin bertujuan untuk mengembalikan kadar air tanah sampai kapasitas lapang (21.1 % volume) akibat adanya evpotranspirasi.

Hasil pengujian media tanam dengan campuran tanah, arang sekam dan kompos memiliki porositas sebesar 73% dengan nilai permeabilitas 62.14 cm/jam atau setara 1.04 cm/menit. Berdasarkan nilai permeabilitas media tanam tersebut termasuk kategori mudah meloloskan air. Makin baik kontinuitas dan stabilitas pori, dan makin banyak pori dengan ukuran besar menyebabkan pergerakan air secara jenuh makin cepat (Bodhinayake et al., 2004). Pergerakan air yang makin cepat dapat membawa hara terlarut maupun yang belum terlarut makin cepat dan kesempatan hara teradsorpsi tanah makin rendah (Bejat et al., 2000).

2. Kebutuhan Air Tanaman

Kebutuhan air tanaman untuk pertumbuhannya merupakan jumlah air yang digunakan oleh tanaman untuk tumbuh normal atau disebut juga dengan evapotranspirasi. Besarnya kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh fase pertumbuhan tanaman, faktor iklim (suhu, radiasi matahari, kelembaban, kecepatan angin) dan jenis dari tanaman tersebut. Kebutuhan air tanaman dalam hal ini adalah besarnya evapotranspirasi tanaman akan dijadikan dasar untuk menentukan jumlah air yang akan diberikan ke tanaman.

Evapotranspirasi tanaman terbagi dua yaitu evapotranspirasi acuan dan evapotranspirasi aktual. Untuk menentukan besarnya kebutuhan air tanaman maka ditentukan oleh besarnya evapotranspirasi aktual yang diperoleh dari hasil kali antara koefisien tanaman melon dengan evapotranspirasi acuan (ETo). Nilai ETc di dalam greenhouse (dengan metode radiasi) berkisar antara 1.45 mm/hari sampai 4.51 mm/hari pada masa vegetatif, 1.22 mm/hari sampai 4.84 mm/hari pada masa pembungaan, 1.75 mm/hari sampai 6.98 mm/hari pada masa pembuahan dan 0.88 mm/hari sampai 4.18 mm/hari pada masa pematangan buah.

Kebutuhan air tanaman melon terbagi dalam 5 tahap pertumbuhan yaitu tahap awal (15 hari) yang ditandai dengan mulainya pertumbuhan batang dan daun utama, tahap vegetatif/pertumbuhan (25 hari) ditandai dengan tumbuhnya bakal cabang atau bakal batang muda, tahap pembungaan (20 hari) ditandai


(40)

dengan munculnya bunga jantan dan bunga betina, tahap terbentuknya buah (20 hari) ditandai dengan bakal buah yang membesar dan menjadi buah yang nyata, dan tahap pematangan buah (20 hari) ditandai dengan adanya perubahan warna buah dan aroma harum. Berdasarkan budidaya melon yang dilakukan oleh Taman Buah Mekarsari (TBM) pada umumnya sudah dipanen ketika tanaman berumur 75 (hspt). Penelitian dilakukan sejak tahap vegetatif hingga tahap pematangan buah. Besarnya evapotranspirasi tanaman melon berdasarkan pada tahap pertumbuhan disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 3.

Tabel 10. Evapotranspirasi tanaman (Etc) melon pada tiap pertumbuhan Tahap

Pertumbuhan

Umur (hspt)

Eto

(mm/hari) Kc

ETc (mm/hari) ETc Rata-rata (mm/hari) ETc (mm) Vegetatif 1 s.d 25 3.12 0.81 1.45 - 4.51 2.98 74.5 Berbunga 26 s.d 35 2.53 0.97 1.22 - 4.84 3.03 30.3 Berbuah 36 s.d 55 3.5 1.16 1.75 - 6.98 4.37 87.3 Pematangan 56 s.d 78 2.98 0.85 0.88 - 4.18 2.53 58.2

Sumber : Data Primer setelah diolah, 2014.

Dari tabel 10 menunjukkan bahwa secara berturut-turut kebutuhan air meningkat dimulai dari periode vegetatif, dan diikuti oleh periode pembungaan serta puncaknya terjadi pada periode pembentukan buah. Pada periode pematangan buah melon kebutuhan airnya akan menurun kembali. Pada masa pembentukan buah tanaman melon membutuhkan air terbanyak karena buah melon termasuk buah yang mengandung banyak air. Kekurangan air pada periode tersebut akan mempengaruhi penampilan buah yang dihasilkan baik ukuran, jumlah maupun warnanya.

Selama tahapan masa tumbuh, kebutuhan air terus menerus meningkat. Pada tahap tersebut kebutuhan air digunakan untuk pertumbuhan dan pembentukan daun. Pada minggu ke tiga tumbuhan memasuki tahap vegetatif. Pada tahap ini kebutuhan air irigasi meningkat karena digunakan untuk pertumbuhan tinggi batang, pertumbuhan daun dan pertumbuhan kuncup bunga. Kebutuhan air terus meningkat sampai pada tahap pembentukan buah. Pada tahap tersebut kebutuhan air sangat besar dibandingkan dengan tahap pertumbuhan lainnya, hal ini dikarenakan nilai Kc pada tahap berbuah lebih besar dari nilai Kc pada tahap pertumbuhan lainnya. Pada tahap pematangan diikuti dengan penurunan kebutuhan air sampai pematangan buah melon.

Besarnya evapotranspirasi tanaman melon (Cucumis melo L.) dalam sistem pembudidayaan dalam rumah kaca (greenhouse ) juga dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan radiasi matahari. Suhu di dalam rumah kaca berkisar antara 29.3

– 36.1oC seperti yang tertera pada Lampiran 3. Meskipun suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman melon antara 28 – 30 o C pada siang hari, namun tanaman melon masih tumbuh dengan baik bila udaranya kering pada kelembaban ± 60 % dan suhu udaranya antara 35oC – 37oC. Faktor yang mempengaruhi besarnya temperatur dalam rumah tanaman adalah tingkat intensitas radiasi matahari, besar kecilnya panas yang hilang melalui atap atau dinding, besar kecilnya panas yang diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis dan besar kecilnya panas yang hilang melalui ventilasi serta bahan konstruksi (Nurhayati, 2006).


(41)

3. Kadar Air Media Tanam

Pengukuran media tanam selama pengamatan yaitu terhadap kadar air masing-masing pot dengan jenis bahan emitter yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 8 berikut :

Gambar 8. Kadar air media tanam pada tahap pertumbuhan tanaman melon. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pot tanaman dengan emitter

berbahan parasut (C) memiliki rata-rata kadar air yang paling rendah diantara pot tanaman dengan emitter berbahan Legacy(A), Colosal (B), Kyramat (D) dan Veronica (E), dimana kadar air media tanam yang dialiri oleh emitter berbahan parasut antara 30 – 45 %volume. Hal ini dikarenakan laju aliran emitter dengan bahan parasut sangat kecil dibandingkan dengan laju aliran emitter berbahan Legacy, Colosal, Kyramat dan Veronica. Besarnya laju aliran emitter sangat dipengaruhi oleh nilai konduktivitas bahan emitter dimana nilai konduktivitas bahan parasut memiliki nilai konduktivitas yang paling kecil yaitu 0.06 cm/jam. Dengan demikian kondisi kadar air media tanam pada yang dialiri oleh emitter

berbahan parasut memungkinkan tanaman mengalami stress akibat kekurangan air dan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga tanaman akan menjadi kerdil. Hal ini terbukti pada hasil pengamatan pertumbuhan tanaman pada Gambar 10 dimana panjang tulang daun pada pot yang dialiri dengan emitter berbahan parasut adalah antara 7.5 cm – 10 cm.

Lain halnya dengan kondisi kadar air media tanam yang dialiri air melalui

emitter berbahan Kyramat (D) dan Veronica (E), dimana kadar air rata-rata media tanam antara 50 %volume sampai 85%. Hal ini dikarenakan laju aliran emitter dan nilai konduktivitas bahan emitter lebih besar. Dengan kondisi kadar air demikian dapat dikatakan bahwa media tanam dalam keadaan kondisi jenuh air, terlihat bahwa kadar air media tanam melebihi kadar air pada kapasitas lapang (21.1 %volume). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kelebihan pemberian air pada setiap tahap pertumbuhan. Kelebihan pemberian air kadang diperlukan dalam pengaliran irigasi agar air tersedia untuk tanaman dapat terus terpenuhi, namun bila pemberian terlalu berlebihan maka akan menyebabkan tanaman menjadi jenuh sehingga menimbulkan kematian pada tanaman dan tanaman mudah terserang penyakit. Menurut Kramer (1977) umumnya pengaruh jenuh atau kurang baiknya aerasi akan mengurangi permeabilitas akar terhadap air, dimana akan mengurangi absorbsi dan akibatnya terjadi defisit air dan akan menyebabkan tanaman langsung layu.


(42)

Akar tanaman pada tanah yang lembab akan menyerap lebih banyak air daripada akar tanaman yang sama yang tumbuh pada tanah yang kering. Apabila tanah basah, sebagian besar kelembaban tanaman diambil dari tanah dekat permukaan. Namun karena kadar kelembaban di dekat permukaan berkurang, maka lebih banyak tanaman menyerap air di kedalaman yang berada di bawah. Kramer (1977) menemukan bahwa kejenuhan tanah pada penanaman Yellow-poplar (sejenis pohon kuning) menyebabkan berkurangnya transpirasi sebesar 68 % dan menghasilkan defisit pada daun sebesar 47 % dalam 3 hari dibandingkan. Jadi keadaan tanah yang jenuh akan mempengaruhi akar, sehingga absorbsi akan berkurang mengakibatkan terjadinya defisit air, yang akan menyebabkan tanaman layu dan pertumbuhan terhambat.

4. Kinerja Irigasi Cincin a. Laju Rembesan Emitter

Kinerja irigasi cincin ditentukan dari kemampuan emitter cincin merembeskan air ke zona perakaran tanaman dalam hal ini laju rembesan air (liter/jam) dan pola pembasahan tanah pada arah horizontal dan vertical. Komponen irigasi cincin terdiri dari reservoir (tabung mariot) yang berfungsi sebagai wadah penampungan air. Penggunaan tabung mariot sebagai reservoir agar supaya air yang keluar dari tabung tekanannya sama/stabil. Air dari tabung mariot akan didistribusikan melalui jaringan perpipaan (pipa dengan ukuran diameter ¾ inc) menuju emitter seperti yang terlihat pada Lampiran 9 (Gambar Layout jaringan irigasi cincin). Sedangkan emitter cincin diletakkan dalam pot pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Penurunan air dari tabung mariot diukur setiap 1 jam sehingga diperoleh laju rembesan atau aliran emitter dalam liter/jam. Hasil pengukuran laju rembesan air oleh emitter cincin dapat dilihat pada Gambar 9 berikut :

Gambar 9. Debit Rata-rata maximum pada masing-masing jenis emitter

Hasil pengukuran laju rembesan irigasi cincin untuk tanaman melon menunjukkan bahwa emitter dengan bahan parasut mampu merembeskan air ke daerah perakaran tanaman sebesar 0.04 liter/jam dan emitter dengan bahan parasut memiliki laju rembesan yang paling kecil. Hal ini dikarenakan oleh nilai konduktivitas bahan parasut yang sangat kecil yaitu 0.06 cm/jam dibandingkan dengan jenis bahan emitter yang lainnya. Besarnya laju rembesan sangat dipengaruhi oleh nilai konduktivitas emitter. Jika dibandingkan antara laju rembesan 0.04 liter/jam dan kebutuhan air tanaman melon, maka emitter dengan jenis bahan parasut tidak mampu menyediakan air secara optimal atau melon


(43)

mengalami kekurangan air karena laju rembesan yang sangat lambat menyebabkan melon mengalami stress dan menggangu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman akan menjadi kerdil.

Sedangkan laju rembesan emitter pada jenis bahan Legacy dan Colossal mampu memberikan air yang optimal untuk pertumbuhan tanaman melon sebesar 1.08 liter/jam dan 0.52 liter/jam. Dengan laju rembesan tersebut tidak terjadi perkolasi atau genangan di bawah pot tanaman sehingga tidak ada air yang terbuang dan semua air dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman melon. Lain halnya dengan emitter berbahan Kyramat dan Veronica yang memiliki laju rembesan 1.38 liter/jam dam 1.60 liter/jam dimana terjadi perkolasi pada bagian bawah pot tanaman sebesar 600 – 1800 ml sehingga terjadi kehilangan air. Adanya perkolasi disebabkan karena laju aliran air dari emitter cepat dan kondisi tanah lebih porus sehingga daya tahan air kurang dengan laju perkolasi 5.55 cm/jam.

b. Pola Pembasahan Emitter

Pola pembasahan emitter merupakan salah satu kinerja dari irigasi cincin, pola pembasahan emitter menunjukkan air dari emitter terdistribusi dengan baik ke tanah dan daerah perakaran tanaman. Pengukuran pola pembasahan emitter

dilakukan dengan melihat media tanam yang basah di dalam pot dari arah vertical dan horizontal dengan menggunakan mistar ukur. Hasil analisa pola pembasahan

emitter tergambarkan pada data Tabel 11. berikut :

Tabel 11. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Legacy. Jarak Pembasahan

ke arah Waktu

Kode Emitter

A1 A2 A3 A4 A5

R (cm)

½ Jam 1 0 0 1 2

1 Jam 2 1 1 2 4

2 jam 5 3 4 5 7

3 jam 11 6 10 8 13

4 jam 16 8 18 14 19

5 jam 22 10 25 19 24

1 hari 24 15 27 22 26

Z (cm)

½ Jam 3 2 3 3 5

1 Jam 6 5 5 6 7

2 jam 10 9 11 13 15

3 jam 12 10 13 15 16

4 jam 15 11 16 18 17

5 jam 16 12 18 20 18

1 hari 27 19 29 30 28

Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014

Pola pembasahan tanah di sekitar emitter cincin menunjukkan kemampuan

emitter memberikan zona basah dalam memenuhi kebutuhan air tanaman. Hasil pengukuran pada Tabel 11.a, b, c, d, dan e, menunjukan bahwa semakin lama pemberian air semakin jauh jarak pembasahannya baik arah vertikal maupun arah horisontal. Pada zona basah tersebut perakaran tanaman dapat memperoleh air dan nutrisi dari dalam tanah untuk disebarkan ke seluruh bagian tanaman.


(44)

Tabel 12. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Colosal.

Jarak Pembasahan

ke arah Waktu

Kode Emitter

B1 B2 B3 B4 B5

R (cm)

½ Jam 1 0 2 1 2

1 Jam 2 0 3 2 3.5

2 jam 5 0 5 5 6

3 jam 9 3 11 8 10

4 jam 14 6 16 12 16

5 jam 20 9 22 18 20

1 hari 23 13 26 21 24

Z (cm)

½ Jam 3 2 5 5 7

1 Jam 5 4 6 7 9

2 jam 9 8 10 9 12

3 jam 12 11 13 13 16

4 jam 15 13 16 15 20

5 jam 16 18 20 16 21

1 hari 20 23 25 19 25

Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014

Tabel 13. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Parasut.

Jarak Pembasahan

ke arah Waktu

Kode Emitter

C1 C2 C3 C4 C5

R (cm)

½ Jam 1 0 0 0 0

1 Jam 1 1 0 0 0

2 jam 3 2 0 0 0

3 jam 7 4 1 1 1

4 jam 10 7 4 3 3

5 jam 12 10 7.5 7 5

1 hari 14 12 9 9 7

Z (cm)

½ Jam 3 2 1 0 0

1 Jam 5 4 1 1 1

2 jam 10 7 3 2 2

3 jam 13 9 6 5 4

4 jam 15 10 9 8 7

5 jam 17 11 11 10 9

1 hari 18 13 12 12 11


(45)

Tabel 14. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin dengan Bahan Kyramat. Jarak Pembasahan

ke arah Waktu

Kode Emitter

D1 D2 D3 D4 D5

R (cm)

½ Jam 5 3 0 0 8

1 Jam 8 4 0 0 16

2 jam 12 6 1 2 22

3 jam 15 12 5 6 22

4 jam 17 17 8 9 22

5 jam 20 25 11 12 22

1 hari 25 26 17 18 24

Z (cm)

½ Jam 9 8 5 6 10

1 Jam 13 12 7 8 14

2 jam 18.5 16 10 12 20

3 jam 18.5 17 10 15 20

4 jam 19 18 11 17 20

5 jam 19 19 12 19 21

1 hari 28 25 16 23 27

Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014.

Tabel 15. Jarak Pembasahan Tanah Pada Irigasi Cincin berbahan Veronica. Jarak Pembasahan

ke arah Waktu

Kode Emitter

E1 E2 E3 E4 E5

R (cm)

½ Jam 15 3 0 16 0

1 Jam 17 4 0 18 0

2 jam 22 8 2 24 1

3 jam 22 11 6 24 4

4 jam 23 13 10 24 8

5 jam 24 15 15 24 13

1 hari 26 17 18 26 15

Z (cm)

½ Jam 7 6 5 10 6

1 Jam 10 8 7 13 9

2 jam 17 13 14 21 14

3 jam 17 14 15 21 15

4 jam 18 15 16 22 16

5 jam 19 16 17 22 17

1 hari 28 20 21 28 21

Sumber : Data Primer Setelah diolah, 2014.

Kualitas sistem irigasi cincin tergantung dari bentuk bidang pembasahan. Rancangan yang baik dari sistem ini menunjukkan bentuk bidang basah dan permukaan yang basah pula. Daerah pembasahan tergantung debit pemberian air irigasi, jenis tanah, lama pemberian air dan karakteristik infiltrasi (Jansen, 1983).


(1)

f. Panjang Tulang Daun Ruas ke 13

Kode Emitter Panjang Tulang daun Ruas ke 13

A1 13

A2 12

A3 11

A4 14

A5 13

B1 13

B2 11

B3 12

B4 15

B5 14

C1 12

C2 11

C3 9

C4 9

C5 7.5

D1 12

D2 13

D3 14.5

D4 14

D5 12

E1 13.5

E2 12

E3 13

E4 12


(2)

Lampiran 7. Data Berat Buah dan Produktivitas air Kode Emitter Berat Buah (gram) Air Irigasi

(liter) Produktivitas (Kg/m³)

A1 987 1940.4 0.51

A2 808 1940.4 0.42

A3 852 1940.4 0.44

A4 965 1940.4 0.50

A5 963 1940.4 0.50

B1 605 943.2 0.64

B2 627 943.2 0.66

B3 1788.3 943.2 1.90

B4 848 943.2 0.90

B5 682 943.2 0.72

C1 989 943.2 1.05

C2 314 79.2 3.96

C3 343.0 79.2 4.33

C4 255 79.2 3.22

C5 312 79.2 3.94

D1 807 2487.6 0.32

D2 908 2487.6 0.37

D3 624 2487.6 0.25

D4 681 2487.6 0.27

D5 877 2487.6 0.35

E1 1524 2876.4 0.53

E2 1113 2876.4 0.39

E3 1087.8 2876.4 0.38

E4 709.5 2876.4 0.25


(3)

Lampiran 8. Panjang Akar

Kode Emitter Panjang Akar (cm)

A1 91

A2 45

A3 47

A4 92

A5 44

B1 134

B2 79

B3 46

B4 54

B5 78

C1 31

C2 58

C3 51

C4 90

C5 38

D1 20

D2 55

D3 93

D4 35

D5 42

E1 80

E2 74

E3 54

E4 51


(4)

Lampiran 9. Layout Jaringan Irigasi di greenhouse a. Gambar Tampak Atas Jaringan Irigasi cincin


(5)

b. Gambar Layout Jaringan Irigasi Cincin untuk satu pipa lateral

c. Gambar Detail Irigasi Cincin


(6)

RIWAYAT HIDUP

Reskiana, lahir di Kota Makassar pada tanggal 26 September 1985 merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Saefuddin dan Harlina. Tahun 2008 penulis meraih gelar sarjana dibidang mekanisasi pertanian di Universitas Hasanuddin dan 2009 penulis diterima sebagai dosen tetap yayasan di Universitas Islam Makassar. Pada tahun 2012 melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Departemen Tenik Sipil dan Lingkungan dengan sponsor beasiswa Studi Pascasarjana (BPPS) DIKTI Anggaran 2012 dan berhasil merampungkan studi selama kurang lebih 2 Tahun dengan judul penelitian “Desain dan Uji Kinerja Emitter Cincin” dibawah bimbingan Prof. DR. Ir. Budi Indra Setiawan dan DR. Satyanto K.Saptomo, S.TP., M.Si yang mana penelitian tersebut dibiayai oleh Proyek Penelitian KKP3N Based Contract Nomor : 701/LB.620/I.1/2/2013 Tanggal 25 Februari 2013 dan 61/PL.220/I.1/3/2014 Tanggal 10 Maret 2014. Karya ilmiah yang berjudul “Uji Kinerja Emitter Cincin” telah diterbitkan pada Jurnal Irigasi pada Edisi I Tahun 2014.

Sebelum melanjutkan studi Pascasarjana di IPB, penulis juga aktif mengkikuti pelatihan keilmiahan dan profesi diantaranya : Program Magang Dosen DIKTI yang dilaksanakan pada 19 Maret- 4 Agustus 2012 di Institut Pertanian Bogor, Pelatihan Bahasa Ingris Batch 2 DIKTI yang dilaksanakan dari 19 September – 19 Desember 2011 di Universitas Negeri Malang, Peserta Workshop Penyusunan Proposal Pengabdian Masyarakat (PPM) DIT.LITABMAS DIKTI pada 13 – 14 Januari 2012 dan Pelatihan Penulisan Jurnal Internasional yang diselenggarakan atas kerjasama Universiti Utara Malaysia dan Universitas Islam Makassar pada tanggal 22 – 23 Desember 211.