Pesta Peringatan Kemerdekaan Belanda Ke­100 dari Perancis Pertumbuhan dan Perkembangan Faham di Indonesia

Setelah Daendels sudah meninggalkan Indonesia, faham liberalisme dan upaya penghapusan feodalisme masih berlanjut, bahkan lebih digalakkan lagi oleh Thomas Stamford Raffles. Akan tetapi sepertinya hal Daendels, Raffles juga mengalami banyak sekali hambatan. Leberalisme khususnya dalam bidang ekonomi baru bisa dilaksanakan setelah pemerintah Belanda sudah berkembang industrinya dan memiliki modal yang cukup setelah penerapan Cultuur Stelsel Tanam Paksa. Setelah itu politik ekonomi liberal itu terus dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda sampai dengan berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Penerapan faham liberalisme dan penghapusan feodalisme ini berpengaruh terhadap munculnya elit baru dalam tatanan masyarakat Indonesia, yaitu golongan terpelajar. Golongan terpelajar inilah yang pertama kali menyadari perlunya memperjuangkan harkat dan martabat bangsa sesuai dengan azas­azas faham kemerdekaan dan kebebasan liberalisme.

b. Penyebaran Faham Nasionalisme

Berbagai revolusi yang terjadi di Eropa, utamanya Revolusi Perancis mengilhami perjuangan bangsa­bangsa terjajah di Asia­Afrika, termasuk Indonesia walaupun dalam kondisi yang berbeda. Nasionalisme di Asia­Afrika termasuk di Indonesia disebabkan oleh penindasan yang dilakukan oleh negara­negara imperialis Barat. Pelaksanaan Politik Etis memberikan kesempatan pendidikan kepada penduduk bumi putera, walaupun dalam lingkup yang terbatas. Akan tetapi dengan adanya pendidikan muncul golongan baru, yaitu golongan terpelajar yang menjadi pelopor pergerakan nasional. Dengan pendidikan itu pula kaum terpelajar dapat mengikuti perkembangan pemikiran bangsa­bangsa Barat, Mereka mempelajari berbagai ide­ide dan faham­faham baru yang berkembang di Eropa pada waktu itu, seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme bahkan komunisme. Pada awal pergerakan nasional muncul beberapa organisasi dengan sifat yang berbeda. Budi Utomo lebih bersifat organisasi budaya, Sarikat Islam bersifat sosial­ ekonomi dan religius, sedangkan Indische Partij bersifat politis. Namun ketiga­tiganya memiliki kesamaan yaitu sama­sama bersifat nasionalis yang berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya menuju kemerdekaan di kelak kemudian hari. Demikian juga dengan partai­partai berdiri pada masa berikutnya, seperti Partindo, PNI Baru, dan Parindra. Sedangkan PKI lebih menonjolkan faham internasionalismenya dengan menganggap dirinya sebagai satu keluarga dari komintern komunis internasional.

C. Pesta Peringatan Kemerdekaan Belanda Ke­100 dari Perancis

Dalam rangka merayakan ulang tahun ke­100 kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuklah sebuah komite yang dikenal sebagai “Komite Bumiputera”. Komite ini bermaksud hendak mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda yang isinya mengandung permintaan agar dibentuk majelis perwakilan rakyat sejati dan ketegasan adanya kebebasan berpendapat di daerah jajahan. Salah seorang pemimpin komite ini, Suwardi Suryaningrat, menulis sebuah risalah yang berjudul “Als ik een Nederlander was …”, yang isinya merupakan sebuah sindiran terhadap pemerintah kolomnial Belanda yang mengajak penduduk bumi putera sebagai penduduk mereka jajah, diajak untuk merayakan hari kemerdekaan penjajah Belanda yang ke­100 dari penjajahan Perancis. Dari artikel yang tersebut dapat disimpulkan bahwa nbngsa Indonesia sudah memendam rasa nasionalisme yang sangat dalam. Keinginan untuk berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan bermartabat sudah mereka perjuangkan sebagai hak semua bangsa bukan hanya hak bangsa Barat. Seperti yang diungkapkan oleh Suwardi Suryaningrat dalam artikelnya tersebut :

D. Pertumbuhan dan Perkembangan Faham di Indonesia

Perang Dunia I 1914 – 1918 memberikan dorongan moril bagi bangsa­bangsa di Asia – Afrika, termasuk Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Karena hampir semua negera­negara yang terlibat perang tersebut mempunyai negara­ negara jajahan, maka pengaruhnya meluas ke negeri­negeri jahahan di Asia dan Afrika. Dalam perang tersebut puluhan ribu bangsa kulit berwarna dari Asia dan Afrika turut berperang utamanya di pihak sekutu. Pada akhir Perang Dunia I, Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson yang memproklamasikan gagasan­gagasannya yang dikenal sebagai Wilson Fourteen Point. Isi dari pernyatannya itu dantara lain The Principle of Self Determination Prinsip untuk menentukan nasib sendiri yang isinya hak­hak bangsa­bangsa terjajah untuk menentukan merdeka dari segala bentuk penjajahan sehingga dapat menentukan nasib sendiri. Pernyataan Wilson tersebut memberikan dorongan semangat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia utamanya dari kaum pergerakan nasional. Budi Utomo berdasarkan adanya kemungkinan adanya intervensi kekuasaan asing akibat Perang Dunia I, mengutarakan gagasan tentang pentingnya pertahanan sendiri. a PEMBENTUKAN VOLKSRAAD Pada kongres Budi utomo tanggal 5 dan 6 Agustus 1915 Budi Utomo menetapkan usulan perlunya dibentuk wajib militer dari kalangan kaum pribumi. Akan tetapi sebelumnya harus terlebih dahulu dibentuk parlemen yang berhak membuat undang­ undang. Selanjutnya komite Indie Weerbaar memutuskan 23 Juli 1916 menyatakan bahwa merupakan suatu kepentingan yang mendesak untuk segera dibentuk kekuatan militer baik laut maupun darat dari kalangan bumi putera agar dapat mempertahankan diri dari serangan dari luar. Dwidjosewoyo sebagai wakil Budi Utomo dalam misi itu berhasil mengadakan pendekatan dengan pemimpin­pemimpin terkemuka Belanda. Walaupun misi ini tidak berhasil meloloskan usulan tentang pembentukan wajib militer. Sebagai gantinya pepemrintah Belanda akan membentuk Volksraad yang disahkan pada bulan Desember 1916. Keterangan yang disampaikan oleh Menteri Daerah Jajahan tentang kemungkinan Volksraad akan menjadi parlemen yang sebenarnya sangat mengembirakan. Namun dalam kenyataannya sampai menjelang Perang Dunia II, pemerintah kolonial tidak pernah membentuk parlemen yang benar­benar sebagai badan legislatif. Volksraad hanyalah badan yang berhak memberikan usulan, namun tidak mempunyai kekuatan apa­apa untuk mengontrol jalannya pemerintahan. b TUNTUTAN INDONESIA BERPARLEMEN Parlemen merupakan suatu badan yang harus ada pada negara yang berdasarkan azas­azas demokrasi seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Perancis, khususnya oleh Montesquieu. Setelah tuntutan Petisi Sutarjo ditolak oleh pemerintah Belanda, maka kaum pergerakan nasional mengalihkan tuntutannya kepada pembentukan parlemen yang sebenarnya yang dipilih oleh rakyat. Untuk itu kaum pergerakan nasional menunggu saat yang tepat untuk mengutarakan gagasannya tersebut. Pada tanggal 21 Mei 1939 berhasil dibentuk badan kerjasama antar partai­partai politik di dalam Volksraad yang disbeut Gabungan Politik Indonesia GAPI yangdipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin. Di dalam konferensi pertama GAPI tanggal 4 Juli 1939 didiskusikan tentang aksi yang akan digalang oleh GAPI dengan semboyannya “Indonesia Berparlemen”. Hal ini jelas bukanlah tuntutan merdeka penuh melainkan pembentukan parlemen yang berdasarkan pada sendi­sendi demokrasi. Momentum untuk menyampaikan gagasan itu muncul ketika meletusny Perang Dunia II pada tanggal 20 September 1939. GAPI menyampaikan gagasannya yang dikenal dengan Manifestasi GAPI, yang isinya : mengajak Indonesia dan Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme. Kerjasama itu akan berhasil apabila keoada rakyat Indonesia diberikan suatu pemerintahan dengan parlemen yang dipilih dari dan oleh rakyat serta pemerintahan yang bertanggungjawab kepada parelemen tersebut. Usulan GAPI ini mendapat sambutan baik dari pers Indonesia dengan menguraikan sikap dari beberap bangsa Asia dalam menghadapi bahaya fasisme. GAPI sendiri juga mengadakan rapat­rapat umum yang mencapai puncaknya pada tanggal 12 Desember 1939. Tidak kurang dari 100 tempat mengadakan rapat umum untuk mempropagandakan seruan Indonesia Berparlemen. Kemudian dibentuklah Comite Parlemen Indonesia untuk mempetegas sikap GAPI tersebut. Pada bulan Agustus tahun 1940, negeri Belanda sudah dikuasai oleh Jerman. Sedangkan Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. Kembali GAPI mengutarakan usulannya agar Volksraad diganti dengan parlemen sejati dan kepala departemen bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Tuntutan itu dikirim kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan Kabinet Belanda yang dipindahkan ke London. Namun perjuangan yang sangat gigih dari GAPI itu hanya ditanggapi dengan pembentukan Komisi Visman. Namun Komisi ini pun tidak mampu memberikan apa yang diperjuangkan oleh GAPI sampai akhirnya Indonesia jatuh ke tangan Jepang.

III. REVOLUSI RUSIA

Pada abad ke­19 keadaan Rusia masih sangat terbelakang jika dibandingkan dengan keadaan Eropa – Barat. Masyarakat Rusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu : golongan tuan tanah bangsawan dan petani rakyat jelata. Rusia masih merupakan negara agraris yang kolot. Kaum borjuis yang biasanya menjadi pelopor liberalisme belum ada. Dalam pandangan rakyat yang agraris itu tsar Rusia diangap sebagai dewa yang keramat. Bangsawan yang berhubungan dekat dengan raja memiliki kedudukan istimewa. Mereka merupakan tuan tanah besar yang mengekang kehidupan rakyat jelata. Rakyat jelata yang kebanyakan petani miskin yang tidak memiliki tanah sendiri. Mereka merupakan budak dari para tuan tanah. Status petani yang menjadi budak para tuan tanah ini disahkan oleh oleh Tsar Alexis melalui Undang Undang Perbudakan tahun 1646.

A. INDUSTRIALISASI DI RUSIA