KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan

23 Lampiran 9. Peta Sebaran Kemiringan Lereng di Propinsi Sultra. 24 Lampiran 10. Peta Sebaran Curah Hujan Rata-rata di Propinsi Sultra. 25 Lampiran 11. Peta Sebaran Suhu Rata-rata di Propinsi Sultra. 26 Lampiran 12. Peta Sebaran Lamanya Masa Bulan Kering di Propinsi Sultra. 27 Lampiran 13. Peta Kesesuaian Iklim berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N di Propinsi Sultra. 28 Lampiran 14. Peta Kesesuaian Agroklimat berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N di Propinsi Sultra. 29 Lampiran 15. Peta Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra. 30 Lampiran 16. Peta Sebaran Jenis Tanah di Propinsi Sultra. Ket: Legenda ada di Lampiran 4 31 Lampiran 17. Peta Sebaran Elevasi di Propinsi Sultra. 32 Lampiran 18. Peta Lokasi Provinsi Sultra KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET Hevea brasiliensis BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA ACHMAD FAUZI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN ACHMAD FAUZI . Potensi Pengembangan Tanaman Karet Hevea brasiliensis Berdasarkan Aspek Agroklimatologi di Sulawesi Tenggara. Dibawah bimbingan IMAM SANTOSA. Latar belakang penelitian ini adalah tingginya eksport Lateks karet mentah ke luar negeri. Nilai eksport karet mentah ini memiliki kontribusi dalam meningkatkan pendapatan devisa negara yang cukup signifikan dari sektor non-migas. Penelitian ini penentuan kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet, dilakukan dengan pengumpulan data non-spasial iklim dan tanah, data spasial DEM Peta tanah, lalu data tersebut diubah menjadi peta spasial. Selanjutnya adalah membuat klas kesesuaian iklim dan tanah tanaman karet. Kemudian dilakukan proses tumpang susun kedua kesesuian tersebut, sehingga menjadi kesesuaian Agroklimat. Dengan asumsi nilai pembobotnya sama, artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet. Dari nilai kesesuain agroklimat tersebut di analisis lebih lanjut dengan menghubungkan faktor ekonomi daerah Sulawesi Tenggara, yaitu penutupanpenggunaan lahan. Dari hubungan tersebut diperoleh potensi kesesuaian tanaman karet di Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara memiliki potensi pengembangan untuk usaha ekstensifikasi tanaman karet sebesar 812.489 ha, daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sulawesi Tenggara seluas 140.457 ha, dan daerah yang tidak bisa dijadikan usaha ekstentifikasi tanaman karet sebesar 1.298.327 ha. KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET Hevea brasiliensis BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA Oleh: ACHMAD FAUZI G02400030 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 JUDUL : Kesesuaian Lahan Tanaman Karet Hevea brasiliensis Berdasarkan Aspek Agroklimat Di Sulawesi Tenggara NAMA : Achmad Fauzi NRP : G2400030 Menyetujui, Pembimbing Dr.Ir. Imam Santosa, MS. NIP. 130 804 894 Mengetahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr.Drh. Hasim, DEA NIP : 131 578 806 473 999 Tanggal disetujui : 1 I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt , sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun terakhir, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia- Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil, memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang relatif stagnan. Hasil studi REP Rubber Evaluation Project meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun 2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3 per tahun, sedangkan Thailand hanya 1 dan Malaysia -2. Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet yang cukup besar, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton Anwar, 2001. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US 2.25 milyar, yang merupakan 5 dari pendapatan devisa non- migas. Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif. Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85 merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7 perkebunan besar negara serta 8 perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan lahan kosongtidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet. Program pembentukan kawasan sentra produksi. Dimana secara keseluruhan program ini bertujuan mendorong peningkatan produksi dan mutu karet, dan salahsatu programnya mencakup perluasan areal tanam di wilayah sentra ekstensifikasi. karena dengan perluasan kita dapat memproduksi hasil dalam jumlah yang cukup. Selain itu jika ditambah dengan peningkatan mutu, maka dapat diharapkan Indonesia mampu meningkatkan hasil produksi yang berkualitas export. Melakukan perluasan lahan pertanian atau perkebunan tidak dapat diterapkan di sembarang daerah, karena setiap daerah memiliki karakteristik lahan yang berbeda, maka tidak semua tanaman dapat tumbuh di daerah tersebut. Sehingga sumberdaya alam seperti iklim dan tanah harus diperhatikan dalam melakukan ekstensifikasi. Salah satu syarat untuk menentukan lokasi yang sesuai bagi tanaman karet adalah memperhatikan aspek agroklimatnya yaitu faktor iklim yang meliputi curah hujan, suhu, dan radiasi. Ditambah Faktor tanah yang juga perlu diperhatikan seperti sifat fisik, kimia dan topografi. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman. Pusat penanaman karet tersebar pada wilayah Indonesia bagian barat. Tersebar di pulau Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala yang lebih kecil perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Daerah Indonesia Timur. Luas areal tanam di Jawa Barat pada 2 tahun 1998 mencapai 87.984,5 ha dengan produksi 54.359,7 ton. Luas lahan karet di Indonesia 1992 mencapai 2,7-3 juta hektar dengan produktivitas yang masih rendah dari karet Malaysia dan Thailand Anwar, 2001. Meskipun Indonesia bagian timur bukan sentra produksi utama tanaman karet, peningkatan produksi dan perluasannya sangat diperlukan untuk menunjang devisa negara. Sehingga diperlukan penelitian tanaman karet yang berkelanjutan di wilayah Indonesia bagian timur termasuk propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam hal ini dijadikan objek kajian penelitian. I. 2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet berdasarkan kesesuaian agroklimat dan kesesuaian tanah di Sulawesi tenggara.

1. 3. Asumsi

Pada penelitian ini nilai pembobotnya diasumsikan sama artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Agronomi Tanaman Karet Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan, yang dikenal sebagai latex http:id.wikipedia.org. 2008. Karet adalah tanaman perkebunanindustri tahunan berupa pohon batang lurus yang pertama kali ditemukan di Brasil dan mulai dibudidayakan tahun 1601. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand. Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut: - Divisi : Spermatophyta - Sub divisi : Angiospermae - Kelas : Dicotyledonae - Keluarga : Euphorbiaceae - Genus : Hevea - Spesies : Hevea brasiliensis Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klonklon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Pada Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan klon-klon unggul baru generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39 , IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118 . Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi. Klon-klon tersebut menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Oleh karena itu pengguna harus memilih dengan cermat klon-klon yang sesuai agroekologi wilayah pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan. Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, RRIC 100 masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya. Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami gangguan penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1, PR 255, PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga pemanfaatan lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat http:warintek.progressio.or.id. 2008.

2.2. Produksi Karet Indonesia

Sentra utama produksi Karet ada di Indonesia bagian timur khususnya Sulawesi Tenggara tidaklah begitu besar jika dibandingkan wilayah bagian barat seperti Sumatera dan Kalimantan sehingga perlu pemikiran dan pengembangan yang berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan karet yang bernilai jual tinggi. Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum yang mampu mendorong percepatan pembenahan dan peremajaan karet yang kurang poduktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya lainnya. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta tontahun pada tahun 2025. Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85 areal kebun karet rakyat yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul. Potensi produksi lateks beberapa klon anjuran yang sudah dilepas disajikan pada Gambar di bawah ini : Gambar 1. Produksi Lateks Beberapa Klon Anjuran , dan adalah ratarata produksi 15, 10, dan 5 tahun sadap Sumber: Anwar, 2001 2.3. Beberapa aspek penting untuk kesesuaian agroklimat tanaman Karet 2. 3. 1. Suhu Udara Produksi Klon 4 Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15 o LS dan 15 o LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat. Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman antara 24-28 o C http:warintek.progressio.or.id. 2008. 2. 3. 2. Curah Hujan Hujan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet baik secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman yang bervariasi menurut fase perkembangan tanaman, kondisi iklim dan tanah, maupun secara tidak langsung melalui pengaruh terhadap kelembaban udara dan tanah serta radiasi matahari. Ketiga faktor lingkungan fisik tersebut erat kaitannya dengan penyerapan air dan hara serta penyakit tanaman. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mmtahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HHtahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang Anwar, 2001.

2. 3. 3. Tanah

Lahan kering tanah untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah daripada sifat kimianya. Hal ini disebabkan karena perbaikan sifat kimia untuk syarat tumbuh tanaman karet perlakuan tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah aluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH 3,0 dan pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain : - Sulum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas - Aerase dan drainase cukup - Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air - Struktur terdiri dari 35 liat dan 30 pasir - Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm - Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro - Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5 - Kemiringan tanah 16 dan - Permukaan air tanah 100 cm Anwar, 2001.

2. 4. Pewilayahan Tanaman dan Evaluasi Lahan

Pewilayahan tanaman merupakan salah satu metode evaluasi lahan yang mengidentifikasi lahan yang dapat digunakan untuk tanaman tertentu, sehingga dapat ditentukan kelas-kelas kesesuaian lahan terhadap tanaman dan diperoleh lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman Komarudin, 1998. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah dan juga suatu proses dalam menduga potensi lahan tertentu baik untuk pertanian maupun non pertanian. Potensi suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, lereng, topografi dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman. Inti dari evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian untuk jenis penggunaan lahan tersebut. Kesesuaian lahan adalah kecocokan adaptability suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan jenis tanaman dan tingkat pengelolaan tertentu. Penilaian kesesuian lahan dibedakan menurut tingkatannya pada tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Tingkat Kelas untuk Kesesuaian Lahan. Kelas S1 Sangat Sesuai: Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau 5 faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 Sesuai: Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan input. Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3 Sesuai Marginal : Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan intervensi pemerintah atau pihak swasta. Kelas N Tidak Sesuai: Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat danatau sulit diatasi. Sumber: Hidayat dkk., 2007. Ketiga kelas ini didasarkan pada faktor pembatas yang mempengaruhi kelanjutan penggunaan lahan Lampiran 1.

2. 5. Sistem Informasi Geografis SIG

SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian Aronaff, 1989. Dan SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan, penimbunan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan dunia Barrough, 1986. SIG dapat diartikan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan manipulasi, analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi Linden, 1987. SIG juga merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi., dengan konsep dasarnya yang merupakan suatu sistem terpadu yang mengorganisir perangkat keras hardware, perangkat lunak software dan data, yang selanjutnya dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan spasial Widyawati, 2005. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan Prasetyo, 2003. Fungsi analisis SIG yang banyak digunakan dalam penelitian ini yaitu fungsi tumpang susun overlay. Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial sebagai masukannya. Operasi tumpang susun dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu dari lima cara yang dikenal, yaitu : 1. Pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan union, irisan intersection dan lain-lain; 2. Pemanfaatan fungsi rasional, seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama dengan, dan kombinasinya; 3. Pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian; 4. Pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi atau 3-dimensi; 5. Menyilangkan 2 peta secara langsung variasi tabel 2-dimensi Harimudin, 2007. 6

III. METODOLOGI 3. 1. Bahan dan Alat

. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: 1. Data iklim propinsi Sulawesi Tenggara berupa curah hujan dan suhu rata-rata bulanan, kurun waktu 1992 – 2003.BMG 2. Peta tanah tinjau skala 1 : 1000.000 Puslitanak 3. Data Digital Elevation Model DEM resolusi 90 m SRTM. 4. Peta penutupan lahan Sulawesi Tenggara tahun 2003 LAPAN resolusi 30 m USGS – Landsat 5. Peta administrasi daerah Sulawesi Tenggara, Skala 1 : 50.000 Bakosurtanal tahun 2003. 6. Seperangkat PC Personal Computer dan perangkat lunak software pengolah kata, ArcView 3.3, Surfer 8.0, dan ARCGIS 9.2, Er Mapper 7.1, Global Mapper 9.0.

3. 2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 sampai dengan Mei 2008 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.

3.3. Metode

Sebagai langkah awal, yang dilakukan pada penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan Data

dan studi Pustaka. Studi pustaka dimaksudkan untuk memperoleh berbagai informasi mengenai tanaman karet, baik itu kriteria tanaman dan juga syarat tumbuh tanam. Tahapan selanjutnya adalah penyediaan data, baik berupa data spasial dan non spasial. Data spasial yang dikumpulkan meliputi : Peta tinjau tanah, peta administrasi dan peta penutupan lahan. Data non spasial berupa data ikim Suhu dan Curah hujan dan DEM yang kemudian akan di olah menjadi peta sebaran spasial. b. Klasifikasi Kesesuaian Dalam melakukan klasifikasi kesesuaian, setiap peta diklasifikasikan dan diberi nilai berdasarkan tingkat kelas kesesuaian tanaman karet yang telah disusun oleh Djaenudin et al., 2003, terdapat di lampiran 1. Klasifikasi kesesuaian di lakukan atas kelas-kelas, yaitu:

1. S1: Sangat Sesuai

Daerah sangat sesuai untuk pengembangan tanaman karet, tidak ada faktor pembatas terhadap penggunaannya secara bekelanjutan.

2. S2: Sesuai

Daerah sesuai untuk pengembangan tanaman karet, tidak ada faktor pembatas terhadap penggunaanya secara berkelanjutan, atau memiliki faktor pembatas yang sifatnya minor dapat diatasi serta tidak akan menurunkan hasil produksi.

3. S3: Kurang Sesuai

Daerah cukup sesuai atau sesuai marjinal yang memiliki faktor pembatas yang sangat perlu untuk diperhatikan, agar tidak menurunkan hasil produksi.

4. N: Tidak Sesuai

Daerah yang tidak cocok untuk pengembangan komoditas tanaman karet.

c. Penentuan Tingkat Kesesuaian Iklim.

Tingkat kesesuaian iklim tanaman Karet didasarkan dari data iklim propinsi Sulawesi Tenggara yang berupa curah hujan tahunan dan suhu udara rata-rata bulanan selama 10-20 tahun pengamatan. Suhu udara rata-rata diduga dengan menggunakan persamaan Braak dalam Khomarudin 1998 dengan memodifikasi suhu acuannya berdasarkan data dari stasiun acuan, yaitu: T = T st + 0,0061h st – h pada 0 h 2000 mdpl …1 T = T st + 0,0052h st – h pada h 2000 mdpl …….2 Ket : T st = Suhu stasiun acuan 26,3 o C h st = Ketinggian stasiun 84 mdpl Stasiun acuan yang digunakan adalah stasiun Betoambari. Untuk mendapatkan curah hujan wilayah dilakukan interpolasi dari curah hujan stasiun di Sulawesi Tenggara. Setelah kedua data tersebut direklasifikasi berdasarkan pada kriteria kesesuaian lahan, maka dibuat peta berupa peta sebaran curah hujan isohyet dan peta sebaran suhu isoterm. Lalu dilakukan proses overlay tumpang susun sehingga menghasilkan informasi berupa peta tingkat kesesuaian iklim tanaman Karet di Sulawesi Tenggara.

d. Penentuan Kesesuaian Tanah

7 Parameter yang diuji dalam penentuan kelas kesesuaian tanah adalah kelerengan dan jenis tanah karakteristik. Penentuan kelas kesesuaian tanah untuk tanaman Karet disusun sama seperti pada proses penentuan tingkat kesesuaian iklim.

e. Penentuan Kesesuaian Agroklimat

Pewilayahan tanaman tidak dapat dilihat hanya dari segi iklim maupun tanah secara terpisah, namun perlu adanya penggabungan kedua aspek tersebut. Penentuan kesesuaian agroklimat tanaman Karet menggunakan pembobotan dengan metode overlay. Pada penelitian ini nilai pembobotnya diasumsikan sama artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet. Peta kesesuaian agroklimat ini kemudian di overlay dengan peta penutupan lahan yang aktual untuk melihat daerah mana yang cocok untuk pengembangan perkebunan tanaman karet, yang hasilnya adalah peta rekomendasi wilayah pengembangan tanaman karet di Provinsi Sulawesi Tenggara. Langkah-langkah penentuan kesesuaian agroklimat tanaman karet dari awal sampai mendapatkan hasil yang kesesuaiannya dapat dirangkum dalam Gambar 3.1. Gambar 3.1. Fowchart penyusunan kesesuaian agroklimat tanaman Karet. Data Iklim Regional Data - CH - Suhu Peta Tanah - Karakteristik Tanah Peta Topografi - Elevasi - Lereng Spasial Data Iklim - Isoterm - Isohyet Overlay Maching Persyaratan Tanaman Penggunaan Lahan Kesesuaian Tanaman 8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi

Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara Sultra terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45 - 06°15 Lintang Selatan dan di antara 120°45-124°30 Bujur Timur. Bagian utara dibatasi oleh Propinsi Sulawesi Tengah, bagian barat dan selatan dibatasi oleh Laut Banda dan bagian timur adalah Selat Makasar Gambar 4.1. Wilayah ini mencakup daratan seluas 38.140 km 2 atau 3.814.000 ha sekitar 1,98 terhadap luas Indonesia dan wilayah perairan laut seluas 110.000 km 2 . Propinsi ini terdiri atas 10 kabupaten yaitu Kendari, Kolaka Utara, Kolaka, Kota Kendari, Konawe Selatan, Bombana, Muna, Buton, Wakatobi dan Bau- bau http:id.wikipedia.org. 2008. Gambar 4.1. Peta Lokasi Propinsi Sultra 4.1.2 Kondisi Topografis Daerah Sultra mempunyai ketinggian elevasi bervariasi Tabel 4.1 dari 0 sampai ± 2600 m diatas permukaan laut m dpl. khususnya Kendari, Bombana dan Pulau Buton. Bentuk wilayahnya bervariasi dari datar sampai bergunung-gunung. Wilayah datar dengan lereng 8 adalah wilayah paling dominan dengan luas ±1.119.760 ha atau 31,52 Tabel 4.1 dari luas Sultra terdapat di bagian tengah, tenggara dan sebagian timur laut, serta terpencar menempati daerah-daerah sempit di lembah-lembah sungai dan pesisir pantai. Sedangkan wilayah lainnya adalah datar-berombak, berombak-bergelombang, berbukit dan bergunung, dengan kemiringan bervariasi. Berdasarkan Gambar 4.2, wilayah perbukitan dan pegunungan banyak menempati bagian utara Kolaka utara kendari, sebagian lain berada di Kolaka dan pulau Buton. Pulau buton sendiri sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan dengan lereng curam kemiringan 30 terdiri dari batukapur. Keadaan kelerengan sangat menentukan untuk menduga potensi kebanjirangenangan di suatu wilayah. Wilayah belereng aliran air akan terjadi lebih cepat dibandingkan wilayah datar, dengan demikian kemungkinan terjadinya banjirgenangan di wilayah datar lebih besar dibandingkan wilayah belereng. Distribusi spasial sebaran kemiringan lereng di Sultra terdapat pada Lampiran 9. Sedangkan distribusi spasial ketinggian termasuk penampakkannya muka lereng tersaji pada Gambar 4.2. Tabel 4.1 Tabel Kelas Lereng di Sultra Slope Klas Luas Ha 0 - 8 1 1.422.515 8 - 16 2 1.119.760 16 - 30 3 851.212 30 - 40 4 567.899 40 5 320.065 Gambar 4.2. Peta Penampakkan Ketinggian Sultra Tabel 4.2 Tabel Sebaran Ketinggian di Sultra 9 Elevasi mdpl Luas Ha 0 - 200 1.755.127 200 - 400 642.839 400 - 600 402.654 600 - 800 248.199 800 - 1000 164.095 1000 - 1200 121.682 1200 - 1400 90.790 1400 - 1600 64.736 1600 52.743 4.1.3 Kondisi Iklim Berdasarkan data curah hujan yang digunakan. Tipe iklim daerah Sultra menurut Oldeman, bertipe iklim C2, dengan 6 bulan basah berturut-turut curah hujan rata-rata 200 mmbulan dan 3 bulan kering berturut-turut curah hujan rata-rata 100 mmbulan. Secara garis besar memiliki curah hujan CH rataan ±2500 mmtahun untuk periode 10 tahun 1990-2000, tersebar merata pada wilayah bagian tengah dan selatan Sultra. Daerah terbasah dengan curah hujan diatas 3500 mmtahun tersebar di bagian utara Sultra. Makin ke arah timur, tenggara dan selatan curah hujan semakin menurun, sampai daerah Bombana curah hujan hanya dibawah 1500 mmtahun, hal ini bisa terlihat pada Gambar 4.4. Berdasarkan Grafik 4.3, curah hujan bulanan tertinggi pada bulan Maret, April, Mei dan Juni diatas 300 mmbulan, terendah pada bulan September dan Oktober dibawah 100 mmbulan. CH Rerata Bulanan Sultra 50 100 150 200 250 300 Ja n Fe b M ar et Ap ril Me i Ju ni Ju li Ag t Se p O kt N ov D es Gambar 4.3. Grafik Ch Rata-rata bulanan Sultra Gambar 4.4. Peta Sebaran Curah Hujan di Sultra Suhu udara memiliki hubungan yang erat dengan ketinggian tempat dari permukaan laut. Pada lapisan Troposfer, secara umum suhu udara makin rendah menurut ketinggian. Suhu udara diperoleh dari perhitungan hubungan antara suhu dengan ketinggian menggunakan rumus Braak 1929. Berdasarkan data dari titik-titik stasiun cuaca Lampiran 8, suhu udara rata-rata berkisar antara 26-27 o C tersebar merata dari bagian tengah sampai selatan Sultra seluas Tabel 4.3. Tabel 4.3 Tabel Sebaran Suhu Rata-rata di Sultra Suhu Luas Ha 22 428.331 22 - 23 170.026 23 - 24 239.390 24 - 25 357.723 25 - 26 526.196 26 - 27 1.034.437 27 - 28 790.954 4.1.4 Kondisi Tanah Penelitian mengenai sumberdaya lahan di wilayah Pulau Sulawesi, khususnya Sultra masih relatif terbatas. Tanah-tanah di Sultra terbentuk dari berbagai batuan induk, yaitu: batuan sedimen batupasir, skis, filit, batuan plutonik masam, batuan volkan tersier dan kuarter, bahan endapan kuarter aluvial dan bahan organik. Tanah yang dihasilkan dari bahan induk tersebut terdiri dari 9 ordo, yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols, Vertisols, Andisols, Mollisols, Alfisols, Ultisols dan Oxisols. Penyebaran jenis tanah yang dominan di temui adalah Inceptisols, Entisols dan Ultisols CH mm Bln 10 Podsolik Merah Kuning. Tanah tersebut tersebar bervariasi pada Fisiografi Dataran, perbukitan dan pegunungan. Sedangkan yang paling sedikit adalah tanah Andisols Andosol, yang sebenarnya pada Fisiografi volkan vulkanik. Berdasarkan satuan tanah pada tingkat sub ordo, satuan fisiografi dan bahan induk di Sultra, terdiri dari 41 SPT Satuan Peta Tanah yang sebagian bersar tergolong asosiasi. Penyebaran jenis tanah Sultra disajikan pada Gambar 4.5 dan kateristiknya Lampiran 4 . Gambar 4.5. Peta Jenis Tanah di Sultra

4.2. Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra.

Berdasarkan syarat tumbuh tanaman , karet dapat tumbuh optimal pada ketinggian 200 mdpl, walaupun demikian karet masih bisa berproduksi di dataran menengah dan tinggi tetapi dengan waktu penyadapan yang makin panjang http:warintek.progressio.or.id, 2008. Faktor ketinggian berhubungan erat dengan perubahan suhu udara. Suhu udara sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet, karena suhu merupakan unsur utama dalam aktivitas fisiologis pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu optimal yang dibutuhkan berada pada kisaran 24-28º C. Selain suhu udara, Curah hujan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet, dengan kisaran optimal CH berkisar antara 1500-2000 mmtahun.Faktor iklim lain seperti Lama penyinaran dan kelembaban udara tidak menjadi faktor pembatas dalam penelitian ini. Kriteria kesesuaian iklim untuk tanaman karet mengacu pada penelitian Djaenudin et al., 2003. Hal tersebut bisa lihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Peta pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.1, kesesuaian iklim tanaman karet di wilayah kajian memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki iklim yang sesuai S2 yaitu seluas 1.458.030 ha atau 38,2 dari luas keseluruhan. Dan Sesuai marginal S3 1.413.457 ha 37. Hanya beberapa daerah yang mempunyai kesesuasian S1 sangat sesuai untuk di tanami karet, dengan luas 148.141 ha 3,88; daerah ini meliputi pesisir pantai Kolaka Utara dan Kolaka, sebagian Kota Kendari, bagian timur laut Buton dan sebagian daerah Muna. Gambar 4.6. Peta Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Sultra Tabel 4.1. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Iklim di Sultra. Kelas Luas Ha S1 148.141 4,91 S2 1.458.030 48,28 S3 1.413.457 46,81 N 529.444 17,53 Total 3.019.628 4.3. Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra. Disamping faktor iklim curah hujan dan suhu udara faktor tanah juga mempunyai 11 peranan yang sangat penting untuk tanaman karet, karena bagaimanapun baik dan sesuainya iklim disuatu tempat tanpa ditunjang oleh kondisi tanah yang sesuai, maka akan mengalami banyak kegagalan dalam membudidayakan tanaman yang di inginkan. Kondisi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan karet dalam penenlitian ini diperoleh dari Peta Tanah Eksplorasi Puslitanak dengan skala 1:1000.000. Dari klasifikasi tanah untuk satuan peta tanah SPT bisa diturunkan nama ordo jenis tanah tersebut. Dari ordo tanah itu bisa di peroleh informasi gambaran secara umum mengenai karakterisktik sifat fisik tahan yang diamati. Persyaratan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan karet adalah berdrainase cukup baik, dengan tekstur agak halus dengan lereng 8 dan bahaya erosi rendah. Kemiringan tanah lereng erat kaitannya dengan bahaya erosi, makin curam lereng tersebut semakin tinggi pula bahaya erosi yang di timbulkan. Persyaratan kondisi tanah untuk kelas kesesuaian ditunjukkan pada Lampiran 1 . Berdasarkan Gambar 4.7 kesesuaian tanah untuk tanaman karet di Sultra bervariasi. Tingkat kesesuaiannya tanah yang baik untuk tanaman karet sekitar 50 lebih. Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan kelas tanah sangat sesuai S1 adalah 25,04 atau 966.688 ha tanah, kelas sesuai S2 26,97 atau 966.682 ha, kelas sesuai bersyarat S3 23,69 atau 849.037 ha, sedangkan tanah yang tidak sesuai seluas 870.596 ha atau sekitar 24,29 dari luas kesesuaian tanah di Sultra. Tabel 4.2. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Tanah di Sultra. Kelas Luas S1 897.317 25,04 S2 966.682 26,97 S3 849.037 23,69 N 870.594 24,29 Total 3.583.630 Gambar 4.7. Peta Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Sultra 4.4. Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet di Propinsi Sultra. Kesesuaian iklim dan tanah sangat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dalam menentukan kesuburan dan produksi suatu varietas tanaman, hal ini erat kaitannya reaksi tanaman terhadap lingkungannya. Tanaman akan merespon positif lingkungan iklim dan tanah yang sesuai dengan syarat pertumbuhannya. Interaksi kedua unsur iklim dan tanah tersebut merupakan penentu, karena apabila suatu daerah yang memiliki kondisi iklim sesuai tetapi tidak dibarengi dengan kondisi tanah yang sesuai maka kondisi tersebut tidak bisa dikatakan sesuai untuk suatu tanaman Ansari,2002. Berdasarkan hasil overlay tumpang susun antara kesesuaian iklim dan kesesuaian tanah di Sultra diperoleh hasil analisis spasial yang berupa peta kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet Gambar 4.8. 12 Gambar 4.8. Peta Kesesuaian Agroklimat untuk Tanaman Karet di Sultra Tabel 4.3. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat di Sultra. Kelas Luas S1 420.09 1,18 S2 850.914 23,88 S3 1.226.489 40,52 N 1.230.584 34,42 Total 3.581.131 Informasi yang didapatkan dari hasil analisis kesesuaian agroklimat di Sultra Tabel 4.3 adalah sebagai berikut; kelas S1 sangat sesuai untuk kesesuaian agroklimat tanaman karet di Sultra adalah paling sempit, dengan luasan 42.009 ha atau 1,18. Hal ini menunjukkan bahwa Sultra merupakan bukan daerah utama untuk dijadikan sentra produksi tanaman karet. Untuk kelas S2 sesuai mempunyai luasan 850.914 ha atau 23,88 . Kelas kesesuaian bersyarat S3 adalah yang terluas dengan luas daerah mencakup 40,52 atau 1.443.751 ha. Sedangkan daerah yang tidak sesuai untuk pengembangan karet berdasarkan agroklimat seluas 1.226.489 ha atau 34,42 dari total kesesuaian agroklimat. Daerah terluas yang paling sesuai S1 berdasarkan agroklimat untuk tanaman karet di Sultra meliputi; bagian barat Kolaka dengan luas 13.470 ha, bagian tenggara Kendari 11.086 ha dan bagian barat Kolaka utara dengan luas 8.878 ha. Hal ini di karenakan daerah-daerah tersebut mempunyai bentuk lereng datar dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 200 mdpl. Suhu udara dan curah hujan yang meliputi daerah diatas juga cocok untuk pengembangan tanaman karet, dengan suhu udara rataan berkisar antara 25-27 o C dan curah hujan rata- rata 2500 mmtahun. Daerah yang tidak sesuai dalam hal ini termasuk kedalam kesesuainan kelas lahan S3 meliputi; bagian selatan Bombana dengan luas 160.505 ha, sebagian wilayah Kendari 452.342 ha dan bagian selatan Kolaka utara dengan luas 163.614 ha. Daerah-daerah ini merupakan pegunungan, lereng curam, ketinggian diatas 600 mdpl. Meskipun curah hujan di Kendari dan Kolaka utara mempunyai curah hujan yang cukup untuk syarat pertumbuhan tanaman karet, namun suhu udara masih dibawah syarat tumbuh 22 o C. Sedang di Bombana curah hujan dibawah 1500 mmtahun, suhu dibawah 25 o C.

4.5. Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra.

Pemetaan Potensi pengembangan agroklimat iklim dan tanah harus di tunjang oleh keadaan aktual penutupanpenggunaan lahan pada daerah yang di kaji,nilai potensi pengembangan yang telah di perhitungkan cocoksesuai pada kondisi aktual pengguanaan lahan, sehingga bisa diterapkan hasil tersbut di lapang. Pengetahuan penggunaan lahan bertujuan agar mendapatkan nilai ekonomis untuk usaha ekstensifikasi. Lahan-lahan yang bernilai ekonomis untuk dijadikan wilayah ekstensifikasi, yaitu; hutan primer, pertanian, hutan daratan rendah, dan perkebunan. Sedangkan lahan kering, tambak, sawah, gambut, hutan lindung dan waduk tidak bisa dikonvesi untuk ekstensifikasi lahan. Berdasarkan data pada Lampiran 2 dan Gambar 4.9, penutupan lahan Sultra dominan oleh Hutan Primer 58,24 dari total penutupan dan Semak Belukar 17,83 dari total penutupan. Dari data tersebut Sultra bisa sesuaicocok dijadikan tempat ekstensifikasi tanaman karet yang bernilai ekonomis. Daerah di Sultra yang berpotensi besar untuk usaha ekstensifikasi perkebunan karet yang baik dari faktor agroklimat dan penggunaan lahannya adalah sebagian daerah Buton dengan luas 119.762 ha, sebagian daerah Kendari 307.177 ha, sebagian daerah Kolaka 122.063 ha, dan sebagian daerah Muna 183.518 ha. Dengan luas potensi yang berkategori baik untuk pengembangan ekstentifikasi tanaman karet seluas 812.489 ha atau 23,11. Daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman 13 karet di Sultra seluas 140.457 ha 39,96. Sedangkan untuk daerah yang tidak bisa dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sultra berdasarkan potensi pengembangannya seluas 1.298.327 ha atau 36,93. Daerah ini meliputi; Sebagian besar daerah Kendari dengan luas 493.162 ha, sebagian daerah kolaka 323.964 ha, sebagian Kolaka utara 166.038 ha dan sebagian Bombana dengan luas 162.747 ha. Berdasarkan hasil penelitian, kecenderungan pengembangan tanaman karet di daerah Sultra sangat kecil, tetapi berdasarkan data kesesuaian iklim suhu udara dan curah hujan dan kesesuian tanah drainase, lereng dan bahaya erosi yang di hubungkan dengan faktor kegunaanpenutupan lahan maka daerah Sultra mempunyai potensi untuk dijadikan daerah ekstensifikasi pembudidayaan. Gambar 4.9. Peta PenutupanPenggunaan Lahan di Sultra Tabel 4.5. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat dan PenutupanPenggunaan Lahan di Sultra. Kelas Luas ha S1 42.009 1,18 S2 850.914 23,88 S3 1.226.489 40,52 N 1.230.584 34,42 Total 3.581.131 Gambar 4.10. Peta Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Sultra 14

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan

Pengembangan wilayah potensi tanaman karet harus memiliki kesesuaian iklim dengan curah hujan 2500 mmtahun, suhu rata-rata 25- 28 o C dan kesesuaian tanah dengan drainase baik, tekstur halus dan bentuk lereng yang datar. Berdasarkan data kesesuaian iklim dan kesesuian tanah agroklimat yang di hubungkan dengan faktor kegunaanpenutupan lahan maka daerah Sulawesi Tenggara mempunyai potensi yang sangat kecil untuk dijadikan daerah ekstensifikasi pembudidayaan. Berdasarkan hasil analisis spasial wilayah. Sulawesi Tenggara memiliki sedikit potensi pengembangan tanaman karet, dengan luas daerah yang bisa dijadikan usaha ekstensifikasi sebesar 812.489 ha atau 23,11 dari luas wilayah Sulawesi Tenggara. Daerah ini meliputi; sebagian daerah Buton, Kendari, Kolaka, dan Muna. Daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sulawesi Tenggara seluas 140.457 ha atau 39,96. Daerah ini meliputi; sebagian daerah Kolaka, Kolaka Utara, Kendari dan Muna dan hampir seluruh wilayan Bombana. Sedangkan daerah yang tidak bisa dijadikan ekstentifikasi tanaman karet, meliputi; sebagian daerah Kendari, sebagian daerah Kolaka, sebagian daerah Kolaka Utara dan sebagian Bombana dengan luas potensi sebesar 1.298.327 ha atau 36,93. Luasan wilayah yang didapat masih berupa luasan potensial, bukanlah aktual. Luasan sebenarnya di lapang bisa menjadi sangat sedikit, karena wilayah tersebut sudah digunakan untuk sektor lain seperti sawah, pemukiman, perkebunan, dan lain sebagainya, sehingga lahan tersebut sulit untuk dikonversi menjadi lahan penanaman karet. 5. 2. Saran Dalam penelitian ini perlu dikaji ulang dan memperhatikan faktor-faktor lain, seperti: nilai ekonomi, sosial, politik, budaya dan kebijakan pemerintah, agar pengembangan tanaman karet bisa diterapkan pada daerah yang berpotensial. Dalam menganalisis kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet ini sebaiknya menggunakan faktor pembatas yang lebih banyak dan variatif, sehingga hasil analisanya pun akan lebih akurat. Penelitian mengenai pewilayahan kesesuaian tanaman karet masih bisa dilanjutkan ke daerah-daerah yang lebih potensial dengan karakteristik agroklimat yang cocok atau sesuai untuk dikembangkan tanaman karet. Pemerintah dan pihak swasta sangat diharapkan bekerjasama dengan masyarakat khususnya petani dalam hal pola tanam seperti pada komoditi lainnya sehingga dapat meningkatkan produksi nasional.

Dokumen yang terkait

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Perkebunan Rakyat Desa Tarean, Kecamatan Silindak, Kabupaten Serdang Bedagai

3 64 58

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Pada Komposisi Media Dan Genotipe Berbeda

0 43 86

Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Dari Eksplan Nodus Pada Media Ms Dengan Pemberian Benzil Amino Purin (Bap) Dan Naftalen Asam Asetat (Naa)

9 88 81

Respons Pertumbuhan Stum Mata Tidur Karet (Hevea brasilliensis Muell Arg.) Dengan Pemberian Air Kelapa Dan Pupuk Organik Cair.

15 91 108

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muall, Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun (Corynespora casiicola Berk & Curt.) di Lapangan

0 34 64

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

0 23 84

Uji Ketahanan Beberapa Klon Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis Muell. Arg.) Terhadap Penyakit Gugur Daun ( Corynespora Cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.) Di Kebun Entres

0 57 66

Intersepsi Pada Berbagai Kelas Umur Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) (Studi Kasus Di Desa Huta II Tumorang, Kecamatan Gunung Maligas, Kabupaten Simalungun)

2 56 84

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

0 35 61

Pendugaan Cadangan Karbon Pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) di Perkebunan Rakyat Desa Tarean, Kecamatan Silindak, Kabupaten Serdang Bedagai

3 65 57