23
Lampiran 9. Peta Sebaran Kemiringan Lereng di Propinsi Sultra.
24
Lampiran 10. Peta Sebaran Curah Hujan Rata-rata di Propinsi Sultra.
25
Lampiran 11. Peta Sebaran Suhu Rata-rata di Propinsi Sultra.
26
Lampiran 12. Peta Sebaran Lamanya Masa Bulan Kering di Propinsi Sultra.
27
Lampiran 13. Peta Kesesuaian Iklim berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N di Propinsi Sultra.
28
Lampiran 14. Peta Kesesuaian Agroklimat berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N di Propinsi Sultra.
29
Lampiran 15. Peta Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
30
Lampiran 16. Peta Sebaran Jenis Tanah di Propinsi Sultra.
Ket: Legenda ada di Lampiran 4
31
Lampiran 17. Peta Sebaran Elevasi di Propinsi Sultra.
32
Lampiran 18. Peta Lokasi Provinsi Sultra
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET Hevea brasiliensis BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
ACHMAD FAUZI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ACHMAD FAUZI
. Potensi Pengembangan Tanaman Karet Hevea brasiliensis Berdasarkan
Aspek Agroklimatologi di Sulawesi Tenggara. Dibawah bimbingan IMAM SANTOSA.
Latar belakang penelitian ini adalah tingginya eksport Lateks karet mentah ke luar negeri. Nilai eksport karet mentah ini memiliki kontribusi dalam meningkatkan pendapatan devisa
negara yang cukup signifikan dari sektor non-migas. Penelitian ini penentuan kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet, dilakukan dengan
pengumpulan data non-spasial iklim dan tanah, data spasial DEM Peta tanah, lalu data tersebut diubah menjadi peta spasial. Selanjutnya adalah membuat klas kesesuaian iklim dan tanah
tanaman karet. Kemudian dilakukan proses tumpang susun kedua kesesuian tersebut, sehingga menjadi kesesuaian Agroklimat. Dengan asumsi nilai pembobotnya sama, artinya masing-masing
parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet.
Dari nilai kesesuain agroklimat tersebut di analisis lebih lanjut dengan menghubungkan faktor ekonomi daerah Sulawesi Tenggara, yaitu penutupanpenggunaan lahan. Dari hubungan
tersebut diperoleh potensi kesesuaian tanaman karet di Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara memiliki potensi pengembangan untuk usaha ekstensifikasi tanaman
karet sebesar 812.489 ha, daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sulawesi Tenggara seluas 140.457 ha, dan daerah yang tidak bisa dijadikan
usaha ekstentifikasi tanaman karet sebesar 1.298.327 ha.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET Hevea brasiliensis BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
ACHMAD FAUZI G02400030
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL : Kesesuaian Lahan Tanaman Karet Hevea brasiliensis Berdasarkan Aspek Agroklimat Di Sulawesi Tenggara
NAMA : Achmad Fauzi NRP
: G2400030
Menyetujui, Pembimbing
Dr.Ir. Imam Santosa, MS. NIP. 130 804 894
Mengetahui, Dekan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr.Drh. Hasim, DEA NIP : 131 578 806
473 999
Tanggal disetujui :
1
I. PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang
Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal
ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang
terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt
, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam
maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun terakhir, terutama
China dan beberapa negara kawasan Asia- Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea
Selatan dan
Brazil, memberi
dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang
cukup tinggi,
walaupun pertumbuhan
permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan
Jepang relatif stagnan. Hasil studi REP Rubber Evaluation
Project meyatakan bahwa permintaan karet
alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan
non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun
2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia
akan mencapai 3 per tahun, sedangkan Thailand hanya 1 dan Malaysia -2.
Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru
karet yang cukup besar, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton
dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton Anwar, 2001.
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam
upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus
menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada
tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun
2004 mencapai US 2.25 milyar, yang merupakan 5 dari pendapatan devisa non-
migas.
Dengan memperhatikan
adanya peningkatan
permintaan dunia
terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang,
maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan
peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna
mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau
pekebun swasta
untuk membiayai
pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman
karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera
dan Kalimantan.
Luas area
perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.
Diantaranya 85
merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7 perkebunan besar negara serta 8
perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai
angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan
bisa ditingkatkan
lagi dengan
memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan lahan kosongtidak produktif yang
sesuai untuk perkebunan karet. Program pembentukan kawasan sentra
produksi. Dimana secara keseluruhan program ini bertujuan mendorong peningkatan produksi
dan mutu karet, dan salahsatu programnya mencakup perluasan areal tanam di wilayah
sentra ekstensifikasi. karena dengan perluasan kita dapat memproduksi hasil dalam jumlah
yang cukup. Selain itu jika ditambah dengan peningkatan mutu, maka dapat diharapkan
Indonesia mampu meningkatkan hasil produksi yang berkualitas export.
Melakukan perluasan lahan pertanian atau perkebunan tidak dapat diterapkan di
sembarang daerah, karena setiap daerah memiliki karakteristik lahan yang berbeda,
maka tidak semua tanaman dapat tumbuh di daerah tersebut. Sehingga sumberdaya alam
seperti iklim dan tanah harus diperhatikan dalam melakukan ekstensifikasi. Salah satu
syarat untuk menentukan lokasi yang sesuai bagi tanaman karet adalah memperhatikan
aspek agroklimatnya yaitu faktor iklim yang meliputi curah hujan, suhu, dan radiasi.
Ditambah Faktor tanah yang juga perlu diperhatikan seperti sifat fisik, kimia dan
topografi.
Faktor-faktor tersebut
sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan
produksi tanaman. Pusat penanaman karet tersebar pada
wilayah Indonesia bagian barat. Tersebar di pulau Sumatera yang meliputi Sumatera Utara,
Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, Sumatera Selatan. Dalam skala
yang lebih kecil perkebunan karet didapatkan pula di Jawa, Kalimantan dan Daerah Indonesia
Timur. Luas areal tanam di Jawa Barat pada
2
tahun 1998 mencapai 87.984,5 ha dengan produksi 54.359,7 ton. Luas lahan karet di
Indonesia 1992 mencapai 2,7-3 juta hektar dengan produktivitas yang masih rendah dari
karet Malaysia dan Thailand Anwar, 2001.
Meskipun Indonesia bagian timur bukan sentra produksi utama tanaman karet,
peningkatan produksi dan perluasannya sangat diperlukan untuk menunjang devisa negara.
Sehingga diperlukan penelitian tanaman karet yang berkelanjutan di wilayah Indonesia bagian
timur termasuk propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam hal ini dijadikan objek kajian
penelitian. I. 2. Tujuan
Penelitian ini
bertujuan untuk
menentukan daerah-daerah yang berpotensi untuk
pengembangan tanaman
karet berdasarkan
kesesuaian agroklimat
dan kesesuaian tanah di Sulawesi tenggara.
1. 3. Asumsi
Pada penelitian ini nilai pembobotnya diasumsikan sama artinya masing-masing
parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman karet.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Agronomi Tanaman Karet Karet adalah polimer hidrokarbon yang
terbentuk dari emulsi kesusuan, yang dikenal sebagai latex http:id.wikipedia.org. 2008.
Karet adalah
tanaman perkebunanindustri tahunan berupa pohon
batang lurus yang pertama kali ditemukan di Brasil dan mulai dibudidayakan tahun 1601. Di
Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet dicoba dibudidayakan pada tahun 1876.
Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun
Raya Bogor.
Indonesia pernah
menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara
tetangga Malaysia dan Thailand. Klasifikasi botani tanaman karet adalah
sebagai berikut: -
Divisi : Spermatophyta
- Sub divisi : Angiospermae
- Kelas
: Dicotyledonae -
Keluarga : Euphorbiaceae -
Genus : Hevea
- Spesies
: Hevea brasiliensis Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia
telah banyak menghasilkan klonklon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil
kayu. Pada Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan
klon-klon unggul baru generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32,
IRR 39
, IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118
. Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan
pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi.
Klon-klon tersebut
menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada
berbagai lokasi, tetapi memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Oleh
karena itu pengguna harus memilih dengan cermat klon-klon yang sesuai agroekologi
wilayah pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan.
Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261,
PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260,
RRIC 100 masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan secara
hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya. Klon GT 1 dan
RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami
gangguan penyakit
daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan
klon BPM 1, PR 255, PR 261 memiliki masalah
dengan mutu
lateks sehingga
pemanfaatan lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260
sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena
itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat http:warintek.progressio.or.id. 2008.
2.2. Produksi Karet Indonesia
Sentra utama produksi Karet ada di Indonesia bagian timur khususnya Sulawesi
Tenggara tidaklah
begitu besar
jika dibandingkan wilayah bagian barat seperti
Sumatera dan Kalimantan sehingga perlu pemikiran
dan pengembangan
yang berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan
karet yang bernilai jual tinggi. Harga karet alam yang membaik saat ini
harus dijadikan momentum yang mampu mendorong
percepatan pembenahan
dan peremajaan karet yang kurang poduktif dengan
menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya lainnya. Pemerintah telah
menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta
tontahun pada tahun 2025.
Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85 areal kebun karet
rakyat yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet
unggul.
Potensi produksi lateks beberapa klon anjuran yang sudah dilepas disajikan pada
Gambar di bawah ini
:
Gambar 1. Produksi Lateks Beberapa Klon Anjuran , dan adalah ratarata
produksi 15, 10, dan 5 tahun sadap Sumber: Anwar, 2001
2.3.
Beberapa aspek
penting untuk
kesesuaian agroklimat tanaman Karet 2. 3. 1. Suhu Udara
Produksi
Klon
4
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar
Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan
memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa
kebun karet
ada beberapa
kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara.
Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15
o
LS dan 15
o
LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak
terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat.
Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman
antara 24-28
o
C http:warintek.progressio.or.id. 2008.
2. 3. 2. Curah Hujan
Hujan dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
Karet baik secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman yang
bervariasi menurut
fase perkembangan
tanaman, kondisi iklim dan tanah, maupun secara tidak langsung melalui pengaruh
terhadap kelembaban udara dan tanah serta radiasi matahari. Ketiga faktor lingkungan fisik
tersebut erat kaitannya dengan penyerapan air dan hara serta penyakit tanaman.
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000
mmtahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HHtahun. Namun demikian, jika
sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang Anwar, 2001.
2. 3. 3. Tanah
Lahan kering
tanah untuk
pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah
daripada sifat kimianya. Hal ini disebabkan karena perbaikan sifat kimia untuk syarat
tumbuh tanaman karet perlakuan tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet
dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya.
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah
vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut 2 m.
Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur,
sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum
kurang baik karena kandungan haranya rendah.
Tanah aluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan
aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada
pH 3,0 dan pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk
tanaman karet pada umumnya antara lain : -
Sulum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas
- Aerase dan drainase cukup
- Tekstur tanah remah, poreus dan dapat
menahan air -
Struktur terdiri dari 35 liat dan 30 pasir
- Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm
- Kandungan hara NPK cukup dan tidak
kekurangan unsur hara mikro -
Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5 -
Kemiringan tanah 16 dan -
Permukaan air tanah 100 cm Anwar, 2001.
2. 4. Pewilayahan Tanaman dan Evaluasi Lahan
Pewilayahan tanaman merupakan salah satu
metode evaluasi
lahan yang
mengidentifikasi lahan yang dapat digunakan untuk tanaman tertentu, sehingga dapat
ditentukan kelas-kelas
kesesuaian lahan
terhadap tanaman dan diperoleh lahan yang potensial
untuk pengembangan
tanaman Komarudin, 1998.
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah dan juga
suatu proses dalam menduga potensi lahan tertentu baik untuk pertanian maupun non
pertanian. Potensi suatu wilayah untuk suatu pengembangan
pertanian pada
dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik
lingkungan yang mencakup iklim, tanah, lereng, topografi dan persyaratan penggunaan
lahan atau syarat tumbuh tanaman. Inti dari evaluasi
kesesuaian lahan
adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh
tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh lahan yang
digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian
untuk jenis penggunaan lahan tersebut.
Kesesuaian lahan adalah kecocokan adaptability
suatu lahan
untuk tipe
penggunaan lahan jenis tanaman dan tingkat pengelolaan tertentu. Penilaian kesesuian
lahan dibedakan menurut tingkatannya pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Tingkat Kelas untuk Kesesuaian Lahan.
Kelas S1 Sangat
Sesuai: Lahan tidak mempunyai faktor
pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan
secara berkelanjutan,
atau
5
faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh
terhadap produktivitas lahan secara nyata.
Kelas S2 Sesuai:
Lahan mempunyai
faktor pembatas, dan faktor pembatas
ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan
tambahan masukan input. Pembatas tersebut biasanya
dapat diatasi oleh petani sendiri.
Kelas S3 Sesuai
Marginal :
Lahan mempunyai
faktor pembatas yang berat, dan
faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap
produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih
banyak daripada lahan yang tergolong
S2. Untuk
mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal
tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan
intervensi pemerintah atau pihak swasta.
Kelas N Tidak
Sesuai: Lahan
yang karena
mempunyai faktor pembatas yang sangat berat danatau
sulit diatasi.
Sumber: Hidayat dkk., 2007.
Ketiga kelas ini didasarkan pada faktor pembatas yang mempengaruhi kelanjutan
penggunaan lahan Lampiran 1.
2. 5. Sistem Informasi Geografis SIG
SIG adalah sistem informasi yang didasarkan
pada kerja
komputer yang
memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian
Aronaff, 1989. Dan SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan, penimbunan,
pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari
kenyataan dunia Barrough, 1986. SIG dapat diartikan sebuah sistem untuk pengelolaan,
penyimpanan,
pemrosesan manipulasi,
analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi Linden, 1987. SIG
juga merupakan
suatu sistem
berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan
dan memanipulasi
informasi-informasi geografi., dengan konsep dasarnya yang
merupakan suatu
sistem terpadu
yang mengorganisir perangkat keras hardware,
perangkat lunak software dan data, yang selanjutnya dapat mendayagunakan sistem
penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh
informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan spasial Widyawati, 2005.
Teknologi SIG
mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query
dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki
oleh pemetaan Prasetyo, 2003.
Fungsi analisis SIG yang banyak digunakan dalam penelitian ini yaitu fungsi
tumpang susun
overlay. Fungsi
ini menghasilkan data spasial baru dari minimal
dua data spasial sebagai masukannya. Operasi tumpang susun dalam SIG umumnya dilakukan
dengan salah satu dari lima cara yang dikenal, yaitu :
1. Pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan
union, irisan intersection dan lain-lain;
2. Pemanfaatan fungsi rasional, seperti ukuran
lebih-besar, lebih-kecil,
sama dengan, dan kombinasinya; 3. Pemanfaatan
fungsi aritmatika
seperti penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian;
4. Pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi atau 3-dimensi;
5. Menyilangkan 2
peta secara
langsung variasi tabel 2-dimensi Harimudin, 2007.
6
III. METODOLOGI 3. 1. Bahan dan Alat
. Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian ini diantaranya: 1.
Data iklim propinsi Sulawesi Tenggara berupa curah hujan dan suhu rata-rata
bulanan, kurun
waktu 1992
– 2003.BMG
2. Peta tanah tinjau skala 1 : 1000.000
Puslitanak 3.
Data Digital Elevation Model DEM resolusi 90 m SRTM.
4. Peta penutupan lahan Sulawesi Tenggara
tahun 2003 LAPAN resolusi 30 m USGS – Landsat
5. Peta
administrasi daerah
Sulawesi Tenggara,
Skala 1
: 50.000
Bakosurtanal tahun 2003. 6.
Seperangkat PC Personal Computer dan perangkat lunak software pengolah
kata, ArcView 3.3, Surfer 8.0, dan ARCGIS 9.2, Er Mapper 7.1, Global
Mapper 9.0.
3. 2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 sampai dengan Mei 2008 di
Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.
3.3. Metode
Sebagai langkah awal, yang dilakukan pada penelitian ini adalah:
a. Pengumpulan Data
dan studi
Pustaka. Studi
pustaka dimaksudkan
untuk memperoleh berbagai informasi mengenai
tanaman karet, baik itu kriteria tanaman dan juga syarat tumbuh tanam. Tahapan selanjutnya
adalah penyediaan data, baik berupa data spasial dan non spasial. Data spasial yang
dikumpulkan meliputi : Peta tinjau tanah, peta administrasi dan peta penutupan lahan. Data
non spasial berupa data ikim Suhu dan Curah hujan dan DEM yang kemudian akan di olah
menjadi peta sebaran spasial.
b. Klasifikasi Kesesuaian Dalam
melakukan klasifikasi
kesesuaian, setiap peta diklasifikasikan dan diberi
nilai berdasarkan
tingkat kelas
kesesuaian tanaman karet yang telah disusun oleh Djaenudin et al., 2003, terdapat di
lampiran 1. Klasifikasi kesesuaian di lakukan atas kelas-kelas, yaitu:
1. S1: Sangat Sesuai
Daerah sangat
sesuai untuk
pengembangan tanaman karet, tidak ada faktor
pembatas terhadap
penggunaannya secara bekelanjutan.
2. S2: Sesuai
Daerah sesuai untuk pengembangan tanaman
karet, tidak
ada faktor
pembatas terhadap penggunaanya secara berkelanjutan, atau memiliki faktor
pembatas yang sifatnya minor dapat diatasi serta tidak akan menurunkan
hasil produksi.
3. S3: Kurang Sesuai
Daerah cukup sesuai atau sesuai marjinal yang memiliki faktor pembatas
yang sangat perlu untuk diperhatikan, agar tidak menurunkan hasil produksi.
4. N: Tidak Sesuai
Daerah yang tidak cocok untuk pengembangan
komoditas tanaman
karet.
c. Penentuan Tingkat Kesesuaian Iklim.
Tingkat kesesuaian iklim tanaman Karet didasarkan dari data iklim propinsi Sulawesi
Tenggara yang berupa curah hujan tahunan dan suhu udara rata-rata bulanan selama 10-20
tahun pengamatan.
Suhu udara rata-rata diduga dengan menggunakan
persamaan Braak
dalam Khomarudin 1998 dengan memodifikasi suhu
acuannya berdasarkan data dari stasiun acuan, yaitu:
T = T
st
+ 0,0061h
st
– h pada 0 h 2000 mdpl …1
T = T
st
+ 0,0052h
st
– h pada h 2000 mdpl …….2
Ket : T
st
= Suhu stasiun acuan 26,3
o
C h
st
= Ketinggian stasiun 84 mdpl Stasiun acuan yang digunakan adalah stasiun
Betoambari. Untuk
mendapatkan curah
hujan wilayah dilakukan interpolasi dari curah hujan
stasiun di Sulawesi Tenggara. Setelah
kedua data
tersebut direklasifikasi berdasarkan pada kriteria
kesesuaian lahan, maka dibuat peta berupa peta sebaran curah hujan isohyet dan peta sebaran
suhu isoterm. Lalu dilakukan proses overlay
tumpang susun
sehingga menghasilkan
informasi berupa peta tingkat kesesuaian iklim tanaman Karet di Sulawesi Tenggara.
d. Penentuan Kesesuaian Tanah
7
Parameter yang diuji dalam penentuan kelas kesesuaian tanah adalah kelerengan dan
jenis tanah karakteristik. Penentuan kelas kesesuaian tanah untuk tanaman Karet disusun
sama seperti pada proses penentuan tingkat kesesuaian iklim.
e. Penentuan Kesesuaian Agroklimat
Pewilayahan tanaman tidak dapat dilihat hanya dari segi iklim maupun tanah secara
terpisah, namun perlu adanya penggabungan kedua aspek tersebut.
Penentuan kesesuaian
agroklimat tanaman Karet menggunakan pembobotan
dengan metode overlay. Pada penelitian ini nilai pembobotnya diasumsikan sama artinya
masing-masing parameter
mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman Karet. Peta kesesuaian agroklimat ini kemudian
di overlay dengan peta penutupan lahan yang aktual untuk melihat daerah mana yang cocok
untuk pengembangan perkebunan tanaman karet, yang hasilnya adalah peta rekomendasi
wilayah pengembangan tanaman karet di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Langkah-langkah penentuan kesesuaian agroklimat tanaman karet dari awal sampai
mendapatkan hasil yang kesesuaiannya dapat dirangkum dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Fowchart penyusunan kesesuaian agroklimat tanaman Karet.
Data Iklim
Regional Data - CH
- Suhu Peta Tanah
- Karakteristik Tanah Peta Topografi
- Elevasi - Lereng
Spasial Data Iklim - Isoterm
- Isohyet
Overlay
Maching Persyaratan
Tanaman Penggunaan
Lahan Kesesuaian
Tanaman
8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi
Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis
Propinsi Sulawesi Tenggara Sultra terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi,
terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45 - 06°15 Lintang Selatan dan di
antara 120°45-124°30 Bujur Timur. Bagian utara dibatasi oleh Propinsi Sulawesi Tengah,
bagian barat dan selatan dibatasi oleh Laut Banda dan bagian timur adalah Selat Makasar
Gambar 4.1. Wilayah ini mencakup daratan seluas 38.140 km
2
atau 3.814.000 ha sekitar 1,98 terhadap luas Indonesia dan wilayah
perairan laut seluas 110.000 km
2
. Propinsi ini terdiri atas 10 kabupaten yaitu Kendari, Kolaka
Utara, Kolaka, Kota Kendari, Konawe Selatan, Bombana, Muna, Buton, Wakatobi dan Bau-
bau http:id.wikipedia.org. 2008.
Gambar 4.1. Peta Lokasi Propinsi Sultra
4.1.2 Kondisi Topografis Daerah Sultra mempunyai ketinggian
elevasi bervariasi Tabel 4.1 dari 0 sampai ± 2600 m diatas permukaan laut m dpl.
khususnya Kendari, Bombana dan Pulau Buton. Bentuk wilayahnya bervariasi dari datar
sampai bergunung-gunung. Wilayah datar dengan lereng 8 adalah wilayah paling
dominan dengan luas ±1.119.760 ha atau 31,52 Tabel 4.1 dari luas Sultra terdapat di
bagian tengah, tenggara dan sebagian timur laut, serta terpencar menempati daerah-daerah
sempit di lembah-lembah sungai dan pesisir pantai. Sedangkan wilayah lainnya adalah
datar-berombak,
berombak-bergelombang, berbukit dan bergunung, dengan kemiringan
bervariasi. Berdasarkan Gambar 4.2, wilayah
perbukitan dan pegunungan banyak menempati bagian utara Kolaka utara kendari,
sebagian lain berada di Kolaka dan pulau Buton. Pulau buton sendiri sebagian besar
wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan dengan lereng curam kemiringan 30
terdiri dari batukapur.
Keadaan kelerengan sangat menentukan untuk menduga potensi kebanjirangenangan di
suatu wilayah. Wilayah belereng aliran air akan terjadi lebih cepat dibandingkan wilayah datar,
dengan demikian kemungkinan terjadinya banjirgenangan di wilayah datar lebih besar
dibandingkan wilayah belereng. Distribusi spasial sebaran kemiringan lereng di Sultra
terdapat pada Lampiran 9. Sedangkan distribusi spasial ketinggian termasuk penampakkannya
muka lereng tersaji pada Gambar 4.2.
Tabel 4.1 Tabel Kelas Lereng di Sultra
Slope Klas Luas Ha 0 - 8
1 1.422.515
8 - 16 2
1.119.760 16 - 30
3 851.212
30 - 40 4
567.899 40
5 320.065
Gambar 4.2. Peta Penampakkan Ketinggian Sultra Tabel 4.2 Tabel Sebaran Ketinggian di Sultra
9
Elevasi mdpl Luas Ha 0 - 200
1.755.127 200 - 400
642.839 400 - 600
402.654 600 - 800
248.199 800 - 1000
164.095 1000 - 1200
121.682 1200 - 1400
90.790 1400 - 1600
64.736 1600
52.743 4.1.3 Kondisi Iklim
Berdasarkan data curah hujan yang digunakan. Tipe iklim daerah Sultra menurut
Oldeman, bertipe iklim C2, dengan 6 bulan basah berturut-turut curah hujan rata-rata 200
mmbulan dan 3 bulan kering berturut-turut curah hujan rata-rata 100 mmbulan. Secara
garis besar memiliki curah hujan CH rataan ±2500 mmtahun untuk periode 10 tahun
1990-2000, tersebar merata pada wilayah bagian tengah dan selatan Sultra.
Daerah terbasah dengan curah hujan diatas 3500 mmtahun tersebar di bagian utara
Sultra. Makin ke arah timur, tenggara dan selatan curah hujan semakin menurun, sampai
daerah Bombana curah hujan hanya dibawah 1500 mmtahun, hal ini bisa terlihat pada
Gambar 4.4.
Berdasarkan Grafik 4.3, curah hujan bulanan tertinggi pada bulan Maret, April, Mei
dan Juni diatas 300 mmbulan, terendah pada bulan September dan Oktober dibawah 100
mmbulan.
CH Rerata Bulanan Sultra
50 100
150 200
250 300
Ja n
Fe b
M ar
et Ap
ril Me i
Ju ni
Ju li
Ag t
Se p
O kt
N ov
D es
Gambar 4.3. Grafik Ch Rata-rata bulanan Sultra Gambar 4.4. Peta Sebaran Curah Hujan di Sultra
Suhu udara memiliki hubungan yang erat dengan ketinggian tempat dari permukaan
laut. Pada lapisan Troposfer, secara umum suhu udara makin rendah menurut ketinggian.
Suhu udara diperoleh dari perhitungan hubungan antara suhu dengan ketinggian
menggunakan rumus
Braak 1929.
Berdasarkan data dari titik-titik stasiun cuaca Lampiran 8, suhu udara rata-rata berkisar
antara 26-27
o
C tersebar merata dari bagian tengah sampai selatan Sultra seluas Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Tabel Sebaran Suhu Rata-rata di Sultra
Suhu Luas Ha
22 428.331
22 - 23 170.026
23 - 24 239.390
24 - 25 357.723
25 - 26 526.196
26 - 27 1.034.437
27 - 28 790.954
4.1.4 Kondisi Tanah Penelitian mengenai sumberdaya lahan
di wilayah Pulau Sulawesi, khususnya Sultra masih relatif terbatas.
Tanah-tanah di Sultra terbentuk dari berbagai batuan induk, yaitu: batuan sedimen
batupasir, skis, filit, batuan plutonik masam, batuan volkan tersier dan kuarter, bahan
endapan kuarter aluvial dan bahan organik. Tanah yang dihasilkan dari bahan induk
tersebut terdiri dari 9 ordo, yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols, Vertisols, Andisols,
Mollisols, Alfisols, Ultisols dan Oxisols.
Penyebaran jenis tanah yang dominan di temui adalah Inceptisols, Entisols dan Ultisols
CH mm
Bln
10
Podsolik Merah Kuning. Tanah tersebut tersebar bervariasi pada Fisiografi Dataran,
perbukitan dan pegunungan. Sedangkan yang paling sedikit adalah tanah Andisols Andosol,
yang sebenarnya pada Fisiografi volkan vulkanik.
Berdasarkan satuan tanah pada tingkat sub ordo, satuan fisiografi dan bahan induk di
Sultra, terdiri dari 41 SPT Satuan Peta Tanah yang sebagian bersar tergolong asosiasi.
Penyebaran jenis tanah Sultra disajikan pada Gambar 4.5 dan kateristiknya Lampiran 4
.
Gambar 4.5. Peta Jenis Tanah di Sultra
4.2. Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Berdasarkan syarat tumbuh tanaman , karet dapat tumbuh optimal pada ketinggian
200 mdpl, walaupun demikian karet masih bisa berproduksi di dataran menengah dan tinggi
tetapi dengan waktu penyadapan yang makin panjang
http:warintek.progressio.or.id, 2008. Faktor ketinggian berhubungan erat
dengan perubahan suhu udara. Suhu udara sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet, karena suhu merupakan unsur utama
dalam aktivitas fisiologis pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu optimal yang
dibutuhkan berada pada kisaran 24-28º C. Selain suhu udara, Curah hujan juga sangat
mempengaruhi
pertumbuhan dan
perkembangan tanaman Karet, dengan kisaran optimal CH berkisar antara 1500-2000
mmtahun.Faktor iklim lain seperti Lama penyinaran dan kelembaban udara tidak
menjadi faktor pembatas dalam penelitian ini. Kriteria
kesesuaian iklim
untuk tanaman karet mengacu pada penelitian
Djaenudin et al., 2003. Hal tersebut bisa lihat pada Lampiran 1.
Berdasarkan Peta pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.1, kesesuaian iklim tanaman karet di
wilayah kajian
memperlihatkan bahwa
sebagian besar wilayah memiliki iklim yang sesuai S2 yaitu seluas 1.458.030 ha atau
38,2 dari luas keseluruhan. Dan Sesuai marginal S3 1.413.457 ha 37. Hanya
beberapa daerah yang mempunyai kesesuasian S1 sangat sesuai untuk di tanami karet,
dengan luas 148.141 ha 3,88; daerah ini meliputi pesisir pantai Kolaka Utara dan
Kolaka, sebagian Kota Kendari, bagian timur laut Buton dan sebagian daerah Muna.
Gambar 4.6. Peta Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Sultra
Tabel 4.1. Luas Potensi Pengembangan Tanaman
Karet Berdasarkan Kesesuaian Iklim di Sultra.
Kelas Luas Ha
S1 148.141 4,91
S2 1.458.030 48,28
S3 1.413.457 46,81
N 529.444 17,53
Total 3.019.628
4.3. Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Disamping faktor iklim curah hujan dan suhu udara faktor tanah juga mempunyai
11
peranan yang sangat penting untuk tanaman karet, karena bagaimanapun baik dan sesuainya
iklim disuatu tempat tanpa ditunjang oleh kondisi tanah yang sesuai, maka akan
mengalami
banyak kegagalan
dalam membudidayakan tanaman yang di inginkan.
Kondisi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan karet dalam penenlitian ini
diperoleh dari
Peta Tanah
Eksplorasi Puslitanak dengan skala 1:1000.000. Dari
klasifikasi tanah untuk satuan peta tanah SPT bisa diturunkan nama ordo jenis tanah tersebut.
Dari ordo tanah itu bisa di peroleh informasi gambaran
secara umum
mengenai karakterisktik sifat fisik tahan yang diamati.
Persyaratan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan karet adalah berdrainase
cukup baik, dengan tekstur agak halus dengan lereng 8 dan bahaya erosi rendah.
Kemiringan tanah lereng erat kaitannya dengan bahaya erosi, makin curam lereng
tersebut semakin tinggi pula bahaya erosi yang di timbulkan. Persyaratan kondisi tanah untuk
kelas kesesuaian ditunjukkan pada Lampiran 1
. Berdasarkan Gambar 4.7 kesesuaian
tanah untuk tanaman karet di Sultra bervariasi. Tingkat kesesuaiannya tanah yang baik untuk
tanaman karet sekitar 50 lebih. Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan kelas tanah sangat
sesuai S1 adalah 25,04 atau 966.688 ha tanah, kelas sesuai S2 26,97 atau 966.682
ha, kelas sesuai bersyarat S3 23,69 atau 849.037 ha, sedangkan tanah yang tidak sesuai
seluas 870.596 ha atau sekitar 24,29 dari luas kesesuaian tanah di Sultra.
Tabel 4.2. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Tanah di
Sultra.
Kelas Luas
S1 897.317 25,04
S2 966.682 26,97
S3 849.037 23,69
N 870.594 24,29
Total 3.583.630
Gambar 4.7. Peta Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Sultra
4.4. Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Kesesuaian iklim dan tanah sangat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dalam
menentukan kesuburan dan produksi suatu varietas tanaman, hal ini erat kaitannya reaksi
tanaman terhadap lingkungannya. Tanaman akan merespon positif lingkungan iklim dan
tanah
yang sesuai
dengan syarat
pertumbuhannya. Interaksi kedua unsur iklim dan
tanah tersebut merupakan penentu, karena apabila suatu daerah yang memiliki kondisi
iklim sesuai tetapi tidak dibarengi dengan kondisi tanah yang sesuai maka kondisi
tersebut tidak bisa dikatakan sesuai untuk suatu tanaman Ansari,2002.
Berdasarkan hasil overlay tumpang susun antara kesesuaian iklim dan kesesuaian
tanah di Sultra diperoleh hasil analisis spasial yang berupa peta kesesuaian agroklimat untuk
tanaman karet Gambar 4.8.
12
Gambar 4.8. Peta Kesesuaian Agroklimat untuk Tanaman Karet di Sultra
Tabel 4.3. Luas Potensi Pengembangan Tanaman
Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat di Sultra.
Kelas Luas
S1 420.09 1,18
S2 850.914 23,88
S3 1.226.489 40,52
N 1.230.584 34,42
Total 3.581.131
Informasi yang didapatkan dari hasil analisis kesesuaian agroklimat di Sultra Tabel
4.3 adalah sebagai berikut; kelas S1 sangat sesuai untuk kesesuaian agroklimat tanaman
karet di Sultra adalah paling sempit, dengan luasan 42.009 ha atau 1,18. Hal ini
menunjukkan bahwa Sultra merupakan bukan daerah utama untuk dijadikan sentra produksi
tanaman karet. Untuk kelas S2 sesuai mempunyai luasan 850.914 ha atau 23,88 .
Kelas kesesuaian bersyarat S3 adalah yang terluas dengan luas daerah mencakup 40,52
atau 1.443.751 ha. Sedangkan daerah yang tidak sesuai untuk pengembangan karet
berdasarkan agroklimat seluas 1.226.489 ha atau 34,42 dari total kesesuaian agroklimat.
Daerah terluas yang paling sesuai S1 berdasarkan agroklimat untuk tanaman
karet di Sultra meliputi; bagian barat Kolaka dengan luas 13.470 ha, bagian tenggara
Kendari 11.086 ha dan bagian barat Kolaka utara dengan luas 8.878 ha. Hal ini di
karenakan daerah-daerah tersebut mempunyai bentuk lereng datar dan merupakan dataran
rendah dengan ketinggian 200 mdpl. Suhu udara dan curah hujan yang meliputi daerah
diatas juga cocok untuk pengembangan tanaman karet, dengan suhu udara rataan
berkisar antara 25-27
o
C dan curah hujan rata- rata 2500 mmtahun.
Daerah yang tidak sesuai dalam hal ini termasuk kedalam kesesuainan kelas lahan S3
meliputi; bagian selatan Bombana dengan luas 160.505
ha, sebagian
wilayah Kendari
452.342 ha dan bagian selatan Kolaka utara dengan luas 163.614 ha. Daerah-daerah ini
merupakan pegunungan,
lereng curam,
ketinggian diatas 600 mdpl. Meskipun curah hujan di Kendari dan Kolaka utara mempunyai
curah hujan yang cukup untuk syarat pertumbuhan tanaman karet, namun suhu udara
masih dibawah syarat tumbuh 22
o
C. Sedang di Bombana curah hujan dibawah 1500
mmtahun, suhu dibawah 25
o
C.
4.5. Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Pemetaan Potensi
pengembangan agroklimat iklim dan tanah harus di tunjang
oleh keadaan aktual penutupanpenggunaan lahan pada daerah yang di kaji,nilai potensi
pengembangan yang telah di perhitungkan cocoksesuai pada kondisi aktual pengguanaan
lahan, sehingga bisa diterapkan hasil tersbut di lapang.
Pengetahuan penggunaan
lahan bertujuan agar mendapatkan nilai ekonomis
untuk usaha ekstensifikasi. Lahan-lahan yang bernilai ekonomis untuk dijadikan wilayah
ekstensifikasi, yaitu; hutan primer, pertanian, hutan daratan rendah, dan perkebunan.
Sedangkan lahan kering, tambak, sawah, gambut, hutan lindung dan waduk tidak bisa
dikonvesi untuk ekstensifikasi lahan.
Berdasarkan data pada Lampiran 2 dan Gambar 4.9, penutupan lahan Sultra dominan
oleh Hutan Primer 58,24 dari total penutupan dan Semak Belukar 17,83 dari
total penutupan. Dari data tersebut Sultra bisa sesuaicocok dijadikan tempat ekstensifikasi
tanaman karet yang bernilai ekonomis.
Daerah di Sultra yang berpotensi besar untuk usaha ekstensifikasi perkebunan karet
yang baik dari faktor agroklimat dan penggunaan lahannya adalah sebagian daerah
Buton dengan luas 119.762 ha, sebagian daerah Kendari 307.177 ha, sebagian daerah Kolaka
122.063 ha, dan sebagian daerah Muna 183.518 ha. Dengan luas potensi yang
berkategori
baik untuk
pengembangan ekstentifikasi tanaman karet seluas 812.489 ha
atau 23,11. Daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman
13
karet di Sultra seluas 140.457 ha 39,96. Sedangkan untuk daerah yang tidak bisa
dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sultra berdasarkan potensi pengembangannya
seluas 1.298.327 ha atau 36,93. Daerah ini meliputi; Sebagian besar daerah Kendari
dengan luas 493.162 ha, sebagian daerah kolaka 323.964 ha, sebagian Kolaka utara
166.038 ha dan sebagian Bombana dengan luas 162.747 ha.
Berdasarkan hasil
penelitian, kecenderungan pengembangan tanaman karet
di daerah Sultra sangat kecil, tetapi berdasarkan data kesesuaian iklim suhu udara
dan curah hujan dan kesesuian tanah drainase, lereng dan bahaya erosi yang di hubungkan
dengan faktor kegunaanpenutupan lahan maka daerah Sultra mempunyai potensi untuk
dijadikan
daerah ekstensifikasi
pembudidayaan.
Gambar 4.9. Peta PenutupanPenggunaan Lahan di Sultra
Tabel 4.5. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat
dan PenutupanPenggunaan Lahan di Sultra.
Kelas Luas ha S1
42.009 1,18 S2
850.914 23,88 S3
1.226.489 40,52 N
1.230.584 34,42 Total
3.581.131
Gambar 4.10. Peta Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Sultra
14
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan
Pengembangan wilayah potensi tanaman karet harus memiliki kesesuaian iklim dengan
curah hujan 2500 mmtahun, suhu rata-rata 25- 28
o
C dan kesesuaian tanah dengan drainase baik, tekstur halus dan bentuk lereng yang
datar. Berdasarkan data kesesuaian iklim dan
kesesuian tanah
agroklimat yang
di hubungkan dengan faktor kegunaanpenutupan
lahan maka daerah Sulawesi
Tenggara mempunyai potensi yang sangat kecil untuk
dijadikan daerah
ekstensifikasi pembudidayaan.
Berdasarkan hasil
analisis spasial
wilayah. Sulawesi Tenggara memiliki sedikit potensi pengembangan tanaman karet, dengan
luas daerah yang bisa dijadikan usaha ekstensifikasi sebesar 812.489 ha atau 23,11
dari luas wilayah Sulawesi Tenggara. Daerah ini meliputi; sebagian daerah Buton, Kendari,
Kolaka, dan Muna. Daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi
tanaman karet di Sulawesi Tenggara seluas 140.457 ha atau 39,96. Daerah ini meliputi;
sebagian daerah Kolaka, Kolaka Utara, Kendari dan Muna dan hampir seluruh
wilayan Bombana. Sedangkan daerah yang tidak bisa dijadikan ekstentifikasi tanaman
karet, meliputi; sebagian daerah Kendari, sebagian daerah Kolaka, sebagian daerah
Kolaka Utara dan sebagian Bombana dengan luas potensi sebesar 1.298.327 ha atau 36,93.
Luasan wilayah yang didapat masih berupa luasan potensial, bukanlah aktual.
Luasan sebenarnya di lapang bisa menjadi sangat sedikit, karena wilayah tersebut sudah
digunakan untuk sektor lain seperti sawah, pemukiman, perkebunan, dan lain sebagainya,
sehingga lahan tersebut sulit untuk dikonversi menjadi lahan penanaman karet.
5. 2. Saran
Dalam penelitian ini perlu dikaji ulang
dan memperhatikan faktor-faktor lain, seperti: nilai ekonomi, sosial, politik, budaya dan
kebijakan pemerintah, agar pengembangan tanaman karet bisa diterapkan pada daerah
yang berpotensial.
Dalam menganalisis
kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet ini sebaiknya
menggunakan faktor pembatas yang lebih banyak dan variatif, sehingga hasil analisanya
pun akan lebih akurat. Penelitian
mengenai pewilayahan
kesesuaian tanaman
karet masih
bisa dilanjutkan ke daerah-daerah yang lebih
potensial dengan karakteristik agroklimat yang cocok atau sesuai untuk dikembangkan
tanaman karet. Pemerintah dan pihak swasta sangat
diharapkan bekerjasama
dengan masyarakat khususnya petani dalam hal pola
tanam seperti pada komoditi lainnya sehingga dapat meningkatkan produksi nasional.