Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi Dalam Mendiagnosis Skabies

(1)

TESIS

SUFINA FAISAL NASUTION

NIM : 077105008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN DERMOSKOPI DALAM MENDIAGNOSIS

SKABIES

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis bidang

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Oleh

SUFINA FAISAL NASUTION

NIM : 077105008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis : Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi Dalam Mendiagnosis Skabies

Nama : dr. Sufina Faisal Nasution

Nomor Induk : 077105008

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis

Bidang : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Menyetujui :

Pembimbing I

(dr. Salia Lakswinar, SpKK)

Pembimbing II

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))

Ketua Program Studi

(dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K))

Ketua Departemen

(Prof.Dr.dr.Irma D.Roesyanto, SpKK(K))


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan mengucap Alhamdulillah, segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan ridho-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang merupakan persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Magister Kedokteran Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan, pengarahan, nasehat maupun dorongan moral. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ijinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Yang Terhormat :

1. dr. Salia Lakswinar, Sp.KK, selaku pembimbing utama tesis ini, yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberi masukan dan koreksi kepada penulis selama proses penyusunan tesis ini.

2. dr. Chairiyah Tanjung, SpKK(K), selaku pembimbing kedua tesis ini dan Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.

3. Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai guru besar, yang telah memberikan dukungan dan nasehat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(5)

studi pada Universitas yang Bapak pimpin.

5. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Prof dr. T. Bahri Anwar Johan, SpJP(K), yang telah memberikan kesempatan dan dukungan sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. dr. Diana Nasution, SpKK (K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

8. dr. Sri Wahyuni Purnama, SpKK yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, semangat serta nasehat selama saya menjalani pendidikan dan sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

9. dr. Isma Aprita Lubis, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.

10.Para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti pendidikan ini.


(6)

11.Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan dan Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis selama menjalani pendidikan keahlian ini.

12.Ibu Yunita Purba, M.Si, selaku analis yang melakukan pemeriksaan kerokan kulit dalam penelitian ini, yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian, memberikan masukan dan membagi pengalaman beliau dalam melakukan banyak penelitian kepada penulis.

13.dr. Surya Dharma, MPH, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, yang telah banyak membantu penulis dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian penulis ini.

14.Bapak Alexander Lisman Putra Amd.IP, SH, MH, ustad Amir Pamatagama S.Pd.I., bapak Hamzah, ibu Aminah yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan sampel pada penelitian ini.

15.Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.

16.Kepada papa dan mama tersayang, Faisal Oloan Nasution, S.H. dan Kushadiningsih Susilowati S.E., adik – adikku tersayang M. Sutan A. Aziz F. Nasution dan M. Bagus Budiman F. Nasution, suamiku tercinta dr Donny Mega Surya dan anak kesayanganku M. Fatih Surya yang dengan penuh cinta kasih, keikhlasan, doa, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa dalam memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan. Tiada ungkapan yang mampu melukiskan betapa bersyukurnya saya memiliki keluarga seperti kalian. Kiranya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan kalian.


(7)

N. O. Sibarani M.Ked(KK),SpKK, dr. Nova Zairina Lubis M.Ked(D.V.),Sp.D.V., dr. Wahyuni Widiyanti Suhoyo, dr Cut Putri Hazlianda M.Ked(D.V.),Sp.D.V., dr Irina Damayanti M.Ked(D.V.),Sp.D.V. dan seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU atas segala bantuan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah penulis untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah penulis lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama penulis menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.

Medan, Oktober 2014 Penulis


(8)

Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi Dalam Mendiagnosis Skabies Sufina F. Nasution

DepartemenIlmu Kesehatan Kulit dan Kelamin , Chairiyah Tanjung, Salia Lakswinar

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. Haji Adam Malik Medan- Indonesia ABSTRAK

Latar belakang : Skabies adalah suatu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan kerokan kulit untuk mendiagnosis skabies dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa takut. Pemeriksaan dermoskopi merupakan pemeriksaan yang tidak invasiv, mudah dan cepat dan meminimalisir risiko infeksi dari agen – agen yang dapat ditransmisikan dari darah.

Tujuan : Untuk mengetahui nilai diagnostik dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

Metode : Penelitian uji diagnostik menggunakan dermoskopi untuk mendiagnosis skabies dengan menggunakan baku emas hasil pemeriksaan kerokan kulit. Analisis statistik uji diagnostik untuk menentukan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio dan akurasi.

Subjek : Tiga puluh empat orang yang diduga menderita skabies berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Hasil : Pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies dibandingkan dengan baku emas kerokan kulit memiliki sensitivitas 66,67%, spesifisitas 61,29%, positive predictive value 14,29%, negative predictive value 95%, positive likelihood ratio 1,72, negative likelihood ratio 0,54 dan akurasi 61,76%.

Kesimpulan : Nilai diagnostik pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies dengan baku emas kerokan kulit adalah sedang, sehingga perlu dicari metode diagnostik non invasiv lainnya yang lebih akurat.


(9)

Results: The sensitivity of the dermoscopic examination in diagnosing scabies compared with skin scraping was 66,67%, the specificity was 61,29%, the positive predictive value was 14,29% and the negative predictive value was 95%, the positive likelihood ratio was 1,72, the negative likelihood ratio was 0,54 and the accuracy was 61,76%.

Conclusion: The diagnostic value of dermoscopic examination in diagnosing scabies using skin scraping as the gold standard was moderate, so it is necessary to find other more accurate non-invasive diagnostic method.

Keywords: scabies, dermoscopy, skin scraping

Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik General Hospital, Medan – Indonesia ABSTRACT

Background: Scabies is a highly transmitted disease caused by Sarcoptes scabiei mite. Skin scraping examination in diagnosing scabies may cause discomfort and fear. Dermoscopic examination is not invasive, easy and quick to perform, and minimizes the risk of accidental infections from blood-transmissible agents.

Objective: To investigate the diagnostic value of dermoscopic examination in diagnosing scabies.

Method: The diagnostic test was done using dermoscopy to diagnose scabies and skin scraping was used as the gold standard. Statistical analysis of the diagnostic test are to determine sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio and accuracy.

Subject : Thirty four people suspected of having scabies based on history and clinical examination.


(10)

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan umum ... 4

1.3.2. Tujuan khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Skabies ... 6

2.1.1. Definisi... 6

2.1.2. Epidemiologi ... 6

2.1.3. Etiologi ... 8

2.1.4. Transmisi ... 10

2.1.5. Gambaran klinis ... 10

2.1.6. Bentuk - bentuk skabies ... 12

2.1.7. Pemeriksaan penunjang ... 16

2.1.8. Diagnosis banding ... 23

2.1.9. Komplikasi ... 24

2.1.10. Penatalaksanaan ... 24

2.1.11. Prognosis ... 32

2.2. Kerangka Teori ... 33

2.3. Kerangka Konsep ... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Desain Penelitian ... 35

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

3.3.1. Populasi target ... 35

3.3.2. Populasi terjangkau ... 36

3.3.3. Sampel penelitian ... 36

3.4. Besar Sampel ... 36

3.5. Cara Pemilihan Sampel Penelitian ... 37

3.6. Identifikasi Variabel ... 37

3.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 37

3.7.1. Kriteria inklusi ... 37

3.7.2. Kriteria eksklusi ... 37 DAFTAR ISI


(11)

3.8.3. Cara kerja ... 39

3.9. Kerangka Operasional ... 42

3.10. Definisi Operasional ... 43

3.11. Pengolahan dan Analisis Data ... 47

3.12. Ethical Clearance ... 47

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 48

4.2. Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi ... 52

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Ukuran Rata – Rata dari Bentuk – Bentuk S. scabiei ... 18 2.2. Diagnosis Banding Skabies ... 23 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Etnis dan

Pendidikan ...

49 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Durasi Penyakit ... 52 4.3. Tabel Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi dan Kerokan Kulit... 52


(13)

DNA : Deoxyribonucleic acid

HIV : Human immunodeficiency virus LR : Likelihood ratio

NPV : Negative predictive value PCR : Polymerase chain reaction PPV : Positive predictive value

SCAB : Superficial cyanoacrylate biopsy S. scabiei : Sarcoptes scabiei


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Naskah penjelasan kepada pasien/orang tua/keluarga pasien Lampiran 2 : Persetujuan ikut serta dalam penelitian

Lampiran 3 : Status penelitian

Lampiran 4 : Persetujuan Komite Etik Lampiran 5 : Master tabel


(15)

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. Haji Adam Malik Medan- Indonesia ABSTRAK

Latar belakang : Skabies adalah suatu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan kerokan kulit untuk mendiagnosis skabies dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa takut. Pemeriksaan dermoskopi merupakan pemeriksaan yang tidak invasiv, mudah dan cepat dan meminimalisir risiko infeksi dari agen – agen yang dapat ditransmisikan dari darah.

Tujuan : Untuk mengetahui nilai diagnostik dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

Metode : Penelitian uji diagnostik menggunakan dermoskopi untuk mendiagnosis skabies dengan menggunakan baku emas hasil pemeriksaan kerokan kulit. Analisis statistik uji diagnostik untuk menentukan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio dan akurasi.

Subjek : Tiga puluh empat orang yang diduga menderita skabies berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Hasil : Pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies dibandingkan dengan baku emas kerokan kulit memiliki sensitivitas 66,67%, spesifisitas 61,29%, positive predictive value 14,29%, negative predictive value 95%, positive likelihood ratio 1,72, negative likelihood ratio 0,54 dan akurasi 61,76%.

Kesimpulan : Nilai diagnostik pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies dengan baku emas kerokan kulit adalah sedang, sehingga perlu dicari metode diagnostik non invasiv lainnya yang lebih akurat.


(16)

Diagnostic Test of Dermoscopic Examination in Diagnosing Scabies Sufina F. Nasution

Results: The sensitivity of the dermoscopic examination in diagnosing scabies compared with skin scraping was 66,67%, the specificity was 61,29%, the positive predictive value was 14,29% and the negative predictive value was 95%, the positive likelihood ratio was 1,72, the negative likelihood ratio was 0,54 and the accuracy was 61,76%.

Conclusion: The diagnostic value of dermoscopic examination in diagnosing scabies using skin scraping as the gold standard was moderate, so it is necessary to find other more accurate non-invasive diagnostic method.

Keywords: scabies, dermoscopy, skin scraping

, Chairiyah Tanjung, Salia Lakswinar Department of Dermatology and Venereology Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik General Hospital, Medan – Indonesia ABSTRACT

Background: Scabies is a highly transmitted disease caused by Sarcoptes scabiei mite. Skin scraping examination in diagnosing scabies may cause discomfort and fear. Dermoscopic examination is not invasive, easy and quick to perform, and minimizes the risk of accidental infections from blood-transmissible agents.

Objective: To investigate the diagnostic value of dermoscopic examination in diagnosing scabies.

Method: The diagnostic test was done using dermoscopy to diagnose scabies and skin scraping was used as the gold standard. Statistical analysis of the diagnostic test are to determine sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio and accuracy.

Subject : Thirty four people suspected of having scabies based on history and clinical examination.


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Skabies adalah suatu penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei (S.scabiei). Manifestasi penyakit predominan diperantarai melalui reaksi peradangan dan menyerupai alergi terhadap produk – produk tungau, menyebabkan lesi yang sangat gatal. Skabies ditularkan melalui kontak tubuh langsung dari seorang penderita ke individu lainnya1 dan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk.2

Prevalensi dan komplikasi yang dapat terjadi, membuat skabies menjadi masalah kesehatan publik yang signifikan di negara berkembang, dengan jumlah yang lebih tinggi pada anak – anak yang tinggal di daerah miskin, tropis dan padat penduduk. Jumlah yang pasti dari kasus skabies di seluruh dunia tidak diketahui, namun diperkirakan hingga 300 juta kasus per tahun.3

Skabies didiagnosis secara klinis dengan gejala utama berupa pruritus pada malam hari karena aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang lebih hangat.4 Selain itu, tungau sensitif terhadap sinar matahari pada siang hari sehingga lebih aktif pada malam hari.4 Lesi khas skabies adalah papul yang gatal sepanjang terowongan yang berisi tungau dengan tempat predileksi pada daerah sela jari tangan, fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, areola mammae, umbilikus, penis, aksila, abdomen bagian bawah dan bokong. Lesi yang patognomonik untuk skabies adalah terowongan yang hampir tidak terlihat oleh mata, berupa lesi yang


(18)

2

agak meninggi, lurus atau berkelok – kelok dan berwarna keabu – abuan.5 Terowongan sering berbentuk seperti huruf “s” atau “z” yang khas ditemukan pada daerah sela – sela jari tangan, aksila, bokong, skrotum dan inframammae.6,7 Skabies dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskopis dari kerokan pada kulit yang terdapat terowongan dengan penambahan minyak mineral atau salin. Penemuan tungau, telur atau feses menegaskan diagnosis.6 Akan tetapi, metode ini dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan takut, terutama pada pasien yang berusia lebih muda.8

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu teknik alternatif dalam mendiagnosis skabies.6 Dermoskopi merupakan suatu teknik yang akurat, tidak invasiv, dan mudah untuk digunakan dalam mendiagnosis skabies baik sebagai tes diagnostik atau untuk memandu tes diagnostik tradisional.7 Diperlukan sebuah kaca pembesar yang disinari cahaya lampu, juga dikenal sebagai epiluminescent stereomicroscope dengan pembesaran 20 sampai 60 x. Perangkat ini dirancang

pada tahun 1996 oleh seorang ahli dermatologi bernama JF Kreusch, cara pemakaiannya dengan digenggam dan dipegang tegak lurus terhadap kulit. Pada pembesaran 20 sampai 40 x, tampak tampilan yang khas dari kepala tungau dan 2 pasang kaki depan yang menyerupai bentuk segitiga pesawat layang (delta wing sign/jet with contrail).6

Penelitian yang dilakukan Walter B dkk pada tahun 2008 di Brazil mengenai perbandingan dermoskopi, kerokan kulit dan plester perekat dalam mendiagnosis skabies pada suatu daerah yang miskin didapatkan bahwa sensitivitas dermoskopi secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan tes plester perekat dan kerokan kulit yaitu sebesar 83%, namun spesifisitasnya lebih


(19)

rendah dibandingkan dengan tes plester perekat dan kerokan kulit yaitu sebesar 46%.9

Neynaber dan Wolff pada tulisannya mengenai diagnosis skabies dengan dermoskopi menyatakan bahwa sensitivitas dermoskopi untuk skabies adalah 91% dan spesifisitasnya adalah 86%.6

Pada penelitian yang dilakukan Lacarrubba dkk di Illinois terhadap 100 orang anak yang berusia 1 bulan sampai 16 tahun yang diduga menderita skabies, didapatkan hasil bahwa dengan pemeriksaan menggunakan videodermatoskopi pembesaran tinggi, pengidentifikasian yang cepat dan jelas terhadap tungau, terowongan, telur dan feses dijumpai pada 62 pasien. Tidak ada seorang pun dari 38 pasien dengan penemuan negatif yang menunjukkan adanya tanda – tanda infestasi 2 minggu setelah pemeriksaan.10

Dari penelitian yang dilakukan Dupuy dkk sejak bulan Januari 2004 sampai April 2005 di Paris terhadap 238 pasien yang diduga menderita skabies, didapatkan bahwa pada pemeriksaan dengan menggunakan dermoskopi dengan pembesaran 10 x setelah pengaplikasian minyak parafin pada piring kaca dermoskopi dan kerokan kulit, diperoleh hasil sensitivitas dermoskopi mencapai 91% dan kerokan kulit sebesar 90%. Namun spesifisitas dermoskopi sebesar 86% sedangkan kerokan kulit mencapai 100%.11

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu metode yang mudah dan sangat bermanfaat dan sangat sensitif dalam mendiagnosis skabies. Dermoskopi memungkinkan untuk menegakkan diagnosis berdasarkan bukti ditemukannya tungau dan terowongan tungau, dan juga bermanfaat dalam memonitor efikasi


(20)

4

terapi.12 Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana nilai uji diagnostik dermoskopi dalam mendiagnosis skabies?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui nilai diagnostik dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui sensitivitas dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

2. Untuk mengetahui spesifisitas dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

3. Untuk mengetahui positive predictive value (PPV) dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

4. Untuk mengetahui negative predictive value (NPV) dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

5. Untuk mengetahui positive likelihood ratio (LR+) dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

6. Untuk mengetahui negative likelihood ratio (LR-) dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.


(21)

7. Untuk mengetahui akurasi dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bidang akademik/ilmiah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemeriksaan alternatif dalam mendiagnosis skabies.

1.4.2. Pengembangan penelitian :

Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan teori dan data bagi penelitian selanjutnya mengenai uji diagnostik dermoskopi dalam mendiagnosis skabies.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies 2.1.1. Definisi

Skabies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh penetrasi tungau parasit obligat S. scabiei varian hominis, yaitu suatu arthropoda dari orde Acarina, ke dalam epidermis.13-15 Skabies telah diketahui manusia sejak zaman dahulu dengan Aristotle (384 sampai 322 SM), orang pertama yang mengidentifikasi tungau skabies, mendeskripsikannya sebagai “lice in the flesh” dan menggunakan istilah “akari”. Pada tahun 1687, Bonomo dan Cestoni secara akurat mendeskripsikan penyebab skabies pada sebuah surat. Mereka menjelaskan tentang sifat parasit, penularan, kemungkinan penyembuhan, dan gambaran mikroskopis dari tungau dan telur S. Scabiei, yang diyakini menjadi yang pertama disebutkan pada teori parasit dari penyakit infeksi. Dua abad kemudian, penyebab skabies ditetapkan dengan publikasi dari suatu risalah oleh Hebra.1,16

2.1.2. Epidemiologi

Skabies paling banyak ditemukan di negara – negara tropis dengan jumlah 300 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya di dunia.13-18 Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6% sampai 12,95%.19 Skabies dapat dijumpai pada semua usia namun paling sering menyerang anak – anak.16,20 Selain faktor imunitas yang belum memadai, faktor penularan dari orang tua, terutama ibu, serta faktor anak yang sudah mulai beraktivitas di luar rumah


(23)

dan di sekolah juga ikut berperan terhadap timbulnya skabies.Insidensi pada pria dan wanita adalah sama.16

Perbedaan etnis dalam epidemiologi skabies paling mungkin berhubungan dengan perbedaan pada faktor kepadatan penduduk yang berlebihan, perumahan, sosial ekonomi dan perilaku dibandingkan dengan asal ras.16,17 Faktor predisposisi yang paling sering adalah kepadatan penduduk, imigrasi, kebersihan yang buruk, status gizi yang buruk, tunawisma, demensia, dan kontak seksual.16 Penularan penyakit ini terjadi melalui kontak langsung kulit ke kulit atau dari barang yang dipakai secara bersama – sama.16

Beberapa laporan dalam literatur menunjukkan bagaimana skabies dapat menjadi ancaman pada suatu institusi terutama rumah sakit, penjara, taman kanak – kanak, dan rumah jompo.16 Suatu studi epidemiologi yang melibatkan tentara Israel dan studi – studi regional di Inggris dan Denmark mengajukan suatu pola penyakit 20-28 tahun pada kelompok – kelompok ini.17,18 Penelitian yang dilakukan Alsamarai tahun 2009 di Irak mendapatkan tingginya frekwensi pasien skabies yang datang ke klinik dermatologi dan sering dijumpai pada orang yang dipenjara.21 Hasil penelitian K. Makigami dkk. pada beberapa rumah sakit jiwa dan rumah sakit untuk perawatan jangka panjang di Jepang mendapatkan bahwa sekitar 41% dari rumah sakit responden melaporkan sedikitnya satu atau lebih kasus skabies pada tahun 2004, menyiratkan bahwa skabies telah menjadi suatu penyakit yang sering terjadi di kalangan institusi perawatan kesehatan di Jepang.22 Di Indonesia skabies menempati urutan ketiga dari 12 penyakit kulit yang sering terjadi dan prevalensi di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6% sampai 12,95%.19


(24)

8

Pada populasi tertentu secara khusus berisiko tinggi terjadinya keparahan atau skabies berkrusta. Bentuk infeksi skabies hiperkeratotik ini pertama kali dijelaskan pada pasien kusta di Norwegia. Pasien – pasien yang mendapat glukokortikoid sistemik atau topikal yang poten, resipien transplantasi organ, retardasi mental atau lumpuh, individu yang terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau human T-lymphotropic virus-1, dan individu dengan berbagai

keganasan hematologi berisiko tinggi mengalami skabies berkrusta.18

2.1.3. Etiologi

Skabies disebabkan oleh S. scabiei yang termasuk famili Sarcoptidae dalam kelas Arachnida. Tungau betina panjangnya berkisar 0,4 mm, lebar 0,3 mm sedangkan tungau jantan ukurannya lebih kecil dari betina dengan panjang 0,2 mm, lebar 0,3 mm.16,17,23 S. scabiei memiliki bentuk tubuh oval, mendatar secara dorsoventral.23 Tubuhnya berwarna putih krem dan ditandai dengan kerutan melintang, dan pada permukaan bagian dorsal terdapat bulu dan denticle.23 Tungau ini memiliki empat pasang kaki, dua pasang dibagian anterior berakhir dengan ujung peduncle yang memanjang dengan alat penghisap kecil.23 Pada betina, dua pasang kaki bagian belakang berakhir dengan bulu, dimana pada jantan berada pada pasangan kaki ketiga dan peduncle dengan alat penghisap pada pasangan kaki keempat.23 Meskipun tungau ini tidak dapat terbang atau lompat, namun dapat merangkak dengan kecepatan 2-5 cm per menit pada kulit yang hangat dan dapat bertahan hidup 24-36 jam pada suhu kamar.13,17 Suhu lingkungan yang ideal bagi tungau adalah bila udara terasa hangat dan pasien berkeringat, sebab itu S. scabiei bergerak pada malam hari.24 Pada suhu kamar S.


(25)

scabiei dapat bertahan selama 3 hari3 dan akan mati pada suhu 500C selama 10 menit.5,25,26

Siklus hidup S. scabiei dimulai dengan perkawinan tungau jantan dan betina.16 Setelah kopulasi, tungau jantan mati dan tungau betina mulai meletakkan telurnya pada terowongan di kulit dan menetap selama 4 sampai 6 minggu. Tungau betina memproduksi 1 sampai 3 telur per hari sampai mencapai jumlah 40 yang akan menetas setelah 3-4 hari kemudian.16,17 Larva berubah menjadi suatu protonymph yang setelah 2-5 hari berubah menjadi tritonymph, larva ini nantinya

menembus atap terowongan dan mencapai permukaan kulit.16 Setelah 5-6 hari, larva berubah menjadi tungau jantan dan betina dewasa. Secara keseluruhan, tungau dewasa yang matur berkembang dalam 10-14 hari.17 Populasi tungau mencapai 25 dewasa setelah 50 hari dan sampai 500 tungau dalam 100 hari.16 Namun rata – rata pada seorang host normal adalah 10-12 tungau. Pada umumnya setelah 3 bulan, jumlah tungau berkurang dengan cepat.16

*Dikutip dari kepustakaan no 17

Gambar 2.1. (A) Potongan mikroskopis tungau Sarcoptes scabiei menunjukkan kedelapan kaki dan alat untuk menggigit. (B) Kerokan kulit setelah diberi potasium hidroksida 10% menunjukkan telur, nymph, dan scybalae (faecal pellet). (C) Potongan histologi (pewarnaan hematoksilin dan esoin) menunjukkan sebuah terowongan dengan tungau skabies pada bagian atas epidermis.

A

B


(26)

10

2.1.4. Transmisi

Penyakit ini ditularkan melalui kontak langsung kulit ke kulit yang menyebabkan seringnya terjadi transmisi diantara anggota keluarga.16 Berbagi tempat tidur dengan orang yang terinfestasi tungau, dengan atau tanpa kontak seksual dapat menyebabkan infestasi. Namun, hanya dengan berpegangan tangan juga dapat mentransmisikan tungau.4

Peranan fomite, yaitu semua benda atau bahan yang dapat membawa organisme yang infeksius dan memindahkannya dari satu individu ke individu lain,27 masih kontroversial.16 Beberapa penulis mengklaim bahwa hal ini kemungkinan karena tungau dapat bertahan hidup lebih dari 3 hari diluar tubuh manusia.16 Beberapa studi telah membuktikan keberadaan tungau hidup pada tilam, pakaian, gorden, lantai, perabotan, dan kain – kain yang digunakan untuk tempat tidur di rumah pasien skabies dan rumah jompo.16,18,27 Tetapi untuk beberapa penulis, penularan melalui fomite jarang terjadi, namun dapat terjadi pada kasus skabies berkrusta.16

Transmisis seksual juga dapat terjadi karena terjadinya kontak yang erat yang memungkinkan terjadinya transmisi tungau.16,17

2.1.5. Gambaran klinis

Skabies dapat dicurigai bila pada pasien terdapat satu atau lebih tanda dari gejala – gejala berikut ini :4

1. Gatal yang memburuk pada malam hari setelah pasien berbaring di tempat tidur, adalah suatu gambaran yang konsisten. Keparahan dapat bervariasi namun sering kali intens.4


(27)

2. Timbulnya gejala biasanya memakan waktu 4 sampai 6 minggu jika pasien tidak pernah terserang skabies. Timbulnya gejala lambat dan terkadang pasien tidak dapat memastikan waktu tepatnya. Pada pasien yang mengalami reinfestasi, gejala muncul kembali dengan cepat (dalam beberapa jam), tergantung pada status imunologi host.4

3. Erupsi kulit:, meskipun lesi diatas leher jarang dijumpai, pada daerah yang beriklim lebih hangat dapat terjadi, terutama pada orang – orang yang selalu terbaring di tempat tidur dan anak – anak. Pada pasien-pasien khusus tersebut, lipatan retroaurikular sering menjadi tempat persembunyian tungau. Lesi yang dapat diobservasi bervariasi. Lesi yang paling khas adalah terowongan, berkelok atau papul linear sampai sepanjang 1 cm dengan vesikel pada ujungnya. Namun pada iklim tropis yang panas lebih sering ditemukan papul eritematosa. Lesi-lesi lainnya termasuk: papul, skuama, vesikel, bula, krusta, pustul, nodul dan ekskoriasi.4 Tempat predileksi: lipatan aksila anterior, puting susu dan areolae pada wanita, umbilicus, siku, bagian volar pergelangan tangan, sela – sela jari, paha, bokong, penis, skrotum, dan pergelangan kaki.16,17,28 Pada bayi, skabies biasanya menyerang aksila, kepala wajah, daerah popok, kadang-kadang telapak tangan dan telapak kaki, dan lesinya berupa vesikel, pustul, dan nodul.17

4. Gejala klinis yang sama pada anggota keluarga lainnya pada waktu yang sama.16


(28)

12

*

*Dikutip dari kepustakaan no. 15

2.1.6. Bentuk – bentuk skabies

2.1.6.1 Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated)

2.1.6.2

. Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.29

Skabies nodular. Berupa nodul – nodul berwarna ungu, gatal, dapat menetap beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah pengobatan.15,16,30 Skabies nodular kemungkinan menunjukkan suatu bentuk respon cell-mediated immune terhadap antigen tungau, kemungkinan diinduksi oleh garukan.16,30 Paling sering ditemukan pada sela paha, aksila dan pada genitalia pria.15,16 Lesi skabies nodular secara klinis dan histologi dapat menyerupai langerhans’cell histiocytosis, insect bite reaction,

non-Gambar 2.2. (A) Skabies yang khas pada sela – sela jari tangan. (B) Keterlibatan genitalia pada seorang pasien pria dengan lesi berupa papul dan ekskoriasi. (C) Payudara seorang wanita dengan lesi berupa papul pada daerah puting dan areolar. (D) Terowongan linier skabies yang spesifik dan khas dengan vesikel pada ujung distal. (E) Pruritus kronis pada skabies dengan cepat mengakibatkan terjadinya garukan.


(29)

Langerhans’cell histiocytosis, lymphoma atau urtikaria pigmentosa.30 Terapi dapat diberikan ivermectin oral30, pimekrolimus topikal.31

*Dikutip dari kepustakaan no 31

2.1.6.3 Skabies bulosa. Meskipun lesi vesikular sering ditemukan pada bayi dan anak – anak, lesi berupa bula jarang ditemukan pada skabies. Skabies bulosa dapat dijumpai pada bayi, anak – anak, orang tua, dan terkadang pada orang dewasa yang mendapat terapi imunosupresi. Pada komunitas dimana skabies bukan merupakan penyakit endemis sehingga kurang dicurigai, skabies bulosa dapat disalahdiagnosiskan dengan pemfigoid bulosa, insect bite, linear IgA dermatosis, epidermolysis bullosa atau chronic bullous disease

of childhood (CBDC).32


(30)

14

*Dikutip dari kepustakaan no 33

2.1.6.4 Scabies incognito

2.1.6.5

. Disebabkan pemakaian kortikosteroid topikal

dan oral.16 Terdapat hubungan dengan hipereosinofilia disebabkan terjadinya sedikit penurunan imunitas.16

Skabies pada bayi dan anak – anak

2.1.6.6

. Lesi berupa vesikel, pustul, dan nodul terutama tersebar pada tangan, kaki dan lipatan tubuh. Pruritus dapat menjadi sangat berat sehingga pasien dapat menjadi pemarah dan tidak mau makan.15,16 Pada pemeriksaan histologi dapat dijumpai infiltrat sel langerhans yang padat, berpotensi untuk terjadinya kesalahan diagnosis sebagai langerhans cell histiocytosis.16

Skabies pada orang tua. Sering disalahdiagnosiskan dengan pruritus senilis, sehingga pasien diterapi dengan kortikosteroid poten untuk jangka waktu yang lama yang dapat menyebabkan skabies berkrusta. Gambaran klinis lainnya yaitu skabies bulosa yang dapat menyerupai pemfigoid bulosa.16

Gambar 2.4. Gambaran klinis skabies bulosa

Pada bagian fleksor lengan bawah tampak lesi berupa vesikel multipel dan bula tegang, bersama dengan krusta. Beberapa bula berisi darah.


(31)

2.1.6.7 Skabies pada skalp. Dapat berhubungan atau bersamaan dengan dermatitis seboroik atau dermatomiositis pada skalp. Sering mengenai orang tua, anak – anak, bayi, pasien – pasien imunokompromais dan pasien dengan skabies berkrusta.15,16

2.1.6.8 Skabies berkrusta. Skabies berkrusta atau skabies Norwegia meskipun parah namun jarang ditemukan, infeksi disebabkan oleh infestasi masif dengan S. scabiei varian hominis. Skabies berkrusta merupakan suatu bentuk fulminan dan sangat infeksius, disebabkan kegagalan respon imun host untuk mengatur proliferasi tungau skabies di kulit, sehingga menyebabkan hiperinfestasi.34 Skabies berkrusta dapat ditemukan pada pasien leukemia, infeksi HIV, sindrom Down, kusta tipe lepromatosa dan diabetes.34 Secara klinis berupa plak hiperkeratotik, skuama, berwarna abu – abu, tebal atau plak berkrusta pada tangan, kaki, lutut, siku, badan, skalp, nail bed dan terkadang seluruh tubuh.16 Skabies berkrusta menyebabkan tingginya mortalitas yang berhubungan dengan sepsis sekunder.16

Gambar 2.5. Gambaran klinis skabies berkrusta


(32)

16

2.1.6.9 Skabies subungual. Manifestasi skabies subungual berupa distrofi kuku yang menetap bahkan setelah pengobatan berhasil.16 Bentuk ini dapat mengenai beberapa kuku jari tangan dan/atau kuku jari kaki, terjadi penebalan kuku, kuku jadi tampak memutih dengan atau tanpa deformitas nail plate dan/atau subungual horny debris.16

Gambar 2.6. Gambaran klinis skabies subungual

*Dikutip dari kepustakaan no 35

2.1.7. Pemeriksaan penunjang

Selama ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda – tanda klinis dan pemeriksaan mikroskop dari kerokan kulit, namun sensitivitas dari tes tradisional ini kurang dari 50%.1 Mendeteksi lesi viabel dapat menjadi sulit sebab sering dikaburkan dengan ekzema atau impetigo atau lesi yang tidak khas. Deteksi terowongan dengan menggunakan tinta India telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun yang lalu, namun tes tersebut sering tidak dilakukan secara rutin. Diagnosis dugaan (suspect) dapat dibuat berdasarkan riwayat gatal yang khas yaitu pada malam hari, distribusi papul inflamatorik dan riwayat kontak dengan penderita skabies lainnya.1 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :


(33)

1. Kerokan kulit

Diagnosis pasti skabies ditegakkan berdasarkan pengidentifikasian tungau, telur, fragmen cangkang telur, atau fecal pellet tungau dari kerokan kulit. Metode ini memberikan spesifisitas yang sangat baik namun memiliki sensitivitas yang rendah karena dipengaruhi beberapa faktor seperti presentasi klinis, jumlah lokasi sampel yang diambil dan/atau pengulangan kerokan, dan pengalaman orang yang mengambil sampel.1

Aturan yang paling penting dalam pemilihan tempat untuk melakukan kerokan kulit adalah menghindari lesi ekskoriasi karena tungau biasanya terangkat oleh garukan36,37 dan pada lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisidal sehingga tungau tidak ditemukan pada lesi tersebut.37 Idealnya, bahan diperoleh dari papul yang baru terbentuk atau terowongan. Papul yang terbaik adalah berbentuk lonjong tanpa tanda – tanda di permukaan seperti titik coklat kecil atau krusta.36

Dalam melakukan kerokan kulit, penggunaan minyak mineral memberikan hasil yang lebih unggul dan dipilih dibandingkan larutan potasium hidroksida atau air karena alasan berikut :36

1. Tungau menempel pada minyak dan dapat lebih mudah diambil. Tungau akan tetap hidup dan motil, bukannya terpecah – pecah pada suatu kerokan yang kering.

2. Skuama dari kulit bercampur dengan minyak mineral dan lebih banyak bahan yang tersedia untuk pemeriksaan mikroskopis.

3. Perbedaan refraksi antara tungau dan minyak mineral lebih besar daripada tungau dan potasium hidroksida atau air.


(34)

18

4. Minyak mineral tidak melarutkan fecal pellet yang merupakan diagnostik, bahkan jika tungau atau telur tidak ditemukan.

Apabila daerah yang tepat telah dipilih, teteskan satu tetes minyak mineral pada skalpel steril. Biarkan minyak mineral mengalir pada papul atau daerah lain yang akan dikerok. Berikutnya, lakukan pengerokan sekitar 6 atau 7 kali untuk mengangkat atap papul, akan terlihat bintik – bintik kecil darah dalam minyak.36 Kemudian, dengan skalpel, pindahkan minyak dan bahan kerokan ke gelas objek.36 Hal tersebut dapat dilakukan secara lembut dengan menggunakan ujung kayu dari aplikator. Tambahkan satu atau dua tetes lagi minyak mineral dan aduk campuran untuk mendapatkan distribusi bahan kerokan yang merata dalam minyak. Letakkan kaca penutup pada gelas objek dengan hati – hati untuk menghindari gelembung udara dan memeriksa untuk tungau, telur dan fecal pellet.36 Pertama, periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran paling rendah, melihat seluruh kaca objek, tetap mengingat bahwa ukuran tungau bervariasi tergantung pada jenis kelamin dan maturitas. Ukuran terbesar sampai terkecil yaitu betina, jantan, nimfa, larva dan telur. Berikut ini adalah ukuran rata – rata dari bentuk – bentuk S. scabiei.36

Tabel 2.1. Ukuran Rata – Rata dari Bentuk – Bentuk S. scabiei

Stadium Panjang (dalam mikron) Lebar (dalam mikron)

Betina 388 271

Jantan 215 150

Nimfa 165 135

Larva 150 100

Ovum (tanpa kompresi) 170 92

Skibala 30 15

*Dikutip dari kepustakaan no 36

Bila ditemukan telur dari S. scabiei, dapat ditegakkan suatu diagnosis positif skabies, bahkan jika tidak ditemukan tungau dewasa. Dengan pengalaman,


(35)

skabies dapat didiagnosis dengan menemukan fecal pellet yang khas (skibala), yang berwarna coklat kekuningan.36

2. Tes tinta pada terowongan

Tes ini memungkinkan untuk mendeteksi terowongan. Sapukan bagian bawah cartridge pena yang penuh dengan tinta berwarna hitam atau biru ke atas papul yang dicurigai, kemudian bersihkan dengan kapas alkohol untuk menghapus tinta dari permukaan lesi. Tes dikatakan positif jika terbentuk garis menyerupai bentuk zig-zag berwarna gelap.4

3. Shave biopsy

Dilakukan dengan mengangkat papul atau terowongan dengan jari telunjuk dan ibu jari. Potong bagian atas papul atau seluruh terowongan menggunakan skalpel no.15 yang dipegang sejajar terhadap kulit dengan gerakan yang halus. Karena biopsi yang dilakukan sangat superfisial, tidak perlu dilakukan anestesi. Tempatkan spesimen pada slide mikroskop, letakkan kaca penutup di atasnya. Spesimen dapat dibersihkan dengan beberapa tetes potasium hidroksida 15-20%. Panaskan slide dengan hati – hati (60- 800C) selama 2-5 menit. Periksa dengan menggunakan mikroskop cahaya.4

4. Superficial cyanoacrylate biopsy (SCAB)

Dilakukan dengan menentukan lesi non ekskoriasi yang paling sugestif. Rambut disekitar lesi tersebut harus dibersihkan seperlunya. Kemudian kulit dibersihakan menggunakan alkohol. Teteskan sedikit lem cyanoacrylate ke slide


(36)

20

kaca dan segera tekan pada lesi kulit. Setelah sekitar 30 detik, slide dilepas dari kulit dengan gerakan yang cepat. Prosedur diulangi dengan cara yang sama pada daerah lainnya yang dicurigai. Kemudian slide diperiksa dengan mikroskop biasa.38

5. Plester perekat

Teknik ini menggunakan plester perekat transparan yang dipotong sesuai ukuran slide mikroskop (25 x 50 mm). Plester ditekan kuat pada lesi, kemudian tarik dengan cepat. Letakkan plester pada slide dan simpan pada suhu 10-14oC sampai saatnya dibacakan. Slide diperiksa 3 jam kemudian. Slide diamati dengan pembesaran 40x. Jika diduga ditemukan tungau, pembesaran ditingkatkan menjadi 100x.9,39

6. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR ini bertujuan untuk mendeteksi deoxyribonucleic acid

(DNA) tungau. Untuk pemeriksaan ini, lebih baik menggunakan skuama pada kulit dibandingkan dengan biopsi kulit. Prosedur nonivasiv ini dapat membantu pasien yang sangat dicurigai menderita skabies, namun diagnosisnya tidak dapat dibuktikan secara klinis atau melalui pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien skabies sudah mendapatkan pengobatan yang tepat dan sudah tidak terdapat tungau.16


(37)

7. Pemeriksaan dermoskopi

Teknik standar untuk mendiagnosis skabies melibatkan pengidentifikasian tungau, telur atau eksreta dengan pemeriksaan mikroskopis yang diperoleh dari kerokan kulit, namun metode ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa takut, terutama pada pasien yang berusia lebih muda. Oleh karena hasil pemeriksaan pada umumnya tergantung pada daerah yang dikerok, terkadang diperlukan tes yang berulang untuk suatu diagnosis pasti. Untuk alasan ini, kerokan kulit tidak diterima dengan baik oleh pasien yang mungkin tidak kooperatif atau bahkan menolak pemeriksaan.8

Pemeriksaan dermoskopi adalah suatu teknik nonivasiv yang memungkinkan dilakukannya observasi kulit in vivo yang diperbesar dan cepat dengan visualisasi morfologi yang sering tidak terlihat dengan mata telanjang. Dermoskopi telah meningkatkan keakuratan diagnostik lesi kulit berpigmen, dan baru – baru ini evaluasi kelainan kulit yang tidak berpigmen. Dermoskopi biasanya dilakukan sesuai dengan teknik mikroskop epiluminescence dengan pengaplikasian cairan (minyak, alkohol atau air) pada kulit untuk menghilangkan pantulan cahaya.40 Namun, baru – baru ini, metode ini telah digantikan dengan sistim baru yang menggunakan cahaya terpolarisasi, bukannya cairan, dengan hasil yang sebanding. Selama beberapa tahun terakhir, dermoskopi telah terbukti bermanfaat pada berbagai kelainan kulit termasuk infestasi ektoparasit, abnormalitas rambut dan kuku, psoriasis dan lain – lain.40

Dermoskopi merupakan alat diagnostik yang menjanjikan dan bermanfaat untuk skabies.40 Keefektivannya telah dibuktikan oleh berbagai penelitian. Dermoskopi memungkinkan dilakukannya pengidentifikasian tungau yang tampak


(38)

22

sebagai struktur segitiga, berwarna kecoklatan, berbentuk seperti pesawat layang, yang sesuai dengan bagian anterior S. scabiei (delta wing sign/jet with contrail).8

Pemeriksaan dermoskopi memberikan beberapa keunggulan dibandingkan teknik kerokan kulit tradisional. Pertama, tidak invasiv dan diterima dengan baik oleh pasien, terutama oleh anak – anak dan pasien yang lebih sensitif yang mungkin memiliki hasil pemeriksaan kerokan kulit berulang negatif, karena tidak menyebabkan ketidaknyamanan fisik atau psikologis. Kedua, dermoskopi mudah dan cepat untuk dilakukan, memungkinkan pemeriksaan seluruh permukaan kulit yang biasanya dalam beberapa menit dan secara signifikan memakan waktu yang lebih pendek dari pemeriksaan mikroskopis ex vivo. Ketiga, dermoskopi bermanfaat untuk pemeriksaan tanpa menimbulkan trauma pada anggota kelurga yang asimtomatis, yang kemungkinan menolak pemeriksaan kerokan kulit. Keempat, karena dermoskopi merupakan teknik non invasiv, dapat meminimalisir risiko infeksi yang tidak disengaja dari agen – agen yang dapat ditransmisikan dari darah seperti human immunodeficiency virus (HIV). Kelima, dermoskopi telah bermanfaat dalam mendiagnosis skabies melalui teknik teledermatologi.8

Bila kita menggunakan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies, kemungkinan dapat terjadi kontaminasi secara tidak langsung dari pasien melalui peralatan, karena tungau dapat bertahan hidup di lingkungan luar (jauh dari host) sampai 72 jam. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan desinfeksi pada peralatan setiap selesai pemeriksaan.8


(39)

Gambar 2.7. Tampak tungau S. scabiei di ujung terowongan dengan pembesaran 200x

*Dikutip dari kepustakaan no 8

Gambar 2.8 Dermoskopi merk Handyscope

*Dikutip dari kepustakaan no 41

2.1.8. Diagnosis banding

Tabel 2.2. Diagnosis Banding Skabies Paling menyerupai

1. Dermatitis atopi

2. Reaksi gigitan serangga 3. Dermatitis kontak 4. Dermatitis herpetiformis 5. Dyshidrotic eczema Sering dianggap

1. Psoriasis, terutama pada skabies berkrusta 2. Pemfigoid bulosa, bila terdapat vesikel dan bula 3. Erupsi obat


(40)

24

2.1.9. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah impetigenisasi sekunder dan biasanya memberikan respon yang baik pada pemberian antibiotik topikal atau oral. Dapat terjadi lymphangitis dan septikemia terutama pada skabies berkrusta, post-streptococcal glomerulonephritis yang berasal dari pioderma yang dipicu skabies yang disebabkan oleh streptococcus pyogenes.13 Komplikasi lainnya termasuk hiperpigmentasi pasca inflamasi dan atau hipopigmentasi dan prurigo nodularis.17

2.1.10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara umum

Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan mandi secara

teratur setiap hari. Semua pakaian, seprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula halnya dengan anggota keluarga yang berisiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak – anak, juga harus dijaga kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya kontak langsung. Selain itu juga ditekankan untuk mengobati semua anggota keluarga secara bersamaan dan obat yang digunakan jumlahnya harus dibatasi untuk menghindari over treatment atau efek keracunan.42

Penatalaksanaan secara khusus

Pengobatan ideal untuk skabies haruslah efektif melawan tungau dewasa dan telur, mudah digunakan, tidak toksik, tidak menyebabkan iritasi, aman untuk segala usia, dan ekonomis. Tetap saja, kita belum memiliki skabisida yang ideal.15


(41)

Skabies pada bayi merupakan suatu masalah yang memerlukan penatalaksanaan yang tepat karena dapat menjadi luas. Penting untuk mengobati ibu dan bayi tersebut sendiri.19 Terdapat beberapa macam obat skabies, antara lain :

Topikal

1. Permetrin 5%

Permetrin 5% merupakan pyrethroid sintetis dan insektisida poten yang kemungkinan pengobatan topikal paling efektif untuk skabies dan memiliki toksisitas yang rendah pada mamalia. Obat ini diabsorbsi kulit dalam jumlah kecil dan dimetabolisme oleh esterase pada kulit yang akhirnya diekskresikan kembali pada urin. Faktor utama yang membatasi absorpsi sistemik adalah penetrasi lambat melalui kulit yang tidak tergantung pada dosis yang digunakan.15 Mekanisme kerjanya adalah dengan mengganggu fungsi voltage-gated sodium

channel dari arthropoda, menyebabkan depolarisasi yang lama dari membran sel

saraf dan mengganggu transmisi neuron.15,43 Permetrin tersedia dalam bentuk krim 5% yang digunakan sepanjang malam atau sedikitnya selama 8-12 jam, setelah itu harus dibersihkan dan pemakaiannya diulang 1 minggu kemudian. Krim ini harus digunakan di seluruh tubuh, termasuk kepala pada bayi. Permetrin 5% dapat diberikan pada wanita hamil dengan lama pemakaian yang diperpendek sampai 2 jam dan secara luas digunakan pada anak – anak.15

Permetrin 5% ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal dan dapat diterima secara kosmetik. Beberapa pasien pernah mengalami iritasi, rasa terbakar, rasa kesemutan namun semuanya terjadi tidak lama dan kemungkinan


(42)

26

besar berhubungan dengan penggunaan pada kulit yang sudah sensitif, terjadi ekskoriasi dan pruritus disebabkan infeksi skabies.15

2. Sulfur presipitatum 2-10% dalam petrolatum

Sulfur presipitatum 2-10% dalam petrolatum merupakan modalitas pengobatan skabies yang tertua, yang bila kontak dengan jaringan hidup akan membentuk hidrogen sulfida dan asam pentationat yang bersifat germisid dan fungisid.15,42 Obat ini aman digunakan pada wanita hamil, bayi, dan anak – anak dengan konsentrasi 2-4% (anak), 6-8% (wanita), dan 10% (pria).42 Selain itu juga efektif untuk pengobatan skabies berkrusta dan pasien yang sulit disembuhkan dengan pengobatan lain. Ointment ini digunakan pada seluruh permukaan tubuh selama 2 sampai 3 malam berturut – turut.15 Kekurangannya adalah kotor, bau, mewarnai pakaian dan dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan.15

3. Lindane (gamma benzen heksaklorida 1%)

Lindane bekerja pada sistim saraf pusat tungau, menimbulkan rangsangan, konvulsi dan kematian. Obat ini diserap oleh membran mukosa, seperti paru – paru dan mukosa intestinal, dan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh dengan konsentrasi tertinggi pada jaringan yang banyak mengandung lemak dan kulit. Lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses. Pemberiannya cukup sekali dengan lama pemakaian 6 jam, setelah itu harus dibersihkan dengan sabun dan air, beberapa penulis merekomendasikan pengulangan pemberian 1 minggu kemudian. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1%, losion 1% atau sampo 1%, tidak menyebabkan iritasi dan mudah digunakan. Penyerapan dari kulit


(43)

bervariasi dari 10 hingga 90% tergantung pada pelarut yang digunakan dengan waktu paruh 21-26 jam. Pemakaian obat ini harus dihindari pada kulit yang mengalami inflamasi, ekskoriasi, skabies berkrusta, anak – anak yang sakit, bayi dan wanita menyusui.15

Kekurangan dari obat ini dapat menyebabkan toksisitas sistim saraf pusat, seperti konvulsi dan kematian yang dilaporkan terjadi pada anak – anak atau bayi dengan paparan berlebihan atau perubahan sawar kulit yang akan meningkatkan penyerapannya. Juga terdapat laporan mengenai pasien usia tua yang meninggal setelah menggunakan lindane pada daerah kepala. Jika obat ini tertelan dapat menyebabkan keracunan karena diserap oleh mukosa, menyebabkan gejala neurologi, termasuk konvulsi; kelopak mata berkedut; gelisah; pusing; sakit kepala; mual; muntah; lemah; tremor; disorientasi; kegagalan pernafasan; koma dan kematian. Dermatitis kontak iritan ulcerative dari pemakaian obat ini pernah

dilaporkan.4 United State Food and Drug Administration (FDA)

merekomendasikan lindane sebagai terapi lini kedua untuk skabies terutama pada anak – anak dan orang tua. Obat ini dilarang di California.15

4. Benzil benzoat 10-25%

Benzil benzoat 10-25% merupakan suatu ester dari asam benzoat dan benzil alkohol yang diperoleh dari balsam Peru dan Tolu, yang neurotoksik terhadap tungau. Obat ini digunakan sebagai emulsi 25%, 3 kali dalam 24 jam dengan lama pemakaian 24 jam, tanpa dibersihkan terlebih dahulu.15 Pada anak – anak, dosisnya dapat diturunkan sampai 12,5%. Obat ini sangat efektif jika digunakan secara benar, dan jika tidak, dapat menyebabkan kegagalan pengobatan


(44)

28

dan dermatitis kontak iritan pada wajah dan skrotum. Komplikasi pemakaian obat ini adalah dapat terjadi dermatitis kontak alergi. Produk ini tidak aman digunakan pada wanita hamil dan menyusui, bayi dan anak – anak berusia dibawah 2 tahun karena hubungannya dengan efek samping neurologi yang berat pada anak – anak. Beberapa penelitian menemukan bahwa obat ini efektif dalam menangani skabies berkrusta yang resisten terhadap permetrin dan dalam kombinasi dengan ivermectin pada pasien yang mengalami relaps setelah pengobatan dengan ivermectin dosis tunggal.15

5. Monosulfiram 5 – 25%

Obat ini secara kimia berhubungan dengan antabuse, dan untuk alasan ini, minuman beralkohol harus dihindari selama pengobatan karena akan menghambat

aldehyde dehydrogenase di hati dan setelah mengkonsumsi etanol, acetaldehyde

berakumulasi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan termasuk kemerahan, mual, muntah dan takikardi yang disebut sebagai reaksi disulfiram. Obat ini digunakan diseluruh tubuh setelah mandi, 1 kali sehari untuk 2 atau 3 hari berturut – turut. Sabun yang mengandung monosulfiram pernah digunakan pada masa lampau sebagai pencegahan di komunitas yang terinfeksi.15

6. Krotamiton 10% (Crotonyl-N-ethyl-o-toluidine)

Obat ini digunakan setelah mandi dan berganti pakaian dalam sediaan krim atau losion 10%, 2 kali sehari selama 5 hari berturut – turut,15, bersifat skabisid namun tidak mempunyai efektivitas yang tinggi terhadap skabies, tidak mempunyai efek sistemik, serta aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan


(45)

anak – anak.42 Efek samping berupa iritasi bila digunakan dalam jangka waktu lama.42

7. Malathion 0,5%

Malathion 0,5% merupakan suatu insektisida organofosfat yang menghambat enzim acethylcholinesterase secara irreversible. Obat ini sering digunakan untuk mengobati pedikulosis, namun sedikit informasi mengenai manfaatnya pada skabies.15 Malathion tidak boleh digunakan pada bayi, keamanannya pada ibu menyusui dan anak – anak berusia kurang dari 6 tahun belum dapat dipastikan. Untuk pemberian pada ibu hamil, obat ini termasuk dalam kategori B.44

8. Esdepallethrin 0,63%

Esdepallethrin 0,63% merupakan pyrethroid sintetis yang menargetkan sodium channel pada akson. Obat ini tersedia dalam bentuk aerosol dan dapat

digunakan pada anak yang berumur diatas 2 tahun.15

9. Ivermectin 1%

Terdapat satu penelitian yang dipublikasikan mengenai pemakaian ivermectin topikal 400 mcg/kg/dosis dalam 10 ml propylene glycol yang digunakaan pada daerah fleksura, pinggang, genital, tangan dan kaki. Pasien tidak boleh mandi selama 2 jam dan pemberian obat diulangi 1 minggu kemudian.15


(46)

30

Oral Ivermectin

Ivermectin adalah suatu agen antibiotik oral macrocycliclactone semisintetis. Ivermectin berikatan secara selektif pada reseptor di sinaps motor perifer, menghambat transmisi kimia dari asam γ aminobutirat (GABA)-gated

chloride channels yang berada di sistim saraf pusat. Hal tersebut merangsang

pelepasan GABA pada ujung saraf endoparasit, meningkatkan afinitas GABA pada reseptor di sinaps dan menyebabkan gangguan impuls saraf, menimbulkan paralisis dan kematian parasit.15

Ivermectin mudah diserap pada perut yang kosong, dimetabolisme di hati dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Puncaknya sekitar 4 sampai 5 jam setelah dimakan dan memiliki waktu paruh 36 jam. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada sebum, keringat dan sisik pada dahi, delapan jam setelah dosis pertama. Obat ini relatif aman untuk dikonsumsi.15 Efek samping yang dapat terjadi termasuk demam, sakit kepala, menggigil, arthralgia, ruam kulit, eosinofilia dan anoreksia. Sebagian besar gejala – gejala tersebut diduga lebih kepada akibat dari kematian parasit dibandingkan reaksi obat. Efek samping lainnya yang lebih serius adalah ataksia, tremor, mydriasis, depresi dan pada kasus yang berat dapat terjadi koma dan kematian.15

Ivermectin diberikan secara oral 200 mcg/kg pada sebagian besar pasien sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada malam hari ketika tungau bergerak aktif di tubuh. Ivermectin memiliki waktu paruh plasma 36 jam setelah digunakan secara oral, dan diyakini bahwa tungau mendapat makanan dengan memakan keratinosit dan cairan interselular dalam epidermis yang mengandung banyak ivermectin,


(47)

sehingga menjadi efektif terhadap tungau fertil yang membentuk terowongan, karena diyakini bahwa ivermectin tidak memiliki efek ovisidal dan telur menetas setiap 6-7 hari, maka direkomendasikan untuk mengulangi pengobatan 2 atau 3 kali dengan interval 1 atau 2 minggu.15

Ivermectin telah berhasil digunakan untuk mengeradikasi skabies pada keadaan epidemis dan endemis pada institusi seperti rumah jompo dan penjara. Karena ivermectin mudah digunakan, beberapa klinisi menggunakannya sebagai pengobatan lini pertama untuk kasus skabies pada rumah jompo dan institusi, meskipun terdapat satu laporan yang mengajukan bahwa ivermectin dapat menyebabkan kematian pada orang tua.15

Ivermectin oral menawarkan beberapa keuntungan melebihi skabisida topikal standar, seperti efikasi yang tinggi, penggunaannya mudah dan cepat, terhindar dari iritasi akibat pengobatan topikal, terhindar dari perlunya untuk menjamin pemakaian yang tepat dan mudah ditoleransi.15

Agar pengobatan skabies memberikan hasil yang memuaskan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikaan yaitu :45

1. Cara pemakaian obat yang salah dapat menyebabkan kegagalan

pengobatan. Oleh karena itu penderita perlu dijelaskan mengenai cara pemakaian obat yang benar.

2. Gatal biasanya masih menetap, meskipun parasit telah hilang, karena hipersensitivitas terhadap tungau dan produknya tidak segera hilang. Penderita perlu diberitahu mengenai hal tersebut untuk menghindarkan pemakaian obat yang berlebihan. Hal ini dapat dibatasi dengan membatasi


(48)

32

pemberian obat. Biasanya preparat topikal 30 gram cukup untuk dioleskan ke seluruh badan seorang penderita dewasa.

3. Mengingat masa inkubasi yang lama, semua orang yang kontak dengan penderita perlu diobati meskipun tidak didapatkan gejala. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindarkan terjadinya reinfeksi.

4. Kegagalan juga dapat terjadi karena penetrasi obat terganggu seperti pada lesi yang berkrusta atau dengan infeksi sekunder. Pada keadaan ini penderita perlu diberikan antibiotika.

2.1.11. Prognosis

Prognosis skabies adalah baik dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat, kecuali pada pasien imunokompromais.17 Jika dibiarkan tanpa pengobatan, kondisi ini dapat menetap sampai bertahun – tahun.13 Persentase terjadinya reinfestasi sangat tinggi, terutama jika pasien kembali ke lingkungannya, dimana eradikasi belum dilakukan dengan benar.17 Pada individu imunokompeten jumlah tungau dapat berkurang dari waktu ke waktu.13


(49)

2.2. Kerangka Teori

Tanda kardinal

Skabies Infestasi

Sarcoptes scabiei

Pemeriksaan penunjang

- Kerokan kulit - Dermoskopi

- Tes tinta pada terowongan - Shave biopsy

- Superficial cyanoacrylate biopsy (SCAB) - Plester perekat

- Polymerase chain reaction (PCR) - Gatal terutama pada malam hari

- Gejala klinis yang sama pada kontak personal pada waktu yang sama

- Gejala klinis :

- Menemukan tungau, telur, fragmen cangkang, fecal pellet pada pemeriksaan penunjang

- Terowongan - Erosi - Papul - Ekskoriasi - Vesikel - Pustul - Bula - Skuama - Nodul - Krusta


(50)

34

2.3. Kerangka Konsep

Orang yang diduga menderita skabies

Pemeriksaan dermoskopi Pemeriksaan kerokan kulit

Sensitivitas Spesifisitas Positive predictive value Negative predictive value

Positive likelihood ratio Negative likelihood ratio


(51)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu uji diagnostik menggunakan dermoskopi untuk mendiagnosis skabies dengan menggunakan hasil pemeriksaan kerokan kulit sebagai baku emas.

3.2.Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.2.2. Tempat penelitian

Penelitian dilakukan di pesantren Al Wasliyah Medan, pesantren Al Ikhlas Medan, pesantren Al Mukhlisin Tanjung Morawa, perkampungan penduduk Kampung Aur Medan dan rumah tahanan Labuhan Deli.

3.3.Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi target


(52)

36

3.3.2. Populasi terjangkau

Orang - orang yang diduga menderita skabies di pesantren, perkampungan penduduk dan rumah tahanan.

3.3.3. Sampel penelitian

Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4.Besar Sampel Rumus :46

N = (Z α)2 PQ d2

N = Besar subjek yang didiagnosis positif oleh baku emas Zα = 1,96 → α = 0,05 → (95%)

P = Sensitivitas alat yang diinginkan  85% = 0,85 Q = 1 – P  15% = 0,15

d = Presisi penelitian  15% = 0,15 N =

(0,15 )2 (1,96)2 0,85. 0,15 =

0,0225 (3,8416).0,1275 =

0,0225 0,489804

= 21,769  22 orang

Jadi jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 22 orang.


(53)

3.5. Cara Pemilihan Sampel Penelitian

Cara pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling.

3.6.Identifikasi Variabel

3.6.1. Variabel bebas : orang yang diduga menderita skabies. 3.6.2. Variabel terikat : dermoskopi dan kerokan kulit.

3.7.Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.7.1. Kriteria inklusi

1. Orang – orang yang diduga menderita skabies, berusia 7 tahun sampai 60 tahun.

2. Bersedia ikut serta/mengikutsertakan anaknya dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.7.2. Kriteria eksklusi

1. Orang – orang yang sedang dalam pengobatan skabies selama 2 minggu terakhir dengan obat topikal skabisidal.

2. Orang - orang yang diduga menderita skabies nodular, skabies bulosa, scabies incognito, skabies pada skalp, skabies berkrusta, skabies subungual.


(54)

38

3.8.Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.8.1. Alat

1. Jarum steril. 2. Skalpel no. 15. 3. Gelas objek. 4. Kaca penutup. 5. Kapas.

6. Handscoen.

7. Mikroskop cahaya merk Olympus.

8. Dermoskopi merk Handyscope dengan spesifikasi lensa autofokus, pembesaran optik hingga 20x, sistim lampu kembar dengan 6 LED terpolarisasi dan putih, penggambaran dengan kontak dan non kontak, baterai pak 2400 mAh.

9. Telepon genggam merk iPhone 5.

3.8.2. Bahan

1. Minyak mineral (baby oil) 2. Alkohol 70%.


(55)

3.8.3 Cara kerja

1. Orang yang diduga menderita skabies ditetapkan sebagai sampel. 2. Pemeriksaan dermoskopi dan kerokan kulit dilakukan pada lesi di bagian tubuh mana saja yang dicurigai mengandung tungau S. scabiei (lesi berupa papul yang utuh dan vesikel yang

kemungkinan di bawahnya terdapat terowongan). Pemeriksaan dermoskopi dilakukan oleh peneliti. Pemeriksaan kerokan kulit dilakukan oleh seorang analis.

Pemeriksaan dermoskopi untuk menemukan tungau S. scabiei.

Langkah – langkah pemeriksaan dermoskopi :

a. Hidupkan kamera telepon genggam dan dermoskopi. b. Mode polarisasi otomatis langsung teraktivasi.

c. Letakkan lensa dermoskopi keatas lesi yang dicurigai mengandung S. scabiei dan tunggu hingga autofokus bekerja.

d. Lakukan pengambilan gambar kemudian perbesar layar telepon genggam untuk mencari suatu struktur segitiga kecil (delta wing sign/jet with contrail).

e. Jika telah terlihat suatu struktur segitiga kecil (delta wing sign/jet with contrail) di layar telepon genggam, simpan

hasilnya di memori telepon genggam.

f. Setelah selesai digunakan, lakukan desinfeksi pada lensa dermoskopi dengan menggunakan alkohol 70%.


(56)

40

g. Gambar – gambar hasil pemeriksaan dermoskopi dikonsultasikan ke Prof. Hermann Feldmeier, MD, PhD.

Setelah dilakukan pemeriksaan dermoskopi, langsung dilakukan pemeriksaan kerokan kulit untuk menemukan tungau S. scabiei, telur, fragmen cangkang, dan fecal pellet. Langkah – langkah pemeriksaan kerokan kulit :36

a. Papul yang dicurigai mengandung S. scabiei didesinfeksi dengan kapas alkohol kemudian ditusuk menggunakan jarum steril.

b. Teteskan satu tetes minyak mineral pada skalpel steril. c. Biarkan minyak mineral mengalir pada papul yang

akan dikerok.

d. Lakukan pengerokan menggunakan skalpel sekitar 6 atau 7 kali untuk mengangkat atap papul.

e. Pindahkan minyak dan bahan kerokan ke gelas objek dengan skalpel.

f. Tambahkan satu atau dua tetes lagi minyak mineral dan aduk campuran untuk mendapatkan distribusi bahan kerokan yang merata dalam minyak.

g. Letakkan kaca penutup pada gelas objek dengan hati – hati untuk menghindari gelembung udara.


(57)

i. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika ditemukan tungau S. scabiei, telur, fragmen cangkang, dan fecal pellet.


(58)

42

3.9.Kerangka Operasional

Pemeriksaan kerokan kulit Pemeriksaan dermoskopi

Delta wing sign/ Jet with contrail (+)

(S. scabiei (+))

Tabulasi data

Orang yang diduga menderita skabies

Delta wing sign/ Jet with contrail (-)

(S. scabiei (-))

Tungau/ telur/ fecal pellet/ cangkang (+) (S. scabiei (+))

Sensitivitas, spesifisitas, PPV, NPV, LR+, LR-, akurasi

Uji diagnostik

Tungau/ telur/ fecal pellet/ cangkang (-) (S. scabiei (-))


(59)

3.10. Definisi Operasional

1. Diagnosis skabies adalah diagnosis pada orang - orang yang disangkakan mengalami skabies. Diagnosis ditegakkan dengan terdapatnya 2 dari 4 tanda kardinal berikut (1) gatal terutama pada malam hari, (2) lesi kulit dan predileksi yang khas. Lesi kulit yang khas berupa terowongan berwarna putih atau keabu – abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata – rata panjang 1 cm, pada ujungnya ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder dapat terbentuk pustul, ekskoriasi, dan lain – lain. Tempat predileksi yaitu sela – sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna dan perut bagian bawah (3) adanya riwayat anggota keluarga/teman yang menderita kelainan yang sama (4) ditemukan tungau S. scabiei atau skibala pada pemeriksaan mikroskopis. 2. Lesi yang dicurigai mengandung tungau S. scabiei adalah lesi yang berupa

papul yang utuh dan vesikel yang kemungkinan di bawahnya terdapat terowongan.

3. Usia adalah usia subjek penelitian saat dilakukan pemeriksaan lebih dari atau sama dengan 7 tahun sampai 60 tahun yang dihitung dari tanggal lahir, dimana bila lebih dari 6 bulan maka dibulatkan ke atas dan bila kurang dari 6 bulan maka dibulatkan ke bawah.

4. Pemeriksaan kerokan kulit adalah suatu metode diagnostik terhadap tungau S. scabiei dengan mengerok lesi dan memeriksa keberadaan tungau secara mikroskopik. Hasil positif jika ditemukan tungau, telur, fragmen cangkang, dan fecal pellet.


(60)

44

5. Dermoskop adalah suatu alat dengan sistem yang melibatkan cahaya yang terpolarisasi.

6. Dermoskopi adalah suatu cara pememeriksaan keberadaan tungau S. scabiei dengan menggunakan dermoskop merk Handyscope. Pemeriksaan

dikatakan positif bila ditemukan delta wing sign/jet with contrail.

7. Delta wing sign adalah tampilan yang khas dari kepala tungau dan 2 pasang kaki depan yang menyerupai bentuk segitiga pesawat layang yang tampak pada pemeriksaan dermoskopi.

8. Jet with contrail adalah tampilan khas dari kepala tungau dan 2 pasang kaki depannya di dalam terowongan tungau sehingga membentuk gambaran menyerupai pesawat jet dengan jejaknya, yang terlihat pada pemeriksaan dermoskopi.

9. Scabies incognito adalah salah satu bentuk khusus dari skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan menyerupai penyakit kulit lainnya seperti dermatitis herpetiformis, eksema, prurigo, urtikaria papular, liken planus, penyakit Darier dan vaskulitis nekrotik.

10.Skabies berkrusta adalah salah satu bentuk khusus dari skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis berupa plak hiperkeratotik, berwarna abu – abu tebal atau plak berkrusta. Tempat predileksi biasanya pada tangan, kaki, lutut, siku, badan, skalp, nail bed dan terkadang seluruh tubuh.

11.Skabies subungual adalah salah satu bentuk khusus dari skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis berupa penebalan


(61)

kuku jari tangan atau kaki, kuku tampak memutih dengan atau tanpa deformitas, skuama dan krusta pada periungual.

12.Skabies pada skalp adalah salah satu bentuk khusus skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis menyerupai dermatitis seboroik dan dermatomiositis.

13.Skabies nodular adalah salah satu jenis skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis berupa nodul berwarna ungu yang gatal. Paling sering ditemukan pada sela paha, aksila dan genitalia pria.

14.Obat topikal skabisidal adalah obat skabisidal yang dioleskan ke seluruh badan, mulai dari bagian leher ke bawah. Obat topikal skabisidal tersebut seperti permetrin 5%, sulfur presipitatum 2 – 10% dalam petrolatum, lindane, benzil benzoat 10 – 25%, monosulfiram 5 – 25%, krotamiton 10%, malathion 0,5%.

15.Skabies bulosa adalah salah satu jenis skabies yang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis berupa bula tegang yang dapat dijumpai pada bayi, anak – anak, orang tua, dan orang dewasa yang mendapat terapi imunosupresi.

16.Sensitivitas adalah kemampuan alat diagnostik untuk mendeteksi suatu penyakit yang diperoleh dari perhitungan proporsi subjek yang sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek yang sakit (positif benar + negatif semu).

17.Spesifisitas adalah kemampuan alat diagnostik untuk menentukan bahwa subjek tidak sakit, yang diperoleh dari perhitungan proporsi subjek sehat


(62)

46

yang memberikan hasil uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek yang tidak sakit (negatif benar + positif semu). 18.Positive predictive value (PPV) adalah probabilitas seseorang benar –

benar menderita penyakit bila hasil uji diagnostiknya positif yang diperoleh dari perbandingan antara subjek dengan hasil uji positif benar dengan positif benar ditambah positif semu.

19.Negative predictive value (NPV) adalah probabilitas seseorang tidak menderita penyakit bila hasil uji diagnostiknya negatif yang diperoleh dari perbandingan antara subjek dengan hasil uji negatif benar dibandingkan dengan negatif semu ditambah negatif benar.

20.Positive likelihood ratio (LR+) adalah perbandingan antara proporsi subjek yang sakit yang memberi hasil uji positif dengan proporsi subjek yang sehat yang memberi hasil uji positif.

21.Negative likelihood ratio (LR-) adalah perbandingan antara proporsi subjek yang sakit yang memberi hasil uji negatif dengan proporsi subjek yang sehat yang memberi hasil uji negatif.

22.Akurasi adalah proporsi semua hasil uji yang positif benar dan negatif benar.

23.Dalam menentukan penilaian diagnostik digunakan skor sebagai berikut : 0 – 33% = rendah, 33 – 66% = sedang, 67 – 100% = tinggi.


(63)

3.11. Pengolahan dan Analisis Data

Data pemeriksaan dermoskopi dan kerokan kulit yang telah terkumpul ditabulasi dan disajikan di dalam tabel 2 x 2. Kemudian dilakukan penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), postive

likelihood ratio (LR+), negative likelihood ratio (LR-) dan akurasi dengan

menggunakan pemeriksaan kerokan kulit untuk menemukan tungau S. scabiei sebagai baku emas.

3.12. Ethical Clearance

Penelitian ini dilakukan setelah memperoleh ethical clearance dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas Sumatera Utara.


(64)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap orang - orang yang diduga menderita skabies yang berjumlah 34 orang sebagai subjek penelitian.

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, etnis, dan pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini :


(65)

Tabel 4.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Etnis dan Pendidikan

1 Usia n %

8 – 15 tahun 23 67,6

16 – 25 tahun 7 20,6

26 – 35 tahun 2 5,9

36 – 45 tahun 1 2,9

> 45 tahun 1 2,9

Total 34 100

2 Jenis kelamin

Laki - laki 25 73,5

Perempuan 9 26,5

Total 34 100

3 Etnis

Batak 14 41,2

Jawa 7 20,6

Minangkabau 6 17,6

Lainnya 4 11,8

Melayu 3 8,8

Total 34 100

4 Pendidikan

SD 10 29,4

SMP 19 55,9

SMA 5 14,7


(66)

50

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek penelitian berada pada kelompok usia 8 sampai 15 tahun, yaitu 23 orang (67,6%) dan kelompok usia 16 sampai 25 tahun, yaitu 7 orang (20,6%) dan yang terendah pada kelompok usia diatas 35 tahun, yaitu 2 orang (5,8%). Hasil penelitian Buczek dkk terhadap 2064 pasien skabies di Polandia sejak tahun 1990 sampai 1998 didapatkan bahwa kasus skabies terbanyak ditemukan pada usia antara 6 sampai 15 tahun.47 Pada penelitian yang dilakukan Lapeere dkk terhadap 64 penderita skabies di Belgia tahun 2004 diperoleh hasil bahwa insidensi skabies tertinggi ditemukan pada anak – anak berusia kurang dari 5 tahun dan dewasa muda berusia 15 sampai 24 tahun.48 Penelitian yang dilakukan Gunawan dkk pada bulan Januari sampai Desember 2012 di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado mendapatkan bahwa penderita skabies berdasarkan usia terbanyak pada kelompok usia 15 sampai 24 tahun.50 Agrawal dkk pada tulisannya menyatakan bahwa penyakit skabies lebih sering terjadi pada kelompok usia anak – anak yang belum bersekolah dan yang sedang bersekolah, kemungkinan hal ini disebabkan kontak personal dan sosialisasi yang lebih sering pada kelompok usia ini.50,51

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa subjek penelitian terbanyak berjenis kelamin laki – laki, yaitu 25 orang (73,5%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan, yaitu 9 orang (26,5%). Jin-gang dkk pada penelitiannya terhadap 96 pasien skabies di Cina tahun 2008 menemukan bahwa pasien skabies yang berjenis kelamin laki – laki berjumlah 58 orang (60,4%) dan perempuan berjumlah 38 orang (39,6%).52 Hal tersebut kemungkinan disebabkan laki – laki lebih sering melakukan kegiatan di luar rumah dibandingkan perempuan, sehingga kemungkinan paparan di luar rumah lebih besar36 dan kebersihan diri yang kurang


(67)

terjaga pada laki - laki dibandingkan perempuan. Kebersihan diri merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam penyebaran skabies.3 Kebersihan diri yang buruk berhubungan dengan tingkat infestasi yang lebih tinggi.11

Tabel di atas menunjukkan bahwa subjek penelitian yang terbanyak adalah dengan suku Batak, yaitu 14 orang (41,2%) diikuti dengan suku Jawa, yaitu 7 orang (20,6%) dan yang terendah adalah suku Melayu, yaitu 3 orang (8,8%).

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa subjek penelitian yang terbanyak adalah dengan pendidikan SMP, yaitu 19 orang (55,9%) dan yang terendah adalah dengan pendidikan SMA, yaitu 5 orang (14,7%). Pada penelitian yang dilakukan Muzakir tahun 2007 di 3 pesantren di Aceh didapatkan bahwa santri yang menderita skabies lebih banyak yang berpengetahuan kurang mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penularan skabies dibandingkan dengan santri yang tidak menderita skabies.53 Raza dkk pada penelitiannya tahun 2006 di Pakistan menemukan bahwa tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan skabies. Individu yang berpendidikan rendah cenderung untuk menderita skabies karena kemungkinan orang dengan pendidikan yang rendah kurang menyadari akan pentingnya kebersihan diri dan terdapatnya pengaruh dari kebersihan diri yang buruk dalam penyebaran skabies.54


(68)

52

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Durasi Penyakit

Durasi penyakit n %

< 3 bulan 5 14,7

≥3 bulan 29 85,3

Total 34 100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pada umumnya durasi penyakit subjek penelitian yaitu ≥ 3 bulan (85,3%). Hal ini kemungkinan disebabkan kebersihan diri dan lingkungan yang buruk, sistim imunitas yang rendah dan terjadinya reinfestasi dari orang – orang di sekitar subjek penelitian yang juga menderita skabies.

4.2.Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi

Hasil uji diagnostik pemeriksaan dermoskopi dapat dilihat pada tabel 4.3 di bawah ini :

Tabel 4.3. Tabel Uji Diagnostik Pemeriksaan Dermoskopi dan Kerokan Kulit Kerokan Kulit

Total Positif Negatif

Dermoskopi

Positif 2(a) 12(b) 14

Negatif 1(c) 19(d) 20

Total 3 31 34

Hasil uji diagnostik berupa sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio

dan akurasi adalah sebagai berikut:

Sensitivitas = a : (a + c) = 2 : 3 = 66,67%. Spesifisitas = d : (d + b) = 19 : 31 = 61, 29%.


(69)

Negative predictive value = d : (c + d) = 19 : 20 = 95%.

Positive likelihood ratio = sensitivitas : (1 – spesifisitas) = 0,67 : (1 – 0,61) = 1,72.

Negative likelihood ratio = (1 – sensitivitas) : spesifisitas = (1 – 0,67) : 0,61 = 0,54.

Akurasi = (a + d) : N = 21 : 34 = 61,76%.

Nilai diagnostik pemeriksaan dermoskopi dalam mengidentifikasi tungau S. scabiei, dengan kerokan kulit sebagai baku emas memiliki sensitivitas sebesar

66,67%, yang berarti dari 34 orang yang diduga menderita skabies hanya 66,67% (14 orang) yang dapat didiagnosis menggunakan dermoskopi. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas teknik diagnostik dengan menggunakan pemeriksaan dermoskopi memberikan hasil yang tidak tinggi sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis skabies secara akurat. Uji sensitivitas merupakan suatu uji yang menunjukkan kemampuan alat atau metode yang digunakan untuk memberikan gambaran yang positif pada orang yang benar-benar sakit. Berbeda dengan hasil penelitian ini, penelitian yang dilakukan Dupuy dkk sejak bulan Januari 2004 sampai April 2005 di Paris memperoleh hasil yaitu sensitivitas dari pemeriksaan dermoskopi yang dilakukan terhadap 238 pasien skabies sebesar 91%.11 Hasil penelitian yang dilakukan Walter dkk tahun 2008 di Brazil menemukan bahwa sensitivitas pemeriksaan dermoskopi yang dilakukan terhadap 113 pasien sebesar 83%.9 Neynaber dan Wolff pada tulisannya menyebutkan bahwa sensitivitas pemeriksaan dermoskopi dalam mendiagnosis skabies sebesar 91%.6 Pada penelitian yang dilakukan Aryani tahun 2011 di Palembang didapatkan sensitivitas pemeriksaan dermoskopi non kontak terhadap 204 pasien skabies sebesar 89,47%.51


(1)

LAMPIRAN 4


(2)

(3)

LAMPIRAN 5

MASTER DATA

No Umur Jenis kelamin Suku Pendidikan Durasi penyakit Dermoskopi Kerokan kulit Tempat tinggal

1 12 thn Lk Minangkabau SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

2 12 thn Lk Minangkabau SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

3 12 thn Lk Jawa SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

4 14 thn Lk Lainnya SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

5 16 thn Lk Lainnya SMA ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

6 12 thn Lk Batak SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

7 14 thn Lk Melayu SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

8 13 thn Lk Lainnya SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

9 12 thn Lk Jawa SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

10 18 thn Pr Minangkabau SMA ≥ 3 bulan Positif Negatif Kampung Aur

11 10 thn Lk Batak SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Kampung Aur

12 13 thn Pr Batak SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Kampung Aur

13 11 thn Pr Batak SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Kampung Aur

14 14 thn Pr Melayu SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

15 58 thn Lk Jawa SD < 3 bulan Negatif Negatif Rumah tahanan

16 16 thn Lk Batak SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Kampung Aur

17 14 thn Lk Jawa SMP ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

18 14 thn Lk Minangkabau SMP ≥ 3 bulan Positif Positif Pesantren

19 33 thn Lk Batak SMA ≥ 3 bulan Negatif Negatif Rumah tahanan


(4)

20 8 thn Lk Minangkabau SD ≥ 3 bulan Negatif Positif Kampung Aur

21 8 thn Lk Batak SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Kampung Aur

22 11 thn Pr Batak SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Kampung Aur

23 36 thn Lk Batak SMP < 3 bulan Negatif Negatif Rumah tahanan

24 27 thn Lk Jawa SMP < 3 bulan Negatif Negatif Rumah tahanan

25 16 thn Pr Minangkabau SMA ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

26 14 thn Pr Lainnya SD ≥ 3 bulan Positif Negatif Pesantren

27 11 thn Lk Batak SD ≥ 3 bulan Positif Positif Kampung Aur

28 25 thn Lk Jawa SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Rumah tahanan

29 14 thn Lk Batak SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

30 12 thn Lk Batak SMP ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

31 12 thn Lk Jawa SD ≥ 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

32 16 thn Pr Melayu SMP < 3 bulan Negatif Negatif Pesantren

33 17 thn Pr Batak SMA < 3 bulan Positif Negatif Pesantren


(5)

LAMPIRAN 6 Frequency Table

UMUR

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 8 - 15 THN 23 67,6 67,6 67,6

16 - 25 THN 7 20,6 20,6 88,2 26 - 35 THN 2 5,9 5,9 94,1 36 - 45 THN 1 2,9 2,9 97,1 >45 THN 1 2,9 2,9 100,0 Total 34 100,0 100,0

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Lk 25 73,5 73,5 73,5

Pr 9 26,5 26,5 100,0

Total 34 100,0 100,0

Suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Batak 14 41,2 41,2 41,2

Jawa 7 20,6 20,6 61,8

Lainnya 4 11,8 11,8 73,5

Melayu 3 8,8 8,8 82,4

Minangkabau 6 17,6 17,6 100,0 Total 34 100,0 100,0

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid SD 10 29,4 29,4 29,4

SMP 19 55,9 55,9 85,3

SMA 5 14,7 14,7 100,0

Total 34 100,0 100,0


(6)

Durasi penyakit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid < 3 bulan 5 14,7 14,7 14,7

Sama >3 bulan 29 85,3 85,3 100,0

Total 34 100,0 100,0

Dermoskopi * Kerokan kulit Crosstabulation

Count

Kerokan kulit

Total Negatif Positif

Dermoskopi Negatif 19 1 20 Positif 12 2 14