Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC)

(1)

1

PREVALENSI NYERI PASCA OPERASI MATA DENGAN GENERAL ANESTESI BERDASARKAN JENIS OPERASI MATA DI RUMAH SAKIT

SUMATERA MEDICAL EYE CENTRE (SMEC)

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

WAN ANIS BINTI WAN LOKMAN 120100466

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

2

PREVALENSI NYERI PASCA OPERASI MATA DENGAN GENERAL ANESTESI BERDASARKAN JENIS OPERASI MATA DI RUMAH SAKIT

SUMATERA MEDICAL EYE CENTRE (SMEC)

Oleh:

WAN ANIS BINTI WAN LOKMAN 120100466

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

(4)

ii

ABSTRAK

Nyeri merupakan salah satu keluhan pasca operasi yang paling sering dilaporkan pasien dan bisa mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan. Penanganan nyeri pasca operasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas tidur terganggu dan timbulnya perasaan tidak nyaman baik mental maupun fisik pada pasien sehingga penanganan yang efektif sangat diperlukan. Tingkat nyeri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah jenis operasi. Seperti halnya pada jenis operasi mata yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu intraokuler dan ekstraokuler yang keduanya mempunyai tingkat nyeri yang berbeda. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan. Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan menggunakan data primer dari wawancara pasien. Sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling pada pasien rawat inap Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) yang menjalani operasi mata dengan general anestesi sehingga didapatkan sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari September 2015 sehingga November 2015. Penilaian nyeri dilakukan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan cara bertanya pada sampel mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah dirasakan dengan menggunakan skala numeric 1-10 yang diambil pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi. Hasil penelitian ini diperoleh prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi adalah cukup tinggi yaitu sebanyak 42 orang (82,3%), yang terdiri dari 64,7% pada operasi intraokuler dan 17,6% pada operasi ekstraokular. Pada pasien yang mengeluhkan nyeri pasca operasi, didapati skor

Visual Analogue Scale (VAS) terbanyak adalah diantara 1-3 yaitu nyeri ringan. Onset dari nyeri pasca operasi yang paling banyak adalah pada 8 jam pertama pasca operasi mata yaitu sebanyak 76,5% dan semakin berkurang dengan bertambahnya jam.


(5)

iii

ABSTRACT

Pain is one of the symptoms of post operations as most patients had reported. The pain can occur to anyone regardless the gender, age, race, social status, and employment of patients. Due to inadequate management of postoperative pain, it might cause disturbance in sleep quality also an uncomfortable feeling in both mental and physical aspect. Therefore, management of post operative pain is absolutely needed for those patients with pain. The level of pain is influenced by several aspects, including type of operation. Generally, type of eye surgery is divided into two, namely intraocular and extraocular in which both are differ in terms of pain level. Therefore, researcher are interested to study about prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia based on the type of eye surgery at Hospital of Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan .The method of this study was observational descriptive by

using primary data from patient’s interview. Sample were collected by using total sampling method to all patients who had undergone eyes surgery with general anesthesia where 51 patients were identified to fit with the inclusion and exclusion criteria from September 2015 until November 2015. The evaluation of pain was made by using Visual Analogue Scale (VAS) and the sample were asked about the level of post operative pain using numeric scale from 1-10 taken in the period of 8 hours, 16 hours and 24 hours of post eye surgery. The results showed that the prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia were high enough which include 42 people (82,3%) complained having postoperative pain

consisted of 64,7% in intraocular surgery and 17,6% in the extraocular surgery. Patient with postoperative pain complained with the most score of Visual Analogue Scale (VAS) is between 1-3 which is mild pain. Most patients which is 76,5% complained having post operative pain in the first 8 hours and decreasing from times to times.


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Adapun judul proposal ini adalah “Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC)”.

Penulisan penelitian ini terselesai tidak terlepas dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGED selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Adriamuri Primaputra Lubis, M Ked(An), Sp An selaku dosen

pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberi bimbingan kepada penulis sehingga penulisan proposal KTI ini dapat diselesaikan.

3. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan.

4. Ibunda, ayahanda tercinta dan seluruh keluarga, yang telah susah payah

untuk memberikan dukungan baik moral atau materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal KTI ini

5. Teman-teman seperjuangan, Emmanuella Irene Gracia, Astri Gartika dan

teman-teman yang lainnya yang telah memberikan saran dan bantuan kepada penulis sepanjang penulisan proposal KTI ini..


(7)

v

6. Semua pihak yang memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa isi maupun susunan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi kesempurnaan karya tulis ini.

Medan, 7 Desember v2015 Penulis,

Wan Anis Wan Lokman 120100466


(8)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR SINGKATAN ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Nyeri ... 6

2.1.1 Definisi Nyeri ... 6

2.1.2 Fisiologi Nyeri... 9

2.1.3 Klasifikasi Nyeri ... 8

2.2 Nyeri Pasca Operasi ... 10

2.2.1 Definisi ... 10

2.2.2 Penilaian Nyeri ... 11

2.3 Operasi Mata dengan General Anestesi ... 13

2.3.1 Pembagian Operasi Mata ... 14

2.3.2 General Anestesi pada Operasi Mata ... 14

2.3.3 Jenis Operasi Mata dengan General Anestesi ... 15


(9)

vii

2.4.1 Definisi General Anestesi... 19

2.4.2 Obat-obatan dalam General Anestesi ... 20

2.4.3 Keuntungan dan Kerugian General Anestesi ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22

3.1 Kerangka Konsep ... 22

3.2 Definisi Operasional ... 22

3.2.1 General Anestesi ... 22

3.2.2 Operasi Mata... 23

3.2.3 Nyeri Pasca Operasi Mata ... 23

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1 Jenis Penelitian ... 24

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

4.2.1 Lokasi Penelitian ... 24

4.2.2 Waktu Penelitian ... 25

4.3 Populasi dan Sampel ... 25

4.3.1 Populasi ... 25

4.3.2 Sampel ... 25

4.3.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 25

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 26

4.5 Cara Penilaian Visual Analog Scale ... 26

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 26

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1 Hasil Penelitian ... 28

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

5.1.2. DeskripsiKarakteristikSampel ... 28

5.1.3. Hasil Analisis Data... 29

5.1.4. Deskripsi Keluhan Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi ... 30


(10)

viii

5.1.5. Deskripsi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General

Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata ... 31

5.2 Pembahasan ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1 Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(11)

ix

DAFTAR SINGKATAN

ASA American Society of Anaesthesiology Classification ECC EEktraksi Katarak Ekstrakapsular

IV Intra Vena

IOL Intra Ocular Lens

ICCE Ekstraksi Katarak Intrakapsular MAC Monitored Anesthesia Care NRS Numerical Rating Scale NSAID Anti Inflamasi Non-Steroid TIO Tekanan Intra-Ocular VAS Visual Analogue Scale VRS Verbal Rating Scale


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri ... 8

Gambar 2.2 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ... 11

Gambar 2.3 Verbal Rating Scale ... 12

Gambar 2.2 Numerical Rating Scale ... 12

Gambar 2.3 Visual Analogue Scale ... 13


(13)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik 10

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis

Tindakan Operasi Mata dengan General Anestesi 29 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi

Mata dengan General Anestesi 29

Tabel 5.3 Keluhan Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata 30 Tabel 5.4 Keluhan Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata 30 Tabel 5.5 Keluhan Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata 31 Tabel 5.6 Distribusi Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata

Berdasarkan Jenis Operasi Mata 31

Tabel 5.7 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 8 Jam

Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata 32 Tabel 5.8 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 16 Jam

Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata 33 Tabel 5.9 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri setelah 24 Jam


(14)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar Riwayat Hidup 2. Lembar Ethical Clearence

3. Surat Izin Penelitian (FK USU) 4. Surat Permohonan Izin Penelitian

5. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian 6. Lembar Persetujuan Subjek Penelitian

7. Formula Pengambilan Data

8. Visual Analogue Scale

9. Data Induk


(15)

ii

ABSTRAK

Nyeri merupakan salah satu keluhan pasca operasi yang paling sering dilaporkan pasien dan bisa mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras, status sosial, dan pekerjaan. Penanganan nyeri pasca operasi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas tidur terganggu dan timbulnya perasaan tidak nyaman baik mental maupun fisik pada pasien sehingga penanganan yang efektif sangat diperlukan. Tingkat nyeri dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah jenis operasi. Seperti halnya pada jenis operasi mata yang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu intraokuler dan ekstraokuler yang keduanya mempunyai tingkat nyeri yang berbeda. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan. Metode penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan menggunakan data primer dari wawancara pasien. Sampel diambil dengan menggunakan metode total sampling pada pasien rawat inap Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) yang menjalani operasi mata dengan general anestesi sehingga didapatkan sebanyak 51 orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari September 2015 sehingga November 2015. Penilaian nyeri dilakukan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan cara bertanya pada sampel mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah dirasakan dengan menggunakan skala numeric 1-10 yang diambil pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi. Hasil penelitian ini diperoleh prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi adalah cukup tinggi yaitu sebanyak 42 orang (82,3%), yang terdiri dari 64,7% pada operasi intraokuler dan 17,6% pada operasi ekstraokular. Pada pasien yang mengeluhkan nyeri pasca operasi, didapati skor

Visual Analogue Scale (VAS) terbanyak adalah diantara 1-3 yaitu nyeri ringan. Onset dari nyeri pasca operasi yang paling banyak adalah pada 8 jam pertama pasca operasi mata yaitu sebanyak 76,5% dan semakin berkurang dengan bertambahnya jam.


(16)

iii

ABSTRACT

Pain is one of the symptoms of post operations as most patients had reported. The pain can occur to anyone regardless the gender, age, race, social status, and employment of patients. Due to inadequate management of postoperative pain, it might cause disturbance in sleep quality also an uncomfortable feeling in both mental and physical aspect. Therefore, management of post operative pain is absolutely needed for those patients with pain. The level of pain is influenced by several aspects, including type of operation. Generally, type of eye surgery is divided into two, namely intraocular and extraocular in which both are differ in terms of pain level. Therefore, researcher are interested to study about prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia based on the type of eye surgery at Hospital of Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan .The method of this study was observational descriptive by

using primary data from patient’s interview. Sample were collected by using total sampling method to all patients who had undergone eyes surgery with general anesthesia where 51 patients were identified to fit with the inclusion and exclusion criteria from September 2015 until November 2015. The evaluation of pain was made by using Visual Analogue Scale (VAS) and the sample were asked about the level of post operative pain using numeric scale from 1-10 taken in the period of 8 hours, 16 hours and 24 hours of post eye surgery. The results showed that the prevalence of postoperative pain of eye surgery with general anesthesia were high enough which include 42 people (82,3%) complained having postoperative pain

consisted of 64,7% in intraocular surgery and 17,6% in the extraocular surgery. Patient with postoperative pain complained with the most score of Visual Analogue Scale (VAS) is between 1-3 which is mild pain. Most patients which is 76,5% complained having post operative pain in the first 8 hours and decreasing from times to times.


(17)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut The International Association for the Study of Pain( IASP ) tahun 2011, definisi nyeri adalah suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau potensial terjadi kerusakan jaringan atau digambarkan dalam keadan yang berkaitan dengan kerusakan tersebut. Definisi tersebut dapat juga menjelaskan bahwa persepsi nyeri sangat subjektif tergantung impuls nyeri respon emosional terhadap nyeri, dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri sebelumnya.Menurut the American Pain Society(APS) pada tahun 1996, dampak nyeri pada perasaan sejahtera pasien sudah sedemikian luas diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai “tanda vital kelima” (fifth vital sign), dan mengelompokkannya bersama tanda-tanda klasik suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah.

Saat ini semakin banyak pasien yang mendapatkan tindakan operasi sebagai salah satu pilihan pengobatan. Hal ini terlihat dengan adanya kecenderungan peningkatan jumlah tindakan operasi pada beberapa rumah sakit dari waktu ke waktu(Windiarto, 2010). Berkaitan dengan itu, salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam tindakan operasi adalah anestesi. Tindakan general anestesi merupakan salah satu jenis anestesi yang sering dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi (Windiarto, 2010).

General anestesi adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi. Inilah sebab mengapa pembedahan dan pengobatan lain yang sebenarnya menyebabkan rasa yang sangat sakit dapat dilakukan (Torpy, 2011). Selama dalam keadaan anestesi, pasien tidak dapat dibangunkan, sekalipun diberikan stilmulasi yang menyakitkan, dan kemampuan untuk mempertahankan fungsi ventilasi serta sistem kardiovaskular sering mengalami gangguan (BlueCross BlueShield of North Carolina, 2014).


(18)

2

Untuk melakukan pembedahan diperlukan tindakan anestesi yang dapat berupa anestesi umum atau regional. Masing‐masing teknik anestesi ini mempunyaikeuntungan dan kerugian . Salah satu komplikasidan keluhan yang paling seringterjadi pada pasien setelah pembedahan adalah rasa nyeriyang bervariasi walaupun nyeri pembedahan dikontrol dengan baikmenggunakan analgesia sistemik(Rüsch, 2010).The Royal Collage of Surgeons

(RCS)melaporkan nyeri pasca operasi ditemukan pada 30-70% pasien dengan derajat sedang sampai berat. Penelitian lain menunjukkan bahwa meskipun insidensi nyeri pasca operasi telah berkurang 2% tiap tahun selama 30 tahun terakhir, namun 30% pasien masih merasakan nyeri sedang dan 11% pasien lainnya mengeluhkan nyeri berat (Anita Holdcroft, 2005).Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhafizah dan Erniyati pada tahun 2012 di RSUP H. Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa sebagian besar pasien pasca operasi abdomen merasakan intensitas nyeri sedang (57,4%), diikuti dengan intensitas nyeri ringan (22,2%), dan sisanya pasien dengan intensitas nyeri berat (20,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan Meinhart dan McCaffery, 1983; NIH, 1986 dalam Potter & Perry, 2006 yang menyatakan bahwa nyeri akibat pembedahan dan trauma diklasifikasikan sebagai nyeri akut yang intensitasnya bervariasi mulai dari yang ringan sampai dengan berat.

Nyeri disebabkan karena terangsangnya nosiseptor yang terdapat di dalam jaringan tubuh. Rangsang termal, mekanis atau kimia yang kuat dapat menyebabkan teraktivasinya nosiseptor. Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator kimiawi seperti prostaglandin, kinin dan ion potassium yang dapat merangsang nosiseptor. Nyeri dapat dibagi menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neurologik, nyeri somatic/superficial, dan nyeri visceral. Nyeri nosiseptif dapat dibagi lagi menjadi nyeri cepat dan nyeri lambat. Lokasi nyeri cepat tepat terlokalisasi di daerah yang terstimulasi, sedangkan pada nyeri lambat lokasi nyeri juga terlokalisasi baik tetapi lebih difus. Nyeri pasca operasi dapat dikategorikan sebagai nyeri somatic karena nyerinya yang timbul pada organ non-viseral (Tortora & Derrickson, 2009).


(19)

3

Pada penelitian yang dilakukan di Kuopio University Hospital, Kuopio, Finland tahun 2013, yang meneliti nyeri pasca operasi mata dengan general anestesimelaporkan 67 ( 34 % ) pasien mengalami nyeri pasca operasi yang terjadi pada 8 jam pertama. Setelah keluar dari rumah sakit, prevalensi terjadinya nyeri pada mata menurun pada 24 jam , 1 minggu , dan 6 minggu yaitu masing-masing 18 (10 %) , 15 (9 %) dan 12 (7 %). Kebanyakan pasien dengan penyakit mata yang sudah dioperasi mengeluhkan nyeri yang signifikan, yaitu dengan VAS skor ≥4 pada skala nyeri 0-10 , tetapi sebagian dari pasien tersebut telah mendapatkan analgesik untuk mengatasi nyeri mata. Gejala iritasi mata lainnya yang umum terjadi setelah operasi yaitu sensasi - benda asing yang ditemukan pada 40 pasien ( 22 % ) , sensitivitas cahaya pada 29 pasien ( 16 % ) , rasa terbakar pada 15 pasien ( 8 % ) , dan gatal-gatal pada 15 pasien ( 8 % ) (Porela-Tiihonen S.et al., 2013).

Prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi di Indonesia sampai sekarang belum banyak diketahui dengan jelas. Melihat kondisidan data data yang dikemukakan di atas, yaitu masih tingginya angka kejadian nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi di seluruh dunia serta masih sedikitnya penelitianyang membahas tentang prevalensi nyeri pasca operasi mata di Indonesia. Maka, peneliti tertarikuntuk melakukan penelitian tentang “Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Center(SMEC)”.Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre(SMEC)karena jika dinilai dari jumlah dan frekuensi operasi mata yang telah dilakukan, di rumah sakit ini lebih banyak dan lebih sering dibanding rumah sakit lain di Medan yaitu sebanyak 180 operasi intraokular dan 101 operasi ekstraokular dari Januari sehingga Desember 2014 dengan rata-rata sebanyak 23 operasi per bulan.


(20)

4

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan pemasalahannya adalah berapakah prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC).

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC).

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui jenis operasi mata yang paling banyak di lakukan dengan menggunakan general anestesi.

2. Menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) 8 jam pasca operasi pasien yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata.

3. Menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) 16 jam pasca operasi pasien yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan jenis operasi mata.

4. Menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) 24 jam pasca operasi pasien yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan jenis operasi mata.

5. Menganalisis perbedaan skor Visual Analogue Scale (VAS) pre operasi dengan8 jam , 16 jam dan 24 jam pasca operasi pasien yang menjalani operasi mata dengan diberikan general anestesiberdasarkan jenis operasi mata.


(21)

5

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dapat digunakan sebagai data dasar dan masukan bagi Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) serta pihak lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan kejadian nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata.

2. Menambah pengetahuan peneliti mengenai perbedaan tingkat nyeri pre operasi dan post operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata.

3. Memberikan kontribusi ilmiah, menambah pengetahuan para pekerja medis maupun peneliti dan dapat dijadikan bahan informasi tentang kejadian nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata pada masa akan datang.


(22)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

2.1.1 Definisi nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2012). Menurut International Association for Study of Pain(IASP), nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2.1.2 Fisiologi nyeri

Nyeri merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh manusia yang dapat mengindikasikan bahwa tubuh seorang mengalami masalah. Nyeri dapat berasal dari fisik atau psikologis (Avidan, M, 2003).

1. Reseptor nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima ransangan nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri juga nosireseptor, berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan (Tamsuri, 2012). Reseptor jaringan kulit terbagi dua dalam dua komponen menurut Tamsuri 2012 yaitu :


(23)

7

1) Serabut A delta

Merupakan komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/ detik) yang mungkin timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

2) Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5 m/detik) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri bersifat tumpul dan sulit dialokasikan.

2. Transmisi nyeri

Menurut Tamsuri (2012). Terdapat beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan ransangan nyeri, yaitu :

1. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory)

Teori dirasakan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus menstransmisi rasa nyeri.

2. Teori Pola (Pattern Theory)

Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu mengantar ransangan dengan cepat dan serabut yang mengantar rangsangan dengan lambat. Kedua serabut syaraf tersebut bersinapsis pada medula spinalis dan merusakan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri.

3. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory)

Teori gerbang kendali nyeri menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang" yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri.

3. Perjalanan Nyeri

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi(Smith Howard S., et al., 2008).


(24)

8

1) Transduksimerupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.

2) Transmisiadalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya. 3) Modulasiadalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini

dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan).

4) Persepsiadalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tlersebut.


(25)

9

2.1.3Klasifikasi Nyeri

1. Berdasarkan Sumber Nyeri

Dapat dibagi diklasifikasikan menjadi(Benzon et al., 2005): a) Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri dirasakan seperti terbakar dan terlokalisasi. b) Nyeri somatic dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.

c) Nyeri viseral

Nyeri karena perangsangan organ visceral atau membran yang menutupinya (pleura parietalism, pericardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisai, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

2. Berdasarkan Jenisnya Nyeri

Dapat diklasifikasikan menjadi(Benzon et al., 2005): a) Nyeri nosiseptif

Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun visceral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.

b) Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensari yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan.

c) Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.


(26)

10

Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis Sumber : Benzon et al., 2005

Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Awitan Mendadak Terus menerus/intermittent

Durasi Durasi singkat (kurang dari enam bulan)

Durasi lama (lebih dari enam bulan)

Respon otonom

Takikardia,tekanan darah meningkat, pucat, lembab, berkeringat, dilatasi pupil meningkat,

Tidak dapat repon otonom, penurunan tekanan darah, bradikardia, kulit kering, panas, dan pupil kontriksi Respon

psikologis

Cemas, gelisah, dan terjadi ketegangan otot

Depresi, putus asa, mudah tersinggung

2.2 Nyeri Pasca Operasi 2.2.1 Definisi

Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri postoperasi berbeda-beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri postoperasi. Nyeri postoperasi biasanya ditemukan dalam pengkajian klinikal, nyeri postoperasi merupakan topik yang menarik untuk dibahas dalam lingkup kedokteran. Dengan menggali nyeri postoperasi akan membantu orang lain untuk mengerti dan dapat mengaplikasikan nyeri postoperasi kepada pasien yang mengalami pembedahan. Aspek dari nyeri postoperasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza, 2007).

Nyeri insisi umumnya terasa tajam dan terlokalisir dengan jelas karena kulit dan jaringan subkutis memiliki banyak nosiseptor. Apabila struktur yang terletak lebih dalam dengan reseptor nyeri yang lebih sedikit mengalami cedera, maka nyeri yang timbul cenderung tumpul dan kurang terlokalisir atau mungkin dirujuk apabila struktur-struktur visceral terlihat. Rasa takut dan cemas sering merupakan bagian dari aspek afektif-emosi pada nyeri akut dan cenderung


(27)

11

memperkuat satu sama lain. Dengan demikian, tindakan-tindakan untuk mengurangi nyeri juga mengurangi rasa cemas, yang cenderung mengurangi nyeri. Nyeri paska operasi akut biasanya menghilang seiring dengan menyembuhnya luka(Prince, 2006).

2.2.2 Penilaian Nyeri

Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri pasca operasi yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.

Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini: 1. Wong-Baker F aces Pain Rating Scale

Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya(GarraG.et al., 2010).

Gambar 2.2Wong Baker F aces Pain Rating Scale

2. Verbal Rating Scale (VRS)

VRS adalah cara pengukuran nyeri dengan menanyakan respon pasein terhadap nyeri secara verbal dengan memberikan 5 pilihan yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, dan nyeri luar biasa yang tidak tertahankan.


(28)

12

Skala pada VRS merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pada penggunaannya, pemeriksa akan menunjukkan kepada klien tentang skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih skala nyeri berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakannya. VRS akan membantu pasien untuk memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan rasa nyeri yang dirasakannya (Benzon et a.l, 2005).

Gambar 2.3Verbal Rating Scale

3. Numerical Rating Scale (NRS)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk mengambarkan range dari intensitas nyeri. Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. NRS digunakan untuk menilai intensitas atau derajat keparahan nyeri dan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri yang dirasakan (Benzon et al., 2005).


(29)

13

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analogue Scale(VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4-<7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.(Jensen MP., 2003).

Gambar 2.5 Visual Analogue Scale

2.3 Operasi Mata dan General Anestesi

Penggunaan general anestesi ataupun lokal harus dibuat pilihan bersama oleh pasien, anestesiologis, dan ahli bedah. Beberapa pasien menolak lokal anestesi karena takut akan kemungkinan terjaga saat prosedur bedah dan mendapat ingatan rasa sakit selama teknik regional. Meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salah satu bentuk anestesi lebih aman, regional anestesi tampaknya lebih kurang menyebabkan stress. General anestesi diindikasikan pada anak-anak dan pasien tidak kooperatif, karena bahkan gerakan kepala yang kecil dapa menyebabkan bencana selama bedah mikro (Morgan et al., 2006).


(30)

14

2.3.1. Pembagian Operasi Mata

Menurut Smith (2004),operasi mata dapat dibagi menjadi dua kategori yang berbeda: ekstraokular dan intraokular.

Operasi ekstraokular, dilakukan pada struktur sekitar mata itu sendiri, seperti kelopak mata dan konjungtiva. Jaringan ini memiliki suplai darah yang sangat baik. Oleh karena itu jaringan sembuh dengan baik dan jarang terinfeksi serius. Jaringan tersebut berada pada permukaan tubuh sehingga paparan terhadap pembedahan biasanya tidak menjadi masalah. Jaringan dapat dibius dengan mudah dengan infiltrasi jaringan menggunakan regional anestesi. Adrenalin (1 dalam 100.000) selalu digunakan dalam regional anestesi untuk mengurangi perdarahan karena jaringan ini sangat vaskular. Dengan semua alasan tersebut, prinsip-prinsip operasi ekstraokular adalah sama dengan untuk operasi umum. Namun jaringan ekstraokular agak kecil dan melakukan pembesaran biasanya membantu dokter bedah. Contoh operasi ekstraokuler adalah strabismus, trabekulektomi, repair ptosis, eksisi tumor, hecting palpebra dan lain lain.

Operasi intraokular, dilakukan pada mata itu sendiri. Struktur mata selain yang sangat kecil, juga sangat khusus dan rentan. Karena itu ada beberapa aturan dasar atau prinsip-prinsip lainnya untuk setiap jenis operasi intraokular. Karena bersifat khusus, mata hanya memiliki kekuatan terbatas dari pemulihan cedera termasuk cedera dari operasi. Bagian lain dari tubuh akan sering sembuh sepenuhnya sekalipun dari penanganan yang kasar pada operasi atau dari komplikasi seperti infeksi. Ataupun secara alternatif dapat dilakukan operasi lain untuk memperbaiki komplikasi pasca-operasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada mata. Operasi yang buruk atau komplikasi pascaoperasi sering akan menyebabkan kehilangan penglihatan secara permanen. Contoh operasi intraokuler adalah operasi katarak, glaukoma, vitrektomi, reposisi IOL, eviserasi, trauma okuli dan lain lain

2.3.2. General Anestesi pada Operasi Mata

General Anestesi digunakan pada sekitar 35 % dari kasus operasi mata, dan yang paling umum digunakan adalah lengthy retinal surgery dan operasi strabismus pada pediatrik.

Indikasi untuk general anestesi meliputi berikut (Basta, 2008):

1. Ketidakmampuan pasien untuk bekerja sama dengan monitoredanesthesia care (MAC) misalnya, anak-anak, orang dewasa dengan defisit mental atau psikologis, tremor, ketidakmampuan untuk berbaring terlentang. 2. Akinesia okular lengkap diinginkan oleh dokter bedah.


(31)

15

3. Prosedur yang panjang (> 3-4 jam).

4. Bagian bedah tidak setuju untuk regional anestesi, lokal, atau topikal (misalnya, koagulopati).

5. Keinginan dokter bedah atau pasien.

Tujuan dari general anestesi untuk operasi mata mencakup induksi yang lancar dengan tekanan intra okular (TIO) yang stabil, penghindaran atau pengobatan refleks okulokardiak yang parah, dan pemeliharaan lapangan bergerak. Tujuan ini dapat dicapai dalam berbagai cara, yaitu dengan menggunakan anestesi inhalasi, agen IV, atau teknik gabungan (Basta, 2008). Relaksan otot terutama berguna selama bedah mikro intraokular, ketika gerakan pasien yang sedikit saja dapat menjadi bencana (Basta, 2008).

2.3.3. Jenis Operasi Mata dengan General Anestesi 1. Strabismus

Strabismus berarti misalignment okuler atau penyimpangan dari satu mata relatif terhadap sumbu visual yang lain. Etiologinya mungkin berhubungan dengan kelainan penglihatan binokular atau masalah neuromuskular dari motilitas okular (Basta, 2008).

Koreksi bedah strabismus adalah reposisi otot ekstraokular. Koreksi ini memerlukan berbagai macam teknik untuk melemahkan otot ekstraokular dengan memindahkan insersinya pada bola mata atau untuk memperkuat otot ekstraokular dengan mengeliminasi sebuah strip pendek dari tendon atau otot (Barash, et al., 2009). Untuk memperkuat otot, dilakukan reseksi. Untuk melemahkan otot, dilakukan resesi. Pada kasus yang parah, reseksi mungkin dilakukan pada satu otot dan resesi pada otot yang berlawanan. Karena pematangan visual terjadi pada usia 5 tahun, koreksi strabismus biasanya dicoba pada awal masa kanak-kanak. Jika tidak dikoreksi, amblyopia, atau cacat dalam penglihatan sentral, dapat terjadi (Aitkenhead et al., 2013).

Jahitan yang dapat disesuaikan kadang-kadang digunakan untuk meningkatkan peluang alignment dengan sebuah operasi tunggal . Penyesuaian


(32)

16

dilakukan langsung dalam periode pasca operasi, ketika pasien sepenuhnya terjaga dan bisa fokus. Pada pasien yang mempunyai riwayat operasi strabismus atau trauma orbital sebelumnya, dokter bedah mungkin perlu untuk membedakan antara pergerakan mata paretik dan restriksi dengan melakukan forced duction test

(Aitkenhead et al., 2013). Pasien anak banyak dan sering menjalani operasi strabismus dan membutuhkan general anesthesia. Beberapa pasien dewasa cukup baik dengan teknik regional dan sedasi secara intravena (Basta, 2008).

Kebanyakan pasien lebih memilih general anesthesia dan memberikan hasil yang sangat memuaskan dengan propofol, remifentanil, antagonis 5HT3, dan/atau deksametason ,dan non-opiat untuk nyeri (Basta, 2008).

2. Penetrating Keratoplasty

Penetrating Keratoplasty mengacu pada bedah penggantian sebagian kornea dengan jaringan donor. Jaringan donor yang berasal dari pasien disebut

autograft. Jaringan yang berasal dari lain orang disebut allograft. Indikasi untukprosedur ini banyak yaitu opasitas kornea, keratokonus, infeksi, dan jaringan parut adalah beberapa diantaranya. Baik regional anesthesia maupun general anesthesia mungkin tepat untuk prosedur ini (Basta, 2008).

3. Katarak

Katarak adalah penyebab umum gangguan penglihatan pada orang tua. Karena tingginya prevalensi katarak, ekstraksi katarak adalah operasi mata yang paling umum(Uhr, 2003). Patogenesis katarak adalah multifaktorial tetapi pada dasarnya menghasilkan opasitas dari lensa. Lensa tertutup dalam lapisan yang disebut kapsul lensa. Operasi katarak memisahkan katarak dari kapsul lensa. Dalam kebanyakan kasus, lensa akan diganti dengan implan lensa intraokular (IOL). Jika IOL tidak dapat digunakan, lensa kontak atau kacamata harus dipakai untuk mengkompensasi kurangnya kemampuan lensa alami (Romito K. dan Karp, 2013).

Ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE) adalah metode yang paling disukai dari ekstraksi katarak rutin. Prosedur dilakukan melalui insisi yang lebih kecil dan kurang traumatis bagi endothelium kornea. Pengangkatan lensa dengan kapsul posterior utuh memberikan posisi yang lebih baik dari implan lensa


(33)

17

intraokular. Fakoemulsifikasi adalah teknik ECCE yang dilakukan melalui insisi 3-4mm. Inti katarak terfragmentasi dengan jarum ultrasonik dan kemudian diaspirasi. Ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE) adalah teknik yang secara komplit menghilangkan lensa dengan kapsul melalui insisi yang jauh lebih besar. ICCE dilakukan pada kasus tertentu dan di lokasi di mana peralatan canggih tidak tersedia. Ekstraksi katarak biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau peribulbar dan, jika diperlukan, blok saraf wajah. Sedasi intravena dan analgesia harus diberikan untuk menetapkan blok tersebut. Prosedur tersebut dapat dilakukan di bawah topical anestesi pada pasien tertentu (Basta, 2008). Walau demikian, saat ini pada pasien katarak pediatrik dan beberapa orang dewasa (misalnya, retardasi mental), general anestesi masih berperan dan digunakan (Shah, 2010).

4. Glaukoma

Glaukoma adalah istilah umum untuk kelompok penyakit mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokular. Goniotomi adalah prosedur dilakukan untuk mengobati glaukoma infantil. Sebuah sayatan dangkal dibuat di

trabecular meshwork untuk meningkatkan aliran aqueous humor dari ruang anterior. Bayi dan anak-anak memerlukan general anestesi untuk prosedur ini. Trabekulektomi adalah paling umum dilakukan pada orang dewasa. Sebuah blok jaringan limbal akan diangkat di bawah scleral flap, memungkinkan aliran aqueous. Antimetabolit, seperti di mitomisin, dapat disuntikkan intraoperatif untuk membantu mencegah kegagalan bedah sekunder terhadap jaringan paru. Iridektomi biasanya dilakukan dengan sebuah laser yttrium - aluminium garnet – (YAG)namun, sebuah iridektomi insisional kadang-kadang diperlukan. Iridektomi adalah pengobatan definitif untuk glaukoma sudut tertutup. Anestesi untuk operasi glaukoma pada orang dewasa biasanya dilakukan dengan injeksi retrobulbar atau peribulbar dan , jika diperlukan , blok saraf wajah (Basta, 2008).

5. Bedah Vitreoretinal

Vitrektomi mengacu pada pembedahan ekstraksi isi ruang vitreous dan penggantian mereka dengan larutan fisiologis. Vitrektomi segmen anterior dilakukan untuk kehilangan vitreous selama operasi katarak. Vitrektomi segmen


(34)

18

posterior diindikasikan untuk pengangkatan badan asing di intraokular, manajemen dari retinal detachment yang sulit dengan membran intraokular, penghapusan kekeruhan media, dan pengentasan traksi vitreous pada retina. Karena operasi dapat diperpanjang dan banyak pasien memiliki kondisi medis yang menyertai (misalnya, diabetes, penyakit ginjal, atau penyakit jantung), vitrektomi dapat memberikan tantangan yang sulit untuk para anestesiologis (Basta, 2008).

General anestesi telah secara tradisional digunakan untuk operasi vitreoretinal. Namun, dengan menggunakan regional anestesi dengan MAC telah menjadi alternatif yang menarik. General anestesi sesuai untuk kasus operasi dengan jangka yang lebih lama (Basta, 2008).

6. Bedah Orbital

Kebanyakan operasi orbital membutuhkan general anestesi kecuali prosedur terbatas pada anterior bola mata dan tidak melibatkan tulang orbita .

a) Orbitotomi

Orbitotomi dilakukan untuk mendapatkan akses bedah ke bola mata. Pendekatan yang dilakukan termasuk transkonjungtival, transseptal, dan transperiosteal. Indikasi untuk orbitotomi termasuk tumor, abses, benda asing, dan patah tulang orbital (Basta, 2008).

b) Dekompresi Orbital

Dekompresi orbital diindikasikan untuk koreksi eksoftalmus yang dihasilkan penyakit Graves. Akses ke orbita diperoleh dengan pendekatan transkonjungtival atau transperiosteal. Beberapa ahli bedah menggunakan sayatan koronal dengan refleksi dari kulit kepala secara anterior ke tingkat se-level orbita. Kasus bisa panjang (4+ jam), dan kehilangan darah bisa cukup besar untuk memerlukan transfusi (Basta, 2008).

2.4 Konsep General Anestesi 2.4.1 Definisi General Anestesi

General anestesi adalah ketidaksadaran yang dihasilkan oleh medikasi (Torpy, 2011). General anestesi merupakan keadaan fisiologis yang berubah


(35)

19

ditandai dengan hilangnya kesadaran reversibel, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan et al., 2006). Ketidaksadaran tersebut memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit tidak tertahankan pada pasien dan akan menghasilkan ingatan yang tidak menyenangkan. Selama tindakan general anestesi, pasien tidak dalam keadaan sadar dan tidak juga dalam keadaan tidur yang alami. Seorang pasien yang dibius dengan general anestesi dapat dianggapsebagai berada dalam keadaanterkontrol, keadaantidak sadar yang reversibel (Press, 2013).

General anestesi tidak terbatas padapenggunaan ageninhalasi sahaja. Banyakobat yangdiberikan secara oral, intramuskular, danintravena yang dapat menambah ataumenghasilkankeadaananestesidalamrentang dosisterapi (Morgan et al., 2006).Tetapi saat ini general anestesi biasanya menggunakansediaanintravenadaninhalasiuntuk memungkinkan aksesbedahyang memadaike tempat yang akan dioperasi. Hal yang perludicatat adalah general anestesimungkintidak selalu menjadi pilihan terbaik karena penggunaannya yang tergantung padapresentasiklinispasien, dan anestesilokal atau regionalmungkin lebih tepat(Press, 2013).

2.4.2Obat-obatan dalam General Anestesi

Menurut Torpy (2011), beberapaobatyang paling umum digunakanuntuk general anestesi adalah:

1. Propofol, menghasilkanketidaksadaran pada pasien (induksi general anestesi). Pada dosiskecil, dapat digunakanuntuk memberikansedasi. 2. Benzodiazepin, mengurangi kecemasansebelum operasi. Beberapa

obat-obatan yangmengurangi kecemasanjuga dapat membantumenahan terjadinya ingatan darisebuah kejadian.

3. Narkotika, mencegah ataumengobati rasa sakit.

4. Agen anestesi volatil (mudah menguap), terhirupdalam campurangas yang mengandungoksigen. Kadang-kadang, untuk menghindarimemulai jalur


(36)

20

intravena(IV) pada bayidan anak-anak, agen volatile diberikanmelalui maskeruntuk induksi general anestesi.

5. Obat laintermasuk agenantiemetik(untuk melindungi terhadap mual dan muntah), relaksan otot, obat-obatanuntuk mengontroltekanan darahatau

heart rate, dan sebagai obatantiinflamasi nonsteroid(NSAID).

2.4.3 Keuntungan dan Kerugian General Anesthesia

Penyedia anestesi bertanggung jawab untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan memilih teknik anestesi yang optimalsesuai. Atribut general anestesi meliputi (Press, 2013):

1. Keuntungan

a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intraoperatif pasien.

b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu yang lama.

c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.

d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus alergi terhadap agen anestesi lokal.

e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang. f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak

terduga.

g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversibel. 2. Kekurangan

a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya terkait. b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi. c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan intervensi

aktif.

d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang normal.


(37)

21

Dengan kemajuan modern di obat-obatan, teknologi pemantauan, dan sistem keamanan, serta penyedia anestesi yang berpendidikan tinggi, resiko yang disebabkan oleh anestesi kepada pasien yang menjalani operasi rutin sangat kecil. Kematian disebabkan general anethesia dikatakan terjadi pada tingkat kurang dari 1:100.000. Komplikasi minor terjadi pada tingkat yang dapat diprediksi, bahkan pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat.

Frekuensi gejala yang terkait anestesi selama 24 jam pertama setelah operasi rawat jalan adalah sebagai berikut (Press, 2013):

a) Muntah: 10-20 % b) Mual: 10-40 %

c) Sakit tenggorokan: 25 % d) Nyeri Insisional: 30 %


(38)

22

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variable Dependen

Gambar 3.1.Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 General Anestesi

Definisi : Tindakan menghilangkan nyeri saat operasi secara general yang diikuti dengan kehilangan kesadaran yang bersifat reversible. Komponen anestesi yang ideal terdiri dari, hipnotik, analgesia dan relaksan otot.

Cara pengukuran : Pengumpulan data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil pengukuran : General anestesi atau tidak

Nyeri Pasca Operasi Mata Operasi Mata dengan


(39)

23

3.2.2 Operasi mata

Definisi : Operasi mata merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan pada bagian mata yang akan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka baik operasi intraokuler maupun ekstraokuler dengan menggunakan general anestesi pada pasien di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC).

Cara pengukuran : Pengumpulan data Alat ukur : Rekam Medis Hasil pengukuran : Jenis operasi

3.2.3 Nyeri Pasca Operasi Mata.

Definisi : Nyeri pasca operasi merupakan sensasi nyeri yang dirasakan oleh pasien terjadi dalam 24 jam setelah operasi. Pada penelitian ini dilihat tingkat nyeri pada pasien setelah menjalani berbagai jenis operasi mata yang menggunakan general anestesi.

Cara pengukuran : Wawancara.

Alat ukur : Visual Analogue Scale (VAS) Hasil pengukuran : Positif nyeri atau tidak nyeri.

VAS 0 : tidak nyeri VAS 1-3 : nyeri ringan VAS 4-6 : nyeri sedang VAS 7-10 : nyeri berat Skala pengukuran : Ordinal.


(40)

24

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif observasional. Penelitian digunakan dengan menggunakan data primer, dimana penelitian telah dilakukan dengan wawancara menggunakan Visual Analog Scale

(VAS) untuk menilai prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata yang berkunjung ke Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan, propinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini dipilih sebagai tempat yang dilaksanakan penelitian berdasarkan evaluasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti. Pada rumah sakit ini, terdapat berbagai jenis operasi mata yang dilakukan dengan menggunakan general anestesi. Selain itu, populasinya juga cukup banyak serta terdapat variasi dalam hal asal lingkungan dan sosial budaya. Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) karena jika dinilai dari jumlah dan frekuensi operasi mata yang telah dilakukan, di rumah sakit ini lebih banyak dan lebih sering dibanding rumah sakit lain di Medan yaitu sebanyak 180 operasi intraokular dan 101 operasi ekstraokular dari Januari sehingga Desember 2014 dengan rata-rata sebanyak 23 operasi per bulan.


(41)

25

4.2.2 Waktu Penelitian

Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari September hingga November 2015. Pemilihan waktu penelitian adalah berdasarkan waktu dan dana peneliti.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Dalam penelitian populasi adalah sejumlah besar subjek yang mempunyai karakteristik tertentu (Wahyuni, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani operasi mata dengan menggunakan general anestesi di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan dari September 2015 s/d November 2015.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dapat mewakili populasinya (Wahyuni, 2011). Sampel dalam penelitian ini adalah pasien Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) dari September 2015 s/d November 2015 yang menjalani operasi mata dengan general anestesi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel penelitian dipilih dengan menggunakan teknik total sampling dimana jumlah sampel sama banyak dengan populasi. Total sampling dipilih untuk penelitian ini karena diperkirakan jumlah pasien dan waktu penelitian terbatas.

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria Inklusi

a) Pasien yang menjalani operasi mata dengan general anestesi. b) Pasien dewasa laki-laki atau wanita usia 18-65 tahun.

c) Pasien yang dapat berkomunikasi dengan peneliti. d) Pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian

e) Pasien yang memenuhi criteria ASA I dan ASA II (American Society of Anaesthesiology Classification).


(42)

26

f) Pasien menjalani rawat inap selama ≥ 24 jam.

2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang mempunyai riwayat gangguan psikiatrik dan psikogenik,seizure disorders, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, drug induced, serta nyeri sebelum operasi.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer yaitu wawancara dengan pasien pasca operasi mata dengan general anestesi menggunakan penilaian Visual Analogue Scale (VAS). Data ini diperoleh melalui wawancara langsung di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan.

4.5. Cara Penilaian Visual Analog Scale

Penilaian skor VAS dilakukan dengan cara bertanya pada sampel mengenai seberapa besar nyeri pasca bedah yang ia rasakan dengan menggunakan VAS nyeri skala numeric 1-10. Sampel benar-benar tidak merasakan nyeri diberi nilai 0 dan sampel merasakan nyeri yang begitu hebat diberi nilai 10. Pengukuran skor VAS ini dilakukan pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi.

4.6. Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data; 2) coding, data yang telah terkumpul dikoreksi, kemudian diberi kode oleh

peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer; 3) entry, data tersebut dimasukkan ke dalam program komputer;

4) cleaning data, pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam computer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data; 5) saving, penyimpanan data untuk siap dianalisis dan analisis data


(43)

27

Data kemudian diolah dengan menggunakan progam komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan disajikan dalam bentuk table dengan perhitungan distribusi frekuensi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata yang berkunjung ke Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan.


(44)

28

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan yang berlokasi di Jalan Iskandar Muda No. 278/280, Kelurahan Medan Petisah, Kecamatan Petisah Tengah. Rumah Sakit SMEC Medan merupakan rumah sakit khusus yang menangani berbagai jenis operasi mata baik intraokuler maupun ekstraokuler, baik dengan pembiusan umum dan pembiusan lokal, dan dapat dijumpai berbagai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Rumah Sakit Mata SMEC ini memiliki 4 kategori ruang inap, yang terdiri dari 1 ruang VIP, 1 ruang Kelas I, 1 ruang Kelas II, dan 2 ruang Kelas III (Kelas IIIA dan IIIB). Selain itu juga terdapat fasilitas ruang tunggu, optik, apotek, mushola, ruang pertemuan, lahan parkir, dan pelayanan IGD 24 jam.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Dalam penelitan ini sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diperoleh sebanyak 51 orang yang di ambil menggunakan teknik total sampling. Pasien yang terdiri dari 33 orang (64,7%) dengan jenis kelamin laki-laki dan 18 orang (35,3%) dengan jenis kelamin perempuan. Kelompok usia sampel terbanyak yang diperoleh pada penelitian ini adalah di antara 50-65 tahun. Dari keseluruhan sampel yang diamati, gambaran karakteristik sampel yang dapat didistribusikan menurut karakteristik jenis tindakan operasi mata dengan general anestesi dan tingkat keluhan nyeri setelah 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi seperti tabel dibawah.


(45)

29

5.1.3. Hasil Analisis Data

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Jenis Tindakan Operasi Mata dengan General Anestesi

No. Jenis Operasi Mata Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Intraokuler 39 76,5

2. Ekstraokuler 12 23,5

Jumlah 51 100

Berdasarkan jenis operasi mata dengan general anestesi pada tabel 5.1, sebaran terbanyak terdapat pada operasi intraokuler yaitu sebanyak 39 orang (76,5%), dan diikuti oleh operasi ekstraokuler sebanyak 12 orang (23,5%).

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Sampel Berdasarkan Operasi Mata dengan General Anestesi

No. Operasi Mata Jenis Operasi Frekuensi (n) Persentase (%) 1. Katarak Intraokuler 8 15,7

2. Vitrektomi Intraokuler 22 43,1 3. Eviserasi Intraokuler 4 7,8 4. Eksisi tumor Ekstraokuler 6 11,8 5. Strabismus Ekstraokuler 1 2,0 6. Reposisi IOL Intraokuler 4 7,8 7. Trauma okuli Intraokuler 1 2,0 8. Lasik Ekstraokuler 3 5,9 9. Hecting palpebra Ekstraokuler 2 3,9

Jumlah 51 100

Berdasarkan operasi mata dengan general anestesi pada tabel 5.2, sebaran terbanyak terdapat pada operasi vitrektomi (intraokuler) yaitu sebanyak 22 orang (43,1%), dan diikuti oleh operasi katarak (intraokuler) sebanyak 8 orang (15,7%).


(46)

30

5.1.4. Deskripsi Keluhan Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Tabel 5.3 Keluhan Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata

No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Tidak Nyeri 12 23,5

2. Nyeri Ringan 33 64,7

3. Nyeri Sedang 6 11,8

4. Nyeri Berat 0 0

Jumlah 51 100

Berdasarkan keluhan tingkat nyeri 8 jam pasca operasi mata seperti pada tabel 5.3, tingkat nyeri yang paling banyak dirasakan sampel adalah nyeri ringan sebanyak 33 orang (64,7%), sedangkan yang merasakan keluhan tidak nyeri sebanyak 12 orang ( 23,5%), dan tidak ada sampel yang merasakan nyeri berat.

Tabel 5.4 Keluhan Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata

No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Tidak Nyeri 17 33,3

2. Nyeri Ringan 30 58,8

3. Nyeri Sedang 4 7,8

4. Nyeri Berat 0 0

Jumlah 51 100

Berdasarkan keluhan tingkat nyeri 16 jam pasca operasi mata seperti pada tabel 5.4, sebagian besar sampel sebanyak 30 orang (58,8%) mengeluhkan nyeri ringan. Selanjutnya diikuti 17 orang (33,3%) yang tidak mengeluhkan gejala nyeri pada 16 jam setelah menjalani operasi mata dengan general anestesi, dan sebanyak 4 orang (7,8%) mengeluhkan gejala nyeri ringan sedangkan tidak ada sampel yang mengeluhkan gejala nyeri berat.


(47)

31

Tabel 5.5 Keluhan Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata

No. Tingkat Nyeri Frekuensi (n) Persentase (%)

1. Tidak Nyeri 22 43,1

2. Nyeri Ringan 28 54,9

3. Nyeri Sedang 1 2,0

4. Nyeri Berat 0 0

Jumlah 51 100

Berdasarkan tabel 5.5, keluhan tingkat nyeri setelah 24 jam pasca operasi mata dengan general anestesi pada sampel paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan sebanyak 28 orang (54,9%), diikuti tidak nyeri sebanyak 22 orang (43,1%), seterusnya nyeri sedang sebanyak 1 orang (2,0%) dan tidak ada nyeri berat dikeluhkan.

5.1.5. Deskripsi Nyeri Pasca Operasi Mata dengan General Anestesi Berdasarkan Jenis Operasi Mata

Tabel 5.6 Distribusi Prevalensi Nyeri Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata

Jenis Operasi

Diagnosis Nyeri Intraokuler Ekstraokuler Total Nyeri n (%) 33 (64,7%) 9 (17,6%) 42 (82,3%) Tidak Nyeri n (%) 6 (11,8%) 3 (5,9%) 9 (17,7%) Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)

Dalam tabel 5.6, dapat dilihat sebanyak 42 orang (82,3%) pasien mengeluhkan mengalami nyeri pasca operasi mata yaitu sebanyak 33 orang (64,7%) pasien pada operasi intraokuler dan 9 orang (17,7%) pasien pada operasi ekstraokuler.


(48)

32

Tabel 5.7 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata

Jenis Operasi

TINGKAT NYERI 8 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 8 (15,7%) 4 (7,8%) 12 (23,5%) Nyeri ringan n (%) 29 (56,9%) 4 (7,8%) 33 (64,7%) Nyeri sedang n (%) 2 (3,9%) 4 (7,8%) 6 (11,8%)

Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)

Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%) Berdasarkan tabel 5.7, prevalensi nyeri 8 jam pasca operasi mata dengan general anestesi pada sampel, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan sebanyak 33 (64,7%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 29 keluhan (56,9%) dan ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Diikuti tidak nyeri sebanyak 12 keluhan (23,5%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 8 keluhan (15,7%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 6 keluhan (11,8%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 2 keluhan (3,9%) dan pada tindakan operasi ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Sedangkan pada tingkat nyeri berat tidak ditemukan adanya keluhan pada kedua jenis tindakan operasi mata.


(49)

33

Tabel 5.8 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata

Jenis Operasi

TINGKAT NYERI 16 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 13 (25,5%) 4 (7,8%) 17 (33,3%) Nyeri ringan n (%) 25 (49,0%) 5 (9,8%) 30 (58,8%) Nyeri sedang n (%) 1 (2,0%) 3 (5,9%) 4 (7,8%) Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)

Dalam tabel 5.8, dapat dilihat prevalensi nyeri 16 jam pasca operasi mata dengan general anestesi pada sampel, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan sebanyak 30 keluhan (58,8%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 25 keluhan (49,0%) dan ekstraokuler sebanyak 5 keluhan (9,8%). Diikuti tidak nyeri sebanyak 17 keluhan (33,3%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 13 keluhan (25,5%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak 4 keluhan (7,8%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 4 keluhan (7,8%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 1 keluhan (2,0%) dan pada tindakan operasi ekstraokuler sebanyak 3 keluhan (5,9%). Sedangkan nyeri berat tidak ada keluhan pada kedua jenis tindakan operasi mata.


(50)

34

Tabel 5.9 Distribusi Prevalensi Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi Mata Berdasarkan Jenis Operasi Mata

Jenis Operasi

TINGKAT NYERI 24 JAM Intraokuler Ekstraokuler Total Tidak nyeri n (%) 19 (37,7%) 3 (5,2%) 22 (43,1%) Nyeri ringan n (%) 20 (39,2%) 8 (15,7%) 28 (54,9%) Nyeri sedang n (%) 0 (0%) 1 (2,0%) 1 (2,0%) Nyeri berat n (%) 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%) Jumlah n (%) 39 (76,5%) 12 (23,5%) 51 (100%)

Berdasarkan prevalensi nyeri 24 jam pasca operasi mata dengan general anestesi pada tabel 5.9, paling banyak mengeluhkan gejala nyeri ringan sebanyak 28 keluhan (54,9%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 20 keluhan (39,2%) dan ekstraokuler sebanyak 8 keluhan (15,7%). Diikuti tidak nyeri sebanyak 22 keluhan (43,1%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler sebanyak 19 keluhan (37,7%) dan pada operasi ekstraokuler sebanyak 3 keluhan (5,2%). Seterusnya pada nyeri sedang sebanyak 1 keluhan (2,0%) yaitu pada jenis tindakan operasi intraokuler tidak ada keluhan nyeri dan pada tindakan operasi ekstraokuler sebanyak 1 keluhan (2,0%). Sedangkan nyeri berat tidak ada keluhan pada masing masing jenis tindakan operasi mata.


(51)

35

5.2. Pembahasan

Nyeri merupakan salah satu gejala pasca operasi yang paling sering dilaporkan pasien. Henzler et al. (2004), mengatakan bahwa pasien yang menjalani jenis operasi mata tertentu, terutama dengan menggunakan general anestesi, lebih sering mengalami nyeri pasca operasi yang serius. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata yang merupakan salah satu faktor resiko dari nyeri yaitu jenis operasi mata, di Rumah Sakit Mata SMEC Medan. Penelitian dilakukan dengan menilai skor Visual Analogue Scale (VAS) pada 8 jam, 16 jam dan 24 jam pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi mata dengan general anestesi.

Dalam penelitian ini, sebanyak 51 pasien yang terdiri dari 39 pasien (76,5%) dengan jenis tindakan operasi intraokuler dan 12 pasien ( 23,5%) dengan jenis tindakan operasi ekstraokuler. Berdasarkan tabel 5.2, didapatkan operasi paling banyak yang dilakukan menggunakan general anestesi adalah pada tindakan operasi intraokuler yaitu operasi vitrektomi sebanyak 22 orang (43,1%), diikuti operasi katarak sebanyak 8 orang (15,7%). Pada tindakan operasi ekstraokuler, didapatkan operasi paling banyak adalah pada operasi eksisi tumor yaitu sebanyak 6 orang (11,8%) diikuti operasi lasik sebanyak 3 orang (5,9%). Hal ini menunjukkan bahwa tindakan operasi intraokuler jauh lebih banyak dibanding jenis tindakan operasi ekstraokuler sesuai dengan penelitian Mladen et al. (2014) yang mengatakan jenis yang paling umum dari operasi mata dengan general anestesi selama periode 5 tahun yang dianalisis di University Hospital Split, Croatia adalah plana pars vitrektomi , diikuti oleh operasi katarak yaitu jenis tindakan operasi masing masing adalah tindakan intraokuler.

Dari hasil keseluruhan keluhan nyeri pasca operasi, didapatkan sebanyak 42 orang (82,3%) mengeluhkan nyeri pasca opersi mata yaitu sebanyak 33 orang (64,7%) pasien pada operasi intraokuler dan 9 orang (17,7%) pasien pada operasi ekstraokuler. Banyaknya keluhan nyeri pasca operasi yang dikeluhkan ini kemungkinan dikarenakan adanya keterbatasan dalam pemberian terapi pasca


(52)

36

operasi. Pada pasien peserta asuransi kesehatan milik pemerintah, terdapat batasan limit manfaat dan terapi dalam perawatan pasca operasi sesuai jenis asuransi kesehatan yang sudah disetujui di rumah sakit (Sulastomo,2007). Berdasarkan tabel 5.7, yaitu keluhan tingkat nyeri 8 jam pasca operasi mata, ditemukan keluhan nyeri sebanyak 39 orang (76,5%) dengan tingkat nyeri yang paling banyak dirasakan sampel adalah nyeri ringan sebanyak 33 orang (64,7%) yang terdiri dari 29 orang (56,9%) pada operasi intraokuler dan 4 orang (97,8%) pada operasi ekstraokuler.

Dari hasil keluhan tingkat nyeri 16 jam pasca operasi mata pada tabel 5.8, didapatkan sebanyak 34 orang (66,6%) dengan sebagian besar sampel yaitu sebanyak 30 orang (58,8%) mengeluhkan nyeri ringan yang terdiri dari 25 orang (49,0%) pada operasi intraokuler dan 5 orang (9,8%) pada operasi ekstraokuler.

Berdasarkan tabel 5.9, hasil penelitian keluhan tingkat nyeri 24 jam pasca operasi mata dengan general anestesi ditemukan sebanyak 29 orang (56,9%) dengan sampel paling banyak mengeluhkan nyeri ringan yaitu sebanyak 28 orang (54,9%) yang terdiri dari 20 orang (39,2%) pada operasi intraokuler dan 8 orang (15,7%) pada operasi ekstraokuler. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Porella Tiinonen et al. (2013), didapatkan persentase tertinggi nyeri mata 24 jam pasca operasi mata katarak (intraokuler) adalah sebanyak (10%) pada keluhan nyeri sedang, sedangkan pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit SMEC, tidak ada sampel dengan operasi intraokuler yang mengeluhkan nyeri sedang 24 jam pasca operasi mata.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre adalah cukup tinggi yaitu, sebanyak 42 orang (82,3%) mengeluhkan nyeri yang signifikan, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sobas et al. (2015) yang didapatkan insidensi nyeri sebanyak 97% dilaporkan selama periode pasca operasi. Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan di The Royal Infirmary of Edinburgh oleh Koay et al. (1992), dimana insidensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi dilaporkan cukup tinggi dengan rata rata mengeluhkan nyeri ringan dan sedang, sejalan dengan hasil penelitian ini. Hal ini dapat


(53)

37

diperkirakan karena pemberian analgesik yang masih belum adekuat. Tetapi pada penelitian yang dilakukan di Kuopio University Hospital, Kuopio, Finland oleh Porela-Tiihonen et al. (2013), hasil yang didapatkan sangat berbeda dengan hasil penelitian ini, dimana sebanyak 67 orang (34%) mengeluhkan nyeri pasca operasi mata. Ada kemungkinan hasil yang berbeda ini lebih disebabkan oleh kurangnya sampel yang didapatkan di Rumah Sakit SMEC dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hasil penelitian ini dapat dikatakan sudah cukup baik karena rata rata dari 82,3% pasien yang mengeluhkan nyeri adalah nyeri ringan yaitu nyeri yang masih dapat ditahan dan tidak mengganggu aktivitas pasien yaitu dengan skor Visual Analogue Scale (VAS) adalah 1-3 (Whitten E et al, 2005).

Jika dilihat pada hasil penelitian ini, skor Visual Analogue Scale (VAS) pasien makin menurun dengan bertambahnya jam. Pada 8 jam pasca operasi mata dengan kedua jenis tindakan operasi, didapatkan lebih banyak pasien mengeluhkan nyeri sedang dan nyeri ringan dibanding pada 16 jam dan 24 jam pasca operasi mata. Sesuai dengan penelitian Porela-Tiihonen et al. (2013) bahwa pada beberapa jam pertama pasca operasi lebih banyak dikeluhkan gejala nyeri bermakna yaitu sebanyak 34% dari keseluruhan pasien dan semakin berkurang keluhan nyeri pada 24 jam pasca operasi yaitu menjadi 10%. Hal ini mungkin dikarenakan terjadinya penurunan tekanan intraokuler dengan bertambahnya jam sesuai dengan penelitian Bhalil et al. (2009), didapatkan adanya penurunan tekanan intraokuler pada 24 jam pasca fakoemulsifikasi. Mekanisme penurunan tekanan intraokular ini masih bersifat spekulatif. Diduga aliran aqueous humor membaik dengan adanya pelebaran sudut bilik mata depan pasca operasi katarak (Berdahl JP, 2007). Sedangkan pada operasi ekstraokuler, penurunan keluhan nyeri adalah kemungkinan dari efek insisi operasi yang semakin berkurang. Operasi ekstraokular adalah operasi yang dilakukan pada struktur sekitar mata itu sendiri, seperti kelopak mata dan konjungtiva. Jaringan ini memiliki suplai darah yang sangat baik. Oleh karena itu jaringan dapat sembuh dengan baik dan jarang terinfeksi serius. Jaringan tersebut berada pada permukaan tubuh sehingga paparan terhadap pembedahan biasanya tidak menjadi masalah (Smith, 2004). Pengalaman nyeri merupakan perasaan yang subjektif untuk setiap individu


(54)

38

(Mladen et al, 2014). Nyeri pasca operasi yang bervariasi sangat dipengaruhi oleh otonom, psikologis dan perilaku respon yang dapat menghasilkan perasaan tidak menyenangkan, sensorik yang subjektif dan pengalaman emosional yang tidak diinginkan (Mwaka et al.,2013).

Jenis operasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri pasca operasi, karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi operasi serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran insisi juga merupakan faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca operasi. Insisi yang panjang lebih menyebabkan nyeri dibandingkan insisi yang pendek (Rahman dan Beattie, 2005). Perbedaan nyeri yang ditemukan pada opersi ekstraokuler yaitu eksisi tumor pada mata mungkin dipengaruhi oleh lokasi dan ukuran insisi yang telah dijalankan. Pada penelitian ini ditemukan pada tindakan operasi intraokuler didapatkan insidensinya dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan operasi ekstraokuler. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan adanya peningkatan tekanan intraokuler mata. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan tekanan intraokular pasca operasi katarak dalam 8 sampai 12 jam pasca operasi. Penelitan Lee et al. tahun 2007 yang bertujuan untuk mengevaluasi tekanan intraokular pasca fakoemulsifikasi didapatkan rata-rata tekanan intraokular meningkat pada 12 jam pasca operasi. Salah satu penyebab peningkatan tekanan intraokular ini adalah adanya retensi dari bahan viskoelastik dan inflamasi. Namun, peningkatan tekanan intraokular biasanya bersifat sementara dimana tekanan intraokular akan menurun dalam 1 sampai 4 hari pasca operasi (O’Brien. PD, 2007). Ada kemungkinan juga hasil yang berbeda ini lebih disebabkan oleh kurang setaranya jumlah pasien yang menjalani masing-masing operasi mata, dimana operasi intraokuler lebih mendominasi, sehingga keluhan nyeri kurang dapat ditemui pada operasi lainnya.


(55)

39

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Prevalensi nyeri pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) adalah sebanyak 42 orang (82,3%) dari 51 orang sampel yang terdiri dari 33 orang (64,7%) pada operasi intraokuler dan 9 orang (17,7%) pada operasi ekstraokuler.

2. Jenis operasi mata yang paling banyak dilakukan dengan menggunakan general anestesi adalah operasi intraokuler, yaitu sebanyak 39 orang (76,5%), dimana tindakan operasi paling banyak adalah vitrektomi 22 orang (43,1%) dan katarak 8 orang (15,7%). Hanya 12 orang (23,5%) yang menjalani operasi ekstraokuler dengan operasi terbanyak adalah eksisi tumor yaitu sebanyak 6 orang (11,8%).

3. Banyaknya sampel yang mengeluhkan nyeri pada 8 jam pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata adalah sebanyak 39 orang (76,5%). Sampel yang mengeluhkan nyeri pada jenis operasi intraokuler sebanyak 29 orang (56,9%) dengan skor Visual Analogue Scale (VAS) antara 1-3 (nyeri ringan) dan 2 orang (3,9%) dengan skor antara 4-7 (nyeri sedang), sedangkan pada jenis operasi ekstraokuler sebanyak 4 orang (7,8%) dengan skor 1-3 (nyeri ringan) dan 4 orang (7,8%) dengan skor 4-7 (nyeri sedang).

4. Banyaknya sampel yang mengeluhkan nyeri pada 16 jam pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata adalah sebanyak 34 orang (66,6%). Sampel yang mengeluhkan nyeri pada jenis operasi intraokuler sebanyak 25 orang (49,0%) dengan skor Visual Analogue Scale (VAS) antara 1-3 (nyeri ringan) dan 1 orang (2,0%) dengan skor antara 4-7 (nyeri sedang), sedangkan pada jenis operasi


(56)

40

ekstraokuler sebanyak 5 orang (9,8%) dengan skor 1-3 (nyeri ringan) dan 3 orang (5,9%) dengan skor 4-7 (nyeri sedang).

5. Banyaknya sampel yang mengeluhkan nyeri pada 24 jam pasca operasi mata dengan general anestesi berdasarkan jenis operasi mata adalah sebanyak 29 orang (56,9%). Sampel yang mengeluhkan nyeri pada jenis operasi intraokuler sebanyak 20 orang (39,2%) dengan skor Visual Analogue Scale (VAS) antara 1-3 (nyeri ringan), sedangkan pada jenis operasi ekstraokuler sebanyak 8 orang (15,7%) dengan skor 1-3 (nyeri ringan) dan 1 orang (2,0%) dengan skor 4-7 (nyeri sedang).

6. Dari hasil penelitian ini didapati bahwa skor Visual Analogue Scale (VAS) pasien yang menjalani operasi mata dengan general anestesi semakin menurun dengan bertambahnya jam. Pada 8 jam pasca operasi mata sebanyak 76,5% dari sampel mengeluhkan gejala nyeri, kemudian keluhan berkurang menjadi 66,6% pada 16 jam pasca operasi, dan keluhan nyeri semakin menurun pada 24 jam pasca operasi menjadi 56,9% dari sampel mengeluhkan nyeri.

7. Banyaknya prevalensi nyeri ringan dan tidak nyeri pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pencegahan yang dimulai dari pre operasi, peri operatif dan pasca operasi yang serta disertai pengobatan anti nyeri untuk mencegah nyeri pada pasien yang menjalani operasi mata dengan general anestesi di Rumah Sakit Sumatera Medical Eye Centre (SMEC) Medan sudah cukup baik dan efektif.

6.2. Saran

1. Tenaga medis (dokter anestesi dan perawat) sebaiknya memberikan terapi anti nyeri pasca operasi secara adekuat dan benar-benar melakukan follow-up pasien minimal dalam 24 jam setelah menjalani operasi mata dengan general anestesi sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kejadian nyeri dalam 24 jam pasca operasi mata.

2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menilai lebih lanjut prevalensi nyeri pasca operasi dengan general anestesi dan keterkaitan antara faktor


(57)

41

resiko operasi mata dan juga faktor resiko nyeri pasca operasi dengan angka kejadian nyeri dan menilai apakah faktor resiko tersebut memang ada hubungannya dengan kejadian nyeri

3. Bagi penelitian selanjutnya disarankan agar lebih memperluas cakupan penelitiannya, khususnya dalam jumlah sampel dan lokasi penelitian sehingga dapat lebih bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan kesehatan.

4. Data hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai keefektivitasan pengobatan yang telah dilakukan untuk mencegah nyeri pasca operasi matadan terus dilakukan evaluasi.


(1)

VISUAL ANALOGUE SCALE

Setelah operasi mata dengan general anestesi

Setelah prosedur yang telah dilakukan, bila tidak terasa nyeri dinilai sebagai 0,

dan bila terasa sangat nyeri dinilai sebagai 10. Mohon Bapak/Ibu Saudara

memberi tanda silang sesuai dengan rasa nyeri yang dirasakan sekarang pada

skala di bawah ini:

16 Jam setelah operasi

0

10

Tidak nyeri

Sangat Nyeri

Keterangan :

VAS 0

: tidak ada keluhan nyeri.

VAS 1-3

: ada rasa nyeri, mulai terasa dan masih dapat ditahan.

VAS 4-6

: ada rasa nyeri, terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat

untuk menahannya.

VAS 7-10

: ada nyeri, terasa sangat mengganggu/ tidak tertahankan sehingga

harus meringis, menjerit bahkan berteriak.


(2)

VISUAL ANALOGUE SCALE

Setelah operasi mata dengan general anestesi

Setelah prosedur yang telah dilakukan, bila tidak terasa nyeri dinilai sebagai 0,

dan bila terasa sangat nyeri dinilai sebagai 10. Mohon Bapak/Ibu Saudara

memberi tanda silang sesuai dengan rasa nyeri yang dirasakan sekarang pada

skala di bawah ini:

24 Jam setelah operasi

0

10

Tidak nyeri

Sangat Nyeri

Keterangan :

VAS 0

: tidak ada keluhan nyeri.

VAS 1-3

: ada rasa nyeri, mulai terasa dan masih dapat ditahan.

VAS 4-6

: ada rasa nyeri, terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat

untuk menahannya.

VAS 7-10

: ada nyeri, terasa sangat mengganggu/ tidak tertahankan sehingga

harus meringis, menjerit bahkan berteriak.


(3)

(4)

Lampiran 10.

Output Data

Jenis Operasi Mata

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Intraokuler 39 76.5 76.5 76.5

Ekstraokuler 12 23.5 23.5 100.0 Total 51 100.0 100.0

Nama Operasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid EKSISI TUMOR 6 11.8 11.8 11.8

EVISERASI 4 7.8 7.8 19.6

HECTING PALPEBRA 2 3.9 3.9 23.5

KATARAK 8 15.7 15.7 39.2

LASIK 3 5.9 5.9 45.1

REPOSISI IOL 4 7.8 7.8 52.9 STRABISMUS 1 2.0 2.0 54.9 TRAUMA OCULI 1 2.0 2.0 56.9 VITREKTOMI 22 43.1 43.1 100.0

Total 51 100.0 100.0

Tingkat Nyeri 8 Jam Pasca Operasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Tidak Nyeri 12 23.5 23.5 23.5

Nyeri Ringan 33 64.7 64.7 88.2 Nyeri Sedang 6 11.8 11.8 100.0 Total 51 100.0 100.0


(5)

Tingkat Nyeri 16 Jam Pasca Operasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Tidak Nyeri 17 33.3 33.3 33.3

Nyeri Ringan 30 58.8 58.8 92.2 Nyeri Sedang 4 7.8 7.8 100.0 Total 51 100.0 100.0

Tingkat Nyeri 24 Jam Pasca Operasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Tidak Nyeri 22 43.1 43.1 43.1

Nyeri Ringan 28 54.9 54.9 98.0 Nyeri Sedang 1 2.0 2.0 100.0 Total 51 100.0 100.0

JENISOPERASI * NYERI

NYERI

Total NYERI TIDAK NYERI JENISOPERASI Intraokuler Count 33 6 39

% of Total 64.7% 11.8% 76.5% Ekstraokuler Count 9 3 12

% of Total 17.6% 5.9% 23.5%

Total Count 42 9 51


(6)

JENISOPERASI * TINGKATNYERI 8

TINGKATNYERI 8

Total Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang

JENISOPERASI Intraokuler Count 8 29 2 39 % of Total 15.7% 56.9% 3.9% 76.5%

Ekstraokuler Count 4 4 4 12

% of Total 7.8% 7.8% 7.8% 23.5%

Total Count 12 33 6 51

% of Total 23.5% 64.7% 11.8% 100.0%

JENISOPERASI * TINGKAT NYERI 16

TINGKAT NYERI 16

Total Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang

JENISOPERASI Intraokuler Count 13 25 1 39 % of Total 25.5% 49.0% 2.0% 76.5%

Ekstraokuler Count 4 5 3 12

% of Total 7.8% 9.8% 5.9% 23.5%

Total Count 17 30 4 51

% of Total 33.3% 58.8% 7.8% 100.0%

JENISOPERASI * TINGKAT NYERI 24

TINGKAT NYERI 24

Total Tidak Nyeri Nyeri Ringan Nyeri Sedang

JENISOPERASI Intraokuler Count 19 20 0 39 % of Total 37.3% 39.2% 0.0% 76.5%

Ekstraokuler Count 3 8 1 12

% of Total 5.9% 15.7% 2.0% 23.5%

Total Count 22 28 1 51