20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.
2.1.3. Kewenangan Relatif Peradilan Agama
Penentuan kompetensi relatif ini sangat penting untuk memberikan petunjuk kepada pihak berperkara ke Pengadilan Agama mana ia dapat
mengajukan gugatanpermohonannya agar gugatanpermohonannya memenuhi persyaratan formil dan pihak yang merasa keberatan beracara pada suatu
Pengadilan Agama tertentu dapat mengajukan tangkisan eksepsi dengan
landasan kewenangan relatif ini.
Kewenangan relatif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan wilayah hukum, yakni kekuasaan dan wewenang yang diberikan antar pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang sama. Misalnya antar Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, antar Pengadilan Agama
Tajung arang dengan Pengadilan Agama Metro dan lain-lain. Dan bukan antar Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri karena wewenang antar pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang berbeda adalah merupakan wewenang absolute.
Dasar hukum pemberian kekuasaan atau kompetensi relatif bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pasal 4 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah degan Undnag-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa :
1 Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau di Ibu Kota Kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten. 2
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibu Kota Propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Hamami, 2013:176
2.1.4. Perkara-Perkara Khusus Peradilan Agama
Menurut Ropaun Rambe 2001:82 ditinjau dari sifatnya, gugatan ke pengadilan terdiri dari dua, yaitu yang bersifat Volunter dan Contentiosa. Gugat
yang bersifat volunter menurut hukum acara pada umumhya dibuat dalam bentuk permohonan dan tidak mengandung sengketa sedangkan gugat yang bersifat
contentiosa dibuat dalam bentuk gugatan yang jelas mengandung sengketa. 2.1.4.1.Perkara Volunter dan Ciri-cirinya
Menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana tersebut dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970, pada dasarnya badan-badan peradilan hanya
berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang mengandung sengketa contentiosa, sedangkan perkara permohonan
volunter bukan menjadi kewenangan badan-badan peradilan kecuali ditentukan Undang-Undang menjadi wewenang badan peradilan.
Perkara dalam bentuk volunter mempunyai ciri antara lain : a.
Hanya mempunyai satu pihak yang disebut sebagai pemohon. b.
Tidak mengandung sengketa. c.
Putusan hakim berupa penetapan. d.
Upaya hukumnya adalah verzet dan kasasi. Perkara volunter hanya mempunyai satu pihak maka kekuatan
putusannya juga hanya sepihak, pihak lain di luar putusan volunter tidak dapat dipaksakan untuk mengakui kebenaran putusan volunter, dan karenanya putusan
volunter tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Perkara volunter diajukan oleh pemohon pada umumnya agar pemohon dapat melakukan tindakan hukum yang
memerlukan syarat adanya suatu penetapan dari pengadilan. 2.1.4.2.Perkara Volunter pada Peradilan Agama
Menurut Ropaun Rambe 2001:86-87 dalam lingkungan Peradilan Agama, perkara volunter dalam bidang perkawinan yang dibenarkan diselesaikan
oleh Peradilan Agama ditemui pada perkara-perkara : a.
Dispensasi nikah b.
Ijin nikah c.
Wali adlal d.
Permohonan penetapan perwalian e.
Penetapan asal-usul anak
f. Ijin poligami
g. Itsbat nikah.
2.1.5. Asas-AsasPeradilan Agama