7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Gaya Kepemimpinan
1.1 Definisi Gaya Kepemimpinan Jones 2007 mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara seorang
pemimpin yang dipersepsikan oleh karyawan dalam memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi pegawai. Kets de Vries 2001 dalam
Kippenberger, 2002 mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai kumpulan cara yang dipengaruhi oleh perilaku dan kepribadian pemimpin dalam memengaruhi
anggota kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin dalam memengaruhi anggota kelompok menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan bersama yang
dipersepsikan oleh anggota kelompok tersebut. 1.2
Jenis Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan dibagi berdasarkan pengelompokannya menurut
beberapa ahli. Likert, Hersey dan Blanchard, dan Lewin mengelompokkan gaya kepemimpinan menjadi 3 jenis yang berbeda, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.2.1 Gaya Kepemimpinan menurut Likert
Sistem pembagian gaya kepemimpinan ini dikembangkan oleh Rensis Likert. Likert 1967 dalam Kippenberger, 2002 menguraikan empat gaya
kepemimpinan untuk menggambarkan hubungan, keterlibatan, dan peran pemimpin dan anggota dalam pengaturan
organisasi, yaitu Exploitative- Authoritative, Benevolent-Authoritative, Consultative, dan Participative dapat
dilihat pada Tabel 2.1. Gaya kepemimpinan Exploitative-Authoritative berakar pada teori klasik.
Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin cenderung menggunakan ancaman, ketakutan, dan hukuman untuk memotivasi para anggota. Pemimpin berada di
bagian atas hirarki dalam membuat semua keputusan dan biasanya tidak menyadari masalah yang dihadapi oleh orang-orang di tingkat yang lebih rendah
di organisasi. Keputusan dikenakan pada anggota, dan motivasi ditandai dengan ancaman. Perintah hanya dikeluarkan dari atasan. Akibatnya, para anggota
cenderung memusuhi tujuan organisasi dan mungkin terlibat dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan-tujuan tersebut Likert, 1967 dalam Kippenberger,
2002. Gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative memiliki pengendalian yang
kurang mengikat dibandingkan Exploitative-Authoritative. Gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative didasarkan pada porsi hukuman dan imbalan yang
seimbang. Wilayah pengambilan keputusan diperluas dengan memungkinkan anggota untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan, tetapi dibatasi oleh kerangka
yang diberikan kepada mereka dari manajemen tingkat atas. Hal ini menciptakan
Universitas Sumatera Utara
banyak komunikasi ke bawah anggota-anggota dengan sedikit komunikasi ke atas anggota-pemimpin. Pemimpin di atas merasa memiliki tanggung jawab
lebih berat terhadap tujuan organisasi dibandingkan anggota di bagian bawah, yang merasa memiliki tanggung jawab yang sangat sedikit. Dalam perasaan
terhadap tanggung jawab hal ini dapat mengakibatkan konflik dan sikap negatif dengan tujuan organisasi Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002.
Gaya kepemimpinan Consultative berdasarkan pada teori yang sangat erat kaitannya dengan manusia dan hubungan terhadap sesama. Pemimpin memotivasi
anggota melalui imbalan dengan sedikit hukuman, dan sangat sedikit keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan tujuan. Anggota di tingkatan yang lebih rendah
memiliki kebebasan untuk membuat keputusan tertentu yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Manajemen tingkat atas masih memiliki kontrol atas kebijakan
dan keputusan umum yang mempengaruhi organisasi. Pemimpin akan berbicara dengan anggota mereka tentang masalah dan rencana aksi sebelum mereka
menetapkan tujuan organisasi. Komunikasi dalam sistem ini mengalir baik ke bawah dan ke atas, meskipun komunikasi ke atas lebih terbatas. Ini menciptakan
efek yang lebih baik kepada hubungan anggota dan memungkinkan mereka untuk menjadi lebih kooperatif. Anggota dengan tingkatan lebih rendah dipandang
sebagai konsultan untuk keputusan yang dibuat dan lebih bersedia untuk menerima mereka karena keterlibatan mereka. Kepuasan anggota lebih tinggi
dibandingkan gaya kepemimpinan Benevolent-Authoritative Likert, 1967 dalam Kippenberger, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Likert 1967 dalam Kippenberger, 2002 berpendapat bahwa gaya kepemimpinan Participative adalah bentuk yang paling efektif. Gaya
kepemimpinan ini mendorong partisipasi dalam membuat keputusan dan menetapkan tujuan melalui komunikasi horizontal yang mengalir bebas dan
memanfaatkan kreativitas dan keterampilan anggota. Pemimpin sepenuhnya menyadari masalah yang ada di tingkat yang lebih rendah di organisasi. Semua
tujuan organisasi diterima oleh semua orang karena mereka diatur melalui partisipasi kelompok. Terdapat tanggung jawab dan akuntabilitas yang tinggi
terhadap tujuan organisasi oleh semua anggota. Pemimpin memotivasi anggota melalui penghargaan finansial dan partisipasi dalam penetapan tujuan. Kepuasan
anggota berada di tingkat yang tertinggi dari tiga gaya kepemimpinan sebelumnya.
Sumber: Likert 1967 dalam Kippenberger, 2002
Tabel 2.1 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Likert
Komponen Exploitative-
Authoritative Benevolent-
Authoritative Consultative
Participative Pemberian
motivasi Rasa takut dan
ancaman Imbalan dan
hukuman Imbalan
Partisipasi grup
Komunikasi Satu arah
Satu arah Dua arah
terbatas Dua arah
Pengambilan keputusan
Sentralisasi Sentralisasi
Desentralisasi terbatas
Desentralisasi
Universitas Sumatera Utara
1.2.2 Gaya Kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard
Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard 1997, dalam Nursalam, 2009 dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu Instruksi,
Konsultasi, Partisipatif, dan Delegasi dapat dilihat pada Tabel 2.2. Gaya kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja yang
diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam hal hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan sejarah
dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin dan peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal. Pemimpin
banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta mengawasi dengan ketat.
Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah
antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan cukup besar. Gaya kepemimpinan Partisipatif
menerapkan pemberian tugas yang rendah namun disertai hubungan pekerjaan yang tinggi. Pemimpin dan anggota bersama-sama memberi gagasan dalam
pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota Hersey Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009.
Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan
anggota hanya saat diperlukan. Diskusi sering dilakukan antara pemimpin dan
Universitas Sumatera Utara
anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk mengambil keputusan Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009.
Kepemimpinan Instruksi memiliki karakteristik khusus dimana tugas kerja yang diberikan oleh pemimpin berada dalam keadaan tinggi namun rendah dalam
hal hubungan pekerjaan. Komunikasi yang dilakukan oleh pemimpin berjalan searah dari pemimpin ke anggota. Pengambilan keputusan berada pada pemimpin
dan peran anggota dalam pengambilan keputusan tersebut sangat minimal. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik serta
mengawasi dengan ketat. Gaya kepemimpinan Konsultasi memiliki karakteristik tugas kerja yang
tinggi dan juga hubungan pekerjaan yang tinggi. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan anggota. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan cukup besar. Gaya kepemimpinan Partisipatif menerapkan pemberian tugas yang rendah
namun disertai hubungan pekerjaan yang tinggi. Pemimpin dan anggota bersama- sama memberi gagasan dalam pengambilan keputusan. Komunikasi terjadi dua
arah antara pemimpin dan anggota Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009.
Gaya kepemimpinan Delegasi memiliki karakteristik rendah hubungan dan rendah tugas pekerjaan. Komunikasi terjadi dua arah antara pemimpin dan
anggota hanya saat diperlukan. Diskusi sering dilakukan antara pemimpin dan anggota dalam pemecahan masalah serta anggota diberi delegasi untuk
mengambil keputusan Hersey dan Blanchard, 1997 dalam Nursalam, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Hersey-Blanchard
Komponen Instruksi
Konsultasi Partisipasi
Delegasi Tugas
Tinggi Tinggi
Rendah Rendah
Hubungan Rendah
Tinggi Tinggi
Rendah Komunikasi
Searah Dua arah
Dua arah Dua arah
Pengambilan Keputusan
Pimpinan Pimpinan
dominan dan anggota
Pimpinan dan anggota
Pimpinan dan anggota
dominan
Sumber: Hersey dan Blanchard 1997, dalam Nursalam 2009 1.2.3
Gaya Kepemimpinan menurut Lewin Lewin 1939 dalam Marquis Huston, 2010 mengelompokkan gaya
kepemimpinan menjadi tiga kategori utama, yaitu: Otoriter, Demokratis, dan Laissez-faire dapat dilihat pada Tabel 2.3. Gaya kepemimpinan otoriter
memiliki karakteristik dimana wewenang mutlak dan tanggung jawab berada pada pemimpin. Pengambilan keputusan organisasi selalu dibuat oleh pemimpin.
Pengawasan terhadap sikap, perilaku, atau kegiatan para anggota dilakukan secara ketat. Pemimpin tidak menyediakan kesempatan bagi anggota untuk memberikan
saran, pertimbangan atau pendapat untuk organisasi. Tugas-tugas kepada anggota diberikan secara instruktif oleh pemimpin. Pemimpin memberikan hadiah dan
hukuman untuk memotivasi anggota. Pemimpin menilai cara memimpin yang efektif adalah dengan memberikan perintah secara instruktif dan mengawasi
secara ketat Whitehead, Weiss Tappen, 2007. Gaya kepemimpinan demokratis memiliki karakteristik dimana wewenang
pemimpin tidak bersifat mutlak. Pemimpin menilai setiap anggota berkompetensi dan dapat bertanggung jawab dalam tugas yang diberikan. Pengambilan keputusan
Universitas Sumatera Utara
dibuat bersama antara pemimpin dan anggota Whitehead, Weiss Tappen, 2007. Pengawasan dilakukan secara wajar. Banyak kesempatan disediakan
kepada anggota untuk menyampaikan saran dan pertimbangan. Pemimpin dibantu anggota mengelompokkan tugas bersama-sama. Komunikasi suportif yang
membangun dan berkelanjutan digunakan untuk memotivasi karyawan. Marquis Huston, 2010.
Kata “Laissez-faire” berasal dari bahasa Prancis yang berarti “membiarkan” orang-orang “melakukan” yang terbaik Barnhart Robert, 1988. Gaya
kepemimpinan laissez-faire memiliki karakteristik dimana pelaksanaan pekerjaan dilakukan lebih banyak oleh anggota. Keputusan dan kebijakan organisasi lebih
banyak dibuat oleh anggota. Pemimpin membiarkan anggota memotivasi timnya sesuai keinginan. Pemimpin melakukan pengawasan dengan tingkatan rendah
terhadap para anggota Whitehead, Weiss Tappen, 2007. Pemimpin memfasilitasi anggota untuk melakukan umpan balik kepada tim tanpa harus
berkonsultasi kepada pemimpin. Pemimpin memberikan kebebasan kepada para anggota untuk memilih tugas yang akan dilakukan Secara umum, pemimpin
menilai cara yang efektif adalah dengan membiarkan para anggota bekerja secara independen Marquis Huston, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Pembagian gaya kepemimpinan menurut Lewin
Komponen Otokratis
Demokratis Laissez-faire
Pengambilan Keputusan
Pemimpin Pemimpin dan
anggota Anggota
Umpan Balik Tidak ada
Ada Anggota
Motivasi Hadiah dan
hukuman Komunikasi
Suportif Anggota
Pembagian Tugas Pemimpin
Pemimpin dan anggota
Anggota Sumber: Lewin 1939 dalam Marquis Huston, 2010
Peneliti memutuskan untuk memilih teori kepemimpinan Lewin 1939 dalam Marquis Huston, 2010 sebagai teori dasar dalam penelitian karena teori
ini dirancang untuk dapat diterapkan secara universal dan lebih jelas sehingga memudahkan peneliti dalam mengelompokkan gaya kepemimpinan yang
diterapkan oleh kepala ruangan. 2.
Burnout 2.1 Definisi Burnout
Menurut Maslach dan Jackson 1986, burnout adalah sindroma kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada
seseorang di dalam pekerjaannya. Kelelahan emosional mengacu pada penurunan bahkan hilangnya sumber kekuatan emosional tanpa diketahui penyebabnya.
Depersonalisasi mengacu pada perkembangan sikap yang negatif dan kecenderungan untuk menjauh dari lingkungan. Penurunan pencapaian diri adalah
kecenderungan untuk mempercayai bahwa tujuan dalam pekerjaannya tidak tercapai, yang ditunjukkan oleh perasaan ketidakcukupan dan rasa harga diri
profesional yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
Pines dan Aronson 1988 mendefinisikan burnout sebagai kondisi kelelahan fisik, emosional dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan jangka
panjang terhadap situasi yang menuntut. Kelelahan fisik ditunjukkan oleh energi yang rendah, kelelahan kronis, kelemahan dan keluhan psikosomatis lainnya.
Kelelahan emosional melibatkan perasaan tidak berdaya, putus asa dan perasaan terjebak. Kelelahan mental mengacu pada perkembangan sikap negatif kepada
seseorang, pekerjaan dan kehidupan. Menurut Brill 1984, burnout adalah kondisi disfungsional yang hebat yang
berhubungan dengan pekerjaan tanpa menunjukkan kondisi psikopatologi khusus. Burnout berjalan dalam kurun waktu tertentu dalam suatu situasi kerja dan tidak
akan teratasi tanpa pertolongan dari luar. Stres akibat pemberhentian kerja dan penderitaan ekonomi tidak termasuk sebagai burnout. Burnout dapat terjadi pada
setiap jenis pekerjaan selama tidak berada di luar konteks pekerjaan. Selain itu, seseorang yang mengalami burnout tidak dikategorikan sebagai seseorang yang
mengalami gangguan kejiwaan. Seseorang yang mengalami penurunan performa kerja yang sementara dan dapat pulih kembali juga tidak dianggap mengalami
burnout. Burnout adalah fenomena multidimensional, yang tidak seperti depresi,
burnout berikatan dengan lingkungan kerja. Selain itu, burnout dibedakan dengan stres kerja, burnout lebih mengacu pada kegagalan adaptasi sebagai hasil dari
stres kerja yang menetap. Burnout juga dibedakan dengan sindroma kelelahan kronik. Burnout terkait dengan pekerjaan dan berhubungan erat dengan sindroma
mental, sementara sindroma kelelahan kronik bersifat umum dan ditunjukkan oleh
Universitas Sumatera Utara
kelelahan yang tak dapat dijelaskan dan gejala fisik lainnya Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa burnout
adalah sindroma
kelelahan emosional,
depersonalisasi dan penurunan pencapaian diri yang dapat terjadi pada seseorang dalam pekerjaannya.
2.2 Dimensi Burnout Maslach dan Jackson 1986 menyatakan bahwa burnout memiliki tiga
dimensi utama, yaitu kelelahan, penurunan pencapaian pribadi, dan depersonalisasi . Kelelahan yang dimaksud adalah perasaan lelah yang hebat
terhadap lingkungan pekerjaan. Seseorang yang mengalami burnout akan mengalami penurunan semangat saat memulai pekerjaan, saat sedang bekerja, dan
seusai bekerja. Mereka akan merasa frustrasi, tertekan, dan mengalami kebuntuan dalam pekerjaannya. Masalah makan dan tidur yang memperburuk kondisi juga
akan ditemui. Kelelahan yang dikategorikan ke dalam burnout cenderung berlangsung dalam waktu yang lama.
Dimensi kedua dari burnout adalah penurunan pencapaian pribadi yang ditandai dengan perasaan penurunan kemampuan diri di lingkungan kerja,
perasaan tidak berdaya, perasaan pengaruh negatif terhadap orang lain, kehilangan kebahagiaan saat bekerja, merasa semua tugas yang diberikan menjadi berat dan
tidak selesai. Ketika anggota merasa tidak efektif saat bekerja, maka rasa percaya diri akan berkurang. Mereka merasa belum mencapai banyak hal berharga dalam
pekerjaannya Maslach Jackson, 1986.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi ketiga adalah depersonalisasi yang ditandai dengan sikap sinis, hilangnya empati, sikap memperlakukan klien dengan tidak utuh, penarikan diri
dari hubungan terhadap penerima jasa ataupun rekan kerja. Anggota yang mengalami burnout merasa tidak ada yang mampu untuk mengerti ataupun
membantunya, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk menyelesaikan semua masalah tersebut sendirian. Ketika seorang anggota merasakannya, mereka
cenderung merasa bersalah terhadap keputusan di masa lalu dan khawatir atas masalah yang dialami saat ini Maslach Jackson, 1986.
2.3 Manifestasi Burnout
Manifestasi burnout dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu afektif, kognitif, perilaku, dan motivasi Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Secara umum, manifestasi afektif yang muncul pada seseorang yang mengalami burnout adalah suasana hati yang suram dan tertekan. Sumber kekuatan emosional
akan perlahan menurun karena terlalu banyak berfokus pada pekerjaan dalam waku yang lama. Tanda lainnya dari manifesasi afektif adalah adanya agresi dan
kecemasan. Seseorang yang mengalami bunout memiliki toleransi frustrasi yang rendah, mudah tersinggung, dan menunjukkan sikap bermusuhan, tidak hanya
kepada pengguna jasa pelayanan, namun juga kepada kolega dan pemimpinnya. Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Perubahan kognitif yang signifikan pada saat seseorang mengalami burnout adalah perasaan keputusasaan dan ketidakberdayaan. Seseorang akan kehilangan
makna dalam pekerjaannya. Setelah merasa gagal dalam memperbaikinya, mereka mulai merasakan kebuntuan. Perasaan kegagalan tersebut terjadi bersamaan
Universitas Sumatera Utara
dengan perasaan ketidakmampuan dalam bekerja dan juga hubungan sosial yang buruk di lingkungan pekerjaan. Keterampilan kognitif tertentu seperti ingatan dan
perhatian akan terganggu dan membuat proses berpikir menjadi lebih kaku dan terpisah-pisah. Salah satu gejala yang paling khas dari burnout pada tingkat
interpersonal adalah penurunan keterlibatan dengan penerima jasa. Manifestasi gangguan kognitif burnout tercermin dari sikap sinis, negatif, pesimis, dan kurang
empati. Pada tingkat organisasi, anggota yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh atasan mereka ataupun oleh rekan kerja. Mereka kehilangan
kepedulian terhadap organisasi dan menurunkan rasa percaya terhadap rekan- rekan dan pemimpinnya Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Manifestasi perilaku seseorang yang mengalami burnout adalah penarikan psikologis dan perilaku koping maladaptif. Secara umum, tidak terdapat hubungan
antara burnout dengan kebiasaan konsumsi kopi, rokok, alkohol, dan zat adiktif. Di tingkat organisasi, manifestasi yang paling nyata dari burnout adalah
penurunan kehadiran kerja tanpa alasan yang jelas dan penurunan performa kerja. Maslach, 1976, dalam Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Di tingkat intrapersonal, motivasi intrinsik seseorang yang mengalami burnout akan menurun secara perlahan, diikuti oleh penurunan semangat,
antusiasme, dan idealisme. Anggota yang mengalami burnout merasa bahwa tidak ada hal apapun yang bisa membuat mereka bersemangat saat bekerja.
Kekecewaan terhadap pekerjaan akan meningkat. Pada tingkat interpersonal, salah satu ciri khas dari burnout adalah penurunan hubungan dengan penerima jasa
Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Pencegahan dan Penanganan Burnout Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani
burnout antara lain: 1 memulai hari kerja dengan perasaan rileks, 2 menerapkan pola makan yang sehat, 3 berolahraga secara teratur, 4 mengatur pola tidur, 5
mengurangi hal-hal yang menimbulkan stress kerja, 6 mengurangi aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan di akhir pekan, 7 mengembangkan kreativitas di
dalam dan luar pekerjaan dan 8 berkonsultasi dengan ahli kejiwaan jika diperlukan Maslach Leiter, 1997 dalam Schabracq, Winnuubst Cooper,
2003. Efektivitas manajemen stres sebagai penanganan burnout masih
dikembangkan oleh para ahli. Beberapa ahli sulit untuk menarik kesimpulan karena studi evaluasi menggunakan sampel, prosedur, kerangka waktu, instrumen
pengukuran, dan metode pelatihan yang berbeda. Beberapa studi juga mengalami kekurangan metodologis seperti kurangnya kelompok kontrol dan jumlah peserta
yang kecil sehingga memerlukan banyak pengembangan Kraft, 2006. Di sisi lain, kelelahan sebagai gejala inti burnout dapat dikurangi dengan latihan
menggunakan teknik koping adaptif, teknik relaksasi dan restrukturisasi kognitif Schabracq, Winnuubst Cooper, 2003.
Meskipun demikian, dimensi penurunan pencapaian diri dan depersonalisasi sulit untuk berubah. Hal ini dikarenakan teknik yang digunakan untuk mengatasi
burnout hanya berfokus untuk mengurangi kemunculan gejala alih-alih pada perubahan sikap depersonalisasi atau peningkatan keterampilan profesional yang
menetap. Aktivitas kelompok pendukung sosial tampaknya tidak memiliki
Universitas Sumatera Utara
dampak positif dalam mengatasi aspek kelelahan pada burnout. Meskipun begitu, program ini dievaluasi secara positif dan tingkat efektivitasnya akan terus
ditingkatkan Swider Zimmerman, 2010.
Universitas Sumatera Utara
22 Gaya kepemimpinan
kepala ruangan: 1.
Otokratis 2.
Demokratis 3.
Laissez-faire Lewin 1939, dalam
Marquis Huston, 2010 Burnout perawat pelaksana:
1. Exhaustion
2. Depersonalization
3. Reduced Personal
Achievement Maslach Jackson, 1986
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN