commit to user 90
sama berhubungan dengan perilaku seksual remaja. Data lengkap dapat dilihat pada lampiran 20 tabel Anova.
Pada koefisien determinan menggunakan perhitungan SPSS versi 17.0 diketahui adjusted R Square 0,121. Hasil ini menunjukkan
bahwa pengetahuan kesehatan reproduksi dan persepsi peran keluarga memberikan sumbangan atau hubungan sebesar 12,1
dengan perilaku seksual remaja di kota Surakarta. Besarnya sumbangan efektif dan sumbangan relatif masing-masing variabel
adalah sebagai berikut :
Tabel 22. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif Hubungan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Persepsi
Peran Keluarga dengan Perilaku Seksual Remaja di Kota Surakarta tahun 2011
Variabel Sumbangan
Efektif SE Sumbangan
Relatif SR Pengetahuan kesehatan reproduksi
Persepsi peran keluarga 0,055 5,5
0,066 6,6 0,45 45
0,55 55 Total
0,121 12,1 1,00 100
Sumber : data primer terolah 2011
B. Pembahasan
1. Hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku
seksual remaja
Hasil analisa product moment person, pengetahuan kesehatan reproduksi berhubungan dengan perilaku seksual remaja. Nilai koefisien
korelasi sebesar 0,253 dengan taraf signifikansi 0,003 0,05 yang
commit to user 91
menunjukkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan secara statistik antara pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual
remaja. Semakin besar nilai pengetahuan kesehatan reproduksi maka semakin kecil nilai perilaku seksual dengan kekuatan hubungan yang
lemah, demikian pula sebaliknya, semakin kecil nilai pengetahuan kesehatan reproduksi maka semakin besar nilai perilaku seksual remaja.
Sejalan dengan hasil penelitian Irianti 2007:1 yang menyatakan bahwa remaja yang memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi tinggi memiliki
kemungkinanan 4 kali untuk berperilaku seksual sehat dibandingan dengan remaja yang memiliki pengetahuan yang rendah.
Remaja SMAN di Surakarta yang menjadi subjek penelitian ini sebagian besar berusia 17 tahun yang menurut kebanyakan orang usia ini
adalah usia puncak remaja sweet seventeen adanya perubahan hormon meningkatkan hasrat seksual libido seksualitas remaja. Peningkatan
hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. Penyaluran yang tidak dapat segera dilakukan karena
adanya penundaan usia perkawinan baik secara hukum maupun secara norma sosial dan norma agama tetap berlaku dimana melarang hubungan
seks sebelum menikah bahkan berkembang lebih jauh kepada perilaku seksual yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Bagi remaja
yang tidak dapat menahan diri dan tidak memiliki pengetahuan yang luas akan cenderung perilaku seksualnya tinggi dengan berbagai dalih sebagai
pembenaran diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Cohen 2002:5 yang
commit to user 92
mengatakan jika remaja bercerita tentang kegiatan seksual mereka, maka remaja banyak membela diri dengan komentar “Everybody does it.”
Penelitian yang dilakukan Rosenthal 2001:527 pada remaja usia 12-18 tahun yang telah melakukan hubungan seksual pranikah memiliki
alasan mereka untuk memulai perilaku seksual karena teman-teman
mereka juga melakuakannya, rasa ingin tahu dan merasa sudah dewasa.
Pada usia remaja, anak mulai mencari jati diri, sehingga konsep dirinya belum begitu jelas atau masih labil, apabila remaja mempunyai konsep
diri yang positif maka ia akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa
yang akan datang dan ia mampu mengantisipasi hal-hal yang negatif sehingga pendidikan kesehatan reproduksi dapat menjadi salah satu cara
untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks.
2. Hubungan persepsi peran keluarga dengan perilaku seksual remaja