Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan
pendengaran derajat berat di Asia Tenggara diperkirakan sebanyak 89,8 juta orang. GBD, 2004. Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia
dijumpai sebanyak 4,6, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang
kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India 630 juta penderita WHO, 2001.
2.2.3. Etiologi
Kehilangan pendengaran dapat konduktif karena kesalahan transmisi gelombang suara atau sensorineural penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf,
atau keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya
cairan di telinga. Penyebab umum untuk tuli sensorineural adalah paparan kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik
yang merusak pendengaran.
2.2.4. Klasifikasi
Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi: a.
Gangguan pendengaran konduktif Terjadi karena masalah mekanis di telinga luar atau tengah yang
mengakibatkan gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan. Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan
benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons terhadap suara. Adanya cairan di telinga tengah juga dapat
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif Sherwood, 2001. b.
Gangguan pendengaran sensori-neural Pada tuli sensori-neural, gelombang suara disalurkan ke telinga dalam,
tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang diintepretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Defek mungkin
Universitas Sumatera Utara
terletak pada organ corti,saraf auditorius, jalur auditorius asendens atau pada korteks auditorius itu sendiri Sherwood, 2001.
c. Gangguan pendengaran campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensori-neural. Mula-
mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis konduktif, kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensori-neural, dapat pula
sebaliknya, dan dapat juga terjadi bersama-sama Lassman, 1997 dalam Sukgandi, 2010. Menurut American Speech-Language Hearing
Association ASHA tahun 2011, gangguan pendengaran jenis campuran terjadi akibat kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah
dan telinga dalam atau saraf pendengaran.
2.2.5. Diagnosis
Pemeriksaan dan diagnosis gangguan pendengaran meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, tes-tes pendengaran, yaitu tes berbisik, tes
garputala dan tes audiometri serta melalui pemeriksaan-pemeriksaan penunjang
lain.
Pada anamnesis, pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa gangguan tersebut dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan
menggunakan auriskop atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang digunakan untuk melihat ke dalam telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan
dapat dilihat apakah ada terdapat cairan yang keluar dari dalam telinga, pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga disebabkan cairan
atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lubang pada gendang telinga Supramaniam, 2011.
Beberapa jenis pemeriksaan tambahan lain yang dilakukan untuk mendiagnosis gangguan pendengaran :
A. Pemeriksaan Garpu Tala
Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat beberapa jenis pemeriksaan yaitu Guyton dan Hall, 2007 :
Universitas Sumatera Utara
a. Tes Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2
macam tes rinne , yaitu; i.
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid
pasien belakang meatus akustikus eksternus. Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan
didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya ii.
Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum
mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus planum
mastoid. Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne positif, tuli konduksi apabila tes Rinne negatif getaran dapat didengar
melalui tulang lebih lama.
b. Tes Weber
Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber adalah
membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak lurus pada garis horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar
Universitas Sumatera Utara
atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar
atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. Interpretasinya:
i. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan
disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
ii. Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya:
- Tuli konduktif sebelah kanan, misal adanya ototis
media disebelah kanan. -
Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan lebih hebat.
- Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan. -
Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.
B. Tes Berbisik
Tes berbisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu.
Telinga yang tidak diperiksa ditutup dan orang yang diperiksa tidak boleh melihat pemeriksa Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara
pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 56 - 66.
2.2.6. Penyakit Penyebab Gangguan Pendengaran