b Paranoia
Paranoia adalah “gila menuduh orang”. Ciri khas penyakit ini adalah munculnya delusi yaitu satu pikiran salah yang menguasai
orang yang diserangnya. Delusi ini tidak bisa hilang. Penderita paranoia biasanya orang yang cerdas, kuat ingatannya, emosinya
seimbang, hanya saja ia mempunyai salah persepsi atas dirinya sendiri karena segala perhatian dan perkatannya dalam hidup dikendalikan
oleh pikiran yang salah tersebut.
13
3. Hak-hak Orang Penderita Cacat Mental
Pasal 5 Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa:
“setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehi
dupan dan penghidupan”. Hal tersebut diperjelas melalui Pasal 6 yang berisi:
1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan; 2.
Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;
3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya; 4.
Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; 5.
Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteran sosial;
6. Dan hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat,
kemampuan, dan
kehidupan sosialnya,
terutama bagi
penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
13
http:www.refleksitherapy.com Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Sakit Jiwa.
Pasal 7 yang berisi: 1.
Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. 2.
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
14
14
http:www.dinsos.pemdadiy.go.id
24
BAB III PEMBAGIAN HARTA WARIS BAGI PENDERITA CACAT MENTAL
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A.
Konsep pengampuan
Di Indonesia, telah banyak terjadi kasus mengenai pengampuan. Di latar belakangi oleh sifat manusia yang selalu berusaha menjalin hubngan
dengan manusia lainnya maka proses pengampu terwujud, karena bila dilihat dibalik tujuan pokok mengampu pastilah terjadi antar manusia didalamnya.
Tentunya manusia sebagai subjek hukum selain badan hukum, karena proses pengampuan adalah peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang terjadi atas
dasar hubungan-hubungan hukum yang terjadi antar manusia. Hubungan- hubungan hukum adalah hubungan antara seorang manusia dengan manusia
lainnya atau apa apa yang dipersamakan dengan manusia yaitu badan hukum tadi, atau antara seorang manusia dan suatu harta benda yang ada aturan-
aturannya dalam hukum dengan rangkaian kewajiban-kewajiban hukum dan hak perseorangan.
Ada subjek hukum sudah pasti ada objek hukum. Yang menjadi objek dalam hubungan hukum adalah hak dan kewajiban seseorangsuatu
pihak terhadap orangpihak lainnya.hak dan kewajiban ini yang nantinya harus dipenuhi. Subjek dalam hubungan hukum terkait dengan pengampuan
adalah manusia. Manusia sudah barang tentuyang mempunyai hak dan kewajiban.
Setiap terjadinya hubungan hukum pastilah mempunyai causa. Causa adalah alasan-alasan yang menyebabkan adanya hubungan hukum,
yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatkan sesuai yang termaktub dalam isi hubungan hukum itu.
1
Kembali kepersoalan awal dimana pengampuan adalah hubungan hukum, maka sebagai awal kita perlu
melihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW sebagai acuan dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan hukum perdata.
Pada dasarnya seorang anak yang menderita cacat mental tidak serta merta kehilangan hak-haknya dalam mewarisi harta peninggalan. Hanya saja
ia membutuhkan bantuan orang lain yang masih ada hubungan darah dengannya untuk megelola hartanya. Sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, bahwa orang dewasa yang menderita cacat mental, dungu, mata gelap atau bahkan pemboros maka ia mendapat pengampuan.
1. Pengampuan
a. Pengertian pengampuan
Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa pengampuan dapat ditinjau dari ilmu pengetahuan yang dikhususkan dalam bidang Hukum
Perdata. Dalam hukum perdata dikenal adanya pembagian-pembagian hukum menurut ilmu pengetahuan dan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
1
Ridwan Indra, Asas-asas Hukum Perdata di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: CV Trisula, 1997, hlm.39