Rehabilitas Dalam Putusan Bebas Pada Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)

(1)

REHABILITASI DALAM PUTUSAN BEBAS PADA KASUS

PEMBUNUHAN ASRORI JOMBANG MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum untuk mememuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S,Sy)

LAKA RAMADHAN MUBARAK NIM : 1110043200004

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH & HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 4 Juni 2015 M


(5)

v

ABSTRAK

LAKA RAMADHAN MUBARAK. NIM 1110043200004. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas Pada Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008). Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M

Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai penerapan rehabilitasi dalam putusan bebas pada kasus pembunuhan menurut hukum positif dan hukum Islam. Dalam penegakan hukum di Indonesia masih terjadi kesalahan dalam penyidikan maupun memberikan putusan. Setiap kesalahan tersebut tentunya dapat diperbaiki salah satunya melalui putusan yang berupa rehabilitasi yang dikeluarkan oleh pengadilan terkait. Seperti halnya yang terjadi kepada Kemat, Devid dan Sugik yang dituduh dan di hukum telah melakukan pembunuhan kepada Moch. Asrori padahal mereka tidak pernah melakukan hal tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum positif dan hukum Islam. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya kepada pembaca.

Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami dan mengetahui bagaimana proses terjadinya putusan bebas pada kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang. Mencakup juga penjelasan tentang bagaimana penerapan rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus Moh. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil „alamin, berkat rahmat Allah SWT yang senantiasa memberikan taufik serta hidayahnya. Sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW berserta Keluarga dan para sahabatnya. Kemudahan serta pertolongan Allah SWT yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas

Pasa Kasus Pembunuhan Asrori Jombang Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)” Karya ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari kawan-kawan serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan dan memberikan sumbangsih ide serta waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Oleh karena itu penulis merasa sangat perlu untuk mengucapkan terimakasih sebagai bentuk penghargaan kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Khamami Zada, M.A, selaku Ketua prodi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekretaris prodi Perbandingan Mazhab Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

4. Bapak Dedy Nursamsi, S.H, M.H, dan Bapak H.M Riza Afwi, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu dan mencurahkan segala perhatiannya untuk memberikan pencerahan serta pengarahan yang begitu baik bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Pimpinan dan staf karyawan Perpustakan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan serta karyawan Perputakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya, sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak mencurahkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani masa pendidikan berlangsung.

8. Ayahanda tercinta Bapak H. Zulkifli Syukur, S.H, dan ibunda tercinta Ibu Dra. Hj. Elfy Julaeha yang selalu mendukung dan memberikan segalanya kepada ananda, agar ananda dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakak tersayang Riska Aurisna Febriane, S.H, M.H, yang selalu membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, serta adik-adik tersayang Fadly Khairuzzadhi dan Isye Mariza Fadilah.

10.Teman berkeluh kesah Hefa Nur Adri Septayunani, S.E, yang selalu memberikan semangat dan dukungan.


(8)

viii

11.Sahabat tercinta M. Aidzbillah, Ramdhani, S.sy, Rani Putri Larasati, S.sy, M. Ade Septiawan, dan Ilyas Fadilah yang tak henti-henti memberikan dukungan serta menemani dalam kondisi suka dan duka juga menjadi teman diskusi yang baik untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu memberikan motivasi dan kenangan dalam menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Mei 2015


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM REHABILITASI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ... 14

A. Definisi Rehabilitasi...14

B. Rehabilitasi Menurut Hukum Positif ... 15

1. Hukum Positif dalam Pemidanaan...17

2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku...19

3. Rehabilitasi dalam Putusan Bebas...22


(10)

x

D. Rehabilitasi Menurut Hukum Islam ... 34

1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan...36

2. Penjatuhan Pidana Menurut Hukum Islam...39

3. Rehabilitasi dalam Hukum Islam...41

Bab III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.89 PK/PID/2008 YANG MEMBEBASKAN DEVID, KEMAT DAN SUGIK DALAM PEMBUNUHAN ASRORI DI JOMBANG . 52 A. Latar Belakang Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 ... 52

B. Amar Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 ... 63

C. Pertimbangan Hukum (Interpretasi Hakim) Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008...68

Bab IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 89 PK/PID/2008 ... 72

A. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 Menurut Hukum Positif ... ..72

1. Pemulihan Nama Baik Menurut Hukum Positif...74

2. Ganti Rugi Menurut Hukum Positif...75

B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 Menurut Hukum Islam...79

1. Pemulihan Nama Baik Menurut Islam...82

2. Ganti Rugi Menurut Islam...84

Bab V PENUTUP ... 86

A. Kesimpulan ... 86


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN...91


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bahwa UUD 1945 menetapkan Indonesia suatu negara hukum dan dapat dibuktikan dari ketentuan dalam pembukaan, batang tubuh dan penjelasan UUD 1945. Hukum diciptakan dengan tujuan untuk dapat memberikan perlindungan dan ketertiban di dalam masyarakat supaya terciptanya keadilan bagi semua lapisan masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran serta penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan hukum itu sendiri, baik di sengaja maupun tidak di sengaja. Sudah semestinya peran penegak hukum melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.1

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam sebuah negara hukum semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law), menegakkan keadilan di mana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya dan diharapkan tidak terjadi sesuatu diskriminasi dalam hukum di Indonesia di mana ada suatu pembeda atara penguasa dan rakyatnya.

1

Ramly Hutabarat, Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Maret 1985), hal. 11.


(13)

2

Kalau seorang yang mampu dalam materi dan dianggap sudah cakap hukum (the have) mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya, seorang yang tergolong tidak mampu dalam segi materi dan tidak cakap hukum (the have not) juga dapat meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela umum sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum.

Tidak adil bilamana orang yang mampu saja yang dibela oleh advokat dalam menghadapi masalah hukum, sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan karena tidak sanggup membayar uang sewa seorang advokat. Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum adalah hak asasi manusia setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Tidak ada seorang pun dalam negara hukum yang boleh diabaikan haknya untuk memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum dengan tidak memerhatikan latar belakangnya, seperti latar belakang agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender.2

Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal. Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain (membunuh). Pada masyarakat yang masih sederhana, membunuh merupakan

2

Andi Sofyan dan Abd. Azis, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar) , Cet.I, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 1-2.


(14)

suatu kebanggaan sebagai bukti keberanian dan kepahlawanan seseorang di kalangan kelompoknya. Membunuh jika dipandang dengan sudut agama merupakan sesuatu yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu setiap perbuatan yang mengancam keamanan dan keselamatan atas nyawa seseorang tersebut dianggap sebagai kejahatan yang berat oleh karena itu dijatuhi oleh hukuman yang berat pula.3

Kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara terutama pada negara yang sedang berkembang dan sedang membangun seperti negara kita, perlu ditingkatkan secara terus-menerus karena di setiap kegiatan maupun setiap organisasi tidak dapat disangkal bahwa peranan kesadaraan hak dan kewajiban, amat menentukan dalam pencapaian tujuan. Dalam upaya penegakan hukum, selain kesadaraan akan hak dan kewajiban tersebut, juga tidak kurang pentingnya kesadaraan penggunaan kewenangan aparat penegak hukum, karena penyalahgunaan kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat merugikan keuangan negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan warga jika berhadapan dengan aparat penegak hukum.4

Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penjajah, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional yang akan berlaku bagi semua warga negara, semestinya tidaklah memandang agama maupun elemen

3

Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984, hal, 2.

4

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana: Penyidikan dan Penyelidikan,


(15)

4

kultural salah satu golongan masyarakat. Sebab, jika hal itu dilakukan, besar peluangnya akan menimbulkan goncangan sosial secara nasional.

Secara teoritis, bisa ditegaskan bahwa kalaupun hal itu terjadi, hendaklah ia merupakan proses alami yang dikerjakan oleh masyarakat sendiri berdasarkan kebutuhan akan masa depan yang lebih baik. Apalagi, pencapaian suatu sasaran hukum nasional yang diharapkan, seharusnya dilakukan secara bertahap, terencana, terpadu, terarah, dan senantiasa mempertimbangkan psiko-sosial, kultural, maupun teologi suatu masyarakat.5

“You have shown me the sky to a creature who‟ll never do better than crawl.”

“Anda memperlihatkan langit kepadaku, tapi apalah artinya cakrawala,

bagi manusia kecil melata, yang hanya mampu merangkak terseok-seok.”

Ungkapan di atas pernah di ucapkan ketua Lembaga Bantuan Hukum Filiphina, Dr. Salvador Laurel. Mungkin ungkapan ini merupakan manifestasi perasaan golongan masyarakat kecil yang pernah dihibur dengan berbagai kecemerlangan integritas hak asasi pribadi. Namun dalam kenyataan dan praktek penegakan hukum, mereka sama sekali tidak mampu bertahan ketika berhadapan dengan kecongkakan kekuasaan yang diperankan aparat penegak hukum yang selalu berperilaku mempertontonkan kesewenangan dan kehausan kekuasaan.6

Semisal itulah barangkali yang dikhawatirkan dalam pelaksanaan penegakan KUHAP. Pembuat undang-undang telah sengaja menciptakan

5

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.I, (Jakarta: Penamadani, 2004), hal. 3-4.

6

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 1.


(16)

cakrawala hukum acara pidana yang penuh ditaburi hiasan hak asasi sebagai cahaya kemilau penuntun yang sekaligus menjadi perisai bagi diri mereka berhadapan dengan wewenang yang diberikan undang-undang kepada aparat penegak hukum. Namun penuntun dan perisai itu hancur lebur di bawah telapak kaki keangkuhan pejabat penegak hukum, yang memaksa mereka merangkak-rangkak merengek belas kasihan para pejabat yang mumpung berkuasa.7

Awal lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak lepas dari peninggalan warisan kolonial yang begitu saja langsung diterapkan ke dalam sistem hukum di Indonesia. Akan tetapi setelah orde baru, ada kesempatan yang sangat memungkinkan untuk membangun tatanan kehidupan ataupun sistem kelembagaan yang ada tidak terkecuali di bidang hukum. Suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern dan ideal bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah harapan seiring dengan perkembangan zaman. Dimana ada konsep hukum acara pidana yang dapat mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem peradilan pidana di Indonesia di mana semua aturan hukumnya merujuk pada konsep hukum yang berbentuk normatif berupa perundang-undangan. Yang erat kaitannya dengan Hukum Acara Pidana yang dimaksudkan ketentuan normatif sistem peradilan pidana. Sedangkan sistem peradilan pidana Indonesia menganut konsep bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan oleh negara

7

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, hal. 1.


(17)

6

(pemerintah) sebagai wakil dari publik, secara umum yang berlaku di Indonesia civil law system yang didasari dengan satu doktrin bahwa pemerintah senantiasa akan berbuat baik terhadap warga negara.8

Namun pada kenyataannya dalam proses pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan segala kemungkinan bisa terjadi, salah hukum pun mungkin terjadi. Salah hukum merupakan kesalahan dalam menetapkan hukuman, hal tersebut bisa berupa salah tangkap sampai dengan adanya salah vonis. Salah hukum tersebut terjadi karena ada kesalahan baik pada proses penyidikan, proses pemeriksaan berkas acara perkara oleh Jaksa dan Hakim dalam proses menjatuhkan putusan, sehingga dibutuhkan kejelian dan kehati-hatian dalam proses awal pemeriksaan perkara sampai pada putusan hakim.

Dalam proses acara perkara pidana bisa terjadi kelalaian prosedur untuk menyelesaikan perkara pidana salah satunya adanya salah hukum. Apabila terjadi salah hukum maka korban salah hukum ini sebagai pihak yang sangat dirugikan baik secara jasmani ataupun rohani, terjadinya salah hukum bermula dari salah tangkap dan dilanjutkan dengan adanya salah vonis dalam menjatuhkan putusan. Kasus salah hukum yang pertama terjadi di Indonesia adalah kasus Sengkon dan Karta di Bekasi pada tahun 1974 yang dituduh melakukan pembunuhan.

Dalam perkara hukum acara pidana ada adagium yang menarik untuk dicermati, yaitu bahwa lebih baik melepaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Adagium hukum tersebut lebih menekankan kepada hakim untuk lebih ekstra hati-hati dalam menjatuhkan vonis,

8


(18)

jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum, hanya karena disebabkan sikap tidak profesionalnya hakim dalam menangani perkara. Begitu juga jangan mudah melepaskan atau menjatuhkan hukuman yang ringan kepada pelaku kejahatan dari hukuman yang seharunya dijatuhkan.

Seperti halnya dalam peristiwa tindak pidana yang dituduhkan kepada David Eko Prianto alias Devid, Imam Hambali alias Kemat, dan Maman Sugianto alias Sugik. Mereka diputus bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap Moch. Asrori dan harus bertanggungjawab atas perbuatan yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan.

Penderitaan yang diterima oleh Devid, Kemat, dan Sugik bukan saja harus mendekam di penjara, ketiganya juga mengakui bahwa selama proses penyidikan, mereka diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Berdasarkan isi surat kepada keluarganya, Devid mengaku ditodong pistol pada bagian perut dan kepala selama pemeriksaan. Sedangkan Kemat, selain ditodong pistol, juga dipukuli perut dan telinganya di Polsek Bandar Jombang.9

Kebenaran itu hadir belakangan, ketika tersangka Verry Idham Heryansyah alias (Ryan) mengaku sebagai pelaku pembunuh Moh. Asrori alias (Luki atau Aldo). Hal itu diperkuat kembali dengan keterangan Ryan bahwa jenazah Asrori dimakamkan di kebun belakang rumah orang tua nya. Kebenaran bahwa itu adalah jasad Asrori dibuktikan melalui uji tes DNA (deoxyribonucleic acid), antara jenazah Asrori dengan pasangan Jalal dan Dewi (orang tua Asrori).10 Devid, Kemat, dan Sugik pun akhirnya dibebaskan begitu saja tanpa mendapatkan rehabilitasi atas segala hal yang dituduhkan kepada mereka.

9“Kemat Dihajar Polisi di Kebun Tebu”, Kompas

, 28 Agustus 2008, hal 2.

10“Asrori Korban ke


(19)

8

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik mengangkat skripsi dengan judul : REHABILITASI DALAM PUTUSAN BEBAS PADA KASUS ASRORI JOMBANG MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008)

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

Agar tidak terjadi kesimpangsiuran masalah, maka penulis akan mengidentifikasi dan membatasi masalah yang akan dibahas :

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rehabilitasi dalam putusan bebas. 2. Pelaksanaan rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus pembunuhan

Moch. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam. 3. Praktek penegakan hak pada tersangka pembunuhan.

4. Kelalaian dalam mengidentifikasi korban pembunuhan dan memutuskan hukuman kepada pelaku pembunuhan.

Mengingat luasnya cakupan pembahasan masalah, maka ruang lingkup masalah dalam penelitian ini difokuskan hanya terhadap masalah :

1. Terjadinya putusan bebas pada kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang. 2. Praktek penegakan hak pada tersangka pembunuhan.

3. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi menurut hukum positif dan hukum Islam. Berdasarkan batasan rumusan masalah di atas, maka untuk mempermudah pembahasan, penulis merumuskan masalah yang dikaji dalam skripsi ini sebagai berikut:


(20)

1. Bagaimana terjadinya putusan bebas terhadap kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang?

2. Bagaimana rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus Moch. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya putusan bebas pada kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang.

b. Untuk menjelaskan bagaimana penerapan rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus Moh. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:

a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hak tersangka yang dituduh melakukan pembunuhan.

b. Secara teoritis untuk mengetahui kesesuaian praktek penegakan hukum peradilan pidana di Indonesia dan hukum Islam.

c. Secara praktis yaitu untuk menambah keyakinan dan pemahaman kepada masyarakat terhadap keadilan pemerintah dalam penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.


(21)

10

D. Studi Terdahulu

Sejauh yang penulis ketahui, apa yang penulis tulis ini belum pernah ada yang menuliskannya, setidaknya di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang mempunyai sedikit kesamaan antara lain: “Penyertaan dalam Pembunuhan Berencana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Kajian Yurisprudensi No.

1429K/Pid/2010)”. Pokok masalah yang dikaji membahas tentang pengertian

tindak pidana, unsur-usnur tindak pidana, pengertian penyertaan, bentuk-bentuk penyertaan, pengertian pembunuhan, macam-macam pembunuhan, sanksi pidana dan konsep pemaafan.

Pada tinjauan selanjutnya, penulis mencermati skripsi yang berjudul :

“Pencemaran Nama Baik Akibat Salah Tangkap (Kajian Hukum Pidana Islam

dan Hukum Pidana Positif). Pada skripsi ini, pokok masalah yang dikaji membahas tentang pengertian tindak pidana, pencemaran nama baik dan sanksinya menurut hukum positif dan hukum Islam, pengertian jinayah dan jarimah, macam-macam dan jenis-jenis jarimah, uqubah macam dan tujuannya dalam hukum Islam, sebab terjadinya salah tangkap dan akibat salah tangkap. Jadi dalam skripsi ini hanya menitikberatkan sanksi pada pelaku utama saja, tanpa menjelaskan bagaimana bila terdakwa adalah bukan pelaku yang sebenarnya.

Ini sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, yang lebih berfokus kepada bagaimana terjadinya perubahan putusan yang asalnya di Pengadilan Negeri Jombang memutus bersalah menjadi putusan bebas pada Mahkamah Agung. Serta bagaimana penerapan rehabilitasi pada putusan bebas Mahkamah Agung menurut hukum positif dan hukum Islam.


(22)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam pemulisan skripsi ini digunakan pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan penelitian hukum, studi perbandingan hukum merupakan kegiatan untuk membandingkan hukum satu dengan hukum yang lain, penulis memilih pendekatan ini karena penulis ingin membandingkan antara hukum Islam dengan hukum positif di Indonesia dalam hal penerapan rehabilitasi yang diberikan kepada orang yang di hukum bersalah, akan tetapi dia tidak pernah melakukan hal tersebut.

2. Jenis Penelitian

Dengan menggunakan kajian pendekatan hukum normatif yaitu mengumpulkan peraturan perundang–undangan dari bidang-bidang tertentu, yang menjadi pusat perhatian dari peneliti. Klasifikasi dapat dibuat atas dasar kronologi, bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, dan seterusnya. Kemudian diadakan suatu analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang isinya merupakan kaedah (hukum).11

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 255.


(23)

12

3. Sumber Data Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis data. Data yang digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder. Untuk penelitian normatif data primer yang digunakan adalah putusan peninjauan kembali yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa undang-undang yang di terapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji, komentar dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan, yaitu dengan menelusuri bahan–bahan tertulis atau pustaka yang terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti. Baik berupa salinan putusan Mahkamah Agung dari website Mahkamah Agung, buku-buku, artikel-artikel undang-undang ataupun dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan yang terkait dengan skripsi ini.

5. Metode Analisis Data

Analisis yang dilakukan secara komparatif yaitu peneliti akan membandingkan antara pandangan hukum positif dan hukum Islam mengenai masalah rehabilitasi yang diberikan kepada korban yang diputus bersalah akan tetapi dia tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan.

6. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.


(24)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut :

Bab I adalah pendahuluan, pada bab ini penulis membahas tentang latar belakang masalah, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II adalah kerangka teoritis tinjauan umum rehabilitasi menurut hukum positif dan hukum Islam. Bab ini memberi gambaran secara jelas tentang rehabilitasi dalam ruang lingkup hukum pidana Islam dan hukum Positif.

Bab III adalah putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 yang membebaskan Kemat, Devid dan Sugik. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 dan dasar hukum putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008.

Bab IV adalah analisis perbandingan rehabilitasi pasca putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum positif dan hukum Islam. Pada bab ini penulis membahas pelaksanaan rehabilitasi dalam sistem peradilan Indonesia, analisis putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum positif dan analisis putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/PID/2008 menurut hukum Islam.


(25)

14

BAB II

TINJAUAN UMUM REHABILITASI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

Bab II ini penulis ingin memaparkan tentang tinjauan umum rehabilitasi akibat putusan bebas dalam hukum positif dan hukum Islam yang berisikan; rehabilitasi dalam pandangan hukum positif, rehabilitasi dalam pandangan hukum pidana Islam, dan dasar hukum rehabilitasi.

A. Definisi Rehabilitasi

Rehabilitasi berasal dari bahasa latih “habilitare” yang berati membuat baik. Dalam perspektif ini yang dimaksud rehabilitasi ialah suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan dia ternyata tidak bersalah sama sekali. Menurut black rehabilitasi adalah pemulihan kembali hak-hak, kewenangan, atau martabat seseorang.12 Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.

Rehabilitasi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula). Atau perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misal pasien rumah sakit, korban

12

Henry Campbell Black, Black Law Dictionary (Revised Fourth Edition), Michigan: West Group, 1968, hal. 1451.


(26)

bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat.13 Dalam kamus hukum Indonesia pengertian rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan nama baik karena proses hukum tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena terjadi kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.14

B. Rehabilitasi Menurut Hukum Positif

Lama sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan atas argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur tata cara pelaksanaan.15

Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja, yaitu Pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam Pasal 1 butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.

“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya

dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

13

Tim Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal.1186.

14

Fienso Suharso, Kamus Hukum, cet.X, (Jonggol: Vandetta Publishing, 2010), hal. 31.

15

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (edisi kedua), cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 44.


(27)

16

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”16

Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:

“Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas

atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas (Pasal 97 ayat (2) KUHAP). Dalam KUHAP tidak dijelaskan apakah rehabilitasi akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur dalam aturan pelaksanaan KUHAP.

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa sebagaimana halnya dengan ketentuan ganti kerugian, pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara yang diajukan ke pengadilan negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP tersebut, sedangkan yang tidak, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Hal ini disebut oleh Pasal 97 ayat (3) KUHAP.

16

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 202.


(28)

Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah hak seseorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas hak kemampuan, atas hak kedudukan dan harkat martabatnya.

KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau apabila putusan pengadian menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.17

1. Hukum Positif Dalam Pemidanaan

Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.18 Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah: a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga

negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya.

b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.19

Hukum pidana itu tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan

17

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 338.

18

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hal. 257.

19


(29)

18

umum. Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata. Hal pembunuhan, pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh pengadilan pidana.

Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya tersebut pada ilmu-ilmu hukum pidana sistematik:

a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh hukum material : hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang dan lain-lain.20

Hukum pidana material, yang berarti isi atau subtansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.21 Singkatnya hukum pidana material mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.

b. Hukum formal (hukum proses atau hukum acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberikan putusan. Contoh hukum formal: hukum acara pidana dan hukum acara perdata.22

20

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74.

21

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 2.

22


(30)

Hukum pidana formal atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.23 2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib.

b. Putusan bebas.

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.24

Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonnis), tetapi suatu ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu, atau alasan non bis in idem.

Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Berbeda dengan Ned. Sv. yang tidak menyebut apakah yang dimaksud dengan putusan (vonnis) itu, KUHAP Indonesia memberi definisi tentang putusan (vonnis) sebagai berikut.

23

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 2.

24

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 280.


(31)

20

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” (Pasal 1 butir 11 KUHAP).

Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka

pengadilan menjatuhkan pidana.”25

Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.26

Selanjutnya putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa

diputus bebas.” (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Tidak memenuhi asas pembuktian

menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.

25

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, hal. 280-281.

26

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, cet.VIII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 354.


(32)

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.27

Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka

terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2), yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria28 :

1) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;

2) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.

Disini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. 3. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas

Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih berada

27

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 348.

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 352.


(33)

22

dalam batas-batas toleransi mayarakat.29 Sistem peradilan pidana bukan merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) pada dasarnya terbentuk sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.30 Komponen tersebut harus saling berkaitan, jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu.

Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem

terpadu” (integrated criminal justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan

di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum

sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada

masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari

29

Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012) hal. 115.

30

Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I, (Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari, 2011), hal. 03.


(34)

legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.

Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).

Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan

“merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang

mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan

pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”.31

Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4: penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selajutnya,

31

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 101.


(35)

24

sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.32

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,

terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa

dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.33

32

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 109.

33

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 273.


(36)

Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 ayat (1). Pada Pasal 184 ayat (1) telah disebutkan secara rinci atau

“limitatif” alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan

saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1), undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk

membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit”

dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah.

Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut penilaian mereka, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali.34

34

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 347.


(37)

26

Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan putusan bebas dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal yang seperti ini rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat (2), rehabilitasi bedasarkan putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal 97 ayat (2), jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan.

Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, praperadilan berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atau tindakan penengakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan.35

Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.

35

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 70-71.


(38)

Secara singkat dasar Hukum Rehabilitasi Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 bab XII bagian kedua Pasal 97 mengenai rehabilitasi dijelaskan bahwa:

a. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

C. Pelaksanaan Rehabilitasi Dalam Sistem Peradilan Indonesia

Dampak akibat putusan Mahkamah Agung No. 89/PK/PID/2008 yang membebaskan Kemat, Devid, dan Sugik mengharuskan mereka untuk segera dibebaskan dan dikembalikan hak terpidana dalam kemapuan, kedudukan, harkat serta martabatnya sesuai salah satu isi dalam putusan. Dalam Pasal 1 butir 23 KUHAP berbunyi bahwa rehabilitasi adalah hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan


(39)

undang-28

undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Bunyi redaksi pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan memperlancar pelayanan pemberian rehabilitasi, sebab dengan ditentukan rumusan standar dalam pemberian rehabilitasi baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat dan harus tunduk menerima rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983.36

Arang yang sempat tercoreng di dahinya akibat tindakan penangkapan, penahanan atau pemeriksaan pengadilan bisa dibersihkan dengan jalan memberi rehabilitasi. Pemberian rehabilitasi berdasarkan atas putusan pengadilan atau praperadilan yang rumusan redaksinya telah ditentukan dalam pasal 14. Pasal ini memuat dua jenis redaksi, namun isi yang terkandung di dalamnya sama. Dasar pembedaan rumusan itu dalam dua redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan perbedaan status pemohon serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi yang diajukan.

Jika yang memeriksa pengadilan apabila yang berwenang memberikan adalah pengadilan atas alasan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sesuai dengan yang di atur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP. Bila yang memeriksa praperadilan apabila permintaan rehabilitasi didasarkan atas alasan penangkapan dan penahanan yang tidak sah, yang berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi adalah praperadilan berdasarkan Pasal 97 ayat (3).

36

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 74.


(40)

Sesuai dengan Pasal 1 butir 23 KUHAP, maka Kemat, Devid, dan Sugik berhak mendapatkan rehabilitasi karena mereka ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah tersangka, keluarga tersangka atau kuasanya.

Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada keluarga tersangka merupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup dan sehat. Tidak ada hak prioritas antara tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat untuk mengajukan permintaan rehabilitasi.

Tentang diberikan kemungkinan kepada kuasa mengajukan permintaan rehabilitasi memperlihatkan rehabilitasi agak cenderung ke arah keperdataan. Memang rehabilitasi secara murni adalah hak keperdataan yang seharusnya dimintakan atau digugat di depan peradilan perdata. Akan tetapi lain halnya dengan rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 KUHAP. Permintaan rehabilitasi atas pejabat penegak hukum yang dikenakan kepada seseorang, tidak perlu melalui gugat perdata. Apabila pejabat penegak hukum melakukan tindakan pidana penangkapan, penahanan yang tidak berdasar alasan yang dibenarkan undang-undang atau apabila terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi atau tindakan dan peristiwa tersebut tidak perlu melalui proses perdata. Yang bersangkutan atau keluarganya dapat


(41)

30

mengajukan permintaan rehabilitasi melalui proses yang diatur dalam pasal 97 KUHAP jo. Bab V PP No. 27 Tahun 1983.

Dalam proses permintaan dan pemeriksaan rehabilitasi melalui pengadilan perdata dengan apa yang diatur dalam KUHAP, terletak pada subjek yang menjadi pihak. Rehabilitasi melalui gugatan perdata harus ada pihak yang digugat sebagai pihak yang disalahkan melakukan perbuatan melawan hukum dan orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tersebut berkewajiban untuk merehabiliter nama baik orang yang dirugikan atas fitnah atau pencemaran nama baiknya. Berbeda dengan proses rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP tidak menempatkan seseorang sebagai pihak tergugat. Tetapi pihak pemohon sendiri bukan merupakan pihak secara murni atau walaupun disebut ada pihak yakni pemohon pada satu sisi dan pejabat penegak hukum yang bersangkutan pada pihak lain, sifat keberadaan mereka sebagai pihak adalah semu. Pemohon secara semu bertindak sebagai pihak penggugat dan pejabat atau instansi yang terlibat atau negara negara berada dalam kedudukan sebagai tergugat semu.37

Dalam mengajukan permintaan rehabilitasi terdapat tenggang waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 12 PP No. 27 yang berisi permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan diberitahukan kepada pemohon. Dengan begitu masa

37

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 72.


(42)

tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan.

Bila dicermati kembali dalam Pasal 12, tenggang waktu yang diatur di dalamnya hanya berkenaan dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP yaitu tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah dimana perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. Namun dalam tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. Alasannya dalam setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum harus sekaligus mencantumkan dan memberikan rehabilitasi, itu sebabnya tidak ada tenggang waktu.

Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan hak yang wajib diberikan dan dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan begitu rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa, yang berarti tidak memiliki tenggang waktu.

Rehabilitasi yang diberikan dan dicantumkan dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa, maka berpedoman kepada ketentuan Pasal 97 ayat (2) KUHAP


(43)

32

Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi dalam putusan.

Penyampaian petikan dan salinan putusan pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan Negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuannya agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansi penegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan di mana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja.

Adapun pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan putusan rehabilitasi:38

1. Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon, hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP. Kepada pemohon cukup disampaikan petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapat salinan penetapan jika ia menghendaki. Untuk itu pemohon dapat meminta salinan penetapan kepada panitera pengadilan. Hak pemohon untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 226 ayat (3) KUHAP.

2. Salinan penetapan rehabilitasi disampaikan kepada beberapa instansi, ini diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PP. Berdasarkan ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salianan penetapan rehabilitasi:

38

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 75.


(44)

a. Diberikan kepada penyidik. b. Diberikan kepada penuntut umum. c. Instansi tempat pemohon bekerja.

d. Kepada Ketua Rukun Warga (RW) di mana pemohon bertempat tinggal.

Apa yang digariskan dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983, tidak menentukan berapa lama jangka waktu penyampaian atau pengiriman petikan dan salinan itu kepada pihak yang berkepentingan. Walaupun demikian, pemberian atau pengiriman petikan dan salinan sepatutnya segara dilaksanakan panitera, terutama kepada instansi tempat pemohon bekerja serta kepada Ketua Rukun Warga, guna secepat mungkin pemulihan nama baik, kedudukan, harkat, dan martabatnya di lingkungan masyarakat tempat di mana ia hidup dan bekerja. Cara menyebarluaskan pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983, pengumuman putusan rehabilitasi cukup ditempelkan pada papan pengumuman pengadilan.

D. Rehabilitasi Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya dalam hukum pidana Islam tidak terdapat penjelasan secara khusus mengenai rehabilitasi, oleh karena itu penulis menganalogikan masalah tersebut ke dalam ta‟zir. Ta‟zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kafarat.


(45)

34

menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan umum.39

Menurut Ibrahim Anis, ta‟zir ialah pengajaran yang tidak sampai pada

ketentuan had syar‟i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki (pihak lain) tetapi bukan menuduh (orang lain berbuat zina). Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyyah berpendapat ta‟zir ialah pengajaran (terhadap pelaku) dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta‟zir sama dengan hudud dari satu sisi, yaitu sebagai pengajaran (untuk menciptakan) kesejahteraan dan untuk melaksanakan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang dikerjakan.40

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta‟zir. Berikut ini adalah penjelasannya.

1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta‟zir hukumnya wajib

sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak boleh mengabaikannya.

2. Menurut mazhab Syafi‟i, ta‟zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala negara

atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut hak adami.

39

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 139-140.

40


(46)

3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu Al-Hamam berpendapat, “Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan hukum ta‟zir berkenaan dengan hak Allah adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejahatan”.41

Penetapan sanksi ta‟zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum laki-laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.

1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan

Salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syari‟at Islam ialah aturan yang berbunyi “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”. Dengan perkataan lain perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.

41


(47)

36

Oleh karena sesuatu perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja, tetapi juga harus dinyatakan hukumannya, baik hukuman had atau hukuman ta‟zir, maka kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhannya ialah bahwa aturan-aturan

pokok syari‟at Islam menentukan tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman

kecuali dengan suatu nash”.42

صننبب لاا تبٌقع لا ً تميزج لا

“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan suatu nash”.

Dalam kaidah hukum Islam, pengertian hukum pidana termuat dalam fiqh jinayah. Didalamnya terhimpun permbahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup dan lingkup hidup. Di sinilah letaknya agama Islam sangat menghormati dan mengakui keberadaan manusia dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.

Dalam fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dahulu dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan kedua mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif (sinonim) bagi istilah lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu, keduanya berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut memperhatikan dan memahami agar penggunaannya tidak keliru.

42

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1990), hal. 58-59.


(48)

Jarimah ialah larangan-larangan Syara‟ yang diancamkan oleh Allah dengan

hukuman had atau ta‟zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa

mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan kata lain Syara‟ pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana, (peristiwa pidana, delik) pada hukum pidana positif.

Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah. Semula pengertian jinayah ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-kata jinayah ialah perbuatan yang dilarang oleh Syara‟, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainnya.

Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Ada pula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qisas saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah dikalangan fuqaha, dapatlah kita katakan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha sama dengan kata-kata jarimah.43

Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam, dibagi menjadi tiga yaitu:44

43

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1990), hal. 01-02.

44

Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, cet.II, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), hal. 81.


(49)

38

a. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat menghukuminya (rukun syar‟i). Dalam perundang-undangan kita istilah ini disebut juga dengan unsur formil.

b. Melakukan perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan (rukun madi). Dalam perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil.

c. Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertanggung jawab atas tindakan pidana itu (rukun adabi). Dalam perundang-undangan kita disebut dengan unsur moril.

Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana atau delik). Disamping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang lain. Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.45

2. Penjatuhan Pidana Dalam Hukum Islam

Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari‟at Islam ialah

pencegahan (ar-rad-u waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahdzib). Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak memperbuat jarimah,

45

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet.I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 53.


(50)

sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama. Dengan demikian, maka kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.

Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian keadaannya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukuman ta‟zir, menurut perbedaan pembuatnya, sebab di antara pembuat-pembuat ada yang cukup dengan diberi peringatan dan ada yang cukup dijilid.46

Jarimah-jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi tiga yaitu jarimah hudud, jarimah qisas dan jarimah ta‟zir:47

a. Jarimah hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupun oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah-jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum-minuman keras,

46

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 255-256.

47


(51)

40

mencuri, haribah (pembegalan/perampokan, gangguan keamanan), murtad, dan pemberontakan (al-baghyu).

b. Jarimah qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qisas atau hukuman diyat. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa korban bisa memaafkan pembuat, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena tidak sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja.

c. Jarimah ta‟zir ialah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau

beberapa hukuman ta‟zir. Pengertian ta‟zir ialah memberi pengajaran (at -Ta‟dib). Tetapi untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri, seperti yang akan terlihat dibawah ini. Syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah

ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah

ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu. Maksudnya pemberian hak penentuan jarimah-jarimah ta‟zir kepada para penguasa, ialah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan yang mendadak.


(52)

3. Rehabilitasi Dalam Hukum Islam

Secara teoritis dalam hukum Islam tidak mengenal tentang rehabilitasi, oleh karena itu penulis mengqiyaskannya dalam perkara fitnah yang mengandung unsur kezaliman. Bagi seseorang yang pernah di zalimi, hendaklah untuk tidak membalaskan perbuatannya tersebut. Karena dalam Islam mengenai pembalasan dan ganti rugi merupakan hak Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits Imam Bukhari48:

ِوَهنا َلٌُسَر َنَّأ َةَزْيَزُى يِبَأ ْنَع ِيِّزُبْقَمْنا ٍذيِعَس ْنَع ٌكِنبَم يِنَثَذَح َلبَق ُميِعبَمْسِئ بَنَثَذَح

بَنًَ ٌربَنيِد َمَّث َسْيَن ُوَنِّاَف بَيْنِم ُوْهَهَحَخَيْهَف ِويِخَأِن ٌتَمِهْظَم ُهَذْنِع ْجَنّبَك ْنَم َلبَق َمَّهَسًَ ِوْيَهَع ُوَهنا ىَهَص

ْجَحِزُطَف ِويِخَأ ِثبَئِيَس ْنِم َذِخُأ ٌثبَنَسَح ُوَن ْنُكَي ْمَّن ْنِّاَف ِوِحبَنَسَح نِم ِويِخَأِن َذَخْإُي ْنَّأ ِمْبَق ْنِم ٌمَّىْرِد

ِوْيَهَع

“Telah menceritakan kepada kami (Ismail) mengatakan, telah menceritakan kepadaku (Malik) dari (Sa‟id Al Maqburi) dari ( Abu Hurairah) radhilayyhu‟anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu‟alaihiwasallam bersabda: Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta dihalalkan, sebab dinar dan dirham (dihari kiamat) tidak bermanfaat, kezalimannya harus harus dibalas dengan cara kebaikannya diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mempunyai kebaikan lagi, kejahatan kawannya diambil dan dipikulkan kepadanya.” Apabila dia mengetahui bahwa jika dia memaafkan dan berbuat baik, maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak yang menzaliminya). Sehingga dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah

48

Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar, diakses pada tanggal 28 April 2015 http://hadits.stiba.net/?type=hadits&imam=bukhari&no=6053.


(53)

42

kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.49

Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya seorang yang mengalami kerugian (karena disakiti) ketika beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan ganti rugi.

Kondisi yang dialami layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar. Dengan demikian dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya. Hendaknya dia mengetahui bahwa seseorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan didalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya.

Keutamaan ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya:

اًشِع َلاِئ ٌٍْفَعِب اًذْبَع ُوَهنا َداَس بَمًَ

Artinya: “kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang

hamba yang bersikap pemaaf.”

Berdasarkan hadits di atas, kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu tentu lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari

49Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada

tanggal 28 April 2015 dari http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html.


(1)

85

ganti rugi kepada aparat penegak hukum. Seperti misalnya orang yang sepedanya dicuri, lalu orang itu ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan ganti sebuah sepeda motor dari pada ia mencari pelakunya agar sepedanya kembali.

Bila dilihat ganti rugi yang harus didapatkan terhadap putusan bebas yang diberikan kepada Kemat dan Devid dalam kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada mereka menurut hukum Islam tidak dijelaskan secara khusus bagaimana atau berapa besar jumlah ganti rugi yang akan didapatkan oleh mereka, maka dari itu peran serta penguasa atau pemerintah yang mengharuskan untuk mengaturnya. Karena dalam Islam lebih baik Kemat dan Devid untuk memaafkan segala perbuatan yang pernah diterimanya, dengan begitu Kemat dan Devid mendapatkan kemuliaan di mata Allah SWT dan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik daripada Kemat dan Devid melakukan balas dendam.


(2)

86 BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah penulis menguraikan dan menganalisis pembahasan skripsi yang berfokus pada persoalan penerapan rehabilitasi setelah putusan Mahkamah Agung No. 89 PK/Pid/2008 serta rehabilitasi terhadap putusan bebas dalam kasus pembunuhan Moch. Asrori di Jombang menurut hukum positif dan hukum Islam, maka penulis menyimpulkan bahwa:

1. Terjadinya putusan bebas yang diberikan Mahkamah Agung kepada Kemat, Devid, dan Sugik disebabkan terdapat bukti-bukti baru (novum) yang membuktikan bahwa mereka secara sah terbukti tidak bersalah. Hal ini dapat dilakukan melihat bahwa dalam kasus pembunuhan yang dituduhkan kepada mereka sudah salah dari tingkat penyidikan yang salah/keliru dalam mengidentifikasi korban serta pengakuan dari Very Idham Heryansyah alias Ryan bahwa dirinya yang telah melakukan pembunuhan kepada Moch. Asrori dan mayatnya dikubur di halaman belakang rumah orang tua Ryan bukan yang berada di kebun tebu.

2. Dalam hukum positif rehabilitasi harus diberikan/dicantumkan dalam putusan kepada Kemat, Devid, dan Sugik sesuai dalam Pasal 97 KUHAP yang digunakan sebagai upaya mencari keadilan pemulihan atas haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya. Sementara dalam hukum Islam mengenai rehabilitasi bagi mereka yang telah dituduh melakukan perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan tidak dibahas secara


(3)

87

terperinci. Maka dari itu penulis menggolongkan mengenai rehabilitasi dimasukkan ke dalam jarimah ta‟zir, yang di mana hukumnya ditentukan oleh ulil amri.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Agar aparat penegak hukum hendaknya tidak sewenang-wenang melakukan penganiayaan secara fisik maupun mental terhadap terdakwa hanya demi mendapatkan keterangan atau pengakuan kejahatan yang belum tentu mereka lihat atau mereka lakukan.

2. Kepada hakim hendaknya lebih berhati-hati dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Jangan sampai orang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan. Jika ada keraguan terhadap bukti-bukti yang ada, harusnya hakim juga mempertimbangkan adagium yang mengatakan bahwa lebih baik melepaskan seribu orang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

3. Kepada masyarakat hendaknya lebih mengetahui hak-hak serta kewajibannya di mata hukum yang berlaku di Indonesia guna menghindari kejadian serupa terulang kembali.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, bin Abdullah. Kisah-kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al-qorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005.

Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.I. Jakarta: Penamadani, 2004.

Al-Barudi, Imad Zaki. Tafsir Al-Qur‟an Wanita, (Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, tth), Judul Asli: Tafsir Al-Qur‟an Al-Adzhim Lin Nisa.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam, cet.I. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Black, Henry Campbell. Black Law Dictionary (Revised Fourth Edition), Michigan: West Group, 1968.

Fienso Suharso, Kamus Hukum, cet.X, (Jonggol: Vandetta Publishing, 2010), hal. 31.

Dahlan, Zaini, Dkk. Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), cet.I. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.V. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

_______, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), cet.VIII. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (edisi kedua), cet.VIII. Jakarta: Sinar GrafikHanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet-4, Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1990.

Hutabarat, Ramly. Persamaan Dihadapan Hukum “Equality Before the Law” di Indonesia, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 1985.


(5)

89

Irfan, Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I. Jakarta: Amzah, 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.

Koeswadji, Harmien Hardiati. Hukum dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya, 1984.

Kusuma, Mulyana W dan Nasution, Adnan Buyung. Tegaknya Supremasi Hukum (Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I. Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari, 2011.

Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyidikan dan Penyelidikan), cet.II, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Pangaribuan , Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djembatan,2008.

Praja, Juhaya S dan Syihabuddin, Ahmad. Delik Agama Dalam Hukum Islam, cet.II. Bandung: Penerbit Angkasa, 1993.

Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul H.im. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012.

Shihab, M. Qurais. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya, Bogor: Poleteia, 1990.

Sofyan, Andi dan Abd, Azis. Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar,) Jakarta: Penerbit Kencana Prenadamedia Group 2014.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: 1984.

Tim Pusat Bahasa Depdiknas. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.


(6)

Undang-undang/Putusan

Putusan MA No.89 PK/PID/2008 atas nama Imam Chambali al. Kemat.

Putusan perkara No.48/Pid.B/2008/PN.JMB atas nama Imam Chambali al. Kemat. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Website:

Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar, diakses pada tanggal 28 April 2015

http://hadits.stiba.net/?type=hadits&imam=bukhari&no=6053.

Nufus, Tazkiyatun. “Tips Bersabar (2): Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada tanggal 28 April 2015 dari http://www.muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-2-sabar-ketika-disakiti-orang-lain.html.

Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http://www.artikel-islam.com/muslim/taubat/hadits-ifki/.

Koran/Majalah

“Asrori Korban ke-11 Ryan.” Jawa Post. 28 Agustus 2008. “Ryan Pelaku, Orang Lain Dibui.” Kompas. 20 Oktober 2008. “Kemat Dihajar Polisi di Kebun Tebu.” Kompas. 28 Agustus 2008. “Tragedi Sengkon Karta Terulang.” Jawa Post. 20 Oktober 2008.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122