bahwa identitas bersifat dinamis yang dalam pandangan Laclau mengatakan bahwa identitas bisa terbentuk dalam sebuah wacana sosial.
1.4.3. Revolusi Demokratik ke arah Welfare State
Istilah gerakan-gerakan sosial baru mengelompokkan secara bersama- sama beranekaragam perjuanangan seperti: perjuangan perkotaan, ekologis, anti-
otoritarian, anti-institusional, feminis, anti rasis, etnik, minoritas-minoritas kedaerahan atau gender. Denominator umum yang sama-sama dimiliki oleh
semua perjuangan itu adalah dalam hal pembedaan mereka dari perjuangan- perjuangan buruh yang dianggap sebagai perjuangan-perjuangan ‘kelas’. Tak ada
gunanya bersikukuh terhadap gagasan ‘kelas’ yang sangat problematik itu. Gagasan itu hanya menghimpun sederetan perjuangan-perjuangan yang sangat
berbeda pada level ‘antagonisme-antagonisme baru’ new antagonism dari relasi- relasi produksi yang berbeda karena alasan-alasan yang jelas-jelas
mempertahankan secara gigih suatu diskursus yang didasarkan pada status istimewa dari ‘kelas-kelas’. Namun, apa yang menarik dari gerakan-gerakan sosial
baru ini bukanlah ide tentang pengelompokan secara arbriter semua perjuangan itu ke dalam suatu kategori yang bertentangan dengan kategori kelas, namun
mengenai peran baru yang dimainkan oleh perjuangan-perjuangan itu dalam mengartikulasikan ketersebaran konflik sosial menjadi relasi-relasi yang lebih
beragam lagi, dan inilah yang merupakan ciri karakteristisk dari masyarakat- masyarakat industrial maju saat ini.
17
17
Ernesto Laclau Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 235
Universitas Sumatera Utara
Dua aspek kontinuitas dan diskontinuitas penting juga untuk diketahui sebagai landasan perjuangan-perjuangangerakan sosial. Aspek kontinuitas pada
dasarnya melibatkan fakta bahwa konversi ideologi liberal-demokratik menjadi ‘pikiran kolektif’ common sense masyarakat-masyarakat Barat merupakan dasar
fondasi bagi munculnya tantangan yang bersifat progresif terhadap prinsip hirarkis yang disebut Tocqueville sebagai ‘ekualisasi kondisi-kondisi’. Sifat
permanen dari imajinari egalitarian inilah yang memungkinkan untuk membangun suatu kontinuitas di antara perjuangan-perjuangan pada abad ke-19 melawan
ketimpangan-ketimpangan yang diwariskan oleh rejim lama ancient regime dengan gerakan-gerakan sosial masa kini. Dari sudut pandang yang kedua,
berbicara mengenai diskontinuitas yang karena ada banyak subyek politik baru yang terbangun akibat relasi antagonistik mereka terhadap bentuk-bentuk
subordinasi yang ada, dan perbanyakan ini bersumber dari proses penciptaan dan perluasan relasi-relasi produksi yang kapitalis dan semakin meningkatnya
intervensi oleh negara. Terhadap relasi-relasi subordinasi yang baru inilah dan terhadap antagonisme-antagonisme yang terbangun di dalamnya itulah, menjadi
mengarahkan perhatian.
18
Intervensi negara pada level-level reproduksi yang lebih luas ini diiringi dengan meningkatnya birokratisasi praktek-praktek negara. Berbarengan dengan
komodifikasi, birokratisasi ini menjadi salah satu sumber fundamental dari ketimpangan-ketimpangan dan konflik-konflik. Di seluruh domain dimana negara
menjalankan intervensinya, politisasi atas relasi-relasi sosial menjadi basis munculnya sejumlah antagonisme baru. Transformasi ganda dalam relasi-relasi
18
Ibid., hal. 236
Universitas Sumatera Utara
sosial ini yang diakibatkan oleh gerak perluasan relasi-relasi produksi kapitalis dan meluasnya bentuk-bentuk negara birokratik, berbeda-beda kombinasinya di
negara industri maju. Dampaknya secara umum saling memperkuat satu sama lain, meski tidak selalu demikian. Namun yang sangat menjadi perhatian adalah
bagaimana melacak jejak-jejak konsekuensi-konsekuensi dari proses birokratisasi yang mendasari antagonisme-antagonisme baru ini. Fakta pentingnya di sini
adalah pemaksaan berbagai bentuk pengawasan dan regulasi terhadap relasi-relasi sosial yang sebelumnya telah dianggap sebagai bagian dari domain privat.
Pergeseran garis demarkasi antara ‘yang publik’ the public dan ‘yang privat’ the private ini punya efek-efek dua sisi. Di satu sisi, pergeseran itu
menyingkapkan watak politik dalamk artian luas dari relasi-relasi sosial, dan fakta bahwa relasi-relasi sosial tersebut selalu merupakan hasil dari modus-modus
institusi yang memberi bentuk dan maknanya, di sisi lain karena sifat birokratik dari intervensi negara penciptaan ‘ruang-ruang publik’ ini tidak berlangsung
dalam bentuk demokratisasi yang sejati, namun lewat penerapan secara paksa bentuk-bentuk baru subordinasi. Di sinilah, kita harus menengok dataran tempat
berlangsungnya sejumlah perjuangan muncul melawan bentuk-bentuk kekuasaan negara yang birokratik.
19
Fakta bahwa ‘antagonisme-antagonisme baru’ ini merupakan ekspresi dari bentuk-bentuk perlawanan terhadap komodifkasi, birokratisasi dan semakin
meningkatnya homogenisasi kehidupan sosial menjelaskan mengapa antagonisme-antagonisme baru itu sering termanifestasi lewat proses
berkembangbiakknya partikularisme-partikularisme, dan terkristalisasi menjadi
19
Ibid., hal. 240-241
Universitas Sumatera Utara
suatu tuntutan akan otonomi diri. Karena alasan ini juga terdapat suatu tendensi yang teramati ke arah penghormatan terhadap ‘perbedaan-perbedaan’ dan
penciptaan identitas-identitas baru yang cenderung mengistimewakan kriteria ‘kebudayaan’ pakaian-pakaian, musik, bahasa, tradisi kedaerahan, dan
seterusnya. Di antara dua tema gambaran demokratis – yaitu kesetaraan dan kebebasan – kesetaraanlah yang secara tradisional lebih mengemuka dan karena
itulah tuntutan-tuntutan akan otonomi menjadi semakin memainkan suatu peran sentral melebihi kebebasan. Pandangan Laclau yang terkait dengan kesetaraan dan
kebebasan itu senada juga dengan prinsip keadilan dalam pandangan Rawls dimana dia mengatakan bahwa ada dua prinsip keadilan. Pertama, setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi
mesti diatur sedemikian rupa sehingga a dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan b semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
20
Tentu apabila hal-hal yang telah diutarakan di atas tidak termanifestasi maka akan
memunculkan benturan dalam masyarakat itu sendiri yang oleh Habermas dikatakan sebagai krisis legitimasi – yang hanya bisa diprediksi kalau harapan-
harapan tidak bisa dipenuhi, baik oleh kuantitas nilai yang tersedia atau, biasanya oleh penghargaan yang diciptakan secara sistematis dan yang menyesuaikan
dengan sistem.
21
Karena alasan ini pula, banyak dari bentuk-bentuk perlawanan ini yang termanifestasi bukan dalam bentuk-bentuk perjuangan kolektif, namun lewat
semakin meningkatnya paham individualisme. kaum kiri tentu saja tak siap betul
20
John Rawls, A Theory of Justice Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hal. 72
21
Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi Yogyakarta: Qalam, 2004, hal. 234
Universitas Sumatera Utara
untuk menganggap penting perjuangan-perjuangan ini yang pada saat ini semakin meninggalkan cap ‘liberal’nya. Akibatnya, ada bahaya bahwa perjuangan-
perjuangan itu akan diartikulasikan oleh suatu diskursus kanan yang membela hak-hak istimewa. Namun apapun halnya, dan apapun orientasi politik yang
membentuk kristalisasi antagonisme hal ini akan bergantung pada rantai-rantai ekuivalensi yang mengkonstruknya, bentuk antagonisme itu identik dalam semua
kasus. Dengan kata lain, bentuk antagonisme itu selalu terdiri atas konstruksi suatu identitas sosial – suatu posisi subyek yang teroverdeterminasi – di atas basis
ekuivalensi antar sekelompok elemen atau nilai dengan mencoret atau mengecualikan sekelompok elemen-elemen atau nilai-nilai lain yang bertentangan
dengannya. Sekali lagi, kita menemukan diri kita berhadapan dengan keterbelahan ruang sosial.
22
Hegemoni pada dasarnya bersifat metonimik: efek-efeknya selalu muncul dari suatu kelebihan makna yang disebabkan oleh suatu operasi pergeseran makna
sebagai contoh, suatu organisasi serikat buruh atau keagamaan mungkin Gerakan-gerakan sosial yang menuntut kebebasan liberty, kesetaraan
equality, dan keadilan justice merupakan langkah yang benar. Logika persamaan dan logika pembedaan yang terbentuk dari proses antagonisme akan
menciptakan sebuah gerakan revolusi yang demokratik atas fenomena sosial yang diskriminatif dimana disparitas sosial secara jelas tampak dan peran negara tidak
berfungsi sebagaiman mestinya.
1.4.4.Hegemoni
22
Ernesto Laclau Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis Yogyakarta: Resist Book, 2008, hal. 243
Universitas Sumatera Utara
menjalankan fungsi-fungsi organisasi dalam suatu komunitas yang melampaui praktek-praktek tradisionalnya, dan yang ditentang dan dilawan oleh kekuatan-
kekuatan penentangnya. Tak ada identitas sosial yang terbentuk begitu saja secara total – sebuah fakta yang menjadikan momen artikulatoris-hegemonik
memiliki posisi yang sentral. Jadi syarat bagi posisi sentral ini ialah runtuhnya suatu garis batas yang tegas antara yang internal dan yang eksternal, antara yang
contingen dan yang niscaya. Namun, hal ini akan membawa kita pada suatu kesimpulan yang terelakkan: tak ada logika hegemoni yang bisa
memperhitungkan totalitas ranah sosial dan membentuk pusatnya karena dalam konteks tersebut, suatu tenunan baru akan tercipta dan konsep hegemoni pun akan
lenyap. Maka, keterbukaan dari ranah sosial merupakan prasyarat bagi setiap praktek hegemonik. Nah, hal ini secara niscaya membawa pada suatu kesimpulan
formasi hegemonik, sebagaimana yang dipahami, tak bisa dirujukkan pada logika kekuatan sosial tunggal tertentu. Setiap blok historis – atau formasi hegemonik –
terkonstruksi lewat regularitas dalam ketersebaran dan ketersebaran ini mencakup suatu perkembangbiakan dari elemen-elemen yang sangat berbeda: sistem-sistem
pembedaan-pembedaan yang secara parsial menentukan identitas-identitas yang bersifat secara relasional, rantai-rantai ekuivalensi-ekuivalensi yang mengubah
identitas-identitas relasional namun yang tak bisa dipulihkan kembali secara transformasional karena ruang oposisi menjadi teratur dan dengan demikian,
menciptakan suatu pembedaan baru, bentuk-bentuk overdeterminasi yang mengkonsentrasikan kekuasaan atau bentuk-bentuk perlawanan yang berbeda-
beda terhadap overdeterminasi itu.
23
23
Ernesto Laclau Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis Yogyakarta: Resist Book,
Universitas Sumatera Utara
Agar ada hegemoni, momen artikulatoris saja tak cukup. Artikulasi itu sendiri harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek
artikulatoris yang antagonistik – dengan kata lain, bahwa hegemoni akan muncul dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonisme-antagonisme dan karena
itu megandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis perbatasan. Namun, sebaliknya tidak setiap antagonisme mengandaikan praktek-praktek
hegemonik. Jadi ada dua syarat dari suatu artikulasi hegemonik, yaitu keberadaan kekuatan-kekuatan antagonistik dan ketidakstabilan garis-garis batas yang
memisahkan kekuatan-kekuatan tersebut. Hanya ketika ada suatu wilayah luas elemen-elemen yang mengambang dan kemungkinan untuk mengartikulasikan
elemen-elemen tersebut terhadap kubu-kubu yang bertentangan – dan ini mengimplikasikan proses redefenisi terus-menerus atas kubu-kubu yang
bertentangan – yang bisa membentuk dataran-dataran yang bisa kita sebagai suatu praktek yang bersifat hegemonik. Tanpa ada ekuivalensi dan tanpa ada garis-garis
perbatasan, tak mungkin ada hegemoni.
24
Subyek-subyek politik feminis atau ekologis misalnya, sampai titik tertentu, seperti halnya identitas sosial yang lain, merupakan floating signifier
penanda mengambang dan merupakan suatu ilusi yang berbahaya untuk berpandangan bahwa subyek-subyek itu terbentuk sekali untuk selamanya, bahwa
dataran yang membentuk kondisi-kondisi diskursif keberadaannya tak bisa disubversi. Persoalan hegemoni yang akan mengancam otonomi dari gerakan-
gerakan tertentu karenanya merupakan problem yang diajukan secara buruk. Secara tegasnya, ketidakcocokan antar subyek ini hanya ada jika gerakan-gerakan
2008, hal. 214
24
Ibid., hal. 204-205
Universitas Sumatera Utara
sosial itu merupakan unit-unit tunggal monad yang tak saling berkaitan satu sama lain, namun jika identitas dari setiap gerakan tak pernah bisa terbangun
sekali untuk selamanya, maka identitas dari suatu gerakan tak bisa mengabaikan terhadap apapun yang berlangsung di luar dirinya.
25
Sebenarnya sifat struktur sosial yang tidak bisa dipastikan inilah yang membangkitkan antagonisme. Antagonisme adalah landasan politik, dan politik
adalah yang menjaga agar struktur sosial tetap terbuka. Setiap tindak politik sebuah contoh kekontingenan hanya bisa berjalan dalam kaitannya dengan
sekumpulan praktek-praktek yang sudah “mengendap”. Praktek-praktek yang sudah mengendap ini adalah unsur keniscayaan yang tanpanya kehidupan sosial
akan jatuh pada ke-contingen-an total, yaitu ketidaktentuan. Politik mengubah praktek sosial, tetapi agar politik itu ada haruslah ada praktek-praktek yang sudah
mengendap yang relatif tidak berubah – yang diwariskan oleh sejarah dan tradisi.
26
Lebih lanjut Gramsci merumuskan pandangannya terkait dengan hegemoni, dimana dia menyimpulkan bahwa hegemoni merupakan sebuah
konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsur tertentu dalam masyarakat. Gramsci tidak secara
spesifik melihat tipe dan macam konsensus apa yang secara determinan menentukan situasi hegemonis. Konsensus menurut Gramsci lebih mewujudkan
suatu hipotesis bahwa terciptanya karena ada dasar persetujuan. Dalam tatanan sosial yang teratur harus ada dasar persetujuan substratum of agreement yang
kuat yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan yang muncul
25
Ibid., hal. 212
26
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 295
Universitas Sumatera Utara
dari perbedaan-perbedaan kepentingan. Konsensus dalam arti ini berada dalam hubungan dengan objek-objek tertentu, pribadi, kepercayaan nilai-nilai, lembaga-
lembaga maupun yang lain.
27
Dengan menggunakan analisis wacana sebagai sebuah teori diskursus, maka dalam melihat ideologi politik yang dibentuk oleh seorang subyek akan
terlihat dari proses di mana dia membuat sebuah antagonisme yaitu sebuah dikotomi ‘kami’ dan ‘mereka’ yang tentu ‘kami’ akan eksis jika ada ‘mereka’ dan
‘mereka’ dianggap sebagai musuh dan ‘kami’ adalah sebagai kawan yang keluar dari struktur sosial membentuk a new imagined communities yang representatif
dan memiliki visi yang sama sehingga daripada itu terlihat sebuah political frontier di mana akan ada system of equivalence dan system of difference yang
memperkuat kebersatuan sebuah komunitas terbayang tersebut, namun tentu penciptaan tersebut tidak terlepas dari bagaimana seorang subyek mampu
membangun konstruksi hegemonic discourse pada partisipannya dan membentuk Persetujuan kolektif merupakan jalan menuju keberhasilan sebuah
hegemoni, nah persetujuan kolektif tersebut bisa dicapai dalam berbagai cara, Gramsci mengatakan bahwa persetujuan kolektif terjadi karena pengorganisasian
persetujuan yaitu proses yang dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi dikonstruksi tanpa harus melakukan cara-cara kekerasan atau
koersi. Maka dari itu proses merepresentasikan berbagai identitas menjadi satu identitas universal adalah fokus kajian subyek dan subyek juga harus mampu
membuat antagonisme antara partisipan dengan ‘mereka’ yang dikonstruksikan sebagai lawan.
27
Nezar Patria Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara Hegemoni Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 126
Universitas Sumatera Utara
identitas universal dari kemajemukan partisipannya yaitu dari berbagai identitas. Sebuah komunitaskelompok tidak akan berarti apa-apa jika tidak membuat
sebuah gerakan-gerakan sosialtekanan-tekanan sosial, maka dari itu revolusi demokratik menjadi suatu upaya khususnya bagi seorang subyek untuk mampu
mengimplementasikan ideologi politiknya apalagi tuntutannya mengarah kepada keadilan justice, kebebasan liberty, dan kesetaraan equality. Jika redistribusi
dan rokognisi adalah sebuah upaya yang mengarah kepada welfare state, maka kondisi yang disparitas sosialnya sangat jelas tampak tidak seharusnya tampak
lagi.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Jenis Penelitian