1. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan Tindak Pidana Narkotika.
Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya.
2. Terdakwa menyesali perbuatannya. 3. Terdakwa belum pernah dihukum.
4. Terdakwa masih berstatus seorang pelajar anak di bawah umur yang masih muda dan memiliki masa depan cerah ke depan
5. Akan tetapi akhirnya Majelis hakim menjatuhkan putusan dengan diktum, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
.Secara tanpa hak dan melawan hukum turut serta menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, narkotika golongan I. dan menghukum terdakwa
dengan pidana penjara 4 empat bulan dipotong masa tahanan dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 seribu rupiah
C. Analisis Putusan Hakim
Dalam hal hakim menjatuhkan putusan, terhadap pelaku tindak pidana, akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung kepada pelaku
tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Terlebih-lebih apabila putusan itu dianggap tidak tepat atau adanya disparitas penjatuhan pidana antara pelaku tindak
pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana yang lain. Padahal Pasal yang dilanggar adalah sama. Apabila perbedaan putusannya mencolok, maka akan menimbulkan reaksi
yang kontroversial dari berbagai pihak. Baik itu datangnya dari pelaku tindak
Universitas Sumatera Utara
pidanaterdakwa itu sendiri maupun yang datangnya dari masyarakat, sebab kebenaran dalam hal itu sifatnya adalah relatif tergantung dari mana sudut pandangnya.
Adanya disparitas penjatuhan pidana akan berdampak negatif terhadap terpidana yang merasa dirugikan terhadap putusan hakim tersebut. Apabila terpidana itu
membandingkannya dengan terpidana lain yang dijatuhi hukuman lebih ringan padahal tindak pidana yang dilakukan adalah sama, maka terpidana yang dijatuhi hukuman lebih
berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga terpidana tersebut tidak percaya dan tidak menghargai hukum. Sedangkan terpidana yang diputus lebih ringan
akan ada anggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan karena hukumannya ringan yang berakibat bisa saja kelak sesudah selesai menjalani pidana ia
berbuat kejahatan lagi sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan efek jera tidak tercapai
Menurut Karto Sirait, hakim pada Pengadilan Negeri Medan, disparitas penjatuhan pidana pada kasus narkoba ini sifatnya kasuistis yaitu sesuai dengan kasus itu
sendiri. Ada pertimbangan yang memberatkan dan meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama Seperti dikemukakan di atas Undang-Undang tentang
narkoba dalam pasal-pasalnya mengatur batas maksimum dan minimum pidana bagi pelaku tindak pidana narkoba. Bahkan ada beberapa Pasal yang hanya mengatur batas
maksimum saja. Seperti Pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berbunyi:
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Menggunakan narkotika golangan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 empat tahun.
Universitas Sumatera Utara
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun.
Dengan adanya batas minimum dan batas maksimum dalam peraturan perundang- undangan tentang narkotika tersebut dalam prakteknya membuat para penegak hukum
baik itu penuntut umum bebas membuat tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika maupun bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidananya. Dari bunyi pasal di
atas tampak jelas bahwa ancaman hukuman yang ada terkesan kurang tegas, sehingga hakim berpeluang secara bebas untuk menggunakan dan memilih sendiri pidana yang
paling tepat dan sesuai sepanjang tidak melebihi dari ketentuan pasal tersebut. Dengan demikian hakim mempunyai wewenang untuk memberi penilaian tersendiri untuk kasus
kasus narkoba yang ditanganinya, sehingga bisa saja penilaian yang dilakukan hakim yang satu dengan hakim yang lainnya berbeda.
Salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Dalam persidangan, hakim
sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa untuk melakukan berat atau ringannya pidana akan dijatuhkan harus mendasarkan diri dengan melihat dan menilai keadaan-
keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa, apakah terdakwa pernah dihukum sebelumnya atau tidak, sopan atau tidaknya terdakwa dalam persidangan, mengakui dan
menyesali perbuatannya atau tidak. Pertimbangan juga dilakukan terhadap apa dan peranan dan posisi terdakwa serta jumlah barang bukti yang diajukan ke persidangan
yang turut mempengaruhi berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada seorang
Universitas Sumatera Utara
terdakwa. Seperti yang dikemukakan oleh Karto Sirait, hakim pada Pengadilan Negeri Medan terjadinya disparitas penjatuhan pidana bersifat kasuistis. Terjadinya perbedaan
itu disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti: a. Apakah terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum atau tidak;
b. Faktor-faktor yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana narkoba, misalnya keadaan ekonomi, dll;
c. Tingkat pengetahuanpemahaman terdakwa, misalnya: perbedaan tingkat pendidikan atau profesi pelaku;
d. Apa peranan terdakwa; e. Cara melakukan tindak pidana antara terdakwa yang satu dengan terdakwa yang lain
berbeda; f. Jumlah barang bukti.
Hakim dalam menjatuhkan pidananya, sedapat mungkin menghindari diri dari putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subjektif. Walaupun hakim mempunyai
kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenang- wenang karena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim
apabila putusan tersebut tidak menunjukkan rasa keadilan masyarakat atau menjunjung perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya sering dijumpai putusan hakim yang
sangat kontradiktif dengan rasa keadilan masyarakat sehingga kewibawaan hukum itu sendiri sudah hilang di mata masyarakat.
Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan
Universitas Sumatera Utara
ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Antara Undang-undang dengan Hakimpengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya.
Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan
Penemuan Hukum. Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan
Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”.
54
Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan
Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban
hakimlah untuk menciptakannya.
55
Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis yaitu:
Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan ketentuan pasal
27 UU Kekuasaan Kehakiman.
56
54
M.Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hal. 43
55
Ibid
56
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta,. 2002, hal 67
1 Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya
mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. 2 Penemuan
Universitas Sumatera Utara
Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya
sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang.
Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu:1 Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang
semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. 2Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan
berpikir juga mencakup interpretasi. Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna
memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun
yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis peraturan
perundang-undangan sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya
dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan. Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan hukum tertulis sebagai
sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa
keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut:
57
57
Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim
menerapkan ketentuan tersebut; b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur
perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut. c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur
perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan
tersebut dengan melakukan penalaran logis.
Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran interpretasi ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu:
58
58
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hal. 124
1 Interpretasi Gramatikal interpretasi bahasa atau tata bahasa taalkundige, grammatikale interpretatie atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata
dalam teks undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
2 Interpretasi Sistematis Logis, menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan
keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan sistem hukum.
Universitas Sumatera Utara
3 Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya terbentuknya, meliputi penafsiran menurut sejarah
hukumnya rechtshistorisch dan penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang- Undang wetshistorisch, penafsiran subyektif.
4 Interpretasi Teleologis sosiologis, Hakim menafsirkan Undang-Undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang-
undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan
kepentingan masa kini. 5 Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem
hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang- undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya
penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting. 6 Interpretasi antisipatif futusritis, hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku
sekarang ius constitum guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau
beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat ius constituendum, misalnya
rancangan undang-undang. 7 Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit
membatasi arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan
hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
8 Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah pengertian yang terdapat dalam suatu teks peraturan Undang-Undang yang berlaku.
Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang- undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 tiga hal,
yaitu:
59
59
Ibid
1 materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut; 2 tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi;
3 zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi.
Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis konstruksi, yang terdiri 4 empat jenis yaitu:
1 argumentum per analogiam Analogi atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang
pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya bentuk
hukum lain. 2 argumentum a contrario a contrario, merupakan cara penafsiran atau penjelasan
undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit
yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a
contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya.
Universitas Sumatera Utara
3 Penghalusan hukum rechtverfijning atau penyempitan hukum penghalusan hukum atau determinatie pengkhususan atau Pengkonkritan hukum Refinement of the law.
Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian
penyimpangan-penyimpangan baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan
diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya.
4 fiksi hukum fictio juris, yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada,
sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan
hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang
masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang
mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya.
Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru creation of new law dengan cara melakukan
pembentukan hukum rechtsvorming baru dan penemuan hukum rechtsvinding, guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara
Universitas Sumatera Utara
dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto.
Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum
Rechtssicherheit , kemamfaatan Zweckmassigkeiit dan Keadilan Gerechtigkeit dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur
tersebut. Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau
menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja.
Karenanya dalam suatu sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis Pemohon dan Termohon Pailit yang bersangkutan dan memperhatikan
asas kemanfaatan dengan memperhitungkan untung rugi cost benefit analysis yang timbul sebagai akibat dari putusannya. Misalnya, apakah putusannya tersebut akan
memperlancar ataukah menghambat proses ekonomi. Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah
merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang
kepadanya dihadapkan perkara tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan