Analisis Putusan Hakim Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

1. Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya. 2. Terdakwa menyesali perbuatannya. 3. Terdakwa belum pernah dihukum. 4. Terdakwa masih berstatus seorang pelajar anak di bawah umur yang masih muda dan memiliki masa depan cerah ke depan 5. Akan tetapi akhirnya Majelis hakim menjatuhkan putusan dengan diktum, menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana .Secara tanpa hak dan melawan hukum turut serta menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, narkotika golongan I. dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 4 empat bulan dipotong masa tahanan dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 seribu rupiah

C. Analisis Putusan Hakim

Dalam hal hakim menjatuhkan putusan, terhadap pelaku tindak pidana, akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung kepada pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Terlebih-lebih apabila putusan itu dianggap tidak tepat atau adanya disparitas penjatuhan pidana antara pelaku tindak pidana yang satu dengan pelaku tindak pidana yang lain. Padahal Pasal yang dilanggar adalah sama. Apabila perbedaan putusannya mencolok, maka akan menimbulkan reaksi yang kontroversial dari berbagai pihak. Baik itu datangnya dari pelaku tindak Universitas Sumatera Utara pidanaterdakwa itu sendiri maupun yang datangnya dari masyarakat, sebab kebenaran dalam hal itu sifatnya adalah relatif tergantung dari mana sudut pandangnya. Adanya disparitas penjatuhan pidana akan berdampak negatif terhadap terpidana yang merasa dirugikan terhadap putusan hakim tersebut. Apabila terpidana itu membandingkannya dengan terpidana lain yang dijatuhi hukuman lebih ringan padahal tindak pidana yang dilakukan adalah sama, maka terpidana yang dijatuhi hukuman lebih berat akan menjadi korban ketidakadilan hukum sehingga terpidana tersebut tidak percaya dan tidak menghargai hukum. Sedangkan terpidana yang diputus lebih ringan akan ada anggapan bahwa melanggar hukum bukanlah hal yang menakutkan karena hukumannya ringan yang berakibat bisa saja kelak sesudah selesai menjalani pidana ia berbuat kejahatan lagi sehingga tujuan pemidanaan yang menimbulkan efek jera tidak tercapai Menurut Karto Sirait, hakim pada Pengadilan Negeri Medan, disparitas penjatuhan pidana pada kasus narkoba ini sifatnya kasuistis yaitu sesuai dengan kasus itu sendiri. Ada pertimbangan yang memberatkan dan meringankan sehingga terhadap kasus yang sama hukumannya tidak sama Seperti dikemukakan di atas Undang-Undang tentang narkoba dalam pasal-pasalnya mengatur batas maksimum dan minimum pidana bagi pelaku tindak pidana narkoba. Bahkan ada beberapa Pasal yang hanya mengatur batas maksimum saja. Seperti Pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berbunyi: Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Menggunakan narkotika golangan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun. Universitas Sumatera Utara b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun. c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun. Dengan adanya batas minimum dan batas maksimum dalam peraturan perundang- undangan tentang narkotika tersebut dalam prakteknya membuat para penegak hukum baik itu penuntut umum bebas membuat tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika maupun bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidananya. Dari bunyi pasal di atas tampak jelas bahwa ancaman hukuman yang ada terkesan kurang tegas, sehingga hakim berpeluang secara bebas untuk menggunakan dan memilih sendiri pidana yang paling tepat dan sesuai sepanjang tidak melebihi dari ketentuan pasal tersebut. Dengan demikian hakim mempunyai wewenang untuk memberi penilaian tersendiri untuk kasus kasus narkoba yang ditanganinya, sehingga bisa saja penilaian yang dilakukan hakim yang satu dengan hakim yang lainnya berbeda. Salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa. Dalam persidangan, hakim sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa untuk melakukan berat atau ringannya pidana akan dijatuhkan harus mendasarkan diri dengan melihat dan menilai keadaan- keadaan yang terdapat dalam diri terdakwa, apakah terdakwa pernah dihukum sebelumnya atau tidak, sopan atau tidaknya terdakwa dalam persidangan, mengakui dan menyesali perbuatannya atau tidak. Pertimbangan juga dilakukan terhadap apa dan peranan dan posisi terdakwa serta jumlah barang bukti yang diajukan ke persidangan yang turut mempengaruhi berat atau ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada seorang Universitas Sumatera Utara terdakwa. Seperti yang dikemukakan oleh Karto Sirait, hakim pada Pengadilan Negeri Medan terjadinya disparitas penjatuhan pidana bersifat kasuistis. Terjadinya perbedaan itu disebabkan oleh keadaan-keadaan seperti: a. Apakah terdakwa sebelumnya sudah pernah dihukum atau tidak; b. Faktor-faktor yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana narkoba, misalnya keadaan ekonomi, dll; c. Tingkat pengetahuanpemahaman terdakwa, misalnya: perbedaan tingkat pendidikan atau profesi pelaku; d. Apa peranan terdakwa; e. Cara melakukan tindak pidana antara terdakwa yang satu dengan terdakwa yang lain berbeda; f. Jumlah barang bukti. Hakim dalam menjatuhkan pidananya, sedapat mungkin menghindari diri dari putusan yang timbul dari kehendak yang sifatnya subjektif. Walaupun hakim mempunyai kebebasan untuk itu, akan tetapi hakim tidak boleh bertindak sewenang- wenang karena adanya kontrol dari masyarakat yang menjadi kendali terhadap setiap putusan hakim apabila putusan tersebut tidak menunjukkan rasa keadilan masyarakat atau menjunjung perasaan keadilan masyarakat. Dalam kenyataannya sering dijumpai putusan hakim yang sangat kontradiktif dengan rasa keadilan masyarakat sehingga kewibawaan hukum itu sendiri sudah hilang di mata masyarakat. Berbicara mengenai peranan hakim, maka tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan Universitas Sumatera Utara ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Antara Undang-undang dengan Hakimpengadilan terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. Menurut Mertokusumo ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah “Penemuan Hukum”, yaitu ada yang mengartikannya sebagai “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”. 54 Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya. 55 Penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, ada dua jenis yaitu: Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum, karena sesuai dengan ketentuan pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman. 56 54 M.Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hal. 43 55 Ibid 56 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta,. 2002, hal 67 1 Penemuan Hukum Heteronom adalah jika dalam penemuan hukum hakim sepenuhnya tunduk pada undang-undang, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwa konkritnya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang tersebut. 2 Penemuan Universitas Sumatera Utara Hukum Otonom adalah jika hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan, pemahaman, pengalaman dan pengamatan atau pikirannya sendiri. Jadi hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya menurut apresiasi pribadi, tanpa terikat mutlak kepada ketentuan undang-udang. Sedangkan Pitlo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali membedakan Penemuan hukum dalam dua jenis yaitu:1 Penemuan Hukum dalam arti sempit, penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang disyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. 2Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi. Dalam mencarikan hukum yang tepat dan melakukan Penemuan hukum, guna memberikan putusan atas dan terhadap peristiwa konkrit yang dihadapkan padanya tersebut, Hakim akan mengolah sumber-sumber hukum baik yang telah tersedia maupun yang belum tersedia, dengan cara mengambil rujukan utama dari sumber-sumber tertentu yang secara hirarkis berturut dan bertingkat dimulai dari hukum tertulis peraturan perundang-undangan sebagai sumber utama, apabila tidak ditemukan barulah ke hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, kemudian yurisprudensi, begitu seterusnya dilanjutkan pada perjanjian internasional barulah doktrin dan ilmu pengetahuan. Hakim menerapkan peraturan perundang-undangan hukum tertulis sebagai sumber utama dalam rangka melakukan pembentukan hukum, mencarikan hukum yang tepat dan penemuan hukum terhadap suatu perkara tersebut, dihadapkan dalam beberapa keadaan, yaitu dengan cara dan sesuai dengan keadaan yang ditemuinya sebagai berikut: 57 57 Ibid Universitas Sumatera Utara a. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada dan telah jelas, maka Hakim menerapkan ketentuan tersebut; b. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, telah ada, akan tetapi tidak jelas arti dan maknanya, maka Hakim yang bersangkutan melakukan interpretasi atas materi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut. c. Bilamana materi ketentuan dari peraturan perudang-undangan yang mengatur perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut, tidak atau belum ada pengaturannya, maka usaha yang ditempuh oleh Hakim yang bersangkutan adalah mengisi kekosongan tersebut dengan melakukan penalaran logis. Berkenaan dengan hal tersebut, ada beberapa metode penafsiran interpretasi ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu: 58 58 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hal. 124 1 Interpretasi Gramatikal interpretasi bahasa atau tata bahasa taalkundige, grammatikale interpretatie atau metode obyektif. Hakim menafsirkan kata-kata dalam teks undang-undang apaadanya sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa. 2 Interpretasi Sistematis Logis, menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain atau dengan keseluruhan sebagai satu kesatuan dan tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan sistem hukum. Universitas Sumatera Utara 3 Interpretasi Historis, penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya terbentuknya, meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya rechtshistorisch dan penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang- Undang wetshistorisch, penafsiran subyektif. 4 Interpretasi Teleologis sosiologis, Hakim menafsirkan Undang-Undang sesuai dengan tujuan kemasyarakatan dan bukan hanya daripada bunyi kata-kata undang- undang itu saja, karena makna dari undang-undang yang masih berlaku sudah usang atau tidak sesuai lagi untuk diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini. 5 Interpretasi komparatif, penafsiran dengan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum, guna mencari titik temu atau kejelasan mengenai suatu ketentuan undang- undang pada suatu penyelesaian yang dikemukakan di pelbagai negara, lazimnya penafsiran ini diperhunakan dalam perjanjian internasional ini penting. 6 Interpretasi antisipatif futusritis, hakim menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang ius constitum guna mencari pemecahan kasus yang dihadapkan padanya, dengan berpedoman pada kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam suatu atau beberapa peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan berlaku dan belum mempunyai daya kekuatan yang mengikat ius constituendum, misalnya rancangan undang-undang. 7 Interpretasi Restriktif, hakim melakukan penafsiran dengan mempersempit membatasi arti suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa, dengan menghubungkannya dengan persoalan hukum yang dihadapkan pada hakim yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara 8 Interpretasi ekstensif, hakim menafsirkan dengan memperluas arti suatu istilah pengertian yang terdapat dalam suatu teks peraturan Undang-Undang yang berlaku. Selain itu, hakim dalam melakukan penafsiran suatu materi peraturan perundang- undangan terhadap perkara yang dihadapkan padanya, harus memperhatikan 3 tiga hal, yaitu: 59 59 Ibid 1 materi peraturan perundang-undangan yang diterapkan oleh Hakim tersebut; 2 tempat dimana perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi; 3 zaman perkara yang dihadapkan pada Hakim tersebut terjadi. Berkaitan dengan interpretasi tersebut, juga dibutuhkan adanya penalaran logis konstruksi, yang terdiri 4 empat jenis yaitu: 1 argumentum per analogiam Analogi atau Abtraksi, hakim dalam rangka melakukan penemuan hukum, menerapkan sesuatu ketentuan hukum, bagi suatu keadaan yang pada dasarnya sama dengan suatu keadaan yang secara eksplisit telah diatur dalam ketentuan hukum tersebut tadi, tetapi penampilan atau bentuk perwujudannya bentuk hukum lain. 2 argumentum a contrario a contrario, merupakan cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang telah diatur dalam undang-undang. Hakim mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara kebalikannya. Jadi pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidak-samaan peristiwanya. Universitas Sumatera Utara 3 Penghalusan hukum rechtverfijning atau penyempitan hukum penghalusan hukum atau determinatie pengkhususan atau Pengkonkritan hukum Refinement of the law. Jadi Hakim bukan membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan secara langsung apa adanya, melainkan hakim melakukan pengecualian-pengecualian penyimpangan-penyimpangan baru terhadap peraturan perundang-undangan, karena rumusan undang-undang terlalu luas dan bersifat umum, maka perlu dipersempit dan diperjelas oleh Hakim untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa konkrit tertentu yang dihadapkan padanya. 4 fiksi hukum fictio juris, yaitu dengan cara menambahkan fakta-fakta yang baru, guna mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan yang baru dan sistem yang ada, sehingga tampil suatu personifikasi baru di hadapan kita, yang bukan kenyataan. Apabila ia telah diterima dalam kehidupan hukum, misalnya melalui keputusan hakim, maka iapun sudah berubah menjadi bagian dari hukum positif dan tidak boleh lagi disebut-sebut sebagai fiksi. Salah satu contoh fiksi hukum yang penting yang masih diakui oleh dan digunakan dalam hukum modern adalah “adopsi”, dimana seseorang yang sebetulnya bukan merupakan anak kandung dari orang tua yang mengadopsinya, diterima sebagai demikian melalui fiksi hukum dengan segala akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, Hakim berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru creation of new law dengan cara melakukan pembentukan hukum rechtsvorming baru dan penemuan hukum rechtsvinding, guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara Universitas Sumatera Utara dengan alasan karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada untuk kasus in konkretto. Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum Rechtssicherheit , kemamfaatan Zweckmassigkeiit dan Keadilan Gerechtigkeit dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut. Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak boleh hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja. Karenanya dalam suatu sengketa bisnis, pengadilan perlu memperhatikan lingkungan bisnis Pemohon dan Termohon Pailit yang bersangkutan dan memperhatikan asas kemanfaatan dengan memperhitungkan untung rugi cost benefit analysis yang timbul sebagai akibat dari putusannya. Misalnya, apakah putusannya tersebut akan memperlancar ataukah menghambat proses ekonomi. Oleh karenanya, dapatlah dikatakan bahwa suatu putusan hakim adalah merupakan hukum dalam arti sebenarnya, karena putusan tersebut di dasarkan pada suatu perkara konkrit yang diadili, diperiksa dan diputus oleh hakim yang bersangkutan yang kepadanya dihadapkan perkara tersebut. Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

Relevansi Sistem Penjatuhan Pidana Dengan Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Terhadap Kasus Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi di Pengadilan Negeri Kota Malang)

1 5 30

Konsistensi Hakim Menjatuhkan Putusan Dalam Hal Terjadi Perbarengan Tindak Pidana (Concursus Realis) (Studi di Pengadilan Negeri Malang)

1 9 21

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 9